Last Updated on Saturday, 08 November 2014 22:24
Written by Administrator
Tuesday, 07 October 2014 01:54
Jakarta.
Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia sepakat menyediakan dana sebesar 12 juta dolar AS khususnya untuk program perlindungan harimau dan badak Sumatera termasuk pelestarian habitat.
Dana tersebut didapat dari kesepakatan pengalihan dana pembayaran utang Pemerintah Indonesia pada Pemerintah AS yang akan jatuh tempo. Sejumlah dana yang seharusnya dikembalikan kepada Pemerintah Amerika tersebut ditambahkan pada program Tropical Forest Conservation Action for Sumatra (TFCA-Sumatera) yang saat ini sedang berjalan di Sumatera dengan skema pendanaan yang sama.
Pada acara peluncuran yang dilangsungkan di @america tadi malam (1/10), Kristen Bauer, Deputy Chief of Mission Kedubes AS menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama menaruh perhatian besar pada perlindungan spesies terancam punah di Indonesia terutama Badak dan Harimau. Alasan kita berfokus pada harimau adalah karena harimau menderita akibat strategi program pembangunan yang tak terencana dan akibat perdagangan ilegal. Perdagangan liar tidak hanya berdampak pada punahnya beraneka jenis hewan namun mengancam keamanan perbatasan, pembangunan ekonomi dan kesehatan publik demikian ungkap Kristen Buer.
Raffles B. Panjaitan yang mewakili Sekjen Kementerian Kehutanan pada acara ini menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah menjalankan serangkaian respons untuk perlindungan harimau Sumatera. Sebanyak 5 proyek dengan berbagai donor termasuk dengan negara-negara ASEAN dan Amerika Serikat telah dijalankan berupa konservasi harimau dan habitatnya baik melalui konservasi in situ maupun eks situ.
Penandatanganan komitmen konservasi satwa sebesar 12 juta dolar AS ini merupakan bagian dari paket kerjasama dari tiga perjanjian yang ditandatangani di kantor Kemenhut pada tanggal 29 September 2014 yaitu: (1) Forest Conservation Agreement (FCA) antara tiga pihak yaitu Kementerian Kehutanan yang diwakili oleh Sekditjen PHKA Novianto Bambang Wawandono, dua lembaga swap partner yaitu Conservation International Foundation yang diwakili oleh Vice President Ketut Sarjana Putra dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang diwakili oleh M.S Sembiring selaku Direktur Eksekutif. (2) Debt-for-Nature-Swap Agreement (DSA) ditandatangani oleh dua pihak yaitu Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Dirjen Pengelolaan Utang, Robert Pakpahan dan Pemerintah AS yang diwakili oleh Duta Besar Robert Blake. (3) Swap Fee Agreement, ditandatangani oleh wakil dari Conservation International Foundation Ketut Sarjana Putra dan wakil Pemerintah Amerika Serikat, Duta Besar Robert Blake.
Tambahan dana tersebut akan disalurkan melalui hibah kepada LSM lokal. Kesepakatan ini memungkinkan kedua negara bekerja bersama melindungi, termasuk penegakan hukum bagi kejahatan terhadap satwa kunci seperti Harimau, Badak, Orangutan dan Gajah melalui intervensi kegiatan di tingkat kebijakan, tingkat bentang alam dan sosial ekonomi masyarakat. Selain itu, sebagaimana telah dituangkan di dalam kebijakan dan prosedur penyaluran dana hibah TFCA-Sumatera, fokus kegiatan memberikan dorongan terhadap kerjasama antara masyarakat, LSM, Pemerintah dan swasta dalam pengelolaan hutan beserta keanekaragaman hayati di dalamnya.
Mengomentari FCA yang merupakan dasar pelaksanaan kegiatan di lapangan, Ketut Sarjana Putra dari Conservation International menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat berkontribusi secara signifikan dalam penyelamatan spesies. Meneruskan kerjasama dengan KEHATI dalam konservasi hutan di tingkat lansekap, penambahan dana ini mendorong kita untuk melangkah lebih maju lagi dalam upaya penyelamatan spesies, ujarnya.
Menurut Samedi, Direktur Program TFCA-Sumatera, salah satu upaya nyata bagi perlindungan spesies kunci di Sumatera adalah dengan mempertahankan dan membuka ruang koridor antar kawasan konservasi untuk menjamin ketersambungan antar habitat sehingga satwa dapat saling berhubungan dan terjadi transfer materi genetik serta menurunkan intensitas konflik antara satwa dan manusia. Luas tutupan hutan harus ditambah atau setidaknya dipertahankan untuk tidak dikonversi, penindakan terhadap perdagangan ilegal dan perburuan liar pun harus lebih efektif dilaksanakan dengan menggunakan teknologi yang lebih memadai seperti forensik ujar Samedi menambahkan.
Ancaman seperti perburuan, fragmentasi habitat, penurunan populasi mangsa, perdagangan ilegal dan konflik dengan manusia juga makin mengurangi jumlah harimau di alam. Menurut Daftar Merah IUCN tahun 2008, sebanyak 51 ekor harimau Sumatera terbunuh setiap tahunnya yang mana 76% merupakan akibat perdagangan gelap. Kondisi ini diperparah dengan kebakaran hutan yang mulai marak pada bulan Agustus-September 2014, dimana sebaran 42% hotspot di Riau berada di hutan alam habitat harimau.
Keberadaan badak di Sumatera kini pun tak kalah memprihatinkan. Delapan dari 12 kantung badak yang sebelumnya teridentifikasi di Sumatera diduga kini sudah tidak ada lagi, hanya tinggal sedikit di Sumatera bagian utara dan sedikit di Sumatera bagian selatan, dan populasinya selama 21 tahun turun 82 persen, ujar Samedi yang mengutip data dari WWF Indonesia.
Penurunan populasi badak ini sangat memprihatinkan. Reproduksi badak di alam cukup sulit, sehingga ancaman penurunan populasi dari tekanan akibat pembukaan hutan, kebakaran hutan, perburuan liar makin memperburuk viabilitas badak di hutan, ungkap MS. Sembiring, Direktur Eksekutif KEHATI yang dipercaya sebagai Administrator program TFCA di Indonesia ini.
Oleh karena itu dukungan dari masyarakat luas perlu terus digalang. Penambahan dana sebesar 12 juta dollar diharapkan dapat digunakan untuk melestarikan, melindungi dan mengelola habitat yang diperlukan untuk rumah bagi satwa serta dapat digunakan untuk penyelamatan, restorasi dan peningkatan populasi dan habitat satwa liar di alam.
Sumber: TFCA Sumatera baca juga: AFP.com