Gempa Mukomuko Tak Pengaruhi Marapi


Written by Administrator


Thursday, 04 August 2011 11:32

WBHNEWS, Gempa 6 Skala Richter (SR) yang mengguncang Mukomuko, Bengkulu, Kamis (4/8/2011) tidak berdampak pada aktivitas Gunung Marapi, meskipun gempa itu dirasakan beberapa wilayah di Sumatera Barat.

Koordinator Pusat Pengendali Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) Sumatera Barat, Ade Edwar mengatakan tak ada pengaruh goncangan gempa tadi terhadap aktivitas Gunung Marapi.

“Hasil rekaman fisik kami, belum ada dampak terhadap gunung akibat gempa Bengkulu yang juga mengguncang beberapa kawasan di provinsi kita,” ujarnya.

Menurut data Badan Meteorologi Krimatologi dan Geofisika (BMKG), titik gempa berada di 2,88 Lintang Selatan dan 100,97 Bujur Timur, atau 37 kilometer barat daya Mukomuko, Bengkulu. Kedalaman episentrum ada di 28 kilometer. Gempa ini dinyatakan tidak berpotensi tsunami

Hingga pagi ini, kata Ade, status Gunung Marapi masih waspada,”Kita juga akan tetap siaga beberapa hari ke depan. Maka, warga kita imbau untuk tidak panik, karena kita sudah siapkan perencanaan-perencanaan, jika terjadi kemungkinan terburuk,” tegasnya.

Sumber: Kompas.Com

Gempa JugaTerasa di Kerinci


Written by Administrator


Thursday, 04 August 2011 11:02

WBHNEWS, Gempa berkekuatan 6.0 Skala Richter yang mengguncang Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, pukul 07.16 tadi ikut dirasakan juga di Sungai Penuh, Kerinci, Jambi.

Barlian, sarga Mukomuko yang sedang berada di Kerinci, menyampaikan, dirinya sedang tidur ketika gempa terjadi.Ia langsung terbangun dan menelepon istri serta kedua anaknya. “Alhamdulilah keluarga tidak apa-apa. Mereka langsung lari keluar rumah begitu gempa terjadi. Kata istri saya getarannya kencang sekali memang,” kata Barlian melalui telepon, Rabu (4/8).

Berdasarkan Badan Meteoroligi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) gempa di Mukomuko berpusat di 37 arah barat daya Mukomuko dengan kedalaman 28 kilometer. Gempa tersebut tidak berpotensi tsunami.

Sumber: KOMPAS.COM


Newer news items:

Older news items:


Gempa JugaTerasa di Kerinci


Written by Administrator


Thursday, 04 August 2011 11:02

WBHNEWS, Gempa berkekuatan 6.0 Skala Richter yang mengguncang Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, pukul 07.16 tadi ikut dirasakan juga di Sungai Penuh, Kerinci, Jambi.

Barlian, sarga Mukomuko yang sedang berada di Kerinci, menyampaikan, dirinya sedang tidur ketika gempa terjadi.Ia langsung terbangun dan menelepon istri serta kedua anaknya. “Alhamdulilah keluarga tidak apa-apa. Mereka langsung lari keluar rumah begitu gempa terjadi. Kata istri saya getarannya kencang sekali memang,” kata Barlian melalui telepon, Rabu (4/8).

Berdasarkan Badan Meteoroligi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) gempa di Mukomuko berpusat di 37 arah barat daya Mukomuko dengan kedalaman 28 kilometer. Gempa tersebut tidak berpotensi tsunami.

Sumber: KOMPAS.COM

Daya Tampung Karbon Justru Naik


Written by Administrator


Wednesday, 03 August 2011 11:12

WBHNEWS, Salah satu dampak positif pemanasan global adalah meningkatkan kapasitas pohon dan tumbuh-tumbuhan dalam penampungan karbondioksida. Sebuah studi yang dipimipin oleh Jerry Melillo dari Marine Biological Laboratory Amerika Serikat mengindikasikan itu.

Pada ringkasan tulisan penelitian yang dimuat dalam publikasi jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences baru-baru ini, dikatakan bahwa menghangatnya iklim telah merangsang penangkapan juga penyimpanan karbondioksida pada bagian tanaman dalam jumlah lebih besar. Menurut para peneliti, makin banyaknya karbon yang terserap saat tumbuhan melakukan proses fotosintesis itu disebabkan lebih banyak nitrogen yang memungkinkan untuk dapat dibuat dalam kondisi suhu tanah hangat.

Selama ini, tutur Melillo, pohon-pohon yang ada di Amerika Serikat umumnya sangat terbatas kandungan nitrogennya. “Kami menemukan bahwa pemanasan (global) telah memerangkap senyawa nitrogen di dalam tanah berupa nitrogen organik, untuk dilepaskan sebagai senyawa anorganik. Ketika pohon menyerap nitrogen anorganik ini, pertumbuhannya akan lebih cepat dan menampung lebih banyak karbon,” jelasnya.

Ia menambahkan, keseimbangkan jumlah karbon di ekosistem hutan untuk dekade-dekade selanjutnya di saat fenomena perubahan iklim juga terjadi, akan sangat bergantung pada aneka faktor lain. “Misalnya, ketersediaan air, efek peningkatan temperatur bagi fotosintesis dan respirasi, serta konsentrasi karbondioksida di lapisan atmosfer,” katanya. (National Geographic Indonesia/Gloria Samantha)

Bentuk Bumi Makin Gendut di Khatulistiwa


Written by Administrator


Wednesday, 03 August 2011 10:59

WBHNEWS, Bumi semakin besar di bagian khatulistiwa. Fakta itu terungkap dari penelitian terhadap data yang dikumpulkan oleh satelit Gravity Recover and Climate Experiment (GRACE) milik NASA dan German Space Agency. Disebutkan, bertambahnya penumpukan di khatulistiwa itu disebabkan oleh mencairnya lapisan es di Greenland dan Antartika.

Menurut Steve Nerem, ilmuwan asal University of Colorado, Amerika Serikat, hingga 22 ribu tahun lalu, es hingga beberapa kilometer menyelimuti sebagian besar belahan utara Bumi. Berhubung tekanan akibat bobot dari es di daratan telah berkurang karena mencair, tanah di bawahnya telah memantul dan menyebabkan Bumi menjadi lebih lonjong. “Mirip dengan spons, dan dibutuhkan waktu yang cukup lama agar Bumi kembali ke bentuk asalnya,” kata Nerem.

Sebagai informasi, sejak awal, planet Bumi memang tidak bulat sempurna. Akibat perputaran rotasinya, air di permukaan Bumi lebih banyak terkumpul di kawasan khatulistiwa dibandingkan dengan di kutub.

Para ilmuwan sendiri mengamati terjadinya “penyusutan lemak” di lingkar khatulistiwa. Akan tetapi, kemudian terjadi perubahan. Di sekitar pertengahan 1990-an, diketahui bahwa tren telah berbalik dan Bumi kembali tambah “gendut di lingkar pinggangnya”, sama seperti bola yang ditekan dari atas dan bawahnya. Namun mereka tidak memiliki alat untuk memastikan mengapa hal itu bisa terjadi, hingga baru-baru ini.

Dengan GRACE, peneliti dapat menguji coba teori yang menyatakan bahwa hilangnya es merupakan faktor pengubah bentuk planet Bumi. GRACE mengambil gambar dari permukaan Bumi setiap 30 hari sehingga memungkinkan peneliti memantau perubahan massa es terhadap perubahan gravitasi. Jadi, jika ada perubahan terhadap bentuk Bumi, maka akan ada perubahan terhadap distribusi massa. Akibatnya, medan gravitasi juga berubah.

Peneliti menemukan, mencairnya gletser di Greenland dan Kutub Selatan merupakan kontributor terbesar terhadap membengkaknya “lingkar pinggang” Bumi karena banyak air yang dibawa ke khatulistiwa. Menurut data, dua belahan Bumi kehilangan 382 miliar ton es per tahunnya. Berkurangnya beban yang perlu ditanggung benua memungkinkan tanah untuk naik dan membuat planet menjadi lebih bulat, namun proses ini membutuhkan waktu ribuan tahun. Sementara itu, pertumbuhan ketebalan di khatulistiwa mencapai 0,7 sentimeter per dekade.

Saat ini, kata Nerem, radius planet Bumi 21 kilometer lebih besar di khatulistiwa dibandingkan di kutub. Artinya, titik paling jauh permukaan Bumi dari inti Bumi bukanlah di puncak gunung Everest, melainkan di puncak gunung berapi di Ekuador yang lebih dekat ke khatulistiwa. (National Geographic Indonesia/Abiyu Pradipa)

Kanwil Kemnag Sumsel Pantau Hilal


Written by Administrator


Saturday, 30 July 2011 08:22

PALEMBANG, WBHNEWS Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Selatan akan memantau keberadaan hilal atau bulan untuk penghitungan rukyat awal Ramadhan 1432 Hijriah yang dilakukan dari Hotel Aryaduta, Palembang.

Kepala Kantor Kemnag Sumsel, Najib Haitami, di Palembang, Jumat (29/7/2011), mengatakan, lokasi pemantauan hilal dinilai paling memenuhi syarat mengingat hotel itu merupakan gedung yang paling tinggi di daerah tersebut.

Sejak beberapa tahun ini, pemantauan hilal juga telah dilaksanakan secara rutin dari hotel tersebut. Menurut dia, pihaknya akan memantau hilal pada Minggu (31/7/2011) guna menghitung awal Ramadhan.

Namun, kendati masih harus memantau hilal dan menghitung rukyat awal Ramadhan, menurut Najib, pihaknya juga akan tetap menunggu pengumuman dari Kemnag untuk memastikan mulai ibadah puasa tahun ini.

Ia menegaskan, pemantauan hilal dengan menggunakan alat pembesar rutin dilakukan setiap menjelang Ramadhan. Pemantauan itu untuk memastikan bahwa pelaksanaan awal Ramadhan tetap sesuai dengan perhitungan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.

Dia mengimbau agar warga Sumsel untuk melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan ketentuan pemerintah mengingat perhitungan awal Ramadhan telah dilakukan secara detail dengan pemantauan yang benar.

REDD Berjalan Bagaimana Nasib Kami


Written by Administrator


Friday, 29 July 2011 11:11

WBHNEWS, Beberapa proyek percontohan REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and Degradation), upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan, telah berjalan.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat lokal yang dilibatkan belum memahami tujuan dari proyek ini.

Apa yang terjadi di Desa Petak Puti di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah, adalah salah satu contohnya. Di desa yang menjadi proyek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) hasil kerja sama Indonesia Australia dilakukan itu, masyarakat justru khawatir tentang proyek percontohan yang dijalankan.

“Tahun 2013, proyek KFCP ini kan berakhir. Kami khawatir nanti mereka akan menjadi hak kami. Hak itu misalnya kebun. Sampai sekarang kami tidak tahu apakah nanti akan terjadi seperti itu atau tidak,” ungkap Yuyo P Dulin, Kepala Desa Petak Puti, pada Senin (18/7/2011).

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, masyarakat Petak Puti mengalami trauma akan pengalaman masa lalu. Yuyo menjelaskan, sekitar tahun 2004, ada pihak yang datang serta melaksanakan proyeknya tanpa izin dan merugikan masyarakat setempat. Hal lain yang menjadi kekhawatiran adalah pelaksanaan REDD+ nantinya.

“Bagaimana nasib kami kalau REDD+ berjalan karena nanti hutan tidak dapat dijangkau manusia. Bagaimana kalau kita punya kebutuhan. Mau bikin kandang ayam atau rumah misalnya,” jelas Yuyo.

Menurut Yuyo, banyak hal tentang REDD+ yang belum dimengerti masyarakat. Dirinya sendiri mengaku bahwa hanya memahami REDD+ sebatas pada upaya mengurangi gas rumah kaca, belum pada semua konsekuensi jika REDD+ dijalankan nantinya.

Yuyo mengungkapkan, masyarakat perlu diberi pengetahuan soal REDD+ dan konsekuensinya. Yuyo juga meminta jaminan bahwa REDD+ ataupun proyek percontohannya tidak mengambil hak masyarakat.

Selain itu, menurut Yuyo, di luar soal REDD+, ada hal lebih penting yang perlu diupayakan jika nanti masyarakat benar-benar tidak bisa mengakses hutan. Ia menaruh harapan besar pada soal mata pencaharian alternatif sehingga masyarakat tetap bisa berusaha meningkatkan taraf hidupnya.

“Sekarang masyarakat bergantung pada karet dan ikan. Bagaimana KFCP juga ikut memikirkan hal ini. Jadi bagaimana masa depannya nanti Petak Puti ini,” kata Yuyo. Mata pencaharian alternatif penting sebab beberapa warga masih melakukan praktik yang merusak lingkungan, seperti menambang emas.

Sumber: Kompas.Com

Bagaimana Nasib Kami jika REDD Berjalan


Written by Administrator


Friday, 29 July 2011 00:00

WBHNEWS, Beberapa proyek percontohan REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and Degradation), upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan, telah berjalan.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat lokal yang dilibatkan belum memahami tujuan dari proyek ini.

Apa yang terjadi di Desa Petak Puti di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah, adalah salah satu contohnya. Di desa yang menjadi proyek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) hasil kerja sama Indonesia Australia dilakukan itu, masyarakat justru khawatir tentang proyek percontohan yang dijalankan.

“Tahun 2013, proyek KFCP ini kan berakhir. Kami khawatir nanti mereka akan menjadi hak kami. Hak itu misalnya kebun. Sampai sekarang kami tidak tahu apakah nanti akan terjadi seperti itu atau tidak,” ungkap Yuyo P Dulin, Kepala Desa Petak Puti, pada Senin (18/7/2011).

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, masyarakat Petak Puti mengalami trauma akan pengalaman masa lalu. Yuyo menjelaskan, sekitar tahun 2004, ada pihak yang datang serta melaksanakan proyeknya tanpa izin dan merugikan masyarakat setempat. Hal lain yang menjadi kekhawatiran adalah pelaksanaan REDD+ nantinya.

“Bagaimana nasib kami kalau REDD+ berjalan karena nanti hutan tidak dapat dijangkau manusia. Bagaimana kalau kita punya kebutuhan. Mau bikin kandang ayam atau rumah misalnya,” jelas Yuyo.

Menurut Yuyo, banyak hal tentang REDD+ yang belum dimengerti masyarakat. Dirinya sendiri mengaku bahwa hanya memahami REDD+ sebatas pada upaya mengurangi gas rumah kaca, belum pada semua konsekuensi jika REDD+ dijalankan nantinya.

Yuyo mengungkapkan, masyarakat perlu diberi pengetahuan soal REDD+ dan konsekuensinya. Yuyo juga meminta jaminan bahwa REDD+ ataupun proyek percontohannya tidak mengambil hak masyarakat.

Selain itu, menurut Yuyo, di luar soal REDD+, ada hal lebih penting yang perlu diupayakan jika nanti masyarakat benar-benar tidak bisa mengakses hutan. Ia menaruh harapan besar pada soal mata pencaharian alternatif sehingga masyarakat tetap bisa berusaha meningkatkan taraf hidupnya.

“Sekarang masyarakat bergantung pada karet dan ikan. Bagaimana KFCP juga ikut memikirkan hal ini. Jadi bagaimana masa depannya nanti Petak Puti ini,” kata Yuyo. Mata pencaharian alternatif penting sebab beberapa warga masih melakukan praktik yang merusak lingkungan, seperti menambang emas.

Sumber: Kompas.Com

Praktik REDD+ Rentan Korupsi


Written by Administrator


Tuesday, 26 July 2011 11:17

WBHNEWS, REDD+, inisiatif mengurangi emisi dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan, dalam praktiknya rentan korupsi. Hal ini diungkapkan aktivis Walhi, Teguh Surya, dalam acara UNODC Talk Series, Senin (25/7/2011) di Jakarta.

“Korupsi itu terbukti ada dalam sektor kehutanan dan ini mengikat semua lini yang ada. Sejak tahun 2000, menteri kehutanan saat itu juga sudah mengakuinya. Jadi kalau kita bicara REDD+ dan korupsi, bibit itu ada,” tegas Teguh.

Teguh memaparkan beberapa alasan yang memperkuat rentannya korupsi dalam praktik REDD+ nantinya. Fakta pertama yang memperkuat adalah masuknya Indonesia dalam 16 negara terkorup di Asia Pasifik dan salah satu negara terkorup di dunia.

“Jika persoalan ini tidak mendapat prioritas, maka kemungkinan besar dana REDD+ akan dikorupsi oleh kalangan pemerintahan,” kata Teguh yang menyampaikan presentasi bersama Cecilia Luttrell, peneliti senior CIFOR.

Menguraikan faktor lain, Teguh menyebut lemahnya birokrasi, belum adanya transparansi, dan tak adanya lembaga independen yang mengelola dan mengawasi dana REDD+. “Tanpa itu, dengan adanya dana besar dari tingkat global, ini akan jadi sasaran empuk,” ungkap Teguh.

Teguh mengungkapkan, indikasi korupsi dana REDD+ termasuk proyek percontohannya sebenarnya sudah ada, tetapi sampai saat ini belum menemukan fakta itu. Ia menambahkan, yang saat ini ditemukan adalah korupsi kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia.

“Pemerintah sudah punya komitmen tunda pembukaan hutan baru sejak 2010. Juni 2010-Desember 2010, Pemerintah Indonesia harusnya tidak mengeluarkan izin konsesi. Tapi, pemerintah menggunakan periode jeda Januari sampai Mei untuk memberikan banyak izin pembukaan hutan,” jelas Teguh.

Teguh juga menambahkan, mulai dari Juni 2010 sampai April 2011, 100.000 hektar hutan dibuka untuk tambang, sawit, dan sebagainya. Ini belum yang di Riau dan daerah lain. Kalau ditambah, ada lebih banyak lagi.

Teguh mengatakan, tindakan pemerintah termasuk korupsi kebijakan sebab sebenarnya komitmen tunda pembukaan lahan sudah ada sejak tahun 2010. Maka, dalam waktu jeda pemerintah sebenarnya tidak dibenarkan memberi izin. Berdasarkan fakta rentannya korupsi, termasuk komitmen negara maju yang dianggapnya minim, Teguh merasa skeptis REDD+ bisa menjawab tantangan penyelamatan hutan, pengurangan emisi, dan penanggulangan dampak perubahan iklim.

“Walhi sejak awal mengambil sikap berbeda dengan NGO dan pemerintah. Maka, kita mengatakan bahwa REDD+ adalah false solution. Saya tidak melihat alasan yang kuat REDD+ bisa menghentikan deforestasi,” papar Teguh.

Beberapa permasalahan membuat implementasi REDD+ rumit. Teguh mengatakan, definisi hutan yang dimaksud dalam program REDD+ sendiri belum jelas sehingga berdampak pada siapa yang didefinisikan sebagai aktor perusak hutan dan pada siapa insentif REDD+ nanti diberikan.

“Negara-negara maju banyak yang tidak melihat REDD+ sebagai upaya penyelamatan hutan, tetapi lebih karena ada uang besar yang dijanjikan dengan REDD+,” pungkas Teguh.

Sumber: Kompas.Com

Perubahan Iklim Ancam Kedamaian


Written by Administrator


Monday, 25 July 2011 16:13

WBHNEWS, PARIS- Tanpa antisipasi serius, perubahan iklim global diyakini akan mengancam kedamaian dan keamanan global di masa depan. Demikian diingatkan Achim Steiner, pejabat senior dari PBB.

Di lain pihak, perubahan iklim juga terbukti meningkatkan skala bencana alam. Kombinasi keduanya ini menjadi tantangan terbesar dalam beberapa dekade ke depan.

Ancaman ini, nyatanya mulai terjadi, sebagai contoh di Somalia.

Negara ini hingga saat ini terus dilanda persoalan perang saudara dan kelaparan akibat terbatasnya sumber daya alam dan kondisinya terus diperparah perubahan iklim. Tampak jelas, komunitas global-jika betul skenario terkait perubahan iklim di masa depan betul terjadi, kita akan menghadapi banyak kejadian ekstrim (seperti terjadi di Somalia), ujarnya.

Komentar ini disampaikannya terkait perdebatan di Dewan Keamanan PBB yang menyangkut isu lingkungan. Kaitan perubahan iklim global dengan kedamaian global dan keamanan pertama kalinya dilontarkan delegasi dari Jerman.

Keamanan Terancam

Nairobi, Kamis – Perubahan iklim secara eksponensial meningkatkan skala bencana kekeringan dan kelaparan. Bahaya kelaparan dan naiknya permukaan laut adalah ancaman terhadap perdamaian dan keamanan global. Dunia harus segera mencegah sebelum hal itu memburuk.

Achim Steiner, Direktur Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengungkapkan hal itu dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB, Rabu (20/7). Steiner mengutip prediksi skenario terburuk bahwa suhu akan naik 4 derajat celsius pada tahun 2060. Permukaan laut pun akan bertambah tinggi 1 meter selama abad berikutnya.

Sekalipun ilmu pengetahuan belum bisa menjelaskan alasan di balik pemanasan global, Steiner mengatakan, perubahan iklim adalah kenyataan. Efeknya melanda semua sektor kehidupan.

Katanya, ada berbagai bencana yang sudah terjadi. Jumlah dan kualitas bencana akan terus meningkat. Kekeringan di Afrika Timur, termasuk di Somalia, banjir Pakistan, dan dampaknya pada pasar makanan adalah sebagian kecil contohnya. Skala bencana alam akan meningkat secara eksponensial, tambah Steiner.

Dua wilayah di Somalia selatan, Bakool dan Shabelle Hulu, saat ini dilanda kelaparan terburuk dalam 20 tahun terakhir. Situasi itu bisa meluas ke delapan daerah lain. Sebelum situasinya memburuk, dunia harus segera mengambil langkah nyata. Tanda-tanda perubahan iklim bukan hanya itu. Semua berjalan cepat, lanjut Steiner.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mendesak agar ada tindakan terpadu dan menyerukan negara-negara maju memimpin aksi mitigasi dampak perubahan iklim. Negara-negara berkembang juga agar ikut berperan.

Aksi mengatasi cuaca ekstrem harus semakin sering dan intens di negara-negara kaya dan miskin. Jangan hanya menghancurkan kehidupan, kata Ban di DK PBB terkait masalah itu.

Pertemuan darurat

Sebelumnya dilaporkan, Afrika Timur (Kenya, Somalia, dan Etiopia) mengalami darurat pangan. Sekitar 12 juta orang terancam kelaparan. PBB, Kamis, menyerukan agar segera diadakan pertemuan darurat guna memobilisasi pangan ke kawasan itu.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengatakan, Kenya dan Etiopia terpukul akibat kekeringan yang parah selama bertahun-tahun. FAO, didukung Ketua Negara G-20, Perancis, menyerukan agar komunitas internasional menggelar pertemuan darurat di Kantor Pusat FAO di Roma, Italia, Senin mendatang.

Menteri dan wakil-wakil dari 191 negara anggota, badan lain PBB, lembaga nonpemerintah, serta bank pembangun regional menghadiri pertemuan itu. Lembaga bantuan Inggris, Oxfam, menuding Barat lamban merespons krisis Afrika.

Sumber: Kompas.Com