Last Updated on Friday, 29 July 2011 11:11
Written by Administrator
Friday, 29 July 2011 00:00
WBHNEWS, Beberapa proyek percontohan REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and Degradation), upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan, telah berjalan.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat lokal yang dilibatkan belum memahami tujuan dari proyek ini.
Apa yang terjadi di Desa Petak Puti di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah, adalah salah satu contohnya. Di desa yang menjadi proyek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) hasil kerja sama Indonesia Australia dilakukan itu, masyarakat justru khawatir tentang proyek percontohan yang dijalankan.
“Tahun 2013, proyek KFCP ini kan berakhir. Kami khawatir nanti mereka akan menjadi hak kami. Hak itu misalnya kebun. Sampai sekarang kami tidak tahu apakah nanti akan terjadi seperti itu atau tidak,” ungkap Yuyo P Dulin, Kepala Desa Petak Puti, pada Senin (18/7/2011).
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, masyarakat Petak Puti mengalami trauma akan pengalaman masa lalu. Yuyo menjelaskan, sekitar tahun 2004, ada pihak yang datang serta melaksanakan proyeknya tanpa izin dan merugikan masyarakat setempat. Hal lain yang menjadi kekhawatiran adalah pelaksanaan REDD+ nantinya.
“Bagaimana nasib kami kalau REDD+ berjalan karena nanti hutan tidak dapat dijangkau manusia. Bagaimana kalau kita punya kebutuhan. Mau bikin kandang ayam atau rumah misalnya,” jelas Yuyo.
Menurut Yuyo, banyak hal tentang REDD+ yang belum dimengerti masyarakat. Dirinya sendiri mengaku bahwa hanya memahami REDD+ sebatas pada upaya mengurangi gas rumah kaca, belum pada semua konsekuensi jika REDD+ dijalankan nantinya.
Yuyo mengungkapkan, masyarakat perlu diberi pengetahuan soal REDD+ dan konsekuensinya. Yuyo juga meminta jaminan bahwa REDD+ ataupun proyek percontohannya tidak mengambil hak masyarakat.
Selain itu, menurut Yuyo, di luar soal REDD+, ada hal lebih penting yang perlu diupayakan jika nanti masyarakat benar-benar tidak bisa mengakses hutan. Ia menaruh harapan besar pada soal mata pencaharian alternatif sehingga masyarakat tetap bisa berusaha meningkatkan taraf hidupnya.
“Sekarang masyarakat bergantung pada karet dan ikan. Bagaimana KFCP juga ikut memikirkan hal ini. Jadi bagaimana masa depannya nanti Petak Puti ini,” kata Yuyo. Mata pencaharian alternatif penting sebab beberapa warga masih melakukan praktik yang merusak lingkungan, seperti menambang emas.
Sumber: Kompas.Com