Studi Sosial Ekonomi dan Potensi HHBK di Desa Menerima Izin HKm Kabupaten Lahat Kecamatan Mulak Ulu

WBH, Kabupaten Lahat – HkM atau yang biasa disebut dengan Hutan Kemasyarakatan merupakan salah program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang merupakan masuk dalam program Kehutanan Sosial. HkM merupakan salah satu dari program kehutanan sosial selain program Hutan Desa (HD). HKm Kabupaten Lahat yang sudah keluar SK Areal Kerja Nomor : SK 540/Menhut-II/2013 terletak di Desa Pengentanan Kecamatan Mulak Ulu. Jarak usulan sampai keluarnya izin SK ini selisih 2 (dua) tahun. Masih ada 1 (satu) HkM lagi yang belum keluar SK-nya yaitu desa Lawang Agung yang baru diusulkan pada tahun 2013.
Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pemberdayaan masyarakat dilihat sebagai upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar mereka mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka kesejahteraan masyarakat. HKm hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dimana kawasan tersebut menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat.
Program Perhutanan Sosial mempunyai target capaian sebesar 500.000 ha/tahun untuk HKm dan Hutan Desa (HD) hanya tercapai rata-rata 10%tahun (dihitung sejak tahun 2007).  Hal ini dikarenakan pelaksanaan program tersebut masih kendala oleh beberapa masalah.

Setelah ruang kelola didapatkan ada beberapa kegiatan pendampingan masyarakat yang berfungsi menguatkan kelembagaan dan masyarakat, mempertahankan dan memperluas ruang kelola untuk menjamin kedaulatan atas umber daya alam (air, pangan, hutan dan energi) dalam melakukan pengelolaan. Untuk berjalannya pendampingan berjalan optimal perlu adanya data dasar yang mendukung yang antara lain melalui survey sosial ekonomi masyarakat.

Pada saat ini HKm ini sudah keluar SK Bupati Lahat No. 522/08/KEP/ Dishutbun/2015 tentang pemberian izin usaha pemanfaatn Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) yang ditujukan kepada Kelompok Tani “Bersama”. Dimana kawasan HKm ini berada di kawasan hutan lindung Bukit Jambul Patah. Dalam point keempat dalam SK Bupati tersebut bahwa pemegang IUPHKm berhak untuk memanfaatkan Jasa Lingkungan dan Memanfaatkan hasil hutan bukan kayu.

Sehubungan sesuai point keempat SK Bupati Lahat No. 522/08/KEP/ Dishutbun/2015 tentang Penerima izin berhak memanfaatkan jasa lingkungan dengan memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu. Hal ini sesuai ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pedoman ini pemanfaatan hasil hutan non kayu adalah melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan.

Beberapa jenis HHBK mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, antara lain: rotan, madu, kemiri, gaharu, dan Kopi Serta karet. Jenis-jenis tersebut memiliki prospek pasar baik di dalam maupun di luar negeri. Berdasarkan ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 1 butir 13, hasil hutan adalah benda-benda hayati dan non hayati dan turunannya serta jasa yang berasal dari hutan. Hal ini telah dijabarkan dalam Permenhut No.P.35/Menhut-II/2007 tentang HHBK meliputi 7 kelompok, dimana jasa lingkungan yang berasal dari hutan tidak termasuk HHBK.

Melalui survey sosial ekonomi dan potensi Hasil Hutan Bukan Kayu  akan tergali informasi-informasi yang dibutuhkan untuk menguatkan dalam hal pengelolaan dan ekonomi masyarakatitu sendiri.

Kegiatan Studi yang dilaksanakan 8 (delapan) Hari ini, 30 Oktober – 6 November 2015 Bertujuan untuk Mengumpulkan data awal tentang sosial ekonomi masyarakat penerima Izin HKm dan Desa sekitarnya dan Mengidentifikasi Hasil Hutan Non Kayu di kawasan HKm dan 4 (empat) Desa Prioritas survey yaitu Desa Datar Balam, Desa Pengetaan, Desa Padang Masyat, Desa Pindaian dengan Keluaran Hasil Kegiatan adalah Tersediannya dokumen survey sosial masyarakat dan Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu di Desa yang mendapatkan Izin kerja HKm dan di Desa Sekitarnya.

Studi Potensi HHBK Hutan Desa di Semende Muara Enim

WBH, Muara Enim – Kegiatan Studi Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Hutan Desa Semende dilaksanakan dari tanggal 9 – 21 September 2015. Kegiatan ini bertujuan Mengetahui jenis dan potensi hasil Hutan Non Kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan Identifikasi nilai ekonomi dari Hasil Hutan Bukan Kayu dan pengaruhnya terhadap pendapatan masyarakat sekitar Hutan Desa. Studi ini dilaksanakan di 6 (enam) Desa yang di saring dari 12 Hutan Desa yang telah keluar izin wilayah kerjannya. Pemilihan di dasarkan atas presentase Tutupan Hutan di Lahan Hutan Desa dan kepastian wilayah areal kerja hutan desa mereka. Kegiatan ini juga dibantu oleh pihak UPTD Penyuluh Kehutanan dan mayarakat desa yang di prioritaskan.

Dari Hasil Kegiatan ini ada beberapa potensi yang telah digali yang ditemukan di 6 Desa Tersebut yang antara lain : Buah Rotan Jernang, Rotan, Bambu Kacang Barangan dan Kayu Manis dan beberapa jenis lainnya. Jernang merupakan prospek potensi yang bagus
kedepannya hal ini telah ada tempat pengumpul dan pengolahan getah jernang di Desa tanjung Agung. Buah jernang yang diambil resin (Getah yang telah mengeras) mempunyai nilai yang tinggi, setidaknya dalam penjualan resinnya dalam ukuran 1 ons didesa tersebut bisa mencapai Rp 125.000-Rp 250.000. Tetapi kegiatan ini selain sosialisasi kepada masyarakat lokal untuk tidak mengambil umbut dari jernang karena akan mematikan dari jernang tersebut, selain perlu adanya budidaya jernang dan hal ini perlu mencontoh dari daerah Provinsi Jambi yang sudah melakukan pembudidayaan terutama di daerah Silamban dan Sigatal.

Selain Rotan Jernang juga terdapat jenis rotan lainnya yang bisa diambil manfaatnya terutama batangnya berdasarkan penggalian informasi bahwa kebutuhan rotan hanya sebatas kebutuhan rumah tangga belum dimanfaatkan untuk perdagangan sekala besar. Hal ini dikarenakan belum adanya keahlian yang dimiliki oleh masyarakat. Begitu juga tanaman jenis bambu masyarakat belum mempunyai keahlian dalam pengelolaannya.

Buah Barangan atau sarangan atau yang dikenal dengan Cheesnut (kacang keju) merupakan potensi yang perlu digali dan juga fungsi pasarnya perlu ditinjau lagi. Karena kacang ini merupakan produk ekspor yang sangat digemari oleh masyarakat Eropa dan Amerika. Selama ini masyarakat menjualnya dalam hitungan Cantingan (Kaleng susu) dengan harga 15.000 satu canting. Berdasarkan penelitian jenis pohon kacang barangan dalam family Fagaceae ini cukup mendominasi di areal hutan lindung di Semende. Madu, Kayu manis dan Aren merupakan salah satu potensi yang cukup baik diareal tersebut tetapi pengelolaan melalui budidaya yang perlu ditingkatkan.

Jenis buah-buahan seperti Durian, Nangka, Petai dan Jengkol merupakan produk unggulan masyarakat tetapi hanya durian yang saat ini yang bisa mereka kelola menjadi produk sampingan. Jenis buah lainnya biasanya mereka jual langsung kep Pasaran.

Selain itu tanaman obat-obatan potensi cukup tinggi berdasarkan penggalian informasi dan kunjungan di lapangan bersama ahli pengobatan tradisional banyak tanaman hutan bisa digunakan untuk obat-obatan. Tentunya bila ada penelitian yang lebih mendetil tentang jenis dan manfaat jenis tanaman tentu sangat bermanfaat bagi dunia Kesehatan.

Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu di Hutan Desa Semende masih cukup baik dan lebih baik lagi bila dilakukan pengelolaan secara baik oleh masyarakat. Dimana Masyarakat lokal harus dilatih untuk meningkatkan keahlian mereka mengelola bahan mentah menjadi barang jadi. Disamping pembudidayaan jenis tanaman yang berpotensi perlu dilakukan disamping untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat juga sekaligus mempertahankan tanaman asli yang ada di kawasan hutan.

SEMILOKA Permasalahan dan Solusi Pemanfaatan Ruang di Provinsi Sumatera Selatan

Wilayah ruang provinsi Sumatera Selatan berdasarkan fungsi kawasan memiliki luasan mencapai 8.811.291 Ha, yang terdiri dari fungsi Areal Penggunaan Lain (APL) yang luasnya 5.315.917 Ha dan fungsi kawasan hutan yang luasnya 3.495.374 Ha (SK Menhut No. 866 tahun 2014).
Berdasarkan fungsi ruang di atas, dari hasil overlay spasial peta pemanfaatan ruang perizinan (kehutanan, perkebunan, pertambangan) dan pemanfaatan lainnya yang juga dikoreksi dengan peta landcover dari peta citra landsat-8, telah ditemukan kondisi eksisting yang dapat dikompilasi dalam bentuk fakta-fakta
pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan

Pada APL telah ada Izin Usaha Perkebunan (IUP) mencapai luasan 1.810.786 Ha dan pada fungsi kawasan hutan telah ada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Hutan Tanaman, Restorasi Ekosistem, dan Jasa Lingkungan) dan
Izin Perhutanan Sosial (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat) mencapai luasan 1.553.787 Ha, sedangkan pada fungsi keduanya (APL dan kawasan hutan) terdapat juga Izin Usaha Pertambangan yang luasannya mencapai 2.917.080 Ha.
Terdapat tumpang tindih (over-lapping) antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan IUPHHK yang luasannya mencapai 35.916 Ha, tumpang tindih (overlapping) antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan fungsi Kawasan Hutan yang luasannya mencapai 109.225 Ha, serta juga tumpang tindih (overlapping) IUPHHK & Izin Perhutanan Sosial dengan fungsi bukan kawasan hutan (APL) seluas 104.816 Ha.
Pada pemanfaatan ruang melalui Izin Usaha Perkebunan (IUP) terdapat juga ketidaksinkronan antara luas IUP dengan kondisi luas eksistingnya; pada luas IUP di kabupaten Banyuasin mencapai 217.127 Ha dengan luas eksistingnya telah mencapai 258.473 Ha, IUP di kabupaten Musi Banyuasin luasannya 254.407 Ha dengan luas eksistingnya mencapai 311.116 Ha, IUP di kabupaten MURA & MURATARA luasannya 86.921 Ha dengan luasan eksistingnya mencapai 119.665 Ha, luas IUP di kabupaten Muara Enim & PALI adalah 107.068 Ha dengan luasan eksistingnya mencapai 122.902 Ha, dan luas IUP di kabupaten Ogan Komering Ilir mencapai 279.232 Ha dengan luasan eksistingnya telah mencapai 291.804 Ha.
Disamping itu, juga terdapat pemanfaatan ruang untuk pemukiman masyarakat (Desa/kelurahan dan atau dusun) yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan (Hutan Lindung, Hutan Produksi, Suaka Margasatwa, dan taman Nasional) yang jumlah-nya mencapai 442 Desa/Kelurahan.
Dalam aspek tutupan hutan di provinsi Sumatera Selatan lima tahun terkahir (tahun 2009 dan tahun 2014) telah diidentifikasi kondisi deforestasinya (konversi dari hutan menjadi bukan hutan) mencapai 166.961 Ha atau 33.255 Ha/tahun.

Kondisi pemanfaatan spasial di atas, telah disusun dalam bentuk lembar fakta (fact-sheets) oleh Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Selatan untuk Tata Kelola Hutan & Lahan Yang Baik, yang dapat menjadi bahan masukan kepada semua pihak (Pemerintah, Swasta, dan Akademisi, dan Masyarakat Sipil) dalam rangka mendukung perbaikan tata kelola hutan dan lahan di masa yang akan datang.

Salah satu kebijakan Pemerintah yaitu membangun Jaringan Informasi Geospasial Daerah merupakan gagasan cerdas untuk perbaikan sistem informasi geospasial dalam upaya mewujudkan keterbukaan informasi, akuntabilitas, dan partisipasi semua pihak yang belum terimplementasi dengan baik di provinsi Sumatera Selatan.

SEMILOKA WBH (5)Menurut Bapak Adiosyafri, S.Si (Spesialis GIS Wahana Bumi Hijau) Dari berbagai permasalahan dan potensi perbaikan dalam pemanfaatan ruang tersebut maka dianggap perlu untuk didiskusikan guna mendapatkan solusi bersama melalui kegiatan Seminar dan Lokakarya. sehingga Tujuan dari kegiatan ini tercapai, sebagaimana yang telah disampaikannya tujuan sebelum melakukan paparan lembar fakta, tujuannya Pertama, Menyampaikan hasil temuan spasial berupa lembaran fakta (fact-sheet) tentang pemanfaatan ruang spasial provinsi Sumatera Selatan kepada para-pihak. Kedua, Membangun kesepahaman para-pihak (Pemerintah, masyarakat sipil, akademisi) tentang permasalahan pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan dan mencari solusi bersama untuk perbaikan. dan yang Ketiga, Mendukung kebijakan pengembangan Jaringan Informasi Geospasial, dalam upaya perbaikan tata kelola hutan dan lahan di provinsi Sumsel. Dengan Hasil yang diharapkan; Para pihak mendapatkan informasi tentang hasil kajian pemanfaatan ruang di Sumatera Selatan; Adanya komitmen para pihak untuk melakukan perbaikan pemanfaatan ruang dan mengimplementasikan kebijakan pegembangan Jaringan Informasi Geospasial di provinsi Sumatera Selatan; Adanya rekomendasi untuk perbaikan pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan.

Fakhrizal Pulungan, S.Si (Panitia Pelaksana) mengatakan SEMILOKA ini akan dilaksanakan selama 2 hari yaitu Selasa Rabu, 5 6 Mei 2015 Di Imara Hotel Sudirman (Swissbellin-Sahid Imara) Jl. Jend. Sudirman (Simpang Sekip) Palembang. Kegiatan SEMILOKA ini dilakukan oleh Wahana Bumi Hijau bersama Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan Provinsi Sumsel, didukung oleh The Asia Foundation. Tegasnya

Peserta SEMILOKA ini adalah SKPD, NGOs, CSO, dan Akademisi yang terkait pada pengelolaan Sektor Tata kelola Hutan dan Lahan terdiri dari :
1. Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kabupaten Banyuasin,
Pemerintah Kab. Musi Banyuasin, Pemerintah Kab. Muara Enim, Pemerintah kab.
Ogan Komering Ilir dan Pemerintah Kab. Musirawas.
2. Lembaga Non-Pemerintah (NGOs), Kelompok Masyarakat Sipil (CSO) dan
Akademisi tingkat Nasional dan Propinsi Sumatera Selatan.

Adapun komposisi peserta yang diundang ada sebagai berikut :
Komposisi peserta:
1 Dinas/Instansi tingkat provinsi Sumsel 8 perwakilan
2 Dinas/Instansi tingkat kabupaten Banyuasin 3 perwakilan
3 Dinas/Instansi tingkat kabupaten MUBA 4 perwakilan
4 Dinas/Instansi tingkat kabupaten Muara Enim 4 perwakilan
5 Dinas/Instansi tingkat kabupaten OKI 4 perwakilan
6 Dinas/Instansi tingkat kabupaten MURA 4 perwakilan
7 Instansi/Kelompok Masyarakat Sipil (NGOs, CSO, dan Akademisi) tingkat provinsi Sumsel 16 perwakilan
8 Kelompok Masyarakat Sipil (NGOs, CSO, dan Akademisi) tingkat Kabupaten (MURA, MUBA, Banyuasin, OKI, dan Muara Enim) 9 perwakilan sehingga Jumlah Total Peserta 52 perwakilan.

SEMILOKA Permasalahan dan Solusi Pemanfaatan Ruang di Provinsi Sumatera Selatan

Wilayah ruang provinsi Sumatera Selatan berdasarkan fungsi kawasan memiliki luasan mencapai 8.811.291 Ha, yang terdiri dari fungsi Areal Penggunaan Lain (APL) yang luasnya 5.315.917 Ha dan fungsi kawasan hutan yang luasnya 3.495.374 Ha (SK Menhut No. 866 tahun 2014).
Berdasarkan fungsi ruang di atas, dari hasil overlay spasial peta pemanfaatan ruang perizinan (kehutanan, perkebunan, pertambangan) dan pemanfaatan lainnya yang juga dikoreksi dengan peta landcover dari peta citra landsat-8, telah ditemukan kondisi eksisting yang dapat dikompilasi dalam bentuk fakta-fakta
pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan

Pada APL telah ada Izin Usaha Perkebunan (IUP) mencapai luasan 1.810.786 Ha dan pada fungsi kawasan hutan telah ada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Hutan Tanaman, Restorasi Ekosistem, dan Jasa Lingkungan) dan
Izin Perhutanan Sosial (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat) mencapai luasan 1.553.787 Ha, sedangkan pada fungsi keduanya (APL dan kawasan hutan) terdapat juga Izin Usaha Pertambangan yang luasannya mencapai 2.917.080 Ha.
Terdapat tumpang tindih (over-lapping) antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan IUPHHK yang luasannya mencapai 35.916 Ha, tumpang tindih (overlapping) antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan fungsi Kawasan Hutan yang luasannya mencapai 109.225 Ha, serta juga tumpang tindih (overlapping) IUPHHK & Izin Perhutanan Sosial dengan fungsi bukan kawasan hutan (APL) seluas 104.816 Ha.
Pada pemanfaatan ruang melalui Izin Usaha Perkebunan (IUP) terdapat juga ketidaksinkronan antara luas IUP dengan kondisi luas eksistingnya; pada luas IUP di kabupaten Banyuasin mencapai 217.127 Ha dengan luas eksistingnya telah mencapai 258.473 Ha, IUP di kabupaten Musi Banyuasin luasannya 254.407 Ha dengan luas eksistingnya mencapai 311.116 Ha, IUP di kabupaten MURA & MURATARA luasannya 86.921 Ha dengan luasan eksistingnya mencapai 119.665 Ha, luas IUP di kabupaten Muara Enim & PALI adalah 107.068 Ha dengan luasan eksistingnya mencapai 122.902 Ha, dan luas IUP di kabupaten Ogan Komering Ilir mencapai 279.232 Ha dengan luasan eksistingnya telah mencapai 291.804 Ha.
Disamping itu, juga terdapat pemanfaatan ruang untuk pemukiman masyarakat (Desa/kelurahan dan atau dusun) yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan (Hutan Lindung, Hutan Produksi, Suaka Margasatwa, dan taman Nasional) yang jumlah-nya mencapai 442 Desa/Kelurahan.
Dalam aspek tutupan hutan di provinsi Sumatera Selatan lima tahun terkahir (tahun 2009 dan tahun 2014) telah diidentifikasi kondisi deforestasinya (konversi dari hutan menjadi bukan hutan) mencapai 166.961 Ha atau 33.255 Ha/tahun.

Kondisi pemanfaatan spasial di atas, telah disusun dalam bentuk lembar fakta (fact-sheets) oleh Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Selatan untuk Tata Kelola Hutan & Lahan Yang Baik, yang dapat menjadi bahan masukan kepada semua pihak (Pemerintah, Swasta, dan Akademisi, dan Masyarakat Sipil) dalam rangka mendukung perbaikan tata kelola hutan dan lahan di masa yang akan datang.

Salah satu kebijakan Pemerintah yaitu membangun Jaringan Informasi Geospasial Daerah merupakan gagasan cerdas untuk perbaikan sistem informasi geospasial dalam upaya mewujudkan keterbukaan informasi, akuntabilitas, dan partisipasi semua pihak yang belum terimplementasi dengan baik di provinsi Sumatera Selatan.

SEMILOKA WBH (5)Menurut Bapak Adiosyafri, S.Si (Spesialis GIS Wahana Bumi Hijau) Dari berbagai permasalahan dan potensi perbaikan dalam pemanfaatan ruang tersebut maka dianggap perlu untuk didiskusikan guna mendapatkan solusi bersama melalui kegiatan Seminar dan Lokakarya. sehingga Tujuan dari kegiatan ini tercapai, sebagaimana yang telah disampaikannya tujuan sebelum melakukan paparan lembar fakta, tujuannya Pertama, Menyampaikan hasil temuan spasial berupa lembaran fakta (fact-sheet) tentang pemanfaatan ruang spasial provinsi Sumatera Selatan kepada para-pihak. Kedua, Membangun kesepahaman para-pihak (Pemerintah, masyarakat sipil, akademisi) tentang permasalahan pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan dan mencari solusi bersama untuk perbaikan. dan yang Ketiga, Mendukung kebijakan pengembangan Jaringan Informasi Geospasial, dalam upaya perbaikan tata kelola hutan dan lahan di provinsi Sumsel. Dengan Hasil yang diharapkan; Para pihak mendapatkan informasi tentang hasil kajian pemanfaatan ruang di Sumatera Selatan; Adanya komitmen para pihak untuk melakukan perbaikan pemanfaatan ruang dan mengimplementasikan kebijakan pegembangan Jaringan Informasi Geospasial di provinsi Sumatera Selatan; Adanya rekomendasi untuk perbaikan pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan.

Fakhrizal Pulungan, S.Si (Panitia Pelaksana) mengatakan SEMILOKA ini akan dilaksanakan selama 2 hari yaitu Selasa Rabu, 5 6 Mei 2015 Di Imara Hotel Sudirman (Swissbellin-Sahid Imara) Jl. Jend. Sudirman (Simpang Sekip) Palembang. Kegiatan SEMILOKA ini dilakukan oleh Wahana Bumi Hijau bersama Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan Provinsi Sumsel, didukung oleh The Asia Foundation. Tegasnya

Peserta SEMILOKA ini adalah SKPD, NGOs, CSO, dan Akademisi yang terkait pada pengelolaan Sektor Tata kelola Hutan dan Lahan terdiri dari :
1. Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kabupaten Banyuasin,
Pemerintah Kab. Musi Banyuasin, Pemerintah Kab. Muara Enim, Pemerintah kab.
Ogan Komering Ilir dan Pemerintah Kab. Musirawas.
2. Lembaga Non-Pemerintah (NGOs), Kelompok Masyarakat Sipil (CSO) dan
Akademisi tingkat Nasional dan Propinsi Sumatera Selatan.

Adapun komposisi peserta yang diundang ada sebagai berikut :
Komposisi peserta:
1 Dinas/Instansi tingkat provinsi Sumsel 8 perwakilan
2 Dinas/Instansi tingkat kabupaten Banyuasin 3 perwakilan
3 Dinas/Instansi tingkat kabupaten MUBA 4 perwakilan
4 Dinas/Instansi tingkat kabupaten Muara Enim 4 perwakilan
5 Dinas/Instansi tingkat kabupaten OKI 4 perwakilan
6 Dinas/Instansi tingkat kabupaten MURA 4 perwakilan
7 Instansi/Kelompok Masyarakat Sipil (NGOs, CSO, dan Akademisi) tingkat provinsi Sumsel 16 perwakilan
8 Kelompok Masyarakat Sipil (NGOs, CSO, dan Akademisi) tingkat Kabupaten (MURA, MUBA, Banyuasin, OKI, dan Muara Enim) 9 perwakilan sehingga Jumlah Total Peserta 52 perwakilan.

SEMILOKA Permasalahan dan Solusi Pemanfaatan Ruang di Provinsi Sumatera Selatan


Written by Administrator


Saturday, 09 May 2015 17:23

Wilayah ruang provinsi Sumatera Selatan berdasarkan fungsi kawasan memiliki luasan mencapai 8.811.291 Ha, yang terdiri dari fungsi Areal Penggunaan Lain (APL) yang luasnya 5.315.917 Ha dan fungsi kawasan hutan yang luasnya 3.495.374 Ha (SK Menhut No. 866 tahun 2014).
Berdasarkan fungsi ruang di atas, dari hasil overlay spasial peta pemanfaatan ruang perizinan (kehutanan, perkebunan, pertambangan) dan pemanfaatan lainnya yang juga dikoreksi dengan peta landcover dari peta citra landsat-8, telah ditemukan kondisi eksisting yang dapat dikompilasi dalam bentuk fakta-fakta
pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan

Pada APL telah ada Izin Usaha Perkebunan (IUP) mencapai luasan 1.810.786 Ha dan pada fungsi kawasan hutan telah ada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Hutan Tanaman, Restorasi Ekosistem, dan Jasa Lingkungan) dan
Izin Perhutanan Sosial (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat) mencapai luasan 1.553.787 Ha, sedangkan pada fungsi keduanya (APL dan kawasan hutan) terdapat juga Izin Usaha Pertambangan yang luasannya mencapai 2.917.080 Ha.
Terdapat tumpang tindih (over-lapping) antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan IUPHHK yang luasannya mencapai 35.916 Ha, tumpang tindih (overlapping) antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan fungsi Kawasan Hutan yang luasannya mencapai 109.225 Ha, serta juga tumpang tindih (overlapping) IUPHHK & Izin Perhutanan Sosial dengan fungsi bukan kawasan hutan (APL) seluas 104.816 Ha.
Pada pemanfaatan ruang melalui Izin Usaha Perkebunan (IUP) terdapat juga ketidaksinkronan antara luas IUP dengan kondisi luas eksistingnya; pada luas IUP di kabupaten Banyuasin mencapai 217.127 Ha dengan luas eksistingnya telah mencapai 258.473 Ha, IUP di kabupaten Musi Banyuasin luasannya 254.407 Ha dengan luas eksistingnya mencapai 311.116 Ha, IUP di kabupaten MURA & MURATARA luasannya 86.921 Ha dengan luasan eksistingnya mencapai 119.665 Ha, luas IUP di kabupaten Muara Enim & PALI adalah 107.068 Ha dengan luasan eksistingnya mencapai 122.902 Ha, dan luas IUP di kabupaten Ogan Komering Ilir mencapai 279.232 Ha dengan luasan eksistingnya telah mencapai 291.804 Ha.
Disamping itu, juga terdapat pemanfaatan ruang untuk pemukiman masyarakat (Desa/kelurahan dan atau dusun) yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan (Hutan Lindung, Hutan Produksi, Suaka Margasatwa, dan taman Nasional) yang jumlah-nya mencapai 442 Desa/Kelurahan.
Dalam aspek tutupan hutan di provinsi Sumatera Selatan lima tahun terkahir (tahun 2009 dan tahun 2014) telah diidentifikasi kondisi deforestasinya (konversi dari hutan menjadi bukan hutan) mencapai 166.961 Ha atau 33.255 Ha/tahun.

Kondisi pemanfaatan spasial di atas, telah disusun dalam bentuk lembar fakta (fact-sheets) oleh Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Selatan untuk Tata Kelola Hutan & Lahan Yang Baik, yang dapat menjadi bahan masukan kepada semua pihak (Pemerintah, Swasta, dan Akademisi, dan Masyarakat Sipil) dalam rangka mendukung perbaikan tata kelola hutan dan lahan di masa yang akan datang.

Salah satu kebijakan Pemerintah yaitu membangun Jaringan Informasi Geospasial Daerah merupakan gagasan cerdas untuk perbaikan sistem informasi geospasial dalam upaya mewujudkan keterbukaan informasi, akuntabilitas, dan partisipasi semua pihak yang belum terimplementasi dengan baik di provinsi Sumatera Selatan.

SEMILOKA WBH (5)Menurut Bapak Adiosyafri, S.Si (Spesialis GIS Wahana Bumi Hijau) Dari berbagai permasalahan dan potensi perbaikan dalam pemanfaatan ruang tersebut maka dianggap perlu untuk didiskusikan guna mendapatkan solusi bersama melalui kegiatan Seminar dan Lokakarya. sehingga Tujuan dari kegiatan ini tercapai, sebagaimana yang telah disampaikannya tujuan sebelum melakukan paparan lembar fakta, tujuannya Pertama, Menyampaikan hasil temuan spasial berupa lembaran fakta (fact-sheet) tentang pemanfaatan ruang spasial provinsi Sumatera Selatan kepada para-pihak. Kedua, Membangun kesepahaman para-pihak (Pemerintah, masyarakat sipil, akademisi) tentang permasalahan pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan dan mencari solusi bersama untuk perbaikan. dan yang Ketiga, Mendukung kebijakan pengembangan Jaringan Informasi Geospasial, dalam upaya perbaikan tata kelola hutan dan lahan di provinsi Sumsel. Dengan Hasil yang diharapkan; Para pihak mendapatkan informasi tentang hasil kajian pemanfaatan ruang di Sumatera Selatan; Adanya komitmen para pihak untuk melakukan perbaikan pemanfaatan ruang dan mengimplementasikan kebijakan pegembangan Jaringan Informasi Geospasial di provinsi Sumatera Selatan; Adanya rekomendasi untuk perbaikan pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan.

Fakhrizal Pulungan, S.Si (Panitia Pelaksana) mengatakan SEMILOKA ini akan dilaksanakan selama 2 hari yaitu Selasa Rabu, 5 6 Mei 2015 Di Imara Hotel Sudirman (Swissbellin-Sahid Imara) Jl. Jend. Sudirman (Simpang Sekip) Palembang. Kegiatan SEMILOKA ini dilakukan oleh Wahana Bumi Hijau bersama Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan Provinsi Sumsel, didukung oleh The Asia Foundation. Tegasnya

Peserta SEMILOKA ini adalah SKPD, NGOs, CSO, dan Akademisi yang terkait pada pengelolaan Sektor Tata kelola Hutan dan Lahan terdiri dari :
1. Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kabupaten Banyuasin,
Pemerintah Kab. Musi Banyuasin, Pemerintah Kab. Muara Enim, Pemerintah kab.
Ogan Komering Ilir dan Pemerintah Kab. Musirawas.
2. Lembaga Non-Pemerintah (NGOs), Kelompok Masyarakat Sipil (CSO) dan
Akademisi tingkat Nasional dan Propinsi Sumatera Selatan.

Adapun komposisi peserta yang diundang ada sebagai berikut :
Komposisi peserta:
1 Dinas/Instansi tingkat provinsi Sumsel 8 perwakilan
2 Dinas/Instansi tingkat kabupaten Banyuasin 3 perwakilan
3 Dinas/Instansi tingkat kabupaten MUBA 4 perwakilan
4 Dinas/Instansi tingkat kabupaten Muara Enim 4 perwakilan
5 Dinas/Instansi tingkat kabupaten OKI 4 perwakilan
6 Dinas/Instansi tingkat kabupaten MURA 4 perwakilan
7 Instansi/Kelompok Masyarakat Sipil (NGOs, CSO, dan Akademisi) tingkat provinsi Sumsel 16 perwakilan
8 Kelompok Masyarakat Sipil (NGOs, CSO, dan Akademisi) tingkat Kabupaten (MURA, MUBA, Banyuasin, OKI, dan Muara Enim) 9 perwakilan sehingga Jumlah Total Peserta 52 perwakilan.

Setelah Penantian Panjang untuk Hutan Desa Kepayang

Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera selatan, dilihat dari Sungai Lalan. Foto: Sigid Widagdo

Sebuah portal besi menghadang perjalanan. Seutas tali terikat di pos penjaga, mengharuskan kami turun dari kendaraan dan melapor ke petugas jaga. Kami mau ke Kapayang. Tali pengikat portalpun terbuka.
Pohon sawit berbaris teratur, lurus memanjang seakan tak berkesudahan. Inilah perkebunan sawit PT. London Sumatera (Lonsum). Jalan tanah berbatu kerikil harus dilalui.
Sekitar 20 kilometer, sebelum harus terhadang portal besi lain. Laporan lagi. Kali ini portal PT. Pinang Witmas Sejati (PWS). Lagi-lagi, jalan tanah dengan sawit berbaris berikut kanal. Tampak juga bangunan kantor dan camp karyawan.
Kurang lebih delapan kilometer, tampak beberapa rumah kayu, bangunan sarang walet, industri kecil kayu olahan, masjid, dan beberapa warung. Inilah Dusun III, Desa Kepayang.
Kami menuju sungai. Sebuah rakit kayu tertambat di tepian siap membawa kami menyebrangi sungai menuju Dusun I, Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Dari atas rakit, tampak rumah kayu berbaris tidak beraturan di tepian sungai. Ada juga rumah apung, terombang ambing mengikuti riak air. Tampak beragam aktivitas warga. Ada yang sedang mandi, mencuci dan lain-lain.
Sungai Lalan, yang kami lalui adalah saksi sejarah asal muasal Desa Kepayang. Dalam catatan studi sosial ekonomi Wahana Bumi Hijau (WBH), Suku Anak Dalam, dahulu hidup di hutan Kepayang. Sejak penebangan kayu alam era hak pengusahaan hutan (HPH) pada 1970-an, SAD mulai terusik. Sebagian mereka beradaptasi, yang lain mencari tempat hidup baru.
Dusun Kepayang, bagian pemukiman masyarakat Desa Muara Merang, dulu HPH yang berakses di Sungai Kepayang. Pemukiman di dusun ini terus berkembang, banyak mantan karyawan HPH menetap. Terlebih sejak HPH habis pada 1999. Masyarakat terbiasa mendapat penghasilan dari kayu. Muncul pabrik pengelolaan kayu di sekitar, penebangan liarpun terjadi di eks HPH ini.
Penduduk Desa Kepayang, mayoritas orang Sumsel, tetapi ada juga dari Medan, Bugis dan Kalimantan.
Kepayang, semula dusun dari Desa Muara Merang, memisahkan diri menjadi Desa Kepayang pada 2007. Luas desa sekitar 54.210 hektar, 70% hutan produksi dan 30% alokasi penggunaan lain (APL). Dengan kondisi lahan 39.195 hektar hutan gambut, 15.000 hektar tanah mineral, dan 30 hektar alur sungai.
Kawasan APL Desa Kepayang terkepung sawit seluas 6.000 hektar, dan HTI 9.200 hektar, serta restorasi ekosistem 4.300 hektar. Sedangkan lahan masyarakat dan pemukiman hanya 650 hektar.
Hasil hutan dan perikanan minim, serta akses lahan menyempit sangat mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat Kepayang. Masyarakat mulai menggantungkan pemenuhan kebutuhan ekonomi, sebagai buruh harian lepas di perkebunan.
Keterbatasan lahan jugalah yang membuat mereka mengusulkan hutan Desa Kepayang. Mereka mendapat rekomendasi Bupati Musi Banyuasin 25 Januari 2010. Setelah menanti lama, pada 2014, izin HD dari Kemenhut keluar. Mereka mendapat izin HD seluas 5.170 hektar.
Setelah tiga tahun lebih menunggu SK Menteri Kehutanan tentang penetapan areal kerja hutan Desa Kepayang, akhirnya kami mendapat kejelasan, kata Ibnu Hajar, kepala Desa Kepayang, baru-baru ini.

Kebun karet rakyat di Hutan Desa Kepayang Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. (23/6/14). Foto: Sigid Widagdo

Acara menyambut kehadiran HD Kepayang pun dihelat. Pagi itu, masyarakat Kepayang bergotong royong membersihkan balai desa. Hajar tidak ketinggalan mengayunkan sapu. Bangku meja disusun. Sebuah spanduk bertuliskan Sosialisasi dan Pelatihan Pengelolaan Hutan Desa Kepayang, berlogo Dinas Kehutanan Musi Banyuasin, dipasang.
Menurut Hajar, dengan penetapan HD Kepayang ini, bukan akhir perjuangan, malah awal mewujudkan hutan desa sebagai sumber air, sumber benih, dan penghidupan.
Kini, katanya, masyarakat Kepayang sudah bisa melihat SK Menteri Kehutanan itu. Selanjutnya, pembenahan lembaga pengelola hutan desa (LPHD) Kepayang guna proses perizinan lain.
LPHD Kepayang diharapkan mengajukan hak pengelolaan hutan desa kepada Gubernur Sumsel dan menyusun rencana pengelolaan hutan desa, kata Dayat Nawawi, dari Dinas Kahutanan Musi Banyuasin.
Dalam penyusunan RKHD, katanya, LPHD bisa berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan kabupaten dan provinsi, serta lembaga pendamping hutan desa. Untuk Desa Kepayang, pendamping WBH Palembang.
Deddy Permana, direktur WBH mengatakan, partisipasi masyarakat desa penting dalam setiap tahapan proses perizinan dan pegelolaan hutan desa. Pemerintah, katanya, wajib mendukung proses pendampingan, fasilitasi, pemberdayaan, dan pengawasan juga anggaran.
WBH telah mendampingi sejak awal dengan melakukan beberapa hal, seperti pengembangan kelompok ekonomi, pelatihan dan penelitian, membuat perpustakaan desa, pembibitan dan reboisasi, penebatan parit. Termasuk mengawal usulan HD Kepayang.
Akses menuju HD Kepayang cukup sulit, perlu memilih waktu tepat.Yakni, saat air sungai pasang hingga bisa dilalui perahu ketek. Perahu ketekpun tidak sembarangan, paling baik menggunakan ketek kebutansebutan masyarakat lokal untuk perahu berbentuk kecil dan ramping namun melaju cepat.
Naik perahu sekitar dua jam, dari pusat Desa Kepayang. Kala air surut, siap-siap perjalanan dua jam naik perahu ketek ditambah berjalan kaki menelusuri sungai sambil menarik perahu ketek dua jam lagi!
Menurut Hajar, menuju hutan Kepayang salah satu kendala utama masyarakat. Meskipun begitu, katanya, masyarakat, pemerintah desa, dan LPHD tetap bersemangat mengelola hutan desa yang telah lama dinanti-nantikan.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/07/13/setelah-penantian-panjang-untuk-hutan-desa-kepayang/

Setelah Penantian Panjang untuk Hutan Desa Kepayang

Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera selatan, dilihat dari Sungai Lalan. Foto: Sigid Widagdo

Sebuah portal besi menghadang perjalanan. Seutas tali terikat di pos penjaga, mengharuskan kami turun dari kendaraan dan melapor ke petugas jaga. Kami mau ke Kapayang. Tali pengikat portalpun terbuka.
Pohon sawit berbaris teratur, lurus memanjang seakan tak berkesudahan. Inilah perkebunan sawit PT. London Sumatera (Lonsum). Jalan tanah berbatu kerikil harus dilalui.
Sekitar 20 kilometer, sebelum harus terhadang portal besi lain. Laporan lagi. Kali ini portal PT. Pinang Witmas Sejati (PWS). Lagi-lagi, jalan tanah dengan sawit berbaris berikut kanal. Tampak juga bangunan kantor dan camp karyawan.
Kurang lebih delapan kilometer, tampak beberapa rumah kayu, bangunan sarang walet, industri kecil kayu olahan, masjid, dan beberapa warung. Inilah Dusun III, Desa Kepayang.
Kami menuju sungai. Sebuah rakit kayu tertambat di tepian siap membawa kami menyebrangi sungai menuju Dusun I, Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Dari atas rakit, tampak rumah kayu berbaris tidak beraturan di tepian sungai. Ada juga rumah apung, terombang ambing mengikuti riak air. Tampak beragam aktivitas warga. Ada yang sedang mandi, mencuci dan lain-lain.
Sungai Lalan, yang kami lalui adalah saksi sejarah asal muasal Desa Kepayang. Dalam catatan studi sosial ekonomi Wahana Bumi Hijau (WBH), Suku Anak Dalam, dahulu hidup di hutan Kepayang. Sejak penebangan kayu alam era hak pengusahaan hutan (HPH) pada 1970-an, SAD mulai terusik. Sebagian mereka beradaptasi, yang lain mencari tempat hidup baru.
Dusun Kepayang, bagian pemukiman masyarakat Desa Muara Merang, dulu HPH yang berakses di Sungai Kepayang. Pemukiman di dusun ini terus berkembang, banyak mantan karyawan HPH menetap. Terlebih sejak HPH habis pada 1999. Masyarakat terbiasa mendapat penghasilan dari kayu. Muncul pabrik pengelolaan kayu di sekitar, penebangan liarpun terjadi di eks HPH ini.
Penduduk Desa Kepayang, mayoritas orang Sumsel, tetapi ada juga dari Medan, Bugis dan Kalimantan.
Kepayang, semula dusun dari Desa Muara Merang, memisahkan diri menjadi Desa Kepayang pada 2007. Luas desa sekitar 54.210 hektar, 70% hutan produksi dan 30% alokasi penggunaan lain (APL). Dengan kondisi lahan 39.195 hektar hutan gambut, 15.000 hektar tanah mineral, dan 30 hektar alur sungai.
Kawasan APL Desa Kepayang terkepung sawit seluas 6.000 hektar, dan HTI 9.200 hektar, serta restorasi ekosistem 4.300 hektar. Sedangkan lahan masyarakat dan pemukiman hanya 650 hektar.
Hasil hutan dan perikanan minim, serta akses lahan menyempit sangat mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat Kepayang. Masyarakat mulai menggantungkan pemenuhan kebutuhan ekonomi, sebagai buruh harian lepas di perkebunan.
Keterbatasan lahan jugalah yang membuat mereka mengusulkan hutan Desa Kepayang. Mereka mendapat rekomendasi Bupati Musi Banyuasin 25 Januari 2010. Setelah menanti lama, pada 2014, izin HD dari Kemenhut keluar. Mereka mendapat izin HD seluas 5.170 hektar.
Setelah tiga tahun lebih menunggu SK Menteri Kehutanan tentang penetapan areal kerja hutan Desa Kepayang, akhirnya kami mendapat kejelasan, kata Ibnu Hajar, kepala Desa Kepayang, baru-baru ini.

Kebun karet rakyat di Hutan Desa Kepayang Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. (23/6/14). Foto: Sigid Widagdo

Acara menyambut kehadiran HD Kepayang pun dihelat. Pagi itu, masyarakat Kepayang bergotong royong membersihkan balai desa. Hajar tidak ketinggalan mengayunkan sapu. Bangku meja disusun. Sebuah spanduk bertuliskan Sosialisasi dan Pelatihan Pengelolaan Hutan Desa Kepayang, berlogo Dinas Kehutanan Musi Banyuasin, dipasang.
Menurut Hajar, dengan penetapan HD Kepayang ini, bukan akhir perjuangan, malah awal mewujudkan hutan desa sebagai sumber air, sumber benih, dan penghidupan.
Kini, katanya, masyarakat Kepayang sudah bisa melihat SK Menteri Kehutanan itu. Selanjutnya, pembenahan lembaga pengelola hutan desa (LPHD) Kepayang guna proses perizinan lain.
LPHD Kepayang diharapkan mengajukan hak pengelolaan hutan desa kepada Gubernur Sumsel dan menyusun rencana pengelolaan hutan desa, kata Dayat Nawawi, dari Dinas Kahutanan Musi Banyuasin.
Dalam penyusunan RKHD, katanya, LPHD bisa berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan kabupaten dan provinsi, serta lembaga pendamping hutan desa. Untuk Desa Kepayang, pendamping WBH Palembang.
Deddy Permana, direktur WBH mengatakan, partisipasi masyarakat desa penting dalam setiap tahapan proses perizinan dan pegelolaan hutan desa. Pemerintah, katanya, wajib mendukung proses pendampingan, fasilitasi, pemberdayaan, dan pengawasan juga anggaran.
WBH telah mendampingi sejak awal dengan melakukan beberapa hal, seperti pengembangan kelompok ekonomi, pelatihan dan penelitian, membuat perpustakaan desa, pembibitan dan reboisasi, penebatan parit. Termasuk mengawal usulan HD Kepayang.
Akses menuju HD Kepayang cukup sulit, perlu memilih waktu tepat.Yakni, saat air sungai pasang hingga bisa dilalui perahu ketek. Perahu ketekpun tidak sembarangan, paling baik menggunakan ketek kebutansebutan masyarakat lokal untuk perahu berbentuk kecil dan ramping namun melaju cepat.
Naik perahu sekitar dua jam, dari pusat Desa Kepayang. Kala air surut, siap-siap perjalanan dua jam naik perahu ketek ditambah berjalan kaki menelusuri sungai sambil menarik perahu ketek dua jam lagi!
Menurut Hajar, menuju hutan Kepayang salah satu kendala utama masyarakat. Meskipun begitu, katanya, masyarakat, pemerintah desa, dan LPHD tetap bersemangat mengelola hutan desa yang telah lama dinanti-nantikan.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/07/13/setelah-penantian-panjang-untuk-hutan-desa-kepayang/

Setelah Penantian Panjang untuk Hutan Desa Kepayang


Written by Administrator


Friday, 18 July 2014 14:31

Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera selatan, dilihat dari Sungai Lalan. Foto: Sigid Widagdo

Sebuah portal besi menghadang perjalanan. Seutas tali terikat di pos penjaga, mengharuskan kami turun dari kendaraan dan melapor ke petugas jaga. Kami mau ke Kapayang. Tali pengikat portalpun terbuka.
Pohon sawit berbaris teratur, lurus memanjang seakan tak berkesudahan. Inilah perkebunan sawit PT. London Sumatera (Lonsum). Jalan tanah berbatu kerikil harus dilalui.
Sekitar 20 kilometer, sebelum harus terhadang portal besi lain. Laporan lagi. Kali ini portal PT. Pinang Witmas Sejati (PWS). Lagi-lagi, jalan tanah dengan sawit berbaris berikut kanal. Tampak juga bangunan kantor dan camp karyawan.
Kurang lebih delapan kilometer, tampak beberapa rumah kayu, bangunan sarang walet, industri kecil kayu olahan, masjid, dan beberapa warung. Inilah Dusun III, Desa Kepayang.
Kami menuju sungai. Sebuah rakit kayu tertambat di tepian siap membawa kami menyebrangi sungai menuju Dusun I, Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Dari atas rakit, tampak rumah kayu berbaris tidak beraturan di tepian sungai. Ada juga rumah apung, terombang ambing mengikuti riak air. Tampak beragam aktivitas warga. Ada yang sedang mandi, mencuci dan lain-lain.
Sungai Lalan, yang kami lalui adalah saksi sejarah asal muasal Desa Kepayang. Dalam catatan studi sosial ekonomi Wahana Bumi Hijau (WBH), Suku Anak Dalam, dahulu hidup di hutan Kepayang. Sejak penebangan kayu alam era hak pengusahaan hutan (HPH) pada 1970-an, SAD mulai terusik. Sebagian mereka beradaptasi, yang lain mencari tempat hidup baru.
Dusun Kepayang, bagian pemukiman masyarakat Desa Muara Merang, dulu HPH yang berakses di Sungai Kepayang. Pemukiman di dusun ini terus berkembang, banyak mantan karyawan HPH menetap. Terlebih sejak HPH habis pada 1999. Masyarakat terbiasa mendapat penghasilan dari kayu. Muncul pabrik pengelolaan kayu di sekitar, penebangan liarpun terjadi di eks HPH ini.
Penduduk Desa Kepayang, mayoritas orang Sumsel, tetapi ada juga dari Medan, Bugis dan Kalimantan.
Kepayang, semula dusun dari Desa Muara Merang, memisahkan diri menjadi Desa Kepayang pada 2007. Luas desa sekitar 54.210 hektar, 70% hutan produksi dan 30% alokasi penggunaan lain (APL). Dengan kondisi lahan 39.195 hektar hutan gambut, 15.000 hektar tanah mineral, dan 30 hektar alur sungai.
Kawasan APL Desa Kepayang terkepung sawit seluas 6.000 hektar, dan HTI 9.200 hektar, serta restorasi ekosistem 4.300 hektar. Sedangkan lahan masyarakat dan pemukiman hanya 650 hektar.
Hasil hutan dan perikanan minim, serta akses lahan menyempit sangat mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat Kepayang. Masyarakat mulai menggantungkan pemenuhan kebutuhan ekonomi, sebagai buruh harian lepas di perkebunan.
Keterbatasan lahan jugalah yang membuat mereka mengusulkan hutan Desa Kepayang. Mereka mendapat rekomendasi Bupati Musi Banyuasin 25 Januari 2010. Setelah menanti lama, pada 2014, izin HD dari Kemenhut keluar. Mereka mendapat izin HD seluas 5.170 hektar.
Setelah tiga tahun lebih menunggu SK Menteri Kehutanan tentang penetapan areal kerja hutan Desa Kepayang, akhirnya kami mendapat kejelasan, kata Ibnu Hajar, kepala Desa Kepayang, baru-baru ini.

Kebun karet rakyat di Hutan Desa Kepayang Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. (23/6/14). Foto: Sigid Widagdo

Acara menyambut kehadiran HD Kepayang pun dihelat. Pagi itu, masyarakat Kepayang bergotong royong membersihkan balai desa. Hajar tidak ketinggalan mengayunkan sapu. Bangku meja disusun. Sebuah spanduk bertuliskan Sosialisasi dan Pelatihan Pengelolaan Hutan Desa Kepayang, berlogo Dinas Kehutanan Musi Banyuasin, dipasang.
Menurut Hajar, dengan penetapan HD Kepayang ini, bukan akhir perjuangan, malah awal mewujudkan hutan desa sebagai sumber air, sumber benih, dan penghidupan.
Kini, katanya, masyarakat Kepayang sudah bisa melihat SK Menteri Kehutanan itu. Selanjutnya, pembenahan lembaga pengelola hutan desa (LPHD) Kepayang guna proses perizinan lain.
LPHD Kepayang diharapkan mengajukan hak pengelolaan hutan desa kepada Gubernur Sumsel dan menyusun rencana pengelolaan hutan desa, kata Dayat Nawawi, dari Dinas Kahutanan Musi Banyuasin.
Dalam penyusunan RKHD, katanya, LPHD bisa berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan kabupaten dan provinsi, serta lembaga pendamping hutan desa. Untuk Desa Kepayang, pendamping WBH Palembang.
Deddy Permana, direktur WBH mengatakan, partisipasi masyarakat desa penting dalam setiap tahapan proses perizinan dan pegelolaan hutan desa. Pemerintah, katanya, wajib mendukung proses pendampingan, fasilitasi, pemberdayaan, dan pengawasan juga anggaran.
WBH telah mendampingi sejak awal dengan melakukan beberapa hal, seperti pengembangan kelompok ekonomi, pelatihan dan penelitian, membuat perpustakaan desa, pembibitan dan reboisasi, penebatan parit. Termasuk mengawal usulan HD Kepayang.
Akses menuju HD Kepayang cukup sulit, perlu memilih waktu tepat.Yakni, saat air sungai pasang hingga bisa dilalui perahu ketek. Perahu ketekpun tidak sembarangan, paling baik menggunakan ketek kebutansebutan masyarakat lokal untuk perahu berbentuk kecil dan ramping namun melaju cepat.
Naik perahu sekitar dua jam, dari pusat Desa Kepayang. Kala air surut, siap-siap perjalanan dua jam naik perahu ketek ditambah berjalan kaki menelusuri sungai sambil menarik perahu ketek dua jam lagi!
Menurut Hajar, menuju hutan Kepayang salah satu kendala utama masyarakat. Meskipun begitu, katanya, masyarakat, pemerintah desa, dan LPHD tetap bersemangat mengelola hutan desa yang telah lama dinanti-nantikan.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/07/13/setelah-penantian-panjang-untuk-hutan-desa-kepayang/

Menyoal Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa

KEBIJAKAN Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI tentang pengembangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau perhutanan sosial berbentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD), diyakini betul mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam pelestarian hutan, sekaligus menjawab tuntutan menyelesaikan permasalahan bangsa, pembukaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi.
Keyakinan itu dikemukan Direktur Bina Perhutanan Sosial Kemenhut RI Haryadi Himawan. Entah benar-benar yakin atau hanya main-main. Karena keyakinan itu berbanding terbalik dengan fakta. Kemenhut RI menargetkan HKm dan HD di seluruh Indonesia seluas 2,1 juta hektar pada 2015, atau 500 ribu hektar per tahun. Namun, penetapan arealnya hanya rata-rata mencapai 10 persen per tahun, dari 2007 hingga 2010. Seperti tanpa melihat kenyataan realisasi pencapaian, pada 2010 pemerintah malah meningkatkan target pencapaiaan 5 juta hektar pada 2020.
Keyakinan Perhutanan Sosial Kemenhut RI bahwa pengembangan PHBM ini dapat mengurangi permasalahan bangsa, kenapa tidak. Namun bukan dari target yang progresif, melainkan capaiannya. Angka 10 persen per tahun tidak mencerminkan kesungguhan pencapaian keyakinan. Bukankah keyakinan terhadap kebijakan perhutanan sosial yang dapat menyelesaikan permasalahan bangsa itu melalui jalan tol dalam merealisasikannya?.
Kemenhut RI boleh berkelit. Menurut mereka, lambatnya realisasi HKm dan HD karena kurangnya dukungan pemerintah daerah, baik bupati/walikota ataupun gubernur. Mengingat untuk dapat memanfaatkan kawasan hutan melalui skema HKm dan HD dibutuhkan legalitas yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Memang pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terevaluasi dalam hal ini. Sampai 2010, dari 80.395 hektar luasan HKm yang telah ditetapkan Menteri Kehutan (Menhut) RI, sekitar 34.615 hektar yang sudah diterbitkan izin oleh bupati. Sedangkan untuk HD dari 14.346 hektar yang telah ditetapkan Menhut RI, baru 10.310 hektar yang sudah mendapatkan izin gubernur.
Namun data tersebut tidak cukup bagi Kemenhut RI menyalahkan pemerintah daerah (Pemda) dalam hal lambatnya target merealisakan kebijakan Perhutanan Sosial Kemenhut RI. Bukankah data Kemenhut RI menggambarkan HKm yang telah ditetapkan baru 80.395 hektar dari 236.276 hektar yang telah dievaluasi dan verifikasi. Dan untuk HD, Kemenhut RI baru menetapkan 14.346 hektar dari 119.757 hektar yang telah dievaluasi dan verifikasi. Bagaimana yang belum terevaluasi dan terverifikasi ??
Lagi-lagi, alasan Kemenhut RI lambatnya dukungan pemda tidak sepenuhnya benar. Kalaupun, pada proses rekomendasi dari pemda yang tidak menyambut kebijakan tersebut, tentu tidak ada tumpukan berkas pengajuan HKm dan HD di meja Menhut RI.
Sebut saja di Sumatera Selatan (Sumsel), terdapat dua berkas pengajuan HD yang menumpuk di meja Menhut RI. Kedua usulan HD tersebut telah diverifikasi pada Maret 2010, sampai saat ini belum mendapat jawaban, diterima atau ditolak. Belum lagi daerah lainnya di sumatera, kalimantan, dan sulawesi. Tidak hanya tersangkut di meja Kemenhut RI, juga di meja gubernur atau bupati.
Sebagai warga negara yang baik, tentu sebaiknya yakin, bahwa tidak ada perbedaan keyakinan antara Kemenhut RI dan pemda tentang kebijakan pengembangan PHBM yang mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam pelestarian hutan, sekaligus menjawab permasalahan bangsa, pembukaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi itu.
Suksesnya tidaknya pelaksanaan program Perhutanan Sosial Kemenhut RI menjadi ukuran dari komitmen pemerintah. Isi dari kebijakan yang dikeluarkan pun perlu diakui kecanggihannya. Tinggal lagi meningkatkannya menjadi Keputusan Presiden (Keppres) atau Intruksi Presiden (Inpres) agar menyamakan keyakinan Kemenhut RI dan pemda provinisi/kabupaten/kota.
Sudah banyak sekali masukan dari bebagai pihak tentang program Perhutanan Sosial Kemenhut RI. Tinggal lagi memperbaiki kayakinan itu, terkait ketidaksinkronan kebijakan pusat daerah, ketidakefisienan tata laksana perizinan, dan masih terbatasnya anggaran. (red.Sigid Widagdo)

Menyoal Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa








Menyoal Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa


Menyoal Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa

KEBIJAKAN Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI tentang pengembangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau perhutanan sosial berbentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD), diyakini betul mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam pelestarian hutan, sekaligus menjawab tuntutan menyelesaikan permasalahan bangsa, pembukaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi.
Keyakinan itu dikemukan Direktur Bina Perhutanan Sosial Kemenhut RI Haryadi Himawan. Entah benar-benar yakin atau hanya main-main. Karena keyakinan itu berbanding terbalik dengan fakta. Kemenhut RI menargetkan HKm dan HD di seluruh Indonesia seluas 2,1 juta hektar pada 2015, atau 500 ribu hektar per tahun. Namun, penetapan arealnya hanya rata-rata mencapai 10 persen per tahun, dari 2007 hingga 2010. Seperti tanpa melihat kenyataan realisasi pencapaian, pada 2010 pemerintah malah meningkatkan target pencapaiaan 5 juta hektar pada 2020.
Keyakinan Perhutanan Sosial Kemenhut RI bahwa pengembangan PHBM ini dapat mengurangi permasalahan bangsa, kenapa tidak. Namun bukan dari target yang progresif, melainkan capaiannya. Angka 10 persen per tahun tidak mencerminkan kesungguhan pencapaian keyakinan. Bukankah keyakinan terhadap kebijakan perhutanan sosial yang dapat menyelesaikan permasalahan bangsa itu melalui jalan tol dalam merealisasikannya?.
Kemenhut RI boleh berkelit. Menurut mereka, lambatnya realisasi HKm dan HD karena kurangnya dukungan pemerintah daerah, baik bupati/walikota ataupun gubernur. Mengingat untuk dapat memanfaatkan kawasan hutan melalui skema HKm dan HD dibutuhkan legalitas yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Memang pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terevaluasi dalam hal ini. Sampai 2010, dari 80.395 hektar luasan HKm yang telah ditetapkan Menteri Kehutan (Menhut) RI, sekitar 34.615 hektar yang sudah diterbitkan izin oleh bupati. Sedangkan untuk HD dari 14.346 hektar yang telah ditetapkan Menhut RI, baru 10.310 hektar yang sudah mendapatkan izin gubernur.
Namun data tersebut tidak cukup bagi Kemenhut RI menyalahkan pemerintah daerah (Pemda) dalam hal lambatnya target merealisakan kebijakan Perhutanan Sosial Kemenhut RI. Bukankah data Kemenhut RI menggambarkan HKm yang telah ditetapkan baru 80.395 hektar dari 236.276 hektar yang telah dievaluasi dan verifikasi. Dan untuk HD, Kemenhut RI baru menetapkan 14.346 hektar dari 119.757 hektar yang telah dievaluasi dan verifikasi. Bagaimana yang belum terevaluasi dan terverifikasi ??
Lagi-lagi, alasan Kemenhut RI lambatnya dukungan pemda tidak sepenuhnya benar. Kalaupun, pada proses rekomendasi dari pemda yang tidak menyambut kebijakan tersebut, tentu tidak ada tumpukan berkas pengajuan HKm dan HD di meja Menhut RI.
Sebut saja di Sumatera Selatan (Sumsel), terdapat dua berkas pengajuan HD yang menumpuk di meja Menhut RI. Kedua usulan HD tersebut telah diverifikasi pada Maret 2010, sampai saat ini belum mendapat jawaban, diterima atau ditolak. Belum lagi daerah lainnya di sumatera, kalimantan, dan sulawesi. Tidak hanya tersangkut di meja Kemenhut RI, juga di meja gubernur atau bupati.
Sebagai warga negara yang baik, tentu sebaiknya yakin, bahwa tidak ada perbedaan keyakinan antara Kemenhut RI dan pemda tentang kebijakan pengembangan PHBM yang mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam pelestarian hutan, sekaligus menjawab permasalahan bangsa, pembukaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi itu.
Suksesnya tidaknya pelaksanaan program Perhutanan Sosial Kemenhut RI menjadi ukuran dari komitmen pemerintah. Isi dari kebijakan yang dikeluarkan pun perlu diakui kecanggihannya. Tinggal lagi meningkatkannya menjadi Keputusan Presiden (Keppres) atau Intruksi Presiden (Inpres) agar menyamakan keyakinan Kemenhut RI dan pemda provinisi/kabupaten/kota.
Sudah banyak sekali masukan dari bebagai pihak tentang program Perhutanan Sosial Kemenhut RI. Tinggal lagi memperbaiki kayakinan itu, terkait ketidaksinkronan kebijakan pusat daerah, ketidakefisienan tata laksana perizinan, dan masih terbatasnya anggaran. (red.Sigid Widagdo)