Monitoring Pelaksanaan FPIC pada masyarakat terdampak PT. OKI Mill di Sumatera Selatan








Monitoring Pelaksanaan FPIC pada masyarakat terdampak PT. OKI Mill di Sumatera Selatan


Monitoring Pelaksanaan FPIC pada masyarakat terdampak PT. OKI Mill di Sumatera Selatan


Written by Wahana Bumi Hijau


Sunday, 07 December 2014 01:24

Wahana Bumi Hijau (WBH),

Serikat Hijau Indonesia, Yayasan Bakau dan JPIK Sumatera Selatan Melakukan Monitoring Pelaksanaan FPIC pada masyarakat terdampak PT. OKI Mill yang dilakukan oleh APP. Monitoring ini ditujukan untuk menarik pembelajaran bagaimana APP menjalankan prinsip prinsip FPIC yang dimuat dalam SOP/protokol mereka, dan seperti apa serapan masyarakat dalam pelaksanaan FPIC tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, monitoring dilakukan selama 1 bulan pada Agustus September 2014, dan melakukan wawancara terstruktur dengan 67 perwakilan masyarakat, termasuk minimal 2 pemerintah desa di 8 Desa tersebut.

Wahana Bumi Hijau (WBH), Sarekat Hijau Indonesia, Yayasan Bakau and JPIK South Sumatra conducted monitoring on APPs FPIC implementation on affected communities surrounding PT. OKI Pulp Mill. The aim of this activity is to learn how APP implemented its FPIC protocol and how local people understand that FPIC process. It was done in August and September 2014, WBH in eight affected villages surrounding the Mill and the hamlet of Sungai Rasau, interviewing 67 people from those villages, including at least 2 village government officer from each village/ hamlet (Bukit Batu 15 respondent, Rengas Abang/ Sido Rahayu 5, Simpang Heran 10, Jadi Mulya 10, Kuala Sugihan/ Muara Sugihan 5, Negeri Sakti/ Sapto Harjo 6, Pangkalan Sakti/ Timbul Harjo 6 dan Rantau Karya/ Panggung Harjo 5 respondent).

Berikut kami publikasikan Laporan Lengkap dan Tanggapan dari Pihak APP yang dapat anda download di bawah ini:

Download Final Report on Monitoring APP FPIC process English – Indonesia

Download Matrix Response APP EnglishIndonesia

FGD Penyusunan Kerangka Kerja


Written by Administrator


Thursday, 16 October 2014 15:07

Palembang

FGD Penyusunan Kerangka Kerja, Indikator & Parameter Keanekaragaman Hayati untuk Sistem Monitoring

Palembang, BIOCLIME-GIZ dan DISHUT Sumatera Selatan Menyelenggarakan FGD Penyusunan Kerangka Kerja, Indikator & Parameter Keanekaragaman Hayati untuk Sistem Monitoring

Palembang. Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (megadiversity country) dan perhatian Indonesia cukup besar terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Hal itu dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan terkait oleh pemerintah, diantaranya UU no 5 tahun 1990 tentang Konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; UU no 41 tahun 1999 tentang kehutanan dengan memberikan alokasi ruang khusus, yaitu hutan untuk fungsi lindung kawasan dibawahnya dan fungsi konservasi berupa kawasan hutan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru, serta mandat UU no 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang Nasional yang memberikan alokasi ruang untuk fungsi lindung bagi ekosistem penting (ekosistem gambut dan kawasan lindung lain).

Dalam kancah internasional, perhatian pemerintah ditunjukkan dengan ikut serta meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/CBD) pada tahun 1992 dan menetapkan UU No. 5 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). Selain itu, Indonesia juga ikut serta dalam merumuskan rencana strategis dalam CBD utuk melindungi ekosistem sampai tahun 2020 pada COP ke-10 Nagoya, Jepang yang dikenal dengan Aichi Target.

Selengkapnya KLIK DISINI

12 juta dolar AS untuk perlindungan satwa di Sumatera


Written by Administrator


Tuesday, 07 October 2014 01:54

Jakarta.

Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia sepakat menyediakan dana sebesar 12 juta dolar AS khususnya untuk program perlindungan harimau dan badak Sumatera termasuk pelestarian habitat.

Dana tersebut didapat dari kesepakatan pengalihan dana pembayaran utang Pemerintah Indonesia pada Pemerintah AS yang akan jatuh tempo. Sejumlah dana yang seharusnya dikembalikan kepada Pemerintah Amerika tersebut ditambahkan pada program Tropical Forest Conservation Action for Sumatra (TFCA-Sumatera) yang saat ini sedang berjalan di Sumatera dengan skema pendanaan yang sama.

Pada acara peluncuran yang dilangsungkan di @america tadi malam (1/10), Kristen Bauer, Deputy Chief of Mission Kedubes AS menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama menaruh perhatian besar pada perlindungan spesies terancam punah di Indonesia terutama Badak dan Harimau. Alasan kita berfokus pada harimau adalah karena harimau menderita akibat strategi program pembangunan yang tak terencana dan akibat perdagangan ilegal. Perdagangan liar tidak hanya berdampak pada punahnya beraneka jenis hewan namun mengancam keamanan perbatasan, pembangunan ekonomi dan kesehatan publik demikian ungkap Kristen Buer.

Raffles B. Panjaitan yang mewakili Sekjen Kementerian Kehutanan pada acara ini menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah menjalankan serangkaian respons untuk perlindungan harimau Sumatera. Sebanyak 5 proyek dengan berbagai donor termasuk dengan negara-negara ASEAN dan Amerika Serikat telah dijalankan berupa konservasi harimau dan habitatnya baik melalui konservasi in situ maupun eks situ.

Penandatanganan komitmen konservasi satwa sebesar 12 juta dolar AS ini merupakan bagian dari paket kerjasama dari tiga perjanjian yang ditandatangani di kantor Kemenhut pada tanggal 29 September 2014 yaitu: (1) Forest Conservation Agreement (FCA) antara tiga pihak yaitu Kementerian Kehutanan yang diwakili oleh Sekditjen PHKA Novianto Bambang Wawandono, dua lembaga swap partner yaitu Conservation International Foundation yang diwakili oleh Vice President Ketut Sarjana Putra dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang diwakili oleh M.S Sembiring selaku Direktur Eksekutif. (2) Debt-for-Nature-Swap Agreement (DSA) ditandatangani oleh dua pihak yaitu Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Dirjen Pengelolaan Utang, Robert Pakpahan dan Pemerintah AS yang diwakili oleh Duta Besar Robert Blake. (3) Swap Fee Agreement, ditandatangani oleh wakil dari Conservation International Foundation Ketut Sarjana Putra dan wakil Pemerintah Amerika Serikat, Duta Besar Robert Blake.

Tambahan dana tersebut akan disalurkan melalui hibah kepada LSM lokal. Kesepakatan ini memungkinkan kedua negara bekerja bersama melindungi, termasuk penegakan hukum bagi kejahatan terhadap satwa kunci seperti Harimau, Badak, Orangutan dan Gajah melalui intervensi kegiatan di tingkat kebijakan, tingkat bentang alam dan sosial ekonomi masyarakat. Selain itu, sebagaimana telah dituangkan di dalam kebijakan dan prosedur penyaluran dana hibah TFCA-Sumatera, fokus kegiatan memberikan dorongan terhadap kerjasama antara masyarakat, LSM, Pemerintah dan swasta dalam pengelolaan hutan beserta keanekaragaman hayati di dalamnya.

Mengomentari FCA yang merupakan dasar pelaksanaan kegiatan di lapangan, Ketut Sarjana Putra dari Conservation International menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat berkontribusi secara signifikan dalam penyelamatan spesies. Meneruskan kerjasama dengan KEHATI dalam konservasi hutan di tingkat lansekap, penambahan dana ini mendorong kita untuk melangkah lebih maju lagi dalam upaya penyelamatan spesies, ujarnya.

Menurut Samedi, Direktur Program TFCA-Sumatera, salah satu upaya nyata bagi perlindungan spesies kunci di Sumatera adalah dengan mempertahankan dan membuka ruang koridor antar kawasan konservasi untuk menjamin ketersambungan antar habitat sehingga satwa dapat saling berhubungan dan terjadi transfer materi genetik serta menurunkan intensitas konflik antara satwa dan manusia. Luas tutupan hutan harus ditambah atau setidaknya dipertahankan untuk tidak dikonversi, penindakan terhadap perdagangan ilegal dan perburuan liar pun harus lebih efektif dilaksanakan dengan menggunakan teknologi yang lebih memadai seperti forensik ujar Samedi menambahkan.

Ancaman seperti perburuan, fragmentasi habitat, penurunan populasi mangsa, perdagangan ilegal dan konflik dengan manusia juga makin mengurangi jumlah harimau di alam. Menurut Daftar Merah IUCN tahun 2008, sebanyak 51 ekor harimau Sumatera terbunuh setiap tahunnya yang mana 76% merupakan akibat perdagangan gelap. Kondisi ini diperparah dengan kebakaran hutan yang mulai marak pada bulan Agustus-September 2014, dimana sebaran 42% hotspot di Riau berada di hutan alam habitat harimau.

Keberadaan badak di Sumatera kini pun tak kalah memprihatinkan. Delapan dari 12 kantung badak yang sebelumnya teridentifikasi di Sumatera diduga kini sudah tidak ada lagi, hanya tinggal sedikit di Sumatera bagian utara dan sedikit di Sumatera bagian selatan, dan populasinya selama 21 tahun turun 82 persen, ujar Samedi yang mengutip data dari WWF Indonesia.

Penurunan populasi badak ini sangat memprihatinkan. Reproduksi badak di alam cukup sulit, sehingga ancaman penurunan populasi dari tekanan akibat pembukaan hutan, kebakaran hutan, perburuan liar makin memperburuk viabilitas badak di hutan, ungkap MS. Sembiring, Direktur Eksekutif KEHATI yang dipercaya sebagai Administrator program TFCA di Indonesia ini.

Oleh karena itu dukungan dari masyarakat luas perlu terus digalang. Penambahan dana sebesar 12 juta dollar diharapkan dapat digunakan untuk melestarikan, melindungi dan mengelola habitat yang diperlukan untuk rumah bagi satwa serta dapat digunakan untuk penyelamatan, restorasi dan peningkatan populasi dan habitat satwa liar di alam.

Sumber: TFCA Sumatera baca juga: AFP.com

Mitra Setapak PKM V di Surabaya


Written by Administrator


Thursday, 11 September 2014 13:25

Wahana Bumi Hijau (WBH) adalah salah satu Mitra SETAPAK

yang total mitrannya sekarang berjumlah 48 tersebar di 5 Provinsi dan nasional. dalam kesempatan PKM v yang diselenggarakan di Surabaya, dalam rangka bersama untuk dapat saling mengenal lebih jauh tentang siapa rekan kita, apa intereset utama mereka di TKHL dan apa yang bisa kita kerjakan bersama kedepan. Media yang paling efektif untuk sharing di PKM V ini adalah melalui sebuah poster, berikut adalah poster yang menuangkan kegiatan dan rencana tindak lanjut kedepan yang akan dilakukan oleh Wahana Bumi Hijau (WBH)

Inilah Aksi Warga Kepayang Antisipasi Dampak El Nino


Written by Sigid Widagdo


Thursday, 03 July 2014 19:38

Pencegahan kebakaran dan pengelolaan hutan gambut tidak sesederhana menutup kanal. Menurut Prasetyo, perlu peningkatan kesadaran dan partisipasi mayarakat menjaga kawasan. Pengelolaan rawa gambut Merang Kepayangpun perlu terintegrasi, antara pemerintah, pihak swasta, masyarakat, dan LPHD. Jika tidak, hutan gambut yang tersisa di Sumsel ini akan mengalami kerusakan parah. Kekayaan flora fauna akan terancam punah.

Kajian WI-IP pada 2006, dari hutan produksi 225.000 hektar, hanya 47.000 hektar hutan kondisi baik, 99.000 hektar rusak parah. Sisanya, kawasan rawa terbuka atau semak belukar dengan vegetasi rendah dan rawan terbakar.

Pantauan WBH, sedikitnya ada 14 parit bermuara ke Sungai Kepayang dan Nuaran dengan ukuran 1,5-2 meter dan memiliki kedalaman sekitar 1-2 meter. Sedangkan kerusakan rawa gambut Merang Kepayang di hutan Lalan cukup parah.

Kebakaran di lahan gambut sulit ditanggulangi. Menurut Robet, api menjalar dari dalam tanah. Pohon-pohon yang terbakar tumbang, baru api menjalar ke atas. Pemadaman titik api di permukaan tanah belum berarti menghentikan kebakaran. Api menjalar di bawah tanah bisa muncul dimana saja.

Kebakaran juga menjadi momok menakutkan bagi masyarakat lokal. Robert, warga Desa Kepayang, mengatakan, kebakaran cukup besar pernah terjadi di Kepayang 1997, 2004, dan 2006. Tidak sedikit kebun masyarakat terbakar. Puluhan hektar hasil jerih payah membangun kebun bertahun-tahun habis dalam sehari semalam.
Selain penebangan liar, kebakaran merupakan ancaman terbesar bagi rawa gambut. Kerusakan gambut Merang-Kepayang ancaman bagi habitat satwa liar seperti harimau Sumatera (Pantera tigris), tapir (Tapirus indicus), dan buaya Sinyulong (Tomistoma schlegelii).

Hasil kajian Wetlands International Indonesia Programme (WI-IP) tentang penyebaran gambut di dalam kawasan Merang Kepayang menunjukkan, ketebalan lapisan gambut di kawasan ini bervariasi, kurang satu meter hingga tujuh meter. Dari luas 271.000 hektar, sekitar 210.000 hektar lahan gambut. Setidaknya ada dua kubah gambut utama: antara Sungai Merang -Kepayang, dan antara Sungai Kepayang serta hulu-hulu sungai yang bermuara ke TNS.

Terdapat dua sungai utama mengalir di kawasan hutan rawa gambut ini, yaitu Sungai Merang dan Sungai Kepayang. Ia bermuara di sungai Lalan selanutnya ke semenanjung Banyuasin. Sejumlah sungai di pesisir Taman Nasional Sembilang (TNS) berhulu pada hutan rawa gambut Merang-Kepayang.
Dengan penyekatan parit yang dilakukan bersama masyarakat ini, air gambut bisa tertahan hingga di sekitar parit tetap basah dan sulit terbakar. untuk memperkuat ketahanan sekat/bloking Warga juga menanam jelutung di lokasi penyekatan.

Kanal di lahan gambut, tanpa mempertahankan batas tertentu ketinggian air di parit. Keadaan ini menyebabkan kandungan air gambut menyusut sehingga lahan menjadi kering sehingga lahan gambut mudah terbakar.

Kerusakan tata air di lahan gambut sering kali ditimbulkan oleh kegiatan manusia yang tidak terkendali, seperti membuat kanal-kanal sebagai alur transportasi kayu alam, menebang hutan, membakar ladang, dan lain-lain, kata Prasetyo Widodo, koordinator penyekatan parit dari Wahana Bumi Hijau (WBH) sebagai salah satu NGO Lokal di Sumatera Selatan yang konsen pada Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan Hidup, Selasa (1/7/14).

Bahaya kekeringan dan kebakaran mengancam. Guna berjaga-jaga dari kemungkinan kebakaran hutan dan lahan, warga di Kepayang Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, menyekat kanal atau parit di Sungai Kepayang dan Sungai Nuaran.

Inilah Aksi Warga Kepayang Antisipasi Dampak El Nino


Written by Sigid Widagdo


Thursday, 03 July 2014 19:38

Pencegahan kebakaran dan pengelolaan hutan gambut tidak sesederhana menutup kanal. Menurut Prasetyo, perlu peningkatan kesadaran dan partisipasi mayarakat menjaga kawasan. Pengelolaan rawa gambut Merang Kepayangpun perlu terintegrasi, antara pemerintah, pihak swasta, masyarakat, dan LPHD. Jika tidak, hutan gambut yang tersisa di Sumsel ini akan mengalami kerusakan parah. Kekayaan flora fauna akan terancam punah.

Kajian WI-IP pada 2006, dari hutan produksi 225.000 hektar, hanya 47.000 hektar hutan kondisi baik, 99.000 hektar rusak parah. Sisanya, kawasan rawa terbuka atau semak belukar dengan vegetasi rendah dan rawan terbakar.

Pantauan WBH, sedikitnya ada 14 parit bermuara ke Sungai Kepayang dan Nuaran dengan ukuran 1,5-2 meter dan memiliki kedalaman sekitar 1-2 meter. Sedangkan kerusakan rawa gambut Merang Kepayang di hutan Lalan cukup parah.

Kebakaran di lahan gambut sulit ditanggulangi. Menurut Robet, api menjalar dari dalam tanah. Pohon-pohon yang terbakar tumbang, baru api menjalar ke atas. Pemadaman titik api di permukaan tanah belum berarti menghentikan kebakaran. Api menjalar di bawah tanah bisa muncul dimana saja.

Kebakaran juga menjadi momok menakutkan bagi masyarakat lokal. Robert, warga Desa Kepayang, mengatakan, kebakaran cukup besar pernah terjadi di Kepayang 1997, 2004, dan 2006. Tidak sedikit kebun masyarakat terbakar. Puluhan hektar hasil jerih payah membangun kebun bertahun-tahun habis dalam sehari semalam.
Selain penebangan liar, kebakaran merupakan ancaman terbesar bagi rawa gambut. Kerusakan gambut Merang-Kepayang ancaman bagi habitat satwa liar seperti harimau Sumatera (Pantera tigris), tapir (Tapirus indicus), dan buaya Sinyulong (Tomistoma schlegelii).

Hasil kajian Wetlands International Indonesia Programme (WI-IP) tentang penyebaran gambut di dalam kawasan Merang Kepayang menunjukkan, ketebalan lapisan gambut di kawasan ini bervariasi, kurang satu meter hingga tujuh meter. Dari luas 271.000 hektar, sekitar 210.000 hektar lahan gambut. Setidaknya ada dua kubah gambut utama: antara Sungai Merang -Kepayang, dan antara Sungai Kepayang serta hulu-hulu sungai yang bermuara ke TNS.

Terdapat dua sungai utama mengalir di kawasan hutan rawa gambut ini, yaitu Sungai Merang dan Sungai Kepayang. Ia bermuara di sungai Lalan selanutnya ke semenanjung Banyuasin. Sejumlah sungai di pesisir Taman Nasional Sembilang (TNS) berhulu pada hutan rawa gambut Merang-Kepayang.
Dengan penyekatan parit yang dilakukan bersama masyarakat ini, air gambut bisa tertahan hingga di sekitar parit tetap basah dan sulit terbakar. untuk memperkuat ketahanan sekat/bloking Warga juga menanam jelutung di lokasi penyekatan.

Kanal di lahan gambut, tanpa mempertahankan batas tertentu ketinggian air di parit. Keadaan ini menyebabkan kandungan air gambut menyusut sehingga lahan menjadi kering sehingga lahan gambut mudah terbakar.

Kerusakan tata air di lahan gambut sering kali ditimbulkan oleh kegiatan manusia yang tidak terkendali, seperti membuat kanal-kanal sebagai alur transportasi kayu alam, menebang hutan, membakar ladang, dan lain-lain, kata Prasetyo Widodo, koordinator penyekatan parit dari Wahana Bumi Hijau (WBH) sebagai salah satu NGO Lokal di Sumatera Selatan yang konsen pada Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan Hidup, Selasa (1/7/14).

Bahaya kekeringan dan kebakaran mengancam. Guna berjaga-jaga dari kemungkinan kebakaran hutan dan lahan, warga di Kepayang Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, menyekat kanal atau parit di Sungai Kepayang dan Sungai Nuaran.

Rumahmu Dihabisi oleh Kebijakan


Written by Administrator


Wednesday, 21 May 2014 01:48

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)

merupakan satwa endemik Indonesia yang populasinya saat ini tersebar dalam populasi-populasi kecil di dalam dan di luar kawasan konservasi di Sumatera. Diperkirakan populasi yang tersisa di habitat alaminya hanya 300 – 400 ekor dan jumlahnya akan terus berkurang apabila kerusakan hutan sumatera terus berlanjut. Harimau Sumatera adalah harimau terakhir Indonesia – setelah harimau Bali pada dekade 40-an dan harimau Jawa pada dekade 80-an dinyatakan punah.

Flora dan fauna khas Sumatera tersebar luas dengan aneka karakteristiknya yang beragam dan sangat unik. Kali ini kita akan berkenalan dengan spesies hewan buas khas Sumatera yang memiliki banyak keunikan yang harus Anda ketahui.

Harimau Sumatera atau Panthera Tigris SumatraeMenjadi yang terkecil dalam jenisnya, bukan berarti membuat Harimau Sumatera atau Panthera tigris sumatrae mudah untuk ditaklukkan. Hewan ini merupakan jenis yang pandai berenang di dalam air. Hal ini turut didukung oleh selaput yang terdapat di sela-sela jari kakinya. Bahkan, penduduk kadang menjuluki mereka dengan istilah “kucing air”. Mereka juga mampu memanjat pohon demi mengejar mangsanya. Tidak hanya itu, Harimau Sumatera juga dapat menyesuaikan diri dengan segala kondisi, baik itu di dataran rendah ataupun dataran tinggi. Harimau Sumatera termasuk dalam kategori hewan soliter yang mengejar mangsanya pada malam hari. Sebelumnya, target buruannya itu diintai terlebih dahulu sebelum menerkam dan menyantapnya. Hewan seperti babi, kijang, rusa, unggas, ikan, dan orang utan adalah sederet jenis hewan yang menjadi target buruan Harimau Sumatera. percayakah Anda? Di samping menyantap hewan lainnya, ternyata kawanan Harimau ini juga menggemari buah durian.

Harimau Sumatera tidak membutuhkan waktu khusus untuk masa reproduksi. Demi melahirkan generasi baru, Harimau Sumatera betina memerlukan waktu selama 103 hari dan biasanya melahirkan 2 atau 3 ekor anak. Indera penglihatan anak harimau berfungsi pada hari ke sepuluh setelah hari kelahirannya. Selama 8 minggu pertama harimau-harimau junior tersebut hanya meminum air susu induknya dan baru akan mengkonsumsi makanan padat. Menginjak usia 18 bulan, mereka sudah berani berburu tanpa didampingi induknya. Harimau Sumatera dapat bertahan hidup dalam kurun 15 hingga 20 tahun.

Senada dengan kondisi hewan endemik pada umumnya, populasi Harimau Sumatera kian menurun. Perburuan, pembebasan lahan hutan, dan aktivitas ekonomi lainnya mengganggu keseimbangan habitat mereka. Penangkapan babi dan rusa yang kerap dilakukan masyarakat juga merusak sistem rantai makanan para hewan di dalam hutan. Apalagi, dalam satu tahun setidaknya Harimau Sumatera membutuhkan 50 ekor babi sebagai makanannya. Berkurangnya jumlah hewan yang menjadi target mangsanya, tentu sangat mempengaruhi kelangsungan hidup mereka. Banyaknya peminat barang-barang yang terbuat dari kulit Harimau asli pun menjadi salah satu ancaman yang sulit dihindari sekalipun telah diatur dalam UU pasal 21 nomor 5 tahun 1990 poin (d) yang berbunyi “setiap orang dilarang untuk memperniagakan, menyimpan atau memiliki, kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia”. Bagi yang melanggar hukum ini dijatuhi sanksi pidana maksimal 5 tahun kurungan dan maksimum denda sebesar Rp. 100 juta. Sayangnya, hingga kini ketegasan hukum yang telah disahkan ini tetap tidak mampu menghentikan perburuan terhadap Harimau Sumatera di Pulau Sumatera.

Menurutnya, salah satu upaya nyata bagi perlindungan habitat harimau Sumatera adalah dengan mempertahankan dan bahkan menambah luasan hutan alam, bukannya dengan membiarkan hutan alam semakin berkurang. Ia berpendapat, pemulihan habitat harimau seharusnya menjadi komitmen bersama segenap komponen bangsa.

“Masyarakat luas dapat dan perlu turut berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan satwa langka. Akibat dari kegiatan atau apa yang kita konsumsi sehari-hari, langsung maupun tidak langsung turut menyebabkan keterancaman harimau Sumatera dan hutan di Indonesia,” jelasnya.

Oleh sebab itu, tambahnya, menjaga kelestarian satwa kebanggaan nasional tak hanya tanggung jawab Kementerian Kehutanan atau masyarakat sekitar hutan, namun juga segenap bangsa Indonesia. Kelestarian atau keterancaman harimau dan lingkungan adalah indikator dari martabat dan jati diri bangsa.

Hutan Desa Muara Merang Jadikan Kebanggaan Sumsel

Sudah selayaknya, bagi desa dalam wilayah hutan memperoleh akses terhadap sumber daya lahan hutan yang ada disekitarnya, demi kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Hak akses desa terhadap hutan Negara yang ada didalam wilayahnya inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai Hutan Desa.

Deddy Permana, Direktur Yayasan Wahana Bumi Hijau mengatakan, hutan desa mengacu pada penjelasan UU 41/1999 tentang kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5, Hutan Desa adalah hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.
Hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa dan untuk kesejahteraan desa. Dan Hutan Desa Muara Merang merupakan kebanggaan Sumatera Selatan, tambahnya.
Surat Keputusan (SK) Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Muara Merang telah diberikan Menhut Zulkifli Hasan dan disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Budiono dan sejumlah menteri, kepada Bupati Muba H. Pahri Azhari didampingi Kadishut Muba Djazim Arifin.
Pengelolaan SK atas areal hutan produksi tetap seluas 7.250 haktare ini diterima Pahri pada Hari Menanam Pohon Indonesia di Bendungan Ubrug, Jatiluhur, Kecamatan Cibinong, Purwakarta, Jawa Barat, pada akhir tahunllau itu, selanjutnya di serahkan Pahri pada H Rusdi, tokoh masyarakat asal Desa Muara Merang, Musi Banyuasin.
Pengaturan hutan desa, lanjut Deddy, dalam sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui Lembaga Pengelola Hutan Desa merupakan syarat mutlak dalam merancang perencanaan pengelolaan hutan desa selama jangka waktu 35 tahun.
Adanya hutan desa dipandang sebagai salah satu usaha untuk memberikan akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan, dan juga upaya mengurangi degradasi hutan. Saat ini, dengan adanya hutan desa, diharapkan pengelolaan hutan di kawasan hutan produksi sebagai salah satu usaha untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di desa-desa dalam kawasan hutan, tegas Deddy yang terlibat penuh dalam proses pengelolaan hutan desa.
H. Rusdi, seorang petani Muara Merang yang menerima SK pengelolaan hutan desa tersebut, mengatakan, sudah saatnya masyarakat membuktikan dapat mengelola hutan dengan baik dan juga membantu komitmen Presiden dalam menjaga kelestarian hutan.
Tangung jawab pengelolaaan hutan desa muara merang adalah tanggung jawab bersama seluruh masyarakat Muara Merang, terutama masyarakat Dusun III Pancoran. Dalam waktu dekat kita akan membangun kantor bersama, Lembaga Pengelola Hutan Desa, lembaga pendaping Yayasan Wahana Bumi Hijau (YWBH) dan unsure lainnya seperti Satgas, serta perbaikan infrastruktur jalan desa, tuturnya.
Dalam kawasan hutan desa, lanjut Rusdi, juga sudah dibentuk Satgas Hutan Desa yang bertugas menjaga keberadaan hutan lindung didalam kawasan. Tidak menutup kemungkinan, pengelolaan Hutan Desa Muara Merang menjadi percontohan pengelolaan hutan desa di Indonesia, tegasnya. (*)

Hutan Desa Muara Merang Jadikan Kebanggaan Sumsel


Written by Administrator


Friday, 20 May 2011 12:35

Sudah selayaknya, bagi desa dalam wilayah hutan memperoleh akses terhadap sumber daya lahan hutan yang ada disekitarnya, demi kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Hak akses desa terhadap hutan Negara yang ada didalam wilayahnya inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai Hutan Desa.

Deddy Permana, Direktur Yayasan Wahana Bumi Hijau mengatakan, hutan desa mengacu pada penjelasan UU 41/1999 tentang kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5, Hutan Desa adalah hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.
“Hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa dan untuk kesejahteraan desa. Dan Hutan Desa Muara Merang merupakan kebanggaan Sumatera Selatan,” tambahnya.
Surat Keputusan (SK) Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Muara Merang telah diberikan Menhut Zulkifli Hasan dan disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Budiono dan sejumlah menteri, kepada Bupati Muba H. Pahri Azhari didampingi Kadishut Muba Djazim Arifin.
Pengelolaan SK atas areal hutan produksi tetap seluas 7.250 haktare ini diterima Pahri pada Hari Menanam Pohon Indonesia di Bendungan Ubrug, Jatiluhur, Kecamatan Cibinong, Purwakarta, Jawa Barat, pada akhir tahunllau itu, selanjutnya di serahkan Pahri pada H Rusdi, tokoh masyarakat asal Desa Muara Merang, Musi Banyuasin.
Pengaturan hutan desa, lanjut Deddy,  dalam sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui Lembaga Pengelola Hutan Desa merupakan syarat mutlak dalam merancang perencanaan pengelolaan hutan desa selama jangka waktu 35 tahun.
“Adanya hutan desa dipandang sebagai salah satu usaha untuk memberikan akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan, dan juga upaya mengurangi degradasi hutan. Saat ini, dengan adanya hutan desa, diharapkan pengelolaan hutan di kawasan hutan produksi sebagai salah satu usaha untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di desa-desa dalam kawasan hutan,” tegas Deddy yang terlibat penuh dalam proses pengelolaan hutan desa.
H. Rusdi, seorang petani Muara Merang yang menerima SK pengelolaan hutan desa tersebut, mengatakan, sudah saatnya masyarakat membuktikan dapat mengelola hutan dengan baik dan juga membantu komitmen Presiden dalam menjaga kelestarian hutan.
“Tangung jawab pengelolaaan hutan desa muara merang adalah tanggung jawab bersama seluruh masyarakat Muara Merang, terutama masyarakat Dusun III Pancoran. Dalam waktu dekat kita akan membangun kantor bersama, Lembaga Pengelola Hutan Desa, lembaga pendaping Yayasan Wahana Bumi Hijau (YWBH) dan unsure lainnya seperti Satgas, serta perbaikan infrastruktur jalan desa,” tuturnya.
Dalam kawasan hutan desa, lanjut Rusdi, juga sudah dibentuk Satgas Hutan Desa yang bertugas menjaga keberadaan hutan lindung didalam kawasan. “Tidak menutup kemungkinan, pengelolaan Hutan Desa Muara Merang menjadi percontohan pengelolaan hutan desa di Indonesia,” tegasnya. (*)

Rencana Pengelolaan Buaya Senyulong di Sungai Merang

Rencana Pengelolaan Buaya Senyulong di Sungai Merang – Sumatera Selatan

Dinas Kehutanan MUBA

Sejak workshop tentang buaya senyulong tahun 2002 hingga terbentuknya tim koordinasi pengelolaan hutan rawa gambut merang kepayang yang di SK- kan oleh Bupati MUBA 2004 , belum ada tindak lanjut yang dilakukan oleh pihak Dinas Kehutanan MUBA. Menurut Try kalau memang ada rencana kedepan untuk mendiskusikan kembali dan membuat perencanaan pengelolaan yang lebih detil maka Dinas Kehutanan Muba siap berperan aktif.

v Bappeda MUBA (Kontak person Drs. Apriadi, M.si – Kepala Bappeda Kabupaten MUBA)

Pada prinsipnya Pihak Bappeda menyambut baik rencana WBH untuk kembali mendiskusikan dan membuat perencanaan jelas pengelolaan Buaya Senyulong. Menurut Apriadi, Rencana Tata Ruang Kabupaten Muba masih belum dibahas dan disahkan, karena menunggu RTRWP Sumsel yang akan direvisi. Jika kawasan lindung Buaya Senyulong tersebut sudah masuk dalam Tata Ruang Propinsi, maka secara otomatis Tata Ruang Kabupaten Muba akan mengacu terhadap Tata Ruang Propinsi. Tinggal ditingkat pendetailannya akan dimasukan di Tata Ruang Kabupaten. Selanjutnya kalau memang sudah ada masukan dari berbagai pihak dan ada rencana untuk mendiskusikan lebih terfokus, pihak Bappeda MUBA dan pihak terkait di kabupaten Muba siap untuk berperan.

v Bappeda Propinsi Sumatera Selatan (Kontak Person Ibu Regina dan Pak Joko)

Dalam diskusi dengan Pak Joko dan Ibu Regina, berdasakan RTRW Propinsi 2005-2019 yang sudah disahkan dalam Perda pada tahun 2006, kawasan Hutan Lindung Khusus Habitat Buaya Senyulong sudah masuk dengan luas 13.871 ha pada wilayah kabupaten MUBA. Sesuai dengan perkembangan akhir-akhir ini setelah keluarnya Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, maka RTRW Propinsi Sumatera Selatan harus di revisi dan disesuaikan dengan Tata Ruang Nasional, selanjutnya RTRW Kabupaten mengacu dengan RTRW Propinsi. Menurut informasi dari Pak Joko rencana revisi Tata Ruang Propinsi Sumatera Selatan akan dilaksanakan pada tahun 2010. Sebelum tata ruang tersebut di revisi, RTRW yang diperdakan pada tahun 2006 masih tetap berlaku. Pihak Bappeda Propinsi akan tetap berkomitmen pada perencanaan revisi tahun depan untuk tetap memasukan kawasan Hutan Lindung Khusus Habitat Buaya Senyulong kedalam RTRW Propinsi dan didorong pendetailan di RTRW Kabupaten Muba. Beberapa hal di RTRW Propinsi harus direvisi dan disesuaikan dengan UU tersebut.

v BKSD Sumatera Selatan (Kontak Person Pak Haidir)

Setelah workshop tahun 2002, kawasan Habitat Buaya Senyulong pernah diusulkan ke Departemen Kehutanan melalui surat oleh BKSDA Sumsel sebagai kawasan Ekosistem Esensial, sampai sekarang belum ada respon dan tindak lanjut dari pusat. Ekosistem esensial merupakan kawasan ekosistem penting tetapi tidak masuk dalam perlakukan khusus seperti TN, SM dll. Ekosistem esensial bisa saja berada di Hutan Produksi atau Hutan Lindung. Karena Kawasan di Sungai Merang merupakan Hutan Produksi maka kawasan ekosistem esensial sepertinya cocok untuk diusulkan ke departemen lewat dirjen PHKA. Sedangkan peluang lain jika sebagian kawasan tersebut sudah termasuk di wilayah konsesi HTI maka bisa saja kawasan tersebut diusulkan menjadi Kawasan Pelestarian Plasma Nulfa (KPPN) yang di kelola oleh perusahaan yang mempunyai izin konsesi di wilayah tersebut, dan dituangkan dalam RKT perusahaan tersebut. Untuk rencana kedepan bisa saja jika pihak pemerintah daerah Propinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Muba memasukan kawasan tersebut kedalam RTRWP dan RTRWK menjadi Hutan Lindung Khusus. Pihak pemerintah pusat melalui BKSDA mengusulkan kawasan tersebut menjadi kawasan ekosistem esensial, sehingga anggaran dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat bisa masuk pada kawasan tersebut. Selain program yang bersumber dari APBN dan APBD bisa dimasukan pada kawasan tersebut, pihak perusahaan-pun bisa mendukungnya dengan menjadikan kawasan tersebut menjadi Kawasan Pelestarian Plasma Nulfa (KPPN). Selanjutnya Pak Haidir siap mendikusikan lebih fokus untuk perencana pengelolaan kawasan Lindung Habitat Buaya Senyulong kedepan, terlebih adanya dukungan dari LSM yang fokus di daerah tersebut. (Deddy Permana)