Bagaimana Nasib Kami jika REDD Berjalan


Written by Administrator


Friday, 29 July 2011 00:00

WBHNEWS, Beberapa proyek percontohan REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and Degradation), upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan, telah berjalan.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat lokal yang dilibatkan belum memahami tujuan dari proyek ini.

Apa yang terjadi di Desa Petak Puti di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah, adalah salah satu contohnya. Di desa yang menjadi proyek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) hasil kerja sama Indonesia Australia dilakukan itu, masyarakat justru khawatir tentang proyek percontohan yang dijalankan.

“Tahun 2013, proyek KFCP ini kan berakhir. Kami khawatir nanti mereka akan menjadi hak kami. Hak itu misalnya kebun. Sampai sekarang kami tidak tahu apakah nanti akan terjadi seperti itu atau tidak,” ungkap Yuyo P Dulin, Kepala Desa Petak Puti, pada Senin (18/7/2011).

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, masyarakat Petak Puti mengalami trauma akan pengalaman masa lalu. Yuyo menjelaskan, sekitar tahun 2004, ada pihak yang datang serta melaksanakan proyeknya tanpa izin dan merugikan masyarakat setempat. Hal lain yang menjadi kekhawatiran adalah pelaksanaan REDD+ nantinya.

“Bagaimana nasib kami kalau REDD+ berjalan karena nanti hutan tidak dapat dijangkau manusia. Bagaimana kalau kita punya kebutuhan. Mau bikin kandang ayam atau rumah misalnya,” jelas Yuyo.

Menurut Yuyo, banyak hal tentang REDD+ yang belum dimengerti masyarakat. Dirinya sendiri mengaku bahwa hanya memahami REDD+ sebatas pada upaya mengurangi gas rumah kaca, belum pada semua konsekuensi jika REDD+ dijalankan nantinya.

Yuyo mengungkapkan, masyarakat perlu diberi pengetahuan soal REDD+ dan konsekuensinya. Yuyo juga meminta jaminan bahwa REDD+ ataupun proyek percontohannya tidak mengambil hak masyarakat.

Selain itu, menurut Yuyo, di luar soal REDD+, ada hal lebih penting yang perlu diupayakan jika nanti masyarakat benar-benar tidak bisa mengakses hutan. Ia menaruh harapan besar pada soal mata pencaharian alternatif sehingga masyarakat tetap bisa berusaha meningkatkan taraf hidupnya.

“Sekarang masyarakat bergantung pada karet dan ikan. Bagaimana KFCP juga ikut memikirkan hal ini. Jadi bagaimana masa depannya nanti Petak Puti ini,” kata Yuyo. Mata pencaharian alternatif penting sebab beberapa warga masih melakukan praktik yang merusak lingkungan, seperti menambang emas.

Sumber: Kompas.Com

Praktik REDD+ Rentan Korupsi


Written by Administrator


Tuesday, 26 July 2011 11:17

WBHNEWS, REDD+, inisiatif mengurangi emisi dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan, dalam praktiknya rentan korupsi. Hal ini diungkapkan aktivis Walhi, Teguh Surya, dalam acara UNODC Talk Series, Senin (25/7/2011) di Jakarta.

“Korupsi itu terbukti ada dalam sektor kehutanan dan ini mengikat semua lini yang ada. Sejak tahun 2000, menteri kehutanan saat itu juga sudah mengakuinya. Jadi kalau kita bicara REDD+ dan korupsi, bibit itu ada,” tegas Teguh.

Teguh memaparkan beberapa alasan yang memperkuat rentannya korupsi dalam praktik REDD+ nantinya. Fakta pertama yang memperkuat adalah masuknya Indonesia dalam 16 negara terkorup di Asia Pasifik dan salah satu negara terkorup di dunia.

“Jika persoalan ini tidak mendapat prioritas, maka kemungkinan besar dana REDD+ akan dikorupsi oleh kalangan pemerintahan,” kata Teguh yang menyampaikan presentasi bersama Cecilia Luttrell, peneliti senior CIFOR.

Menguraikan faktor lain, Teguh menyebut lemahnya birokrasi, belum adanya transparansi, dan tak adanya lembaga independen yang mengelola dan mengawasi dana REDD+. “Tanpa itu, dengan adanya dana besar dari tingkat global, ini akan jadi sasaran empuk,” ungkap Teguh.

Teguh mengungkapkan, indikasi korupsi dana REDD+ termasuk proyek percontohannya sebenarnya sudah ada, tetapi sampai saat ini belum menemukan fakta itu. Ia menambahkan, yang saat ini ditemukan adalah korupsi kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia.

“Pemerintah sudah punya komitmen tunda pembukaan hutan baru sejak 2010. Juni 2010-Desember 2010, Pemerintah Indonesia harusnya tidak mengeluarkan izin konsesi. Tapi, pemerintah menggunakan periode jeda Januari sampai Mei untuk memberikan banyak izin pembukaan hutan,” jelas Teguh.

Teguh juga menambahkan, mulai dari Juni 2010 sampai April 2011, 100.000 hektar hutan dibuka untuk tambang, sawit, dan sebagainya. Ini belum yang di Riau dan daerah lain. Kalau ditambah, ada lebih banyak lagi.

Teguh mengatakan, tindakan pemerintah termasuk korupsi kebijakan sebab sebenarnya komitmen tunda pembukaan lahan sudah ada sejak tahun 2010. Maka, dalam waktu jeda pemerintah sebenarnya tidak dibenarkan memberi izin. Berdasarkan fakta rentannya korupsi, termasuk komitmen negara maju yang dianggapnya minim, Teguh merasa skeptis REDD+ bisa menjawab tantangan penyelamatan hutan, pengurangan emisi, dan penanggulangan dampak perubahan iklim.

“Walhi sejak awal mengambil sikap berbeda dengan NGO dan pemerintah. Maka, kita mengatakan bahwa REDD+ adalah false solution. Saya tidak melihat alasan yang kuat REDD+ bisa menghentikan deforestasi,” papar Teguh.

Beberapa permasalahan membuat implementasi REDD+ rumit. Teguh mengatakan, definisi hutan yang dimaksud dalam program REDD+ sendiri belum jelas sehingga berdampak pada siapa yang didefinisikan sebagai aktor perusak hutan dan pada siapa insentif REDD+ nanti diberikan.

“Negara-negara maju banyak yang tidak melihat REDD+ sebagai upaya penyelamatan hutan, tetapi lebih karena ada uang besar yang dijanjikan dengan REDD+,” pungkas Teguh.

Sumber: Kompas.Com

Perubahan Iklim Ancam Kedamaian


Written by Administrator


Monday, 25 July 2011 16:13

WBHNEWS, PARIS- Tanpa antisipasi serius, perubahan iklim global diyakini akan mengancam kedamaian dan keamanan global di masa depan. Demikian diingatkan Achim Steiner, pejabat senior dari PBB.

Di lain pihak, perubahan iklim juga terbukti meningkatkan skala bencana alam. Kombinasi keduanya ini menjadi tantangan terbesar dalam beberapa dekade ke depan.

Ancaman ini, nyatanya mulai terjadi, sebagai contoh di Somalia.

Negara ini hingga saat ini terus dilanda persoalan perang saudara dan kelaparan akibat terbatasnya sumber daya alam dan kondisinya terus diperparah perubahan iklim. Tampak jelas, komunitas global-jika betul skenario terkait perubahan iklim di masa depan betul terjadi, kita akan menghadapi banyak kejadian ekstrim (seperti terjadi di Somalia), ujarnya.

Komentar ini disampaikannya terkait perdebatan di Dewan Keamanan PBB yang menyangkut isu lingkungan. Kaitan perubahan iklim global dengan kedamaian global dan keamanan pertama kalinya dilontarkan delegasi dari Jerman.

Keamanan Terancam

Nairobi, Kamis – Perubahan iklim secara eksponensial meningkatkan skala bencana kekeringan dan kelaparan. Bahaya kelaparan dan naiknya permukaan laut adalah ancaman terhadap perdamaian dan keamanan global. Dunia harus segera mencegah sebelum hal itu memburuk.

Achim Steiner, Direktur Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengungkapkan hal itu dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB, Rabu (20/7). Steiner mengutip prediksi skenario terburuk bahwa suhu akan naik 4 derajat celsius pada tahun 2060. Permukaan laut pun akan bertambah tinggi 1 meter selama abad berikutnya.

Sekalipun ilmu pengetahuan belum bisa menjelaskan alasan di balik pemanasan global, Steiner mengatakan, perubahan iklim adalah kenyataan. Efeknya melanda semua sektor kehidupan.

Katanya, ada berbagai bencana yang sudah terjadi. Jumlah dan kualitas bencana akan terus meningkat. Kekeringan di Afrika Timur, termasuk di Somalia, banjir Pakistan, dan dampaknya pada pasar makanan adalah sebagian kecil contohnya. Skala bencana alam akan meningkat secara eksponensial, tambah Steiner.

Dua wilayah di Somalia selatan, Bakool dan Shabelle Hulu, saat ini dilanda kelaparan terburuk dalam 20 tahun terakhir. Situasi itu bisa meluas ke delapan daerah lain. Sebelum situasinya memburuk, dunia harus segera mengambil langkah nyata. Tanda-tanda perubahan iklim bukan hanya itu. Semua berjalan cepat, lanjut Steiner.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mendesak agar ada tindakan terpadu dan menyerukan negara-negara maju memimpin aksi mitigasi dampak perubahan iklim. Negara-negara berkembang juga agar ikut berperan.

Aksi mengatasi cuaca ekstrem harus semakin sering dan intens di negara-negara kaya dan miskin. Jangan hanya menghancurkan kehidupan, kata Ban di DK PBB terkait masalah itu.

Pertemuan darurat

Sebelumnya dilaporkan, Afrika Timur (Kenya, Somalia, dan Etiopia) mengalami darurat pangan. Sekitar 12 juta orang terancam kelaparan. PBB, Kamis, menyerukan agar segera diadakan pertemuan darurat guna memobilisasi pangan ke kawasan itu.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengatakan, Kenya dan Etiopia terpukul akibat kekeringan yang parah selama bertahun-tahun. FAO, didukung Ketua Negara G-20, Perancis, menyerukan agar komunitas internasional menggelar pertemuan darurat di Kantor Pusat FAO di Roma, Italia, Senin mendatang.

Menteri dan wakil-wakil dari 191 negara anggota, badan lain PBB, lembaga nonpemerintah, serta bank pembangun regional menghadiri pertemuan itu. Lembaga bantuan Inggris, Oxfam, menuding Barat lamban merespons krisis Afrika.

Sumber: Kompas.Com

140 Hektar Hutan di Sumatera Terbakar Tiap Hari


Written by Administrator


Friday, 22 July 2011 10:16

WBHNEWS. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Provinsi Riau di Pekanbaru menyatakan, dalam sehari paling sedikit 140 hektar lahan dan hutan di Pulau Sumatera terbakar sehingga menyulut tingginya suhu udara di sekitarnya.

Untuk mencapai suhu udara setinggi ini, luas lahan yang terbakar minimum 10 hektar. Jadi jika dikalikan sebanyak pantauan satelit yakni 14 titik, luas lahan atau hutan Sumatra yang terbakar paling sedikit 140 hektar

Analis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Riau Sanya Gautami, Rabu (20/7/2011), mengatakan, luas lahan dan hutan yang terbakar itu merupakan analisis hasil pantauan satelit cuaca National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) 18 yang dioperasikan Amerika Serikat. Sebelumnya, Selasa (19/7/2011), NOAA sempat mendeteksi sedikitnya terdapat 14 titik api di Sumatera.

Satelit NOAA 18, kata Sanya, hanya dapat mendeteksi titik kebakaran hutan dan lahan apabila suhu udara berada di atas 40 derajat Celsius.

“Untuk mencapai suhu udara setinggi ini, luas lahan yang terbakar minimum 10 hektar. Jadi jika dikalikan sebanyak pantauan satelit yakni 14 titik, luas lahan atau hutan Sumatera yang terbakar paling sedikit 140 hektar,” katanya.

Sanya menjelaskan, ke-14 titik api di Pulau Sumatera tersebut tersebar di empat provinsi antara lain Aceh (1 titik api), Jambi (2), dan Sumatera Selatan (3).

Titik api terbanyak masih berada di Riau dengan jumlah delapan titik api. “Untuk Riau, kedelapan titik ini masing-masing berada di Kabupaten Bengkalis satu, Kampar dua, Rokan Hilir dua, dan Kabupaten Rokan Hulu sebanyak tiga titik api,” katanya.

Ia mengatakan, analisis atau prediksi cuaca pada Selasa hingga beberapa hari ke depan kemungkinan sebagian besar wilayah Riau masih minim hujan.

“Potensi hujan sangat kecil, kalaupun terjadi hanya di beberapa wilayah tertentu, khususnya Riau bagian barat yang meliputi Kabupaten Kuantansingingi dan Kampar dengan intensitas ringan dan sifatnya juga masih lokal,” kata Sanya

Sumber: Kompas.Com

Mengatasi Akar Masalah Perubahan Iklim


Written by Administrator

Palembang, YWBH menyambut baik kebijakan baru pemerintah Indonesia yang segera melarang pembukaan dan eksploitasi gambut di seluruh Indonesia dan memerintahkan penutupan kanal-kanal  untuk menaikkan permukaan air tanah hingga mendekati permukaan gambut untuk menghindari kebakaran lahan gambut.

Kebijakan ini juga melarang penanaman baru di lahan yang terbakar, namun mengharuskan upaya restorasi di wilayah tersebut dan melakukan investigasi dan tindak pidana pembakaran hutan.

Yulhendrawan, Deputi Direktur YWBH menilai, langkah yang diambil Presiden Jokowi adalah langkah tepat dalam mengantisipasi kebakaran pada tahun mendatang dengan melarang ekspansi perkebunan sawit di lahan gambut, dan meminta saluran kanal-kanal untuk disekat/ditutup. “Namun hal ini juga perlu diperkuat dengan memastikan bahwa lahan yang terbakar harus direhabilitasi bukan ditanamani dengan kelapa sawit. Hal itu juga hanya akan berhasil apabila seluruh tingkat pemerintahan di Indonesia dari tingkat bawah ke tingkat atas menjalankan kebijakan baru ini.”ujar Yulhendrawan.

YWBH mendesak perusahaan HTI dan perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk menjalankan instruksi baru pemerintah ini, dan memperingatkan bahwa tonggak inisiatif ini akan gagal tanpa dukungan dari industri dan seluruh jajaran pemerintahan pusat dan daerah.

Deforestasi dan pengeringan gambut selama puluhan tahun adalah merupakan akar masalah dari krisis kebakaran hutan dan gambut Indonesia yang telah menciptakan kondisi kesehatan yang memprihatinkan dan dampak lingkungan lintas kawasan.

Pada 24 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi untuk menangani kebakaran hutan dengan melarang pembangunan lebih lanjut di gambut. Pada tanggal 3 dan 5 November, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan instruksi formal kepada seluruh perusahaan perkebunan yang memerintahkan mereka untuk menghentikan ekspansi lebih lanjut di gambut.

Menurut Yulhendrawan, kebijakan tersebut harus dibuat lebih praktis dengan target waktu pelaksanaan yang jelas dan mengikat termasuk pemberian sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang mengabaikan kebijakan ini. Perusahaan-perusahaan HTI dan kelapa sawit harus merilis data dan peta yang menunjukan lahan konsesi (HGU) mereka. “Bagaimana kita dapat mempercayai mereka jika mereka abai terhadap presiden dengan melanjutkan penghancuran gambut?”paparnya.

Dikatakan, kebijakan yang melarang pemberian izin di atas lahan gambut ini sejalan dengan kebijakan Moratorium. Pemerintah Indonesia telah menerapkan moratorium izin baru konsesi di gambut, namun hal ini sering diabaikan oleh pemerintah daerah, khususnya di tingkat kabupaten di mana alokasi lahan biasanya terkait dengan korupsi. Peta penggunaan lahan yang bisa diakses publik menjadi penting untuk memberi jalan bagi masyarakat sipil dalam mengawasi bagaimana larangan kebijakan presiden atas pembukaan gambut ini bisa dilaksanakan.

Yulhendrawan menambahkan keputusan Presiden Jokowi yang melarang pembangunan gambut adalah langkah pertama  menuju  masa depan yang lebih baik bagi masyarakat dan lingkungan hidup di Indonesia.

“Ini menjadi contoh yang penting dari seorang pemimpin negara untuk mengatasi akar masalah perubahan iklim di ajang pertemuan iklim Paris. Perusahaan harus bekerjasama dengan pemerintah untuk menjalankan kebijakan ini dan memastikan berhenti melakukan bisnis dengan perusahaan yang masih melakukan deforestasi dan penghancuran gambut.”jelasnya.

Pelaku Bom Bunuh Diri Serang 15 Orang tewas


Written by Administrator

Kabul – Sekitar 15 orang tewas dalam sebuah serangan bom bunuh diri pada sebuah acara pemakaman di Afghanistan. Salah satu dari korban yang tewas merupakan anggota parlemen Afghanistan.

Seperti diberitakan oleh AFP, Minggu (25/12/2011), setidaknya 15 orang termasuk seorang anggota parlemen di Afganistan tewas dalam serangan bunuh diri pada saat acara pemakaman.

“Dalam sebuah acara pemakaman, terjadi serangan pelaku bom bunuh diri dan menewaskan 15 orang termasuk anggota parlemen Abdul Mutalib,” ujar Gubernur Takhar Abdul Jabar Taqwa.

“Saya juga diundang untuk upacara itu tetapi saya tidak pergi. Targetnya adalah saya atau Mutalib,” tambahnya.

Kepala polisi Takhar, Jenderal Khair Mohammad Temor, mengkonfirmasi serangan tersebut. “Penyerang bunuh diri yang mengenakan rompi menyerang prosesi pemakaman di kota terletak di Takhar,” ujarnya.

“Akibatnya sepuluh orang tewas dan 38 orang lainnya terluka. Mereka telah dibawa ke rumah sakit” jelasnya.

Belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.

Sigid Widagdo, ST


Written by Administrator

Implementator Lapangan Rencana Kelola Hutan Desa (RKHD) Sumatera Selatan

Tiga Desa di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Sumsel Mulai Mengembangkan Model Pengelolaan Hutan Desa

Akses mengelola kawasan hutan bagi masyarakat saat ini mulai difasilitasi oleh pemerintah. Peluang ini merupakan tonggak sejarah dan sekaligus kesempatan bagi masyarakat untuk berperan dalam memanfaatakan kawasan dan sumberdaya hutan yang ada disekitar mereka. Kita mengetahui bahwa selama ini kesempatan mengelola kawasan hutan lebih banyak diberikan kepada pihak swasta (perusahaan kehutanan) dan BUMN, dan ternyata ketimpangan pemberian kesempatan ini diberbagai tempat telah menimbulkan rasa ketidak-adilan masyarakat sehingga menjadi sumber pemicu kecemburuan sosial khususnya dalam pemanfaatan kawasan dan sumberdaya hutan.
Sebagai upaya masyarakat untuk memperoleh akses terhadap kawasan hutan guna untuk pemanfaatan dan pelestarian, maka tiga desa hutan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan masing-masing : Desa Muara Merang, Kepayang dan Muara Medak pada tahun 2009 yang lalu telah mengajukan usulan pengelolaan hutan desa kepada Menteri Kehutanan melalui Bupati Musi Banyuasin. Pilihan usulan model hutan desa ini tentunya didasari oleh beberapa hal, diantaranya adalah areal kelola masyarakat sudah semakin sempit karena telah diberikan konsesi kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit dan HTI, minat masyarakat untuk mengelola hutan cukup tinggi dan masih tersedia kawasan hutan yang belum dibebani hak.
Pada awal tahun 2010 ini, usulan hutan desa yang telah diajukan masyarakat kepada Menteri Kehutanan melalui Bupati Muba mendapat respon positif, dimana pada tanggal 21 Januari 2010 Menteri Kehutanan RI telah menetapkan areal pencadangan hutan desa Muara Merang seluas 7.250 ha pada kawasan hutan produksi Lalan Kabupaten Muba Provinsi Sumatera Selatan dengan SK No. 54/Menhut-II/2010, dan saat ini sudah mulai diinisiasi penyusunan Rencana Kerja Hutan Desa sebagai tahapan berikutnya. Sedangkan usulan dua desa lainnya yaitu desa Kepayang dengan luas usulan 6000 ha dan Muara Medak dengan luas usulan 10.900 ha pada tanggal 18 Maret 2010 telah dilakukan verifikasi lapangan oleh Tim Verifikasi Kementerian Kehutanan.

H. Hasan Basri Agus


Written by Administrator


Friday, 14 January 2011 07:00

Gubernur Jambi mengakui sudah banyak hutan jambi di rambah

saat ini sudah banyak hutan terutama dengan status Hutan Produksi yang telah dirambah masyarakat. “Khususnya di Merangin, hutan produksi memang sudah dirambah oleh masyarakat,” kata Gubernur di Bandara Sultan Thaha Jambi, Rabu. Bahkan, selain hutan produksi (HP), Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) juga tak luput dari jarahan masyarakat, meski jumlahnya tidak sebanyak perambahan di hutan produksi.
Gubernur mengaku telah mengambil langkah tegas dan kesepakatan bersama masyarakat. Jika ada perambahan, masayarakat tersebut akan diusir dari kawasan terlarang. Dalam Hutan Produksi, menurut Gubernur sudah banyak sekali masyarakat yang menetap di dalam kawasan hutan tersebut. Hingga saat ini jumlahnya sudah sampai 3000 kepala keluarga (KK) atau sekitar 10 ribu jiwa.
Dengan demikian, untuk perbaikan kedepan Gubernur mengharapkan kebijakan Menteri Kehutanan untuk penetapkan status hutan produksi yang telah dirambah itu. Harapanya Menteri dapat menyetujui penggunaan lahan apakah dengan pola Hutan Tanaman Rakyat (HTR) atau dalam bentuk lainnya.
Sehingga, dengan ditetapkannya lahan itu masyarakat dapat menanam karet dan tanaman sela lainnya seperi tanaman kopi. Gubernur Mengatakan, kemungkinan pembukaan HTR ini sangat terbuka. Karena, setelah tinjauan langsung, Menhut luluh juga melihat kondisi masayarakat,” ujar Gubernur.
Gubernur tidak membantah bahwa pemerintah daerah kini menerima para pendatang yang sudah berkebun kopi selama sekitar 10 tahun. Namun ia mengingatkan bahwa petani kopi tidak diperkenankan untuk melakukan aktivitas di TNKS. Meskipun pemerintah daerah menerima para pendatang untuk tetap mengelola HP, namun pihaknya tidak akan menerima lagi pendatang baru.
Sementara, mengenai pembalakan liar, Gubernur menegaskan sesuai dengan petunjuk Menteri Kehutanan apabila ditemukan ada perambahan, tindakan tegas akan langsung diberikan. Selain itu, pihaknya bersama dengan Polda Jambi, serta Dinas Kehutnana Provinsi Jambi akan langsung turun operasi. “Kita harus operasi dengan melibatkan Polda dan juga SPORC dari Kehutanan. Dan juga kita akan tindak tegas,” ungkap Gubernur.

Sumber: Antaranews

Zulkifli Hasan


Written by Administrator


Friday, 14 January 2011 07:00

Menteri Kehutanan di Jambi menyatakan Stop Izin hutan primer dan gambut

moratorium atau penghentian pengeluaran ijin baru konversi hutan mulai efektif pada tahun 2011, yakni untuk hutan primer dan gambut.   “Moratorium untuk hutan primer dan gambut,” kata Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan ketika melakukan kunjungan kerja di Jambi, Rabu. Menurut dia, penghentian pengeluaran ijin baru konversi hutan ini juga berlaku di Jambi.Pelaksanaan moratorium konversi hutan primer dan gambut selama dua tahun merupakan salah satu bentuk kerjasama Indonesia dan Norwegia yang telah disepakati dengan ditandatanganinya Letter of Intent antara kedua belah pihak. Dalam dokumen Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norwegia yang ditandatangani pada 26 Mei 2010 disebutkan bahwa penghentian pengeluaran ijin baru konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun dimulai Januari 2011. Dalam Dokumen LOI tersebut juga disebutkan bahwa peluncuran program uji coba propinsi REDD plus (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang pertama dimulai pada Januari 2011, yang dilanjutkan uji coba REDD plus untuk propinsi kedua pada 2012. Mulai Januari 2011 juga telah dioperasionalkan instrumen pendanaan oleh pemerintah Norwegia sebesar 200 juta dolar AS sampai 2014. Pemerintah sementara menyiapkan sektor-sektor implementasi kerja sama tersebut. Berbagai tindakan tersebut diantaranya adalah pembentukan badan khusus sebagai pelaksana moratorium yang memiliki kredibilitas dan transparan dan Penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN). “Persiapannya sendiri kita susun sejak Juni hingga Desember 2010,” ujarnya. Pemerintah Norwegia nantinya yang akan memilih salah satu dari lima usulan tersebut disesuaikan dengan pilot project REDD+ (Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Menhut berharap, dengan morotarium selama dua tahun tersebut, Indonesia akan mampu menurunkan emisi karbon hingga 26 persen pada tahun 2020. Selain itu, kerja sama Indonesia-Norwegia itu adalah yang pertama dan metodenya diharapkan menjadi percontohan bagi negara-negara lain. Menhut mengakui, kondisi kehutanan Indonesia termasuk Jambi mengalami krisis, karena itu penerapan moratorium diharapkan menjadi salah satu solusi. “Kami sudah menghentikan izin pengelolaan dan penebangan di lahan-lahan gambut dan kawasan hutan primer,” ujarnya.

 

 

 

H. Alex Nurdin


Written by Administrator


Friday, 14 January 2011 07:00

Gubernur Sumatera Selatan menerima SK Menteri Kehutanan Tentang Hutan Desa.

SK ini diserahkan langsung oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Boediono, di Istana Wakil Presiden. hari ini tanggal 22 Januari 2010 Lokasi yang ditetapkan menjadi Hutan Desa tersebut terletak di Dusun Pancuran, Desa Muara Merang Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Kawasan hutan yang dialokasikan menjadi Hutan Desa ini, sebagian besar adalah kawasan hutan gambut yang mempunyai kanekaragaman hayati tinggi dan mengandung jutaan ton karbon. Kawasan ini juga merupakan satu-satunya kawasan Hutan Rawa Gambut tersisa di Sumatera Selatan.

Tahapan yang dilakukan sampai dengan terbitnya SK Penetapan Areal Hutan Desa, dimulai dari permohonan usulan dari masyarakat kepada Menteri Kehutanan melalui Bupati MUBA. Kemudian Bupati MUBA mengeluarkan surat rekomendasi No. 522.12/1452/Dishut/2009 tertanggal 18 Mei 2009, dan melanjutkan usulan penetapan areal kerja hutan desa ke Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan atas dasar surat Bupati tersebut menurunkan tim verifikasi pada tanggal 23-25 November 2009.
Setelah dilakukan verifikasi, maka pada tanggal 22 Januari 2010 Menhut menerbitkan SK Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Muara Merang dengan SK No. 54/Menhut-II/2010 dengan luas areal 7.250 hektar. Pada hari ini juga SK tersebut diserahkan langsung oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Boediono kepada Gubernur Sumatera Selatan Alex Nordin di Istana Wakil Presiden. Turut hadir dalam penyerahan SK ini adalah Bupati Musi Banyuasin, Kepala Dinas Kehutanan Banyuasin, Camat Banyung Lencir, Kepala Desa Muara Merang dan Yayasan Wahana Bumi Hijau Sumsel sebagai organisasi pendamping masyarakat.
Kedepannya, kawasan ini akan dikelola menjadi 3 zona peruntukkan, yaitu lindung lindung, zona produksi dan zona budidaya.

Â