12 juta dolar AS untuk perlindungan satwa di Sumatera


Written by Administrator


Tuesday, 07 October 2014 01:54

Jakarta.

Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia sepakat menyediakan dana sebesar 12 juta dolar AS khususnya untuk program perlindungan harimau dan badak Sumatera termasuk pelestarian habitat.

Dana tersebut didapat dari kesepakatan pengalihan dana pembayaran utang Pemerintah Indonesia pada Pemerintah AS yang akan jatuh tempo. Sejumlah dana yang seharusnya dikembalikan kepada Pemerintah Amerika tersebut ditambahkan pada program Tropical Forest Conservation Action for Sumatra (TFCA-Sumatera) yang saat ini sedang berjalan di Sumatera dengan skema pendanaan yang sama.

Pada acara peluncuran yang dilangsungkan di @america tadi malam (1/10), Kristen Bauer, Deputy Chief of Mission Kedubes AS menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama menaruh perhatian besar pada perlindungan spesies terancam punah di Indonesia terutama Badak dan Harimau. Alasan kita berfokus pada harimau adalah karena harimau menderita akibat strategi program pembangunan yang tak terencana dan akibat perdagangan ilegal. Perdagangan liar tidak hanya berdampak pada punahnya beraneka jenis hewan namun mengancam keamanan perbatasan, pembangunan ekonomi dan kesehatan publik demikian ungkap Kristen Buer.

Raffles B. Panjaitan yang mewakili Sekjen Kementerian Kehutanan pada acara ini menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah menjalankan serangkaian respons untuk perlindungan harimau Sumatera. Sebanyak 5 proyek dengan berbagai donor termasuk dengan negara-negara ASEAN dan Amerika Serikat telah dijalankan berupa konservasi harimau dan habitatnya baik melalui konservasi in situ maupun eks situ.

Penandatanganan komitmen konservasi satwa sebesar 12 juta dolar AS ini merupakan bagian dari paket kerjasama dari tiga perjanjian yang ditandatangani di kantor Kemenhut pada tanggal 29 September 2014 yaitu: (1) Forest Conservation Agreement (FCA) antara tiga pihak yaitu Kementerian Kehutanan yang diwakili oleh Sekditjen PHKA Novianto Bambang Wawandono, dua lembaga swap partner yaitu Conservation International Foundation yang diwakili oleh Vice President Ketut Sarjana Putra dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang diwakili oleh M.S Sembiring selaku Direktur Eksekutif. (2) Debt-for-Nature-Swap Agreement (DSA) ditandatangani oleh dua pihak yaitu Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Dirjen Pengelolaan Utang, Robert Pakpahan dan Pemerintah AS yang diwakili oleh Duta Besar Robert Blake. (3) Swap Fee Agreement, ditandatangani oleh wakil dari Conservation International Foundation Ketut Sarjana Putra dan wakil Pemerintah Amerika Serikat, Duta Besar Robert Blake.

Tambahan dana tersebut akan disalurkan melalui hibah kepada LSM lokal. Kesepakatan ini memungkinkan kedua negara bekerja bersama melindungi, termasuk penegakan hukum bagi kejahatan terhadap satwa kunci seperti Harimau, Badak, Orangutan dan Gajah melalui intervensi kegiatan di tingkat kebijakan, tingkat bentang alam dan sosial ekonomi masyarakat. Selain itu, sebagaimana telah dituangkan di dalam kebijakan dan prosedur penyaluran dana hibah TFCA-Sumatera, fokus kegiatan memberikan dorongan terhadap kerjasama antara masyarakat, LSM, Pemerintah dan swasta dalam pengelolaan hutan beserta keanekaragaman hayati di dalamnya.

Mengomentari FCA yang merupakan dasar pelaksanaan kegiatan di lapangan, Ketut Sarjana Putra dari Conservation International menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat berkontribusi secara signifikan dalam penyelamatan spesies. Meneruskan kerjasama dengan KEHATI dalam konservasi hutan di tingkat lansekap, penambahan dana ini mendorong kita untuk melangkah lebih maju lagi dalam upaya penyelamatan spesies, ujarnya.

Menurut Samedi, Direktur Program TFCA-Sumatera, salah satu upaya nyata bagi perlindungan spesies kunci di Sumatera adalah dengan mempertahankan dan membuka ruang koridor antar kawasan konservasi untuk menjamin ketersambungan antar habitat sehingga satwa dapat saling berhubungan dan terjadi transfer materi genetik serta menurunkan intensitas konflik antara satwa dan manusia. Luas tutupan hutan harus ditambah atau setidaknya dipertahankan untuk tidak dikonversi, penindakan terhadap perdagangan ilegal dan perburuan liar pun harus lebih efektif dilaksanakan dengan menggunakan teknologi yang lebih memadai seperti forensik ujar Samedi menambahkan.

Ancaman seperti perburuan, fragmentasi habitat, penurunan populasi mangsa, perdagangan ilegal dan konflik dengan manusia juga makin mengurangi jumlah harimau di alam. Menurut Daftar Merah IUCN tahun 2008, sebanyak 51 ekor harimau Sumatera terbunuh setiap tahunnya yang mana 76% merupakan akibat perdagangan gelap. Kondisi ini diperparah dengan kebakaran hutan yang mulai marak pada bulan Agustus-September 2014, dimana sebaran 42% hotspot di Riau berada di hutan alam habitat harimau.

Keberadaan badak di Sumatera kini pun tak kalah memprihatinkan. Delapan dari 12 kantung badak yang sebelumnya teridentifikasi di Sumatera diduga kini sudah tidak ada lagi, hanya tinggal sedikit di Sumatera bagian utara dan sedikit di Sumatera bagian selatan, dan populasinya selama 21 tahun turun 82 persen, ujar Samedi yang mengutip data dari WWF Indonesia.

Penurunan populasi badak ini sangat memprihatinkan. Reproduksi badak di alam cukup sulit, sehingga ancaman penurunan populasi dari tekanan akibat pembukaan hutan, kebakaran hutan, perburuan liar makin memperburuk viabilitas badak di hutan, ungkap MS. Sembiring, Direktur Eksekutif KEHATI yang dipercaya sebagai Administrator program TFCA di Indonesia ini.

Oleh karena itu dukungan dari masyarakat luas perlu terus digalang. Penambahan dana sebesar 12 juta dollar diharapkan dapat digunakan untuk melestarikan, melindungi dan mengelola habitat yang diperlukan untuk rumah bagi satwa serta dapat digunakan untuk penyelamatan, restorasi dan peningkatan populasi dan habitat satwa liar di alam.

Sumber: TFCA Sumatera baca juga: AFP.com

Mitra Setapak PKM V di Surabaya


Written by Administrator


Thursday, 11 September 2014 13:25

Wahana Bumi Hijau (WBH) adalah salah satu Mitra SETAPAK

yang total mitrannya sekarang berjumlah 48 tersebar di 5 Provinsi dan nasional. dalam kesempatan PKM v yang diselenggarakan di Surabaya, dalam rangka bersama untuk dapat saling mengenal lebih jauh tentang siapa rekan kita, apa intereset utama mereka di TKHL dan apa yang bisa kita kerjakan bersama kedepan. Media yang paling efektif untuk sharing di PKM V ini adalah melalui sebuah poster, berikut adalah poster yang menuangkan kegiatan dan rencana tindak lanjut kedepan yang akan dilakukan oleh Wahana Bumi Hijau (WBH)

Inilah Aksi Warga Kepayang Antisipasi Dampak El Nino


Written by Sigid Widagdo


Thursday, 03 July 2014 19:38

Pencegahan kebakaran dan pengelolaan hutan gambut tidak sesederhana menutup kanal. Menurut Prasetyo, perlu peningkatan kesadaran dan partisipasi mayarakat menjaga kawasan. Pengelolaan rawa gambut Merang Kepayangpun perlu terintegrasi, antara pemerintah, pihak swasta, masyarakat, dan LPHD. Jika tidak, hutan gambut yang tersisa di Sumsel ini akan mengalami kerusakan parah. Kekayaan flora fauna akan terancam punah.

Kajian WI-IP pada 2006, dari hutan produksi 225.000 hektar, hanya 47.000 hektar hutan kondisi baik, 99.000 hektar rusak parah. Sisanya, kawasan rawa terbuka atau semak belukar dengan vegetasi rendah dan rawan terbakar.

Pantauan WBH, sedikitnya ada 14 parit bermuara ke Sungai Kepayang dan Nuaran dengan ukuran 1,5-2 meter dan memiliki kedalaman sekitar 1-2 meter. Sedangkan kerusakan rawa gambut Merang Kepayang di hutan Lalan cukup parah.

Kebakaran di lahan gambut sulit ditanggulangi. Menurut Robet, api menjalar dari dalam tanah. Pohon-pohon yang terbakar tumbang, baru api menjalar ke atas. Pemadaman titik api di permukaan tanah belum berarti menghentikan kebakaran. Api menjalar di bawah tanah bisa muncul dimana saja.

Kebakaran juga menjadi momok menakutkan bagi masyarakat lokal. Robert, warga Desa Kepayang, mengatakan, kebakaran cukup besar pernah terjadi di Kepayang 1997, 2004, dan 2006. Tidak sedikit kebun masyarakat terbakar. Puluhan hektar hasil jerih payah membangun kebun bertahun-tahun habis dalam sehari semalam.
Selain penebangan liar, kebakaran merupakan ancaman terbesar bagi rawa gambut. Kerusakan gambut Merang-Kepayang ancaman bagi habitat satwa liar seperti harimau Sumatera (Pantera tigris), tapir (Tapirus indicus), dan buaya Sinyulong (Tomistoma schlegelii).

Hasil kajian Wetlands International Indonesia Programme (WI-IP) tentang penyebaran gambut di dalam kawasan Merang Kepayang menunjukkan, ketebalan lapisan gambut di kawasan ini bervariasi, kurang satu meter hingga tujuh meter. Dari luas 271.000 hektar, sekitar 210.000 hektar lahan gambut. Setidaknya ada dua kubah gambut utama: antara Sungai Merang -Kepayang, dan antara Sungai Kepayang serta hulu-hulu sungai yang bermuara ke TNS.

Terdapat dua sungai utama mengalir di kawasan hutan rawa gambut ini, yaitu Sungai Merang dan Sungai Kepayang. Ia bermuara di sungai Lalan selanutnya ke semenanjung Banyuasin. Sejumlah sungai di pesisir Taman Nasional Sembilang (TNS) berhulu pada hutan rawa gambut Merang-Kepayang.
Dengan penyekatan parit yang dilakukan bersama masyarakat ini, air gambut bisa tertahan hingga di sekitar parit tetap basah dan sulit terbakar. untuk memperkuat ketahanan sekat/bloking Warga juga menanam jelutung di lokasi penyekatan.

Kanal di lahan gambut, tanpa mempertahankan batas tertentu ketinggian air di parit. Keadaan ini menyebabkan kandungan air gambut menyusut sehingga lahan menjadi kering sehingga lahan gambut mudah terbakar.

Kerusakan tata air di lahan gambut sering kali ditimbulkan oleh kegiatan manusia yang tidak terkendali, seperti membuat kanal-kanal sebagai alur transportasi kayu alam, menebang hutan, membakar ladang, dan lain-lain, kata Prasetyo Widodo, koordinator penyekatan parit dari Wahana Bumi Hijau (WBH) sebagai salah satu NGO Lokal di Sumatera Selatan yang konsen pada Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan Hidup, Selasa (1/7/14).

Bahaya kekeringan dan kebakaran mengancam. Guna berjaga-jaga dari kemungkinan kebakaran hutan dan lahan, warga di Kepayang Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, menyekat kanal atau parit di Sungai Kepayang dan Sungai Nuaran.

Rumahmu Dihabisi oleh Kebijakan


Written by Administrator


Wednesday, 21 May 2014 01:48

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)

merupakan satwa endemik Indonesia yang populasinya saat ini tersebar dalam populasi-populasi kecil di dalam dan di luar kawasan konservasi di Sumatera. Diperkirakan populasi yang tersisa di habitat alaminya hanya 300 – 400 ekor dan jumlahnya akan terus berkurang apabila kerusakan hutan sumatera terus berlanjut. Harimau Sumatera adalah harimau terakhir Indonesia – setelah harimau Bali pada dekade 40-an dan harimau Jawa pada dekade 80-an dinyatakan punah.

Flora dan fauna khas Sumatera tersebar luas dengan aneka karakteristiknya yang beragam dan sangat unik. Kali ini kita akan berkenalan dengan spesies hewan buas khas Sumatera yang memiliki banyak keunikan yang harus Anda ketahui.

Harimau Sumatera atau Panthera Tigris SumatraeMenjadi yang terkecil dalam jenisnya, bukan berarti membuat Harimau Sumatera atau Panthera tigris sumatrae mudah untuk ditaklukkan. Hewan ini merupakan jenis yang pandai berenang di dalam air. Hal ini turut didukung oleh selaput yang terdapat di sela-sela jari kakinya. Bahkan, penduduk kadang menjuluki mereka dengan istilah “kucing air”. Mereka juga mampu memanjat pohon demi mengejar mangsanya. Tidak hanya itu, Harimau Sumatera juga dapat menyesuaikan diri dengan segala kondisi, baik itu di dataran rendah ataupun dataran tinggi. Harimau Sumatera termasuk dalam kategori hewan soliter yang mengejar mangsanya pada malam hari. Sebelumnya, target buruannya itu diintai terlebih dahulu sebelum menerkam dan menyantapnya. Hewan seperti babi, kijang, rusa, unggas, ikan, dan orang utan adalah sederet jenis hewan yang menjadi target buruan Harimau Sumatera. percayakah Anda? Di samping menyantap hewan lainnya, ternyata kawanan Harimau ini juga menggemari buah durian.

Harimau Sumatera tidak membutuhkan waktu khusus untuk masa reproduksi. Demi melahirkan generasi baru, Harimau Sumatera betina memerlukan waktu selama 103 hari dan biasanya melahirkan 2 atau 3 ekor anak. Indera penglihatan anak harimau berfungsi pada hari ke sepuluh setelah hari kelahirannya. Selama 8 minggu pertama harimau-harimau junior tersebut hanya meminum air susu induknya dan baru akan mengkonsumsi makanan padat. Menginjak usia 18 bulan, mereka sudah berani berburu tanpa didampingi induknya. Harimau Sumatera dapat bertahan hidup dalam kurun 15 hingga 20 tahun.

Senada dengan kondisi hewan endemik pada umumnya, populasi Harimau Sumatera kian menurun. Perburuan, pembebasan lahan hutan, dan aktivitas ekonomi lainnya mengganggu keseimbangan habitat mereka. Penangkapan babi dan rusa yang kerap dilakukan masyarakat juga merusak sistem rantai makanan para hewan di dalam hutan. Apalagi, dalam satu tahun setidaknya Harimau Sumatera membutuhkan 50 ekor babi sebagai makanannya. Berkurangnya jumlah hewan yang menjadi target mangsanya, tentu sangat mempengaruhi kelangsungan hidup mereka. Banyaknya peminat barang-barang yang terbuat dari kulit Harimau asli pun menjadi salah satu ancaman yang sulit dihindari sekalipun telah diatur dalam UU pasal 21 nomor 5 tahun 1990 poin (d) yang berbunyi “setiap orang dilarang untuk memperniagakan, menyimpan atau memiliki, kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia”. Bagi yang melanggar hukum ini dijatuhi sanksi pidana maksimal 5 tahun kurungan dan maksimum denda sebesar Rp. 100 juta. Sayangnya, hingga kini ketegasan hukum yang telah disahkan ini tetap tidak mampu menghentikan perburuan terhadap Harimau Sumatera di Pulau Sumatera.

Menurutnya, salah satu upaya nyata bagi perlindungan habitat harimau Sumatera adalah dengan mempertahankan dan bahkan menambah luasan hutan alam, bukannya dengan membiarkan hutan alam semakin berkurang. Ia berpendapat, pemulihan habitat harimau seharusnya menjadi komitmen bersama segenap komponen bangsa.

“Masyarakat luas dapat dan perlu turut berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan satwa langka. Akibat dari kegiatan atau apa yang kita konsumsi sehari-hari, langsung maupun tidak langsung turut menyebabkan keterancaman harimau Sumatera dan hutan di Indonesia,” jelasnya.

Oleh sebab itu, tambahnya, menjaga kelestarian satwa kebanggaan nasional tak hanya tanggung jawab Kementerian Kehutanan atau masyarakat sekitar hutan, namun juga segenap bangsa Indonesia. Kelestarian atau keterancaman harimau dan lingkungan adalah indikator dari martabat dan jati diri bangsa.

Aktivitas Masyarakat di Sekitar Habitat Buaya Senyulong

Sungai Merang merupakan sistem sungai kecil pada Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK), lokasinya berada didalam wilayah administrasi desa Muara Merang kecamatan Bayung Lencir kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Dari beberapa hasil survei yang dilaksanakan oleh  WMI dan BKSDA Sumsel tahun 1995-1996, diketahui bahwa di daerah sungai Merang ini terdapat habitat penting,

yaitu persarangan dan populasi Buaya Senyulong (Tomistoma schlegelii) yang secara internasional species ini dinyatakan sebagai species yang terancam kepunahannya dengan klasifikasi Genting atau Endangered species. Selain itu daerah ini juga merupakan habitat bagi pemijahan ikan, sumberdaya kayu dan perikanan air tawar serta menurut data terakhir kawsan ini merupakan suatu kawasan hutan rawa gambut relatif utuh yang tersisa di provinsi Sumatera Selatan serta suatu ekosistem yang rentan secara global (Bezuijen, dkk. 2002).

Pemanfaatan SDA di Sekitar Habitat Buaya Senyulong Oleh Masyarakat Lokal

Dari hasil observasi lapangan dan hasil wawancara dengan komunitas masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan, diketahui paling tidak ada tiga macam pemanfaatan sungai Merang oleh masyarakat sekitar, yaitu (1) pada bagian hulu, dominan dimanfaatkan oleh para penebang liar sebagai akses mengeluarkan hasil tebangan kayu yang mereka tarik melalui parit-parit buatan yang ada didalam hutan. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut, mereka keluarkan melalui parit/kanal yang telah mereka persiapkan sebelumnya menuju badan sungai Merang dan seterusnya ditarik sampai ke muara sungai, (2) pada bagian tengah, lebih dominan dimanfaatkan oleh Kelompok Nelayan Sinar Lestari yang memperoleh kuasa hak pengelolaan dari pemerintah desa Muara Merang untuk mencari ikan/bekarang dengan menggunakan alat tangkap tradisional. Kelompok nelayan berjumlah  + 10 KK dan mereka bermukim di pingir-pinggir sungai, (3) pada bagian hilir lebih banyak dimanfaatkan oleh para masyarakat dan karyawan lapangan perusahaan perkebunan, perusahaan HTI (PT. Rimba Hutani Mas) yang mempunyai areal konsesi disekitar kawasan. Bagi masyarakat dan para karyawan ini, keberadaan sungai Merang merupakan akses trasportasi dari dan menuju lokasi kerja. Khusus bagi perusahaan HTI yang saat ini sedang melakukan kegiatan land clearing (LC), keberadaan sungai Merang ini secara intensif digunakan untuk mengeluarkan kayu hasil land clearing (LC) menuju ke Pabrik Kertas milik Sinarmas Group yang ada di provinsi Jambi.

Ancaman yang Terjadi pada Habitat Buaya Senyulong Saat Ini

Secara umum terdapat tiga ancaman serius yang terjadi pada habitat buaya senyulong saat ini, yaitu  (1) terusiknya kondisi habitat oleh rutinitas angkutan dan mobilitas para penebang liar dari dan menuju lokasi penebangan kayu, (2) menurunnya kedalaman sungai akibat dari banyaknya pembuatan parit/kanal akses mengeluarkan kayu hasil tebangan, (3) pada saat musim kemarau sering terjadi kebakaran yang disebabkan oleh kelalaian penggunaan api para penabang liar.  Implikasi dari ketiga ancaman ini menyebabkan keberadaan populasi buaya senyulong saat ini diambang kepunahan.

Persepsi Masyarakat Terhadap Buaya Senyulong

Menurut para nelayan, keberadaan buaya senyulong merupakan suatu indikator dari keberadaan ikan disekitar, makin banyak buaya makin banyak ikan disekitar. Oleh karena itu para nelayan tidak memburu buaya, kemudian buaya senyulong tidak bernilai ekonomis. Sedangkan menurut para pencari kayu/pembalok, buaya senyulong adalah hewan yang biasa saja, hewan yang hidup di rawa gambut dan tidak ganas. Para pembalok tidak pernah memburu hewan ini karena tidak bernilai ekonomis. (masrun zawawi)

Studi Sosial Ekonomi dan Potensi HHBK di Desa Menerima Izin HKm Kabupaten Lahat Kecamatan Mulak Ulu

WBH, Kabupaten Lahat – HkM atau yang biasa disebut dengan Hutan Kemasyarakatan merupakan salah program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang merupakan masuk dalam program Kehutanan Sosial. HkM merupakan salah satu dari program kehutanan sosial selain program Hutan Desa (HD). HKm Kabupaten Lahat yang sudah keluar SK Areal Kerja Nomor : SK 540/Menhut-II/2013 terletak di Desa Pengentanan Kecamatan Mulak Ulu. Jarak usulan sampai keluarnya izin SK ini selisih 2 (dua) tahun. Masih ada 1 (satu) HkM lagi yang belum keluar SK-nya yaitu desa Lawang Agung yang baru diusulkan pada tahun 2013.
Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pemberdayaan masyarakat dilihat sebagai upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar mereka mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka kesejahteraan masyarakat. HKm hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dimana kawasan tersebut menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat.
Program Perhutanan Sosial mempunyai target capaian sebesar 500.000 ha/tahun untuk HKm dan Hutan Desa (HD) hanya tercapai rata-rata 10%tahun (dihitung sejak tahun 2007).  Hal ini dikarenakan pelaksanaan program tersebut masih kendala oleh beberapa masalah.

Setelah ruang kelola didapatkan ada beberapa kegiatan pendampingan masyarakat yang berfungsi menguatkan kelembagaan dan masyarakat, mempertahankan dan memperluas ruang kelola untuk menjamin kedaulatan atas umber daya alam (air, pangan, hutan dan energi) dalam melakukan pengelolaan. Untuk berjalannya pendampingan berjalan optimal perlu adanya data dasar yang mendukung yang antara lain melalui survey sosial ekonomi masyarakat.

Pada saat ini HKm ini sudah keluar SK Bupati Lahat No. 522/08/KEP/ Dishutbun/2015 tentang pemberian izin usaha pemanfaatn Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) yang ditujukan kepada Kelompok Tani “Bersama”. Dimana kawasan HKm ini berada di kawasan hutan lindung Bukit Jambul Patah. Dalam point keempat dalam SK Bupati tersebut bahwa pemegang IUPHKm berhak untuk memanfaatkan Jasa Lingkungan dan Memanfaatkan hasil hutan bukan kayu.

Sehubungan sesuai point keempat SK Bupati Lahat No. 522/08/KEP/ Dishutbun/2015 tentang Penerima izin berhak memanfaatkan jasa lingkungan dengan memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu. Hal ini sesuai ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pedoman ini pemanfaatan hasil hutan non kayu adalah melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan.

Beberapa jenis HHBK mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, antara lain: rotan, madu, kemiri, gaharu, dan Kopi Serta karet. Jenis-jenis tersebut memiliki prospek pasar baik di dalam maupun di luar negeri. Berdasarkan ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 1 butir 13, hasil hutan adalah benda-benda hayati dan non hayati dan turunannya serta jasa yang berasal dari hutan. Hal ini telah dijabarkan dalam Permenhut No.P.35/Menhut-II/2007 tentang HHBK meliputi 7 kelompok, dimana jasa lingkungan yang berasal dari hutan tidak termasuk HHBK.

Melalui survey sosial ekonomi dan potensi Hasil Hutan Bukan Kayu  akan tergali informasi-informasi yang dibutuhkan untuk menguatkan dalam hal pengelolaan dan ekonomi masyarakatitu sendiri.

Kegiatan Studi yang dilaksanakan 8 (delapan) Hari ini, 30 Oktober – 6 November 2015 Bertujuan untuk Mengumpulkan data awal tentang sosial ekonomi masyarakat penerima Izin HKm dan Desa sekitarnya dan Mengidentifikasi Hasil Hutan Non Kayu di kawasan HKm dan 4 (empat) Desa Prioritas survey yaitu Desa Datar Balam, Desa Pengetaan, Desa Padang Masyat, Desa Pindaian dengan Keluaran Hasil Kegiatan adalah Tersediannya dokumen survey sosial masyarakat dan Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu di Desa yang mendapatkan Izin kerja HKm dan di Desa Sekitarnya.

Studi Potensi HHBK Hutan Desa di Semende Muara Enim

WBH, Muara Enim – Kegiatan Studi Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Hutan Desa Semende dilaksanakan dari tanggal 9 – 21 September 2015. Kegiatan ini bertujuan Mengetahui jenis dan potensi hasil Hutan Non Kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan Identifikasi nilai ekonomi dari Hasil Hutan Bukan Kayu dan pengaruhnya terhadap pendapatan masyarakat sekitar Hutan Desa. Studi ini dilaksanakan di 6 (enam) Desa yang di saring dari 12 Hutan Desa yang telah keluar izin wilayah kerjannya. Pemilihan di dasarkan atas presentase Tutupan Hutan di Lahan Hutan Desa dan kepastian wilayah areal kerja hutan desa mereka. Kegiatan ini juga dibantu oleh pihak UPTD Penyuluh Kehutanan dan mayarakat desa yang di prioritaskan.

Dari Hasil Kegiatan ini ada beberapa potensi yang telah digali yang ditemukan di 6 Desa Tersebut yang antara lain : Buah Rotan Jernang, Rotan, Bambu Kacang Barangan dan Kayu Manis dan beberapa jenis lainnya. Jernang merupakan prospek potensi yang bagus
kedepannya hal ini telah ada tempat pengumpul dan pengolahan getah jernang di Desa tanjung Agung. Buah jernang yang diambil resin (Getah yang telah mengeras) mempunyai nilai yang tinggi, setidaknya dalam penjualan resinnya dalam ukuran 1 ons didesa tersebut bisa mencapai Rp 125.000-Rp 250.000. Tetapi kegiatan ini selain sosialisasi kepada masyarakat lokal untuk tidak mengambil umbut dari jernang karena akan mematikan dari jernang tersebut, selain perlu adanya budidaya jernang dan hal ini perlu mencontoh dari daerah Provinsi Jambi yang sudah melakukan pembudidayaan terutama di daerah Silamban dan Sigatal.

Selain Rotan Jernang juga terdapat jenis rotan lainnya yang bisa diambil manfaatnya terutama batangnya berdasarkan penggalian informasi bahwa kebutuhan rotan hanya sebatas kebutuhan rumah tangga belum dimanfaatkan untuk perdagangan sekala besar. Hal ini dikarenakan belum adanya keahlian yang dimiliki oleh masyarakat. Begitu juga tanaman jenis bambu masyarakat belum mempunyai keahlian dalam pengelolaannya.

Buah Barangan atau sarangan atau yang dikenal dengan Cheesnut (kacang keju) merupakan potensi yang perlu digali dan juga fungsi pasarnya perlu ditinjau lagi. Karena kacang ini merupakan produk ekspor yang sangat digemari oleh masyarakat Eropa dan Amerika. Selama ini masyarakat menjualnya dalam hitungan Cantingan (Kaleng susu) dengan harga 15.000 satu canting. Berdasarkan penelitian jenis pohon kacang barangan dalam family Fagaceae ini cukup mendominasi di areal hutan lindung di Semende. Madu, Kayu manis dan Aren merupakan salah satu potensi yang cukup baik diareal tersebut tetapi pengelolaan melalui budidaya yang perlu ditingkatkan.

Jenis buah-buahan seperti Durian, Nangka, Petai dan Jengkol merupakan produk unggulan masyarakat tetapi hanya durian yang saat ini yang bisa mereka kelola menjadi produk sampingan. Jenis buah lainnya biasanya mereka jual langsung kep Pasaran.

Selain itu tanaman obat-obatan potensi cukup tinggi berdasarkan penggalian informasi dan kunjungan di lapangan bersama ahli pengobatan tradisional banyak tanaman hutan bisa digunakan untuk obat-obatan. Tentunya bila ada penelitian yang lebih mendetil tentang jenis dan manfaat jenis tanaman tentu sangat bermanfaat bagi dunia Kesehatan.

Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu di Hutan Desa Semende masih cukup baik dan lebih baik lagi bila dilakukan pengelolaan secara baik oleh masyarakat. Dimana Masyarakat lokal harus dilatih untuk meningkatkan keahlian mereka mengelola bahan mentah menjadi barang jadi. Disamping pembudidayaan jenis tanaman yang berpotensi perlu dilakukan disamping untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat juga sekaligus mempertahankan tanaman asli yang ada di kawasan hutan.

SEMILOKA Permasalahan dan Solusi Pemanfaatan Ruang di Provinsi Sumatera Selatan


Written by Administrator


Saturday, 09 May 2015 17:23

Wilayah ruang provinsi Sumatera Selatan berdasarkan fungsi kawasan memiliki luasan mencapai 8.811.291 Ha, yang terdiri dari fungsi Areal Penggunaan Lain (APL) yang luasnya 5.315.917 Ha dan fungsi kawasan hutan yang luasnya 3.495.374 Ha (SK Menhut No. 866 tahun 2014).
Berdasarkan fungsi ruang di atas, dari hasil overlay spasial peta pemanfaatan ruang perizinan (kehutanan, perkebunan, pertambangan) dan pemanfaatan lainnya yang juga dikoreksi dengan peta landcover dari peta citra landsat-8, telah ditemukan kondisi eksisting yang dapat dikompilasi dalam bentuk fakta-fakta
pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan

Pada APL telah ada Izin Usaha Perkebunan (IUP) mencapai luasan 1.810.786 Ha dan pada fungsi kawasan hutan telah ada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Hutan Tanaman, Restorasi Ekosistem, dan Jasa Lingkungan) dan
Izin Perhutanan Sosial (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat) mencapai luasan 1.553.787 Ha, sedangkan pada fungsi keduanya (APL dan kawasan hutan) terdapat juga Izin Usaha Pertambangan yang luasannya mencapai 2.917.080 Ha.
Terdapat tumpang tindih (over-lapping) antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan IUPHHK yang luasannya mencapai 35.916 Ha, tumpang tindih (overlapping) antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan fungsi Kawasan Hutan yang luasannya mencapai 109.225 Ha, serta juga tumpang tindih (overlapping) IUPHHK & Izin Perhutanan Sosial dengan fungsi bukan kawasan hutan (APL) seluas 104.816 Ha.
Pada pemanfaatan ruang melalui Izin Usaha Perkebunan (IUP) terdapat juga ketidaksinkronan antara luas IUP dengan kondisi luas eksistingnya; pada luas IUP di kabupaten Banyuasin mencapai 217.127 Ha dengan luas eksistingnya telah mencapai 258.473 Ha, IUP di kabupaten Musi Banyuasin luasannya 254.407 Ha dengan luas eksistingnya mencapai 311.116 Ha, IUP di kabupaten MURA & MURATARA luasannya 86.921 Ha dengan luasan eksistingnya mencapai 119.665 Ha, luas IUP di kabupaten Muara Enim & PALI adalah 107.068 Ha dengan luasan eksistingnya mencapai 122.902 Ha, dan luas IUP di kabupaten Ogan Komering Ilir mencapai 279.232 Ha dengan luasan eksistingnya telah mencapai 291.804 Ha.
Disamping itu, juga terdapat pemanfaatan ruang untuk pemukiman masyarakat (Desa/kelurahan dan atau dusun) yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan (Hutan Lindung, Hutan Produksi, Suaka Margasatwa, dan taman Nasional) yang jumlah-nya mencapai 442 Desa/Kelurahan.
Dalam aspek tutupan hutan di provinsi Sumatera Selatan lima tahun terkahir (tahun 2009 dan tahun 2014) telah diidentifikasi kondisi deforestasinya (konversi dari hutan menjadi bukan hutan) mencapai 166.961 Ha atau 33.255 Ha/tahun.

Kondisi pemanfaatan spasial di atas, telah disusun dalam bentuk lembar fakta (fact-sheets) oleh Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Selatan untuk Tata Kelola Hutan & Lahan Yang Baik, yang dapat menjadi bahan masukan kepada semua pihak (Pemerintah, Swasta, dan Akademisi, dan Masyarakat Sipil) dalam rangka mendukung perbaikan tata kelola hutan dan lahan di masa yang akan datang.

Salah satu kebijakan Pemerintah yaitu membangun Jaringan Informasi Geospasial Daerah merupakan gagasan cerdas untuk perbaikan sistem informasi geospasial dalam upaya mewujudkan keterbukaan informasi, akuntabilitas, dan partisipasi semua pihak yang belum terimplementasi dengan baik di provinsi Sumatera Selatan.

SEMILOKA WBH (5)Menurut Bapak Adiosyafri, S.Si (Spesialis GIS Wahana Bumi Hijau) Dari berbagai permasalahan dan potensi perbaikan dalam pemanfaatan ruang tersebut maka dianggap perlu untuk didiskusikan guna mendapatkan solusi bersama melalui kegiatan Seminar dan Lokakarya. sehingga Tujuan dari kegiatan ini tercapai, sebagaimana yang telah disampaikannya tujuan sebelum melakukan paparan lembar fakta, tujuannya Pertama, Menyampaikan hasil temuan spasial berupa lembaran fakta (fact-sheet) tentang pemanfaatan ruang spasial provinsi Sumatera Selatan kepada para-pihak. Kedua, Membangun kesepahaman para-pihak (Pemerintah, masyarakat sipil, akademisi) tentang permasalahan pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan dan mencari solusi bersama untuk perbaikan. dan yang Ketiga, Mendukung kebijakan pengembangan Jaringan Informasi Geospasial, dalam upaya perbaikan tata kelola hutan dan lahan di provinsi Sumsel. Dengan Hasil yang diharapkan; Para pihak mendapatkan informasi tentang hasil kajian pemanfaatan ruang di Sumatera Selatan; Adanya komitmen para pihak untuk melakukan perbaikan pemanfaatan ruang dan mengimplementasikan kebijakan pegembangan Jaringan Informasi Geospasial di provinsi Sumatera Selatan; Adanya rekomendasi untuk perbaikan pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan.

Fakhrizal Pulungan, S.Si (Panitia Pelaksana) mengatakan SEMILOKA ini akan dilaksanakan selama 2 hari yaitu Selasa Rabu, 5 6 Mei 2015 Di Imara Hotel Sudirman (Swissbellin-Sahid Imara) Jl. Jend. Sudirman (Simpang Sekip) Palembang. Kegiatan SEMILOKA ini dilakukan oleh Wahana Bumi Hijau bersama Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan Provinsi Sumsel, didukung oleh The Asia Foundation. Tegasnya

Peserta SEMILOKA ini adalah SKPD, NGOs, CSO, dan Akademisi yang terkait pada pengelolaan Sektor Tata kelola Hutan dan Lahan terdiri dari :
1. Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kabupaten Banyuasin,
Pemerintah Kab. Musi Banyuasin, Pemerintah Kab. Muara Enim, Pemerintah kab.
Ogan Komering Ilir dan Pemerintah Kab. Musirawas.
2. Lembaga Non-Pemerintah (NGOs), Kelompok Masyarakat Sipil (CSO) dan
Akademisi tingkat Nasional dan Propinsi Sumatera Selatan.

Adapun komposisi peserta yang diundang ada sebagai berikut :
Komposisi peserta:
1 Dinas/Instansi tingkat provinsi Sumsel 8 perwakilan
2 Dinas/Instansi tingkat kabupaten Banyuasin 3 perwakilan
3 Dinas/Instansi tingkat kabupaten MUBA 4 perwakilan
4 Dinas/Instansi tingkat kabupaten Muara Enim 4 perwakilan
5 Dinas/Instansi tingkat kabupaten OKI 4 perwakilan
6 Dinas/Instansi tingkat kabupaten MURA 4 perwakilan
7 Instansi/Kelompok Masyarakat Sipil (NGOs, CSO, dan Akademisi) tingkat provinsi Sumsel 16 perwakilan
8 Kelompok Masyarakat Sipil (NGOs, CSO, dan Akademisi) tingkat Kabupaten (MURA, MUBA, Banyuasin, OKI, dan Muara Enim) 9 perwakilan sehingga Jumlah Total Peserta 52 perwakilan.

Setelah Penantian Panjang untuk Hutan Desa Kepayang

Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera selatan, dilihat dari Sungai Lalan. Foto: Sigid Widagdo

Sebuah portal besi menghadang perjalanan. Seutas tali terikat di pos penjaga, mengharuskan kami turun dari kendaraan dan melapor ke petugas jaga. Kami mau ke Kapayang. Tali pengikat portalpun terbuka.
Pohon sawit berbaris teratur, lurus memanjang seakan tak berkesudahan. Inilah perkebunan sawit PT. London Sumatera (Lonsum). Jalan tanah berbatu kerikil harus dilalui.
Sekitar 20 kilometer, sebelum harus terhadang portal besi lain. Laporan lagi. Kali ini portal PT. Pinang Witmas Sejati (PWS). Lagi-lagi, jalan tanah dengan sawit berbaris berikut kanal. Tampak juga bangunan kantor dan camp karyawan.
Kurang lebih delapan kilometer, tampak beberapa rumah kayu, bangunan sarang walet, industri kecil kayu olahan, masjid, dan beberapa warung. Inilah Dusun III, Desa Kepayang.
Kami menuju sungai. Sebuah rakit kayu tertambat di tepian siap membawa kami menyebrangi sungai menuju Dusun I, Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Dari atas rakit, tampak rumah kayu berbaris tidak beraturan di tepian sungai. Ada juga rumah apung, terombang ambing mengikuti riak air. Tampak beragam aktivitas warga. Ada yang sedang mandi, mencuci dan lain-lain.
Sungai Lalan, yang kami lalui adalah saksi sejarah asal muasal Desa Kepayang. Dalam catatan studi sosial ekonomi Wahana Bumi Hijau (WBH), Suku Anak Dalam, dahulu hidup di hutan Kepayang. Sejak penebangan kayu alam era hak pengusahaan hutan (HPH) pada 1970-an, SAD mulai terusik. Sebagian mereka beradaptasi, yang lain mencari tempat hidup baru.
Dusun Kepayang, bagian pemukiman masyarakat Desa Muara Merang, dulu HPH yang berakses di Sungai Kepayang. Pemukiman di dusun ini terus berkembang, banyak mantan karyawan HPH menetap. Terlebih sejak HPH habis pada 1999. Masyarakat terbiasa mendapat penghasilan dari kayu. Muncul pabrik pengelolaan kayu di sekitar, penebangan liarpun terjadi di eks HPH ini.
Penduduk Desa Kepayang, mayoritas orang Sumsel, tetapi ada juga dari Medan, Bugis dan Kalimantan.
Kepayang, semula dusun dari Desa Muara Merang, memisahkan diri menjadi Desa Kepayang pada 2007. Luas desa sekitar 54.210 hektar, 70% hutan produksi dan 30% alokasi penggunaan lain (APL). Dengan kondisi lahan 39.195 hektar hutan gambut, 15.000 hektar tanah mineral, dan 30 hektar alur sungai.
Kawasan APL Desa Kepayang terkepung sawit seluas 6.000 hektar, dan HTI 9.200 hektar, serta restorasi ekosistem 4.300 hektar. Sedangkan lahan masyarakat dan pemukiman hanya 650 hektar.
Hasil hutan dan perikanan minim, serta akses lahan menyempit sangat mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat Kepayang. Masyarakat mulai menggantungkan pemenuhan kebutuhan ekonomi, sebagai buruh harian lepas di perkebunan.
Keterbatasan lahan jugalah yang membuat mereka mengusulkan hutan Desa Kepayang. Mereka mendapat rekomendasi Bupati Musi Banyuasin 25 Januari 2010. Setelah menanti lama, pada 2014, izin HD dari Kemenhut keluar. Mereka mendapat izin HD seluas 5.170 hektar.
Setelah tiga tahun lebih menunggu SK Menteri Kehutanan tentang penetapan areal kerja hutan Desa Kepayang, akhirnya kami mendapat kejelasan, kata Ibnu Hajar, kepala Desa Kepayang, baru-baru ini.

Kebun karet rakyat di Hutan Desa Kepayang Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. (23/6/14). Foto: Sigid Widagdo

Acara menyambut kehadiran HD Kepayang pun dihelat. Pagi itu, masyarakat Kepayang bergotong royong membersihkan balai desa. Hajar tidak ketinggalan mengayunkan sapu. Bangku meja disusun. Sebuah spanduk bertuliskan Sosialisasi dan Pelatihan Pengelolaan Hutan Desa Kepayang, berlogo Dinas Kehutanan Musi Banyuasin, dipasang.
Menurut Hajar, dengan penetapan HD Kepayang ini, bukan akhir perjuangan, malah awal mewujudkan hutan desa sebagai sumber air, sumber benih, dan penghidupan.
Kini, katanya, masyarakat Kepayang sudah bisa melihat SK Menteri Kehutanan itu. Selanjutnya, pembenahan lembaga pengelola hutan desa (LPHD) Kepayang guna proses perizinan lain.
LPHD Kepayang diharapkan mengajukan hak pengelolaan hutan desa kepada Gubernur Sumsel dan menyusun rencana pengelolaan hutan desa, kata Dayat Nawawi, dari Dinas Kahutanan Musi Banyuasin.
Dalam penyusunan RKHD, katanya, LPHD bisa berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan kabupaten dan provinsi, serta lembaga pendamping hutan desa. Untuk Desa Kepayang, pendamping WBH Palembang.
Deddy Permana, direktur WBH mengatakan, partisipasi masyarakat desa penting dalam setiap tahapan proses perizinan dan pegelolaan hutan desa. Pemerintah, katanya, wajib mendukung proses pendampingan, fasilitasi, pemberdayaan, dan pengawasan juga anggaran.
WBH telah mendampingi sejak awal dengan melakukan beberapa hal, seperti pengembangan kelompok ekonomi, pelatihan dan penelitian, membuat perpustakaan desa, pembibitan dan reboisasi, penebatan parit. Termasuk mengawal usulan HD Kepayang.
Akses menuju HD Kepayang cukup sulit, perlu memilih waktu tepat.Yakni, saat air sungai pasang hingga bisa dilalui perahu ketek. Perahu ketekpun tidak sembarangan, paling baik menggunakan ketek kebutansebutan masyarakat lokal untuk perahu berbentuk kecil dan ramping namun melaju cepat.
Naik perahu sekitar dua jam, dari pusat Desa Kepayang. Kala air surut, siap-siap perjalanan dua jam naik perahu ketek ditambah berjalan kaki menelusuri sungai sambil menarik perahu ketek dua jam lagi!
Menurut Hajar, menuju hutan Kepayang salah satu kendala utama masyarakat. Meskipun begitu, katanya, masyarakat, pemerintah desa, dan LPHD tetap bersemangat mengelola hutan desa yang telah lama dinanti-nantikan.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/07/13/setelah-penantian-panjang-untuk-hutan-desa-kepayang/

Membangun Sistem Monitoring dan Keamanan di Hutan Desa Muara Merang

Membangun Sistem Monitoring dan Keamanan di Hutan Desa Muara Merang

Hutan Desa Muara Merang di Dusun III Pancuran merupakan salah satu dusun yang keberadaannya masuk dalam wilayah kawasan Hutan Produksi Lalan Mangsang Mendis, dimana pada tanggal 21 Januari 2010 sudah ditetapkan SK pencadangan areal kerja Hutan Desa seluas 7.250 Ha, terdiri dari Zona Perlindungan seluas 3.860 ha dan Zona Pemanfaatan seluas 3.390 ha melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 54/Menhut-II/2010. Secara geografis, Dusun III Pancuran masuk didalam zona pemanfaatan, dimana areal pemukiman dan kebun-kebun masyarakat sudah banyak dikelola di zona pemanfaatan tersebut.
Hal yang menjadi sisi positif dari keberadaan Hutan Desa adalah keinginan seluruh komponen masyarakat untuk memproteksi kawasan hutan desa tersebut, terkait dengan peningkatan kesejahteraaan masyarakat dan menjaga nilai konservasi hutan. Dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) merupakan kekuatan untuk menjaga keberadaan hutan desa dalam bingkai Rencana Pengelolaan Hutan Desa (RKHD).
Aktivitas illegal land dan illegal logging baik orang masyarakat Pancuran maupun masyarakat luar dinilai sebagai salah satu ancaman proses perencanaan pengelolaan hutan desa kedepan. Uji materi yang akan dipraktekkan adalah merekomendasikan personil Satuan Tugas (Satgas) untuk pencegahan Hutan Desa terhadap pembukaan lahan dan penebangan kayu. Satgas dipandang menjadi garda terdepan untuk uji coba kekuatan masyarakat dalam menyatukan diri untuk satu kepentingan pengamanan kawasan Hutan Desa.
Walau demikian Satgas yang terbentuk memiliki berbagai kendala. Baik dalam sisi dana operasional, maupuan dukungan aparat terkait. Oleh karena itu dipandang perlu, Wahana Bumi Hijau (WBH) mengadakan diskusi Membangun Sistem Monitoring Dan Keamanan di Hutan Desa Muara Merang.