Written by Administrator
Saturday, 28 September 2013 18:22
KEBIJAKAN Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI tentang pengembangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau perhutanan sosial berbentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD), diyakini betul mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam pelestarian hutan, sekaligus menjawab tuntutan menyelesaikan permasalahan bangsa, pembukaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi.
Keyakinan itu dikemukan Direktur Bina Perhutanan Sosial Kemenhut RI Haryadi Himawan. Entah benar-benar yakin atau hanya main-main. Karena keyakinan itu berbanding terbalik dengan fakta. Kemenhut RI menargetkan HKm dan HD di seluruh Indonesia seluas 2,1 juta hektar pada 2015, atau 500 ribu hektar per tahun. Namun, penetapan arealnya hanya rata-rata mencapai 10 persen per tahun, dari 2007 hingga 2010. Seperti tanpa melihat kenyataan realisasi pencapaian, pada 2010 pemerintah malah meningkatkan target pencapaiaan 5 juta hektar pada 2020.
Keyakinan Perhutanan Sosial Kemenhut RI bahwa pengembangan PHBM ini dapat mengurangi permasalahan bangsa, kenapa tidak. Namun bukan dari target yang progresif, melainkan capaiannya. Angka 10 persen per tahun tidak mencerminkan kesungguhan pencapaian keyakinan. Bukankah keyakinan terhadap kebijakan perhutanan sosial yang dapat menyelesaikan permasalahan bangsa itu melalui jalan tol dalam merealisasikannya?.
Kemenhut RI boleh berkelit. Menurut mereka, lambatnya realisasi HKm dan HD karena kurangnya dukungan pemerintah daerah, baik bupati/walikota ataupun gubernur. Mengingat untuk dapat memanfaatkan kawasan hutan melalui skema HKm dan HD dibutuhkan legalitas yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Memang pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terevaluasi dalam hal ini. Sampai 2010, dari 80.395 hektar luasan HKm yang telah ditetapkan Menteri Kehutan (Menhut) RI, sekitar 34.615 hektar yang sudah diterbitkan izin oleh bupati. Sedangkan untuk HD dari 14.346 hektar yang telah ditetapkan Menhut RI, baru 10.310 hektar yang sudah mendapatkan izin gubernur.
Namun data tersebut tidak cukup bagi Kemenhut RI menyalahkan pemerintah daerah (Pemda) dalam hal lambatnya target merealisakan kebijakan Perhutanan Sosial Kemenhut RI. Bukankah data Kemenhut RI menggambarkan HKm yang telah ditetapkan baru 80.395 hektar dari 236.276 hektar yang telah dievaluasi dan verifikasi. Dan untuk HD, Kemenhut RI baru menetapkan 14.346 hektar dari 119.757 hektar yang telah dievaluasi dan verifikasi. Bagaimana yang belum terevaluasi dan terverifikasi ??
Lagi-lagi, alasan Kemenhut RI lambatnya dukungan pemda tidak sepenuhnya benar. Kalaupun, pada proses rekomendasi dari pemda yang tidak menyambut kebijakan tersebut, tentu tidak ada tumpukan berkas pengajuan HKm dan HD di meja Menhut RI.
Sebut saja di Sumatera Selatan (Sumsel), terdapat dua berkas pengajuan HD yang menumpuk di meja Menhut RI. Kedua usulan HD tersebut telah diverifikasi pada Maret 2010, sampai saat ini belum mendapat jawaban, diterima atau ditolak. Belum lagi daerah lainnya di sumatera, kalimantan, dan sulawesi. Tidak hanya tersangkut di meja Kemenhut RI, juga di meja gubernur atau bupati.
Sebagai warga negara yang baik, tentu sebaiknya yakin, bahwa tidak ada perbedaan keyakinan antara Kemenhut RI dan pemda tentang kebijakan pengembangan PHBM yang mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam pelestarian hutan, sekaligus menjawab permasalahan bangsa, pembukaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi itu.
Suksesnya tidaknya pelaksanaan program Perhutanan Sosial Kemenhut RI menjadi ukuran dari komitmen pemerintah. Isi dari kebijakan yang dikeluarkan pun perlu diakui kecanggihannya. Tinggal lagi meningkatkannya menjadi Keputusan Presiden (Keppres) atau Intruksi Presiden (Inpres) agar menyamakan keyakinan Kemenhut RI dan pemda provinisi/kabupaten/kota.
Sudah banyak sekali masukan dari bebagai pihak tentang program Perhutanan Sosial Kemenhut RI. Tinggal lagi memperbaiki kayakinan itu, terkait ketidaksinkronan kebijakan pusat daerah, ketidakefisienan tata laksana perizinan, dan masih terbatasnya anggaran. (red.Sigid Widagdo)