Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang

Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang


Written by Administrator

Hutan Rawa Gambut Merang-Kepayang (HRGMK),

secara administrasi desa berada didalam pengawasan desa Muara Merang dan desa Kepayang kecamatan Bayung Lencir kabupaten Musi Banyuasin. Kedua desa ini merupakan desa terdekat dan ber-akses langsung dengan kawasan, sehingga menjadikannya sebagai target yang akan dilakukan kajian (disebut: studi) oleh Yayasan WBH dengan dukungan dari Sustainable Sumatera Support (SSS) didalam peluang penerapan model Community Base Forest Management (CBFM) oleh masyarakat lokal terhadap kawasan tersebut.

Pada tahap awal pelaksanaan proyek di bulan Desember 2008, telah dilakukan kajian Sosial-Ekonomi terhadap masyarakat di dua desa dan Karakteristik Kawasan HRGMK. Dari pelaksanaan kegiatan di lapangan, tim kajian telah menghimpun cerita menarik yang digali dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dan perwakilan pemerintahan desa tentang Hutan dan sistem pengelolaannya dulu dan sekarang.

Pada kuisioner semi-terstruktur yang merupakan panduan interview bagi tim kajian lapangan, terdapat satu pertanyaan yang memerlukan diskusi mendalam antara tim kajian dengan masyarakat yang diwawancarai. Pertanyaan tersebut adalah “apa persepsi/pandangan Bapak/Ibu tentang hutan? dan menurut Bapak/Ibu, bagaimana sistem pengelolaan hutan yang telah dilakukan selama ini?.

Hutan merupakan kumpulan beranekaragam pepohonan dan juga terdapat banyak binatang liar yang hidup didalamnya; ujar Pak Sewi (nama lengkapnya Sewinarno) salah seorang guru honor olahraga di SD Negeri 1 dusun Bakung desa Muara Merang, dan pak Sewi ini mulai menetap di desa Muara Merang pada tahun 2000 yang sebelumnya berasal dari Tanjung Raja, OKI. Dalam pembicaraan selanjutnya, pak Sewi menjelaskan bahwa; keberadaan Hutan Rawa Gambut Merang – Kepayang yang terdapat dibagian utara desa Muara Merang telah mempengaruhi karakter kehidupan masyarakat desa ini. Ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam kayu sebagai matapencaharian utama telah dimulai sejak masa HPH (akhir tahun 70-an) sampai tahun 2004. Berkayu telah mendidik masyarakat menjadi pemalas, menyukai kegiatan yang instant (cepat menghasilkan uang), sehingga sangat jarang masyarakat disini yang telah memiliki kebun (misalnya: karet, sawit, buah-buahan, dll.) yang cukup luas dan menghasilkan, padahal lahan disini cukup luas. Dengan bertambah jauhnya lokasi untuk tempat mengambil kayu dan juga semakin ketatnya pengawasan dari Pemerintah terhadap penebangan liar pada awal tahun 2004 sampai sekarang, maka masyarakat semakin sulit mengandalkan kegiatannya dari usaha sebagai pembalogg. Oleh karena itu, sejak tahun 2004 tersebut sudah banyak masyarakat yang memulai untuk mengembangkan usaha-usaha alternative seperti berkebun karet, buah-buahan, berternak, dan juga sebagai buruh di perusahaan-perusahaan perkebunan sawit sekitar desa. Pada akhir pembicaraannya, pak Sewi menekankan bahwa; keadaan sekarang ini, hampir tidak ada lagi warga desa Muara Merang yang berprofesi sebagai pembalogg (penebang liar).

Setelah melakukan wawancara dan penggalian informasi yang relevan dengan pak Sewi, anggota tim langsung menuju ke rumah Ibu Hj. Maimunah biasa dipangil Nyek adalah seorang janda dan merupakan sesepuh desa. Tim studi meminta kepada Nyek untuk menceritakan kondisi desa Muara Merang dulu dan sekarang. Dengan berbekal perjalanan hidupnya, Nyek memulai ceritanya; sekitar awal tahun 1960-an, Nyek beserta Suami serta mengajak seorang anak laki-laki yang masih kecil (sekarang Kades Muara Merang) memulai perjalanan panjang dari desa asalnya yaitu Pangkalan Balai menuju lokasi desa Muara Merang sekarang. Perjalanan yang hanya menggunakan perahu (berdayung sampan) di mulai dari sungai Musi, kemudian menelusuri sungai-sungai kecil untuk menuju sungai Banyuasin dan kemudian sungai Lalan, yang memakan waktu lebih kurang tiga minggu untuk sampai ke Muara Sungai Merang. Muara Sungai Merang sebagai tujuan akhir perjalanan, karena disini sangat banyak akan sumber daya ikan yang sangat cocok dengan profesi kami sebagai nelayan. Disamping itu, lokasi tersebut belum ada masyarakat yang bermukim sehingga memberikan keleluasaan bagi kami untuk berusaha nelayan dan membuka lahan pertanian. Dalam kurun waktu lima tahun bermukim, sudah ada sekitar lima keluarga yang menetap dan kami sepakat untuk pindah dan membuat pemukiman baru dibagian lebih hulu sungai Lalan (lokasi dusun Bakung sekarang) karena lokasinya lebih tinggi dibanding lokasi pemukiman sebelumnya. Pada awal tahun 1970-an, mulainya berdatangan orang kehutanan melakukan survey dan pengambilan kayu dilahan-lahan sepanjang sungai Lalan dan sungai Merang yang merupakan pemukiman kami sebagai tempat persinggahan orang-orang tersebut. Sejalan dengan waktu, masyarakat yang menetap di disini terus bertambah banyak. Bahkan pada tahun 1983 dibuatlah program Pemerintah untuk memukimkan para suku kubu yang hidup dipinggiran sungai Lalan dan sungai Merang, dengan dibangunkan rumah tempat bermukim lebih kurang 50 buah serta diberikan lahan ± 0,5 ha di belakang pemukiman yang ditanami karet. Akan tetapi program ini tidak membuat betah suku kubu dan akhirnya rumah-rumah yang dibangun banyak yang ditinggalkan. Puncak dan pesatnya para pendatang yang bermukim di desa Muara Merang terjadi pada akhir tahun 1998 dan awal tahun 2000, karena penebangan kayu di kawasan Hutan dibebaskan untuk masyarakat. Sehingga banyak sekali para pendatang terutama toke-toke (pemodal) dari Selapan (OKI) mendirikan Sawmill disepanjang sungai Lalan. Begitu juga dengan masyarakat lokal disini banyak yang menjadi buruh di pabrik Sawmil dan juga melakukan penebangan kayu secara mandiri untuk dijual di Sawmill-Sawmill tersebut. Pada masa ini masyarakat lokal Muara Merang dan juga pendatang sangat mudah mendapatkan uang dan hidup dalam kemewahan. Akan tetapi, pada masa ini masyarakat tidak memikirkan untuk menabung guna kehidupan kedepannya, misalnya membuat kebun karet atau kebun sawit, dan membuat rumah yang bagus. Jika kita lihat sekarang, kondisi masyarakat disini rata-rata masih dalam hidup miskin dan serba kekurangan. Kayu sudah habis, lahan desa banyak diambil oleh perusahaan Sawit dan HTI, sedangkan masyarakat tetap dalam kemiskinan; ujar Nyek menutup pembicaraannya.

Pada sesi lain, tim melakukan wawancara dan diskusi dengan Bapak Wanto (Ketua BPD desa Muara merang). Bapak Wanto ini adalah salah satu mantan pembalok di kawasan HRGMK pada masa berakhirnya HPH tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Hutan merupakan aset ekonomi bagi masyarakat desa, hal ini terbukti dari masa penebangan yang dibebaskan pada awal tahun 2000-an, banyak masyarakat yang kehidupannya lebih meningkat (lebih baik). Akan tetapi, keadaan ini hanya berlangsung sampai akhir tahun 2004, yang selanjutnya kawasan HRGMK banyak dikuasai oleh para pemilik modal luar desa yang indikasinya dibekengi oleh aparat Polda dan juga HTI Sinar Mas yang melakukan pemanenan hutan alam. Sehingga masyarakat lokal tersingkirkan alias tidak dapat lagi mengambil kayu di kawasan tersebut, padahal kawasan ini berada di dalam wilayah desa Muara Merang. Untuk kedepannya diharapkan adanya jalan keluar bagi masyarakat untuk bisa mamanfaatkan kayu didalam kawasan tersebut, jangan hanya perusahaan-perusahaan besar saja (seperti HTI Sinar Mas) yang diperhatikan oleh Pemerintah, sudah seharusnya masyarakat lokal juga dibina dan diperhatikan; ujar Pak Wanto sambil menghisap rokoknya. Kemudian Pak Wanto menambahkan, bahwa; kawasan HRGMK kondisinya saat ini masih cukup bagus alias masih banyak tegakan kayunya, dan jika dipelihara dan dikelola dengan baik, tidak perlu dilakukan penanaman lagi atau anakan alam yang sudah ada dapat tumbuh dan berkembang menjadi besar. Sangat disayangkan adanya perusahaan HTI pada kawasan tersebut, hal ini kemungkinan akal-akalan perusahaan untuk bisa mengambil sisa kayu alam untuk dijadikan kertas dan juga dijual logg-nya.

Pada studi Sosek ini, tim juga melakukan penggalian data dan informasi tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat di desa Kepayang. Anggota tim langsung menemui sekaligus melakukan wawancara dengan Pjs. Kades Kepayang (Bapak M. Ibnu Hajar); dalam wawancara ini, bapak Ibnu hajar (biasa disapa pak Benu) menjelaskan tentang pandangannya tentang hutan dan model pengelolaanya selama ini; Hutan merupakan kumpulan bermacam-macam kayu tegakan dan juga sebagai tempat hidupnya satwa liar. Kawasan hutan adalah hutan yang dikelola oleh negara, seperti hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Didalam wilayah desa Kepayang terdapat kawasan hutan produksi, yang sering kami sebut sebagai hutan gambut merang-kepayang. Memang didalam kawasan hutan tersebut terdapat tanah gambut yang relatif tebal dan juga dibeberapa tempat tidak bergambut serta datarannya tinggi (tidak berawa). Kondisi kawasan hutan produksi tersebut dibeberapa tempat sudah rusak (tidak ada tegakan kayu besar), dikarenakan pernah terjadi kebakaran hutan yang cukup besar pada tahun 1997, 2004, 2006, dan juga kerusakan ini disebabkan oleh banyaknya penebangan liar pasca konsesi HPH tahun 2000. Disamping itu, sistem pengelolaan yang dilakukan selama ini sangat kurang berpihak kepada masyarakat. Pada saat sekarang ini, kawasan-kawasan HRGMK telah banyak dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar HTI. Sehingga hilir mudik, perusahaan-perusahaan tersebut mengangkut kayu-kayu logg hasil dari kegiatan pembersihan lahan (land clearingnya) nyaris hampir setiap hari dapat terlihat disekitar kawasan Sungai Merang. Kok, perusahaan boleh mengambil kayu, mengapa masyarakat tidak boleh? (desah pak Benu sambil menunjuk tongkang angkutan kayu dari PT. RHM yang lewat membawa kayu). Kedepannya kami sangat khawatir akan hilangnya semua lahan yang ada di sekitar desa kami, sehingga kami telah mengusulkan HTR kepada pemerintah MUBA seluas 6.000 ha, mudah-mudahan akan cepat terealisasi. HTR ini akan kami tanami dengan karet dan juga untuk per 2.000 ha-nya akan kami jadikan hutan desa. Kami sangat mendukung dengan adanya, program dari WBH untuk mendorong masyarakat didalam pengelolaan hutan. Mudah-mudahan masyarakat kami akan lebih mudah dan didengar dalam memperjuangkan keinginan kami (sebuah ungkapan hati pak Benu kepada tim studi, pada saat pak Benu menutup pembicaraannya).

Demikianlah cerita singkat yang didapat dari hasil wawancara tim studi Sosek dilapangan, sebagai khasanah kita didalam memahami masyarakat akan keberadaan hutan yang ada disekitar mereka. (wbh)

Profil Umum Lokasi Kunjungan Peserta Workshop Bioright


Written by Administrator


Wednesday, 06 January 2010 14:15

Profil Umum Lokasi Kunjungan Peserta Workshop Bioright

Wetlands and Poverty Reduction Project (WPRP),

Provinsi Sumatera Selatan

  1. Profil Umum Ekosistem

Provinsi Sumatera Selatan memiliki luasan lahan gambut terluas kedua setelah provinsi Riau, yang mana luasan lahan gambut yang ada di Sumatera Selatan 1.420.042 ha (19,71% dari luasan lahan gambut yang ada di Pulau Sumatera). Keberadaan lahan gambut yang ada di Sumatera Selatan tersebut menyebar di beberapa kabupaten, dan kabupaten yang memiliki lahan gambut terluas adalah kabupaten Ogan Komering Ilir sejumlah 768.501 ha, terluas kedua adalah kabupaten Musi Banyuasin sejumlah 593.311 ha, dan selebihnya menyebar di beberapa kabupaten lainnya.

Berdasarkan beberapa kajian dari Wetlands International – Indonesia Program (WIIP) & Yayasan Wahana Bumi Hijau (YWBH), keberadaan lahan gambut yang ada di Sumatera Selatan ini sudah mengalami degradasi yang cukup tinggi, bahkan sudah banyak yang dikonversi menjadi lahan perkebunan Sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dan pada kajian ini, juga menyebutkan bahwa dari luasan lahan gambut yang ada di Sumatera Selatan tersebut hanya tertinggal ± 200.000 ha yang masih berhutan alami, yaitu lahan gambut yang ada di kawasan sungai Merang dan sungai Kepayang Kecamatan Bayung Lencir kabupaten Musi Banyuasin. Sehingga dapat di sebutkan bahwa, kawasan hutan gambut yang ada di sekitar Sungai Merang dan Sungai Kepayang yang selanjutnya disebut Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK), merupakan satu-satunya kawasan hutan rawa gambut alami terakhir di Sumatera Selatan.

Dari beberapa kajian tentang karakteristik gambut di kawasan HRGMK ini, menyebutkan bahwa ketebalan tanah gambutnya cukup bervariasi mulai dari 0,5 meter sampai 6 meter, begitu juga dengan kondisi tegakan vegetasinya yang relative masih berhutan alam dan juga memiliki nilai keanekaragaman fauna yang masih tinggi dan dilindungi. Disamping itu, kawasan HRGMK ini juga memiliki tekanan yang cukup besar dari berbagai aktivitas manusia, misalnya seperti masih banyaknya masyarakat yang melakukan penebangan liar (illegal logging), konversi lahan manjadi perkebunan Sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) serta kebakaran hutan. Dengan kondisinya demikian, maka sangat perlu dilakukan upaya-upaya perlindungan dan konservasi kawasan HRGMK yang berbasiskan masyarakat lokal. Oleh karena itu, program Wetlands and Poverty Reduction Project (WPRP) yang ada di Sumatera Selatan di laksanakan di ekosistem HRGMK tersebut.

  1. Arti Penting Ekosistem HRGMK

Ekosistem HRGMK yang berdasarkan penyebaran vegetasi hutan rawa gambutnya terletak antara 0145-02°03 LS dan 10351-10417 BT, memiliki nilai penting baik secara ekonomi, sosial dan ekologi. Secara ekonomis, HRGMK masih memiliki potensi sumber daya hutan kayu yang masih besar seperti jenis : Meranti (Shorea spp.), Jelutung rawa (Dyera lowii), Ramin (Gonystylus bancanus), Pulai rawa (Alstonia pneumatophora), Gelam (Melaleuca leucadendron), dan jenis-jenis pohon hutan tropis lainnya. Selain itu terdapat juga sumber daya hutan non-kayu seperti rotan (Calamus spp.) yang masih cukup potensial dan banyak, disamping itu kedua sungai yang ada didalam kawasan HRGMK juga memiliki potensi ikan alam (ikan sungai khas lahan gambut) yang juga masih banyak, seperti: ikan tapah (Wallago leerii), ikan lais (Kryptopterus sp.), ikan Baung (Mystus wyckii), dll.

Nilai sosial HRGMK bagi masyarakat sekitar kawasan dan masyarakat provinsi Sumatera Selatan juga memiliki nilai sosial yang cukup tinggi, karena HRGMK ini sangat erat kaitannya dengan sejarah terbentuknya desa-desa yang ada di sekitar kawasan, seperti desa Muara Merang dan desa Kepayang. Terbentuknya desa-desa berawal dari bermukimnya pendatang yang mengambil potensi sumber daya hutan kayu dan non kayu serta sumber daya perikanan yang ada di kawasan tersebut. Seiring dengan waktu, para pendatang terus bertambah dan menetap yang pada akhirnya terbentukah satu desa Muara Merang, yang sekarang sudah dimekarkan menjadi dua desa yaitu desa Muara Merang dan desa Kepayang. Disamping itu, pada aliran sungai Merang bagian hulu juga memiliki habitat bagi spesies endemik, yaitu : Buaya senyulong (tomistoma schlegelli). Keberadaan spesies endemik ini telah menjadikan kebanggaan bagi masyarakat lokal dan pemerintah daerah, sehingga kawasan ini sudah menjadi isu bersama untuk dapat dilindungi dan dilestarikan.

Secara ekologis, kawasan HRGMK ini memiliki nilai kekayaan yang sangat tinggi, berdasarkan bentang alamnya yang cukup luas dan sebagai penghubung dua taman Nasional (taman nasional Berbak dan taman nasional Sembilang) maka menjadikan kawasan HRGMK sebagai koridor dan habitat penting bagi penyebaran berbagai jenis fauna yang dilindungi, seperti : Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus), Beruang madu (Helarctos malayanus), Tapir (Tapirus indicus), Bangau rawa storm (Ciconia stormi), Elang tongtong (Leptoptilos javanicus), Raja udang meninting (Alcedo meninting), Rangkong badak (Buceros rhinoceros), Buaya senyulong ((tomistoma schlegelli), dan masih jenis satwa lainnya. Disamping itu, HRGMK juga sebagai kawasan penting bagi penyimpanan karbon di alam, dengan nilai kandungan karbon yang tersimpan > 400 juta ton (berdasarkan kajian proyek CCFPI, 2003). Dan juga dengan kapasitas dari lahan gambut yang masih alami dapat menyerap air sampai 90 % dan terdapat dua kubah gambut pada kawasan tersebut, maka kawasan HRGMK juga berfungsi sebagai sumber dan pengatur air bagi sungai-sungai yang ada disekitarnya.

Semua nilai dan potensi yang terkandung pada ekosistem HRGMK di atas, sudah mengalami degradasi dan terancam hilang karena banyaknya aktivitas manusia yang kurang memperhatikan aspek kelestariannya. Sehingga sangat perlu dilakukan usaha-usaha konservasi sebagai upaya melindungi dan melestarikan potensi yang sudah diidentifikasi tersebut.

  1. Profil Desa Lokasi Program WPRP :

Desa Muara Merang Kecamatan Bayung Lencir kabupaten Musi Banyuasin merupakan salah satu desa yang berhubungan langsung dengan kawasan HRGMK, sehingga desa ini dijadikan desa prioritas program WPRP. Desa Muara Merang ini memiliki jarak 75 km dari ibu kota kecamatan Bayung Lencir dan berjarak 225 km dari ibu kota kabupaten MUBA (Kota Sekayu) serta berjarak 250 Km dari ibu kota provinsi Sumsel (Kota Palembang). Untuk menuju desa ini dapat melalui jalan darat (menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat) dan juga dapat melalui jalur sungai (menggunakan kendaraan air/speedboat), dengan kebutuhan waktunya 2 jam dari ibu kota kecamatan (Bayung lencir), 5 jam dari ibu kota kabupaten (Sekayu) dan 6 jam dari ibu kota provinsi (Palembang).

Desa Muara Merang memiliki luasan wilayah administratifnya ± 60.000 ha, yang berbatasan dengan empat desa sempadannya; yaitu : sebelah Utara berbatasan dengan desa Muara Medak, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Mangsang, sebelah Selatan berbatasan dengan desa Penuduhan, sebelah Timur berbatasan dengan desa Kepayang. Kondisi lahan yang ada di wilayah desa Muara Merang ini sebagian besar (60%) adalah lahan dataran rendah rawa dan rawa gambut, serta sisa-nya (40%) adalah lahan dataran rendah kering. Sedangkan penggunaan lahan yang ada saat ini hampir 50% sudah menjadi konsesi dari perusahaan perkebunan Sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan 50%-nya digunakan untuk pemukiman dan Hutan Produksi (HP) dengan kondisi tanahnya bergambut dan juga masih memiliki vegetasi (hutan) yang relatif baik.

Desa Muara Merang ini terdapat dua dusun yang jarak antar dusunnya sangat berjauhan, yaitu dusun Bakung yang letaknya di bantaran sungai Lalan dan dusun Pancoran yang letaknya di Utara desa yang berbatasan dengan wilayah desa Muara Medak, bahkan untuk menuju dusun ini harus melalui provinsi Jambi. Jumlah penduduk yang ada di desa Muara Merang 360 Kepala keluarga (KK) dengan jumlah jiwanya 1.800 Jiwa. Pekerjaan dan sumber matapencaharian masyarakatnya adalah buruh perkebunan Sawit (50%), petani tanaman pangan, karet dan palawija 30% serta pedagang, kerajinan, peternakan, dan pegawai pemerintah daerah (guru) 20%.

Dusun Bakung merupakan akses utama untuk menuju kawasan HRGMK, sehingga konsentrasi program WPRP diprioritaskan kepada masyarakat yang ada di dusun Bakung, yang pelaksanaannya merupakan desiminasi keberhasilan dari program CCFPI yang telah dilakukan sebelumnya. Disamping itu juga, pada awal pelaksanaan program WPRP (tahun 2006), masyarakat yang ada di dusun Bakung merupakan masyarakat transisi dari mata pencaharian penebang kayu (Illegal logger) kepada pola pertanian menetap dan buruh perusahaan sawit, sehingga sangat diperlukan intervensi dari program WPRP didalam membangun usaha masyarakatnya yang lebih baik dan berkelanjutan.

  1. Profil Kelompok Binaan Program WPRP :

Program pembinaan masyarakat yang sinergis dengan konservasi kawasan desa & HRGMK, yang dilakukan melalui program WPRP pada masyarakat dusun Bakung desa Muara Merang, telah dilakukan kepada 8 kelompok swadaya masyarakat (KSM). Adapun profil dari masing-masing kelompok yang telah dibina tersebut akan dijabarkan sebagi berikut :

(1) Kelompok Hijau Lestari

Kelompok Hijau Lestari didirikan pada tanggal 27 Maret 2006, yang pada awalnya beranggotakan 5 orang dengan jumlah laki-laki 4 orang dan perempuan 1 orang. Sejalan dengan berkembangnya usaha yang dilakukan oleh kelompok ini, maka pada awal tahun 2007 melakukan penambahan anggota berjumlah 10 orang yang semuanya laki-laki. Kelompok Hijau Lestari yang di Ketuai oleh: Bapak Hendarto, yang sampai saat ini memiliki anggota 15 orang.

Pada awal berdirinya kelompok Hijau Lestari, memiliki kegiatan usaha bersama (usaha kolektif) yaitu : budidaya Cabe dan penggemukan Sapi Bali. Sejalan dengan berjalannya waktu, kegiatan usaha cabe yang dilakukan pada tahun 2006 mengalami musibah kebanjiran sehingga merugi (tidak berhasil). Disamping itu, kejadian banjir dan keadaan pasang surut yang tidak menentu tersebut juga mempengaruhi perkembangan Sapi Bali yang digemukan, maka pada awal tahun 2007 usaha penggemukan Sapi Bali dipindahkan ke dusun Tanah Tinggi dan dikelolah oleh 10 orang yang merupakan anggota baru dari kelompok Hijau Lestari.

Dengan adanya motivasi untuk tetap memiliki usaha, maka pada akhir tahun 2007 kelompok Hijau Lestari diberikan penguatan modal (pinjaman tanpa bunga) melalui program WPRP. Penguatan modal yang diberikan tersebut, digunakan oleh 5 orang anggota kelompok untuk budidaya usaha Cabe dan juga 10 orang anggota kelompok di Tanah Tinggi mengembangkan usaha tanam Kedele.

Kondisi usaha yang dilakukan sekarang (akhir Juli 2008), pertama: usaha budidaya cabe yang dilakukan oleh kelompok masih tetap dilakukan dan untuk mengurangi kegagalan dalam usaha budidaya cabe yang dilakukan oleh kelompok pada periode ini, sekarang juga dikembangkan usaha tanaman sayur-sayuran pada areal yang sama. Kedua : usaha kedele yang dilekukan oleh 10 orang anggota kelompok di Tanah Tinggi sudah melakukan panen pada bulan Maret 2008 dengan hasil yang kurang memuaskan, sehingga anggota kelompok ini akan kembali melakukan usaha penggemukan Sapi dan sekarang melalui program WPRP sudah didistribuskan pinjaman tiga Sapi dari dua belas Sapi yang direncanakan.

Salah satu bentuk persyaratan untuk mendapatkan pinjaman adalah kelompok memiliki kewajiban untuk membuat pembibitan dan atau menenam tanaman tahunan pada lahan mereka. Sehingga sampai saat ini, kelompok Hijau Lestari telah menanam ± 1.300 Batang tanaman karet pada lahan anggota kelompok, dan juga terdapat 200 batang bibit jati (polybag) berumur ± 4 bulan.

(2) Kelompok Citra Usaha

Kelompok Citra Usaha didirikan pada tanggal 25 Mei 2006, yang beranggotakan 6 orang dengan jumlah laki-laki 3 orang dan perempuan 3 orang. Kelompok yang diketuai oleh: Bapak Sahbana ini, pada awalnya telah memiliki usaha dan keahlian. Sehingga melalui program WPRP pada pertengahan tahun 2007, masing-masing usaha anggota tersebut didukung permodalan (pinjaman lunak) untuk mengembangkan usaha masing-masing anggota. Dalam satu kelompok ini terdapat tiga usaha yang dikembangkan, yaitu : usaha ternak ayam potong, usaha kerajinan kayu dan usaha budidaya cabe.

Masing-masing usaha yang dilakukan sekarang, masih berjalan dengan baik, kecuali usaha cabe yang mengalami kegagalan karena serangan hama. Oleh karena itu, untuk anggota yang melakukan usaha budidaya Cabe telah melakukan usaha alternative, yaitu menanam tanaman palawija (sayuran) pada lahan budidaya cabe sebelumnya.

Dalam upaya memenuhi kewajiban untuk mendapatkan pinjaman, yaitu membuat bibit dan atau menanam tanaman keras pada lahan masing-masing anggota. Sekarang ini sudah dilakukan penanaman karet sejumlah 500 batang (berumur ± 6 – 1 tahun) dan juga telah dibuat pembibitan berjumlah ± 85 bibit (polybag) dengan jenis tanaman campuran.

(3) Kelompok Keluarga Mandiri

Kelompok keluarga Mandiri yang didirikan pada tanggal 26 Maret 2006, diketuai oleh Bapak M. Nasir, beranggotakan 8 orang yang semuanya laki-laki. Anggota kelompok ini sebagain besar adalah mantan pembalogg (ex. Illegal logger). Dengan kesungguhannya untuk keluar dari belengu kemiskinan dan perusak hutan, maka pembentukan kelompok ini sebagai langkah awal untuk membuat usaha alternative yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Sehingga pada awal terbentuknya kelompok dikembangkanlah dua usaha, yaitu usaha pembibitan dan penaman karet pada lahan anggota dan usaha ternak ayam potong. Keinginan keras untuk membuat usaha dari anggota kelompok tersebut sangat didukung oleh Yayasan WBH. Sehingga usaha penanaman karet yang dilakukan oleh beberapa anggota kelompok (± 1.000 batang) sudah tumbuh dan berkembang dengan baik, dengan umur tanaman karetnya saat ini ± 2 tahun. Disamping usaha penanaman karet tersebut, ada 4 anggota kelompok yang mengembangkan usaha ternak ayam potong, yang sejak awal berdirinya kelompok usaha ini dapat berjalan dengan baik dan bahkan cukup membantu perekonomian rumah tangganya. Sehingga pada pertengahan tahun 2007, melalui program WPRP menambah modal (pinjaman lunak) untuk meningkatkan usaha yang dikembangkan tersebut dan usaha yang dijalankan ini juga cukup berhasil. Pada awal tahun 2008, kelompok usaha ternak ayam potong ini memiliki inisiatif baru untuk membangun usaha baru, yaitu usaha ternak ayam bertelur dengan alasan bahwa pasar ternak ayam potong sudah sangat sempit karena sudah sangat banyak masyarakat yang melakukan usaha tersebut. Oleh karena itu, inisiatif ini juga diduung oleh yayasan WBH melalui program WPRP. Sehingga melalui program WPRP telah dilakukan penambahan modal usaha (pinjaman lunak) untuk mengembangkan usaha tersebut, yang sampai saat ini (akhir bulan Juli 2008) telah dibangun kandang yang sesuai dengan kebutuhan usaha baru tersebut. Sedangkan bibit ayam bertelurnya masih dipesan di pusat pembibitan ayam bertelur kota Jambi, diperkirakan pada awal bulan September 2008 sudah bisa didatangkan dilokasi usaha kelompok.

Pemenuhan kewajiban kelompok untuk membuat bibit dan atau menanam tanaman keras, sekarang telah di tanam ± 600 batang tanaman karet di lokasi lahan anggota (berumur 6 – 10 bulan) dan telah tumbuh dengan subur.

(4) Kelompok Anggrek

Kelompok Anggrek merupakan kelompok perempuan yang memiliki motivasi tinggi untuk membantu perekonomian rumah tangga. Kelompok ini beranggotakan 8 orang, yang di ketuai oleh Ibu Kartini. Pada awal berdirinya kelompok ini telah memiliki usaha bersama berupa kerajinan kempelang ikan dan usaha simpan pinjam yang berjalan dengan baik. Maka dengan kehadiran program WPRP, kelompok ini juga dapat mengembangkan usahanya melalui penguatan modal usaha (pinjaman lunak), sehingga usaha-usaha yang dilakukan oleh kelompok sudah lebih bervariasi dan berjalan dengan baik. Adapun usaha yang dilakukan oleh kelompok tersebut ada adalah : ternak ayam potong, pembuatan kempelang ikan, penjualan voucher dan simpan pinjam.

Adapun dalam memenuhi kewajiban kelompok sebagai syarat mendapatkan pinjaman lunak, maka kelompok telah membuat 150 bibit tanaman (polybag) dengan jenis kayu campuran.

(5) Kelompok Lestari

Kelompok Lestari merupakan kelompok inisiatif baru dari beberapa anggota masyarakat dusun Bakung, yang setelah melihat keberhasilan dan kesungguhan kelompok yang ada. Maka pada tanggal 28 Maret 2007, 8 orang anggota masyarakat (5 orang laki-laki & 3 orang perempuan) membentuk satu kelompok usaha deangan nama Lestari. Kelompok ini di ketuai oleh Bapak M. Hasan, dengan usaha yang dikelolah oleh kelompoknya adalah ternak ayam Potong. Pada pertengahan tahun 2007, kelompok ini membangun kandang ternak tempat usaha secara swadaya kemudian setelah kandang selesai dibuat, kelompok membuat proposal perencanaan usaha untuk meminta dukungan penguatan modal usaha (pinjaman lunak) melalui program WPRP. Setelah proses beberapa bulan, maka mulai akhir tahun 2007 usaha ternak ayam potong tersebut mulai berjalan, dan sampai saat ini (akhir bulan Juli 2008) sudah melakukan 4 kali produksi yang dijual di pasar sekitar desa Muara Merang.

Dalam upaya melakukan kewajibannya membuat bibit dan atau menanam tanaman keras dilahan anggota kelompok, kelompok ini telah membuat bibit tanaman keras (dalam polybag) dengan jenis tanaman hutan (campuran) berjumlah ± 1.000 batang. Lokasi pembibitan ini dibuat dilahan ketua kelompok dan dipelihara secara bersama-sama oleh anggota kelompok.

(6) Kelompok Nelayan Sinar Lestari

Kelompok Nelayan Sinar Lestari merupakan perhimpunan masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan di dalam sungai Merang. Kelompok ini didirikan pada tanggal 1 November 2006, yang diketuai oleh Bapak Samsudin dan beranggotakan 11 orang (7 laki-laki & 4 perempuan).

Kelompok Nelayan Sinar Lestari memiliki usaha yang sama yaitu mengelolah perikanan alam yang ada di hulu sungai Merang. Sebelum terbentuknya kelompok tersebut, para nelayan ini melakukan usaha perikanannya secara sendiri-sendiri dan harus melakukan pembayaran (uang sewa tangkap ikan) serta penjualan ikan hasil tangkapannya kepada pemilik lelang (pemenang lelang) sungai Merang. Sehingga masyarakat nelayan memiliki keterikatan dan menggantungkan nasibnya hidupnya pada pemilik lelang (pemenang lelang) tersebut. Setelah masyarakat nelayan berkelompok pada akhir 2006, maka kelompok nelayan bersama yayasan WBH membuat strategi bersama untuk mendapatkan hak pengelolaan sungai Merang dengan mengikuti proses lelang sungai yang akan dilakukan oleh PEMDA MUBA pada akhir tahun (bulan Desember setiap tahunnya). Sehingga dengan adanya dukungan pinjaman modal dari program WPRP serta melakukan pendekatan yang intensif dengan instansi terkait di MUBA, maka proses lelang sungai Merang pada tahun 2007 dan juga tahun 2008 ini dimenangkan (memiliki hak pengelolaan ikan) oleh kelompok Nelayan melalui Bapak Kades Muara Merang. Oleh karena itu, dalam dua tahun terakhir, kelompok nelayan dapat dengan leluasa melakukan usaha pengelolaan ikan alam di sungai Merang tersebut. Mudah-mudahan pada tahun selanjutnya, sungai Merang ini dapat terus dilakukan pengelolaannya oleh kelompok nelayan sinar lestari tersebut.

Sebagai kewajiban kelompok nelayan terhadap bantuan modal (pinjaman lunak) yang diberikan oleh program WPRP kepada kelompok tersebut, maka kelompok nelayan di syaratkan untuk melakukan pemeliharaan terhadap 5 buah Kanal yang telah dilakukan penyekatan (blocking) dan juga memelihara ± 1.200 tanaman yang telah ditanam disekitar kanal pada program CCFPI sebelumnya.

Sampai saat ini, usaha perikanan yang dilakukan oleh kelompok nelayan tetap berjalan dengan baik. Bahkan untuk mengelolah ikan pada musim air surut/kemarau ini (yang diprediksi musim ikan banyak), kelompok nelayan telah membangun empang/tuguk sebagai media (alat) menangkap ikan secara bersama-sama. Disamping usaha perikanan yang terus dilakukan dengan baik, kewajiban memelihara blocking kanal dan tanaman hasil rehabilitasi sebelumnya juga dapat dipelihara dengan baik.

(7) Regu Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (RPKHL)

RPKHL merupakan kelompok pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dimiliki oleh desa Muara Merang. Inisiasi awal pembentukan regu pengendalian kebakaran hutan dan lahan desa adalah prakarsa South Sumatera Fire Forest Management project (SSFFMP) pada awal tahun 2006. Secara teknis pengendalian kebakaran sudah dilakukan pelatihan oleh SSFFMP terhadap 15 anggota regu tersebut, dan juga dibantu paket alat-alat pemadaman. Akan tetapi, dalam satu tahun berjalan anggota kelompok ini tidak terkoordinir lagi bahkan alat-alat yang dibantu tersebut banyak yang rusak dan hilang. Oleh karena itu, pada akhir 2007 melalui program WPRP kelompok tersebut dikoordinir lagi, dilakukan beberapa pelatihan serta diberikan juga bantuan peralatan yang sebelumnya sudah rusak atau hilang. Dan untuk mempertegas kelembagaan ini ditingkat desa, yayasan WBH bersama pengurus kelompok meminta Kepala Desa Muara Merang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang kelembagaan tersebut. Sehingga sampai saat ini, RPKHL sudah diakui dan menjadi bagian dari kelembagaan desa serta selalu siap sedia melakukan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang ada di desa Muara Merang.

(8) Kelompok Kenanga

Kelompok kenanga merupakan kelompok perempuan, dengan jumlah anggota 10 orang dan diketuai oleh Ibu Laila Suhat. Kelompok Kenanga ini berada di desa Kepayang yang meruapakan desa pemekaran dari desa Muara Merang (pertengahan tahun 2006). Pembentukan kelompok Kenanga ini pada tanggal 29 Maret 2006, dengan usaha kelompoknya adalah pembuatan keripik ubi singkong. Untuk mengembangkan usaha yang telah dirintis tersebut, maka pada pertengahan tahun 2007 melalui program WPRP dibantu penguatan modal usaha (pinjaman lunak) kepada kelompok tersebut. Sehingga kelompok Kenanga dapat mengembangkan usahanya tersebut lebih baik. Bahkan sampai saat ini, usaha kelompok tersebut telah berkembang menjadi usaha simpan pinjam untuk Ibu-Ibu yang membuat usaha skala kecil di desa Kepayang.

Untuk melaksanakan kewajiban kelompok didalam membuat pembibitan yang merupakan syarat mendapatkan pinjaman, maka kelompok ini telah membuat bibit tanaman jati sebanyak 300 batang yang sudah berumur 6 bulan.

Mengembangkan Usaha yang Sinergis dengan Penanam Pohon Merupakan Solusi Nyata untuk meningkatkan perekonomian

masyarakat dan perbaikan kondisi lingkungan hidup

Secercah Harapan Di Tanah Tinggi


Written by Administrator


Wednesday, 06 January 2010 14:14

Cuaca panas ditengah teriknya matahari yang tepat berada diatas kepala

tidak mengurungkan niat Implementator untuk terus memonitoring

atau sekedar mengunjungi kelompok-kelompok tani di Desa Muara Merang pada siang itu. Bulan Maret seharusnya cuaca masih lembab atau hujan, namun hari itu sinar matahari sudah muncul sejak pagi tanpa sedikitpun awan gelap membayangi seperti hari biasanya. Sepertinya bumi sedang menunjukkan kepada manusia bahwa dia punya kuasa atas manusia bukan manusia atas dirinya.

Setelah menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan atau mungkin tiba-tiba saja diperlukan saat diperjalanan, implementator mulai melakukan perjalanan ke lokasi-lokasi yang telah di datanya sejak keberangkatan dari Palembang. Berbekalkan sebuah sepeda motor bebek sambil membonceng salah seorang pendamping lokal, keduanya menuju ke lahan perkebunan kacang kedelai Kelompok Hijau Lestari yang berada di selatan desa. Lahan yang terhampar seluas 10 ha yang baru sebagian di garap ini bersebelahan dengan lahan perkebunan kelapa sawit PT. Pinang Wit Mas (PT. PWS). lokasinyapun sebenarnya berada tidak jauh dari areal tempat tinggal masing-masing anggota kelompok. Selain mudah dijangkau karena hanya melalui jalur darat, perkebunan kedelai ini dipastikan tidak akan terlalu banyak gangguan dari hewan penggangu (red: babi) seperti kebun-kebun anggota kelompok lainnya. Karena letaknya yang strategis ini diharapkan akan memudahkan para anggota kelompok dalam memantau dan melakukan pemeliharaan terhadap kebun dan tanaman-tanaman yang mereka tanam.

Sesampainya di lokasi, implementator dan pendamping lokal disambut oleh seraut wajah sumringah Pak Suantak. Tubuh kurusnya yang masih tegap tampak masih sangat kokoh menopang badannya yang ringkih dimakan usia. Sambil berusaha membersihkan jari tanganya dari kulit dan jerami kacang kedelai yang baru saja dijemurkannya, Pak Suantak menyongsong kedatangan Implementator dan Pendamping Lokal sambil mengulurkan tangan untuk menyalami keduanya.

Siang itu Pak Suantak memang sedang sibuk mengeringkan hasil panen kacang kedelainya yang ditanam beberapa waktu lalu. Ini terlihat dengan adanya kacang-kacang kedelai yang masih melekat di tangkai-tangkainya yang sudah mulai mengering diatas hamparan karung-karung bekas di tengah lahan perkebunannya. Dengan dibantu anak sulungnya, Pak Suantak kembali membolak balikkan jerami-jerami kacang yang belum kering sambil berkisah saat dia dan seluruh anggota keluarga panen dengan dibantu oleh anggota kelompok lainnya. Sesekali Pak Suantak menyeka keringat yang membasahi dahinya, sembari melanjutkan celotehnya mengenai perkembangan tanaman-tanaman kacang kedelai yang dikelola anggota kelompok lainnya. Beliau menyayangkan kondisi kebun anggota lainnya yang menurutnya kurang perawatan bahkan cenderung dibiarkan terbengkalai, tanaman kacang yang berebut tumbuh dengan rumput dan ilalang memang sempat terlihat saat kunjungan implementator di pertengahan February lalu. Padahal masih menurut penuturannya, jika saja dirawat dengan baik pasti akan lebih banyak lagi hasil yang didapat dan sudah barang tentu keuntungannya bukan hanya untuk kelompok namun juga untuk pribadi masing-masing. Kesibukan anggota lainnya di luar kegiatan bertani menyebabkan kerugian bagi kelompok tutur beliau. Karena jika saja seluruh anggota kelompok dapat menghasilkan panen kurang lebih sama seperti yang diperolehnya, maka dapat dipastikan keuntungan yang akan didapat periode tanam sekarang jauh lebih baik dari hasil atau upah yang didapat sebagai buruh lepas di perkebunan selama 3 (tiga) bulan.

Pak Suantak salah seorang anggota kelompok yang boleh dikatakan sukses dan cukup berhasil pada panen kacang kedelai diperiode ini. Kegigihan dan ketekunannya membuahkan hasil. Tak seperti anggota kelompok lainnya, Pak Suantak benar-benar bertekad ingin mengembangkan hasil pertaniannya dengan cara merawat dan mengurusnya secara langsung dan intensif. Jika anggota kelompok lainnya masih mempertahankan status buruhnya di PT. PWS sebagai buruh perkebunan, tidak demikian dengan Pak Suantak. Dengan berbekalkan tekad yang kuat dan keuletannya, Pak Suantak mampu meraup untung yang cukup besar dari tanaman kedelainya kali ini. Dari modal 10 kg/KK yang diterima oleh masing-masing anggota kelompok dengan pembagian lahan masing-masing ½ ha, Pak Suantak mampu menghasilkan 500 kg kacang kedelai yang berkualitas bagus.

Saat ditanya akan diapakan hasil panennya kali ini, dengan lugas Pak Suantak mengatakan bahwa kacang yang dihasilkan pada panen pertama ini hasilnya sangat bagus, selain jenis kacangnya kacang kedelai putih yang berarti banyak manfaat dan kegunaannya, biji-bijinyapun lebih besar, padat dan kencang. Sehingga sangat cocok untuk dijadikan bibit. Karena itu sebelum dijual ke luar (red:pasar) Pak Suantak berencana akan menjual kepada anggota kelompok lainnya yang masih membutuhkan bibit untuk masa tanam periode berikutnya. Jika ada sisa baru akan dibawa keluar untuk dijual.

Namun Pak Suantak belum berani menjamin akan meluaskan lahan perkebunan kacang kedelainya dari ½ ha menjadi 1 ha. karena menurut dia, jika anggota kelompok yang lain belum membuka lahan secara bersama-sama, maka dia tetap akan bertahan diatas lahan seluas tersebut hingga ada kesepakatan baru dalam kelompok.

Selain Pak Suantak masih ada Pak Dedek yang juga memfokuskan dan menggantungkan harapan dari hasil pertanian. namun saat kedatangan implementator Pak Dedek sedang tidak berada di tempat hanya ada istri dan anak-anaknya. Pak Dedek juga merupakan salah seorang anggota kelompok yang bergabung dalam unit usaha tanam kacang kedelai. Sama seperti Pak Suantak, Pak Dedek juga mampu menghasilkan panen dari bibit 10 kg menjadi setengah ton lebih kacang kedelai. Tidak jauh berbeda dari kacang yang dihasilkan Pak Suantak, kacang kedelai Pak Dedek juga mempunyai biji-biji yang besar, padat dan kencang. Namun istrinya belum tahu rencana suaminya selanjutnya akan diapakan kacang-kacang tersebut sambil memperlihatkan sepiring kacang kedelai yang sudah bersih dan kering. saat ditanya pendamping lokal apakah kacang-kacang tersebut akan dibuat tempe atau makanan lainnya, istri Pak Dedekpun masih belum bisa menjawabnya, karena menurutnya masih ada beberapa bagian yang belum dipetik dari pohonnya karena saat panen terdahulu polongannnya masih belum terlalu tua sehingga tidak dipetik bersamaan, dan sekarang (saat kunjungan berlangsung) diyakini pasti sudah siap petik tutur istri Pak Dedek.

Pak Dedek dan Pak Suantak adalah contoh nyata bagi anggota kelompok lainnya, saat ketekunan dan kesungguhan untuk berhasil benar-benar diimplementasikan pada sesuatu pekerjaan, maka akan didapat hasil nyata nan gemilang. Jika anggota kelompok lainnya hanya mampu memanen rata-rata 30 – 100 kg / KK, maka tidak dengan Pak Dedek dan Pak Suantak. Saat harga kedelai membumbung tinggi dari waktu ke waktu beberapa waktu lalu, semangat dan tekad setiap anggota kelompok yang tergabung dalam unit usaha tanam kedelai benar-benar membara dan berharap akan banyak keuntungan yang akan mereka dapat dari tanaman kedelainya. Namun kesibukan sebagai buruh perkebunan telah melupakan hasrat dan keinginan mereka, mereka lalai memelihara tanaman kacang-kacangnya dan merekapun mendapatkan hasil setimpal dari apa yang telah mereka lakukan sebelumnya.

Berbeda dengan Pak Dedek dan Pak Suantak, mereka merelakan waktu dan perhatiannya tersita bahkan tak segan mereka juga melibatkan anak dan istri untuk turut merawat dan memelihara kedelai-kedelainya dengan harapan akan mendapat keuntungan yang lebih baik di masanya seperti sekarang ini. Dan keduanyapun mendapatkan apa yang mereka tanam.

Saat anggota lain masih sibuk dengan kegiatan panennya, keduanya malah sudah sibuk dengan proses pembersihan dan penyimpanan hasil panen. Tuhan maha adil dan maha bijak dengan segala usaha dan upaya yang dilakukan hamba-Nya.

hasil panen kacang kedelai petani yang menghasilkan kacang berkualitas(foto 1 dan 2); Implementator dan pendamping lokal berpose sejenak sembari melepas penat Pak Suantak sehabis menjemurhasil panen kacang kedelainya (foto 3)

Kisah di Balik Kunjungan ke Kanal-Kanal Liar di Kawasan HRGMK


Written by Administrator


Wednesday, 06 January 2010 14:13

Setelah hampir satu semester tidak ada khabar

mengenai perkembangan kanal-kanal liar

yang berada di kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK),

pada akhir Maret 2008 lalu, Implementator bersama rekan-rekannya bersama dengan beberapa penduduk local kembali memantau lokasi di beberapa kanal yang sudah di tebat (red:block). Yaitu Kanal Perjanjian dan Kanal Penyamakan. Kegiatan kunjungan ke lokasi kanal-kanal tersebut dalam rangka mendampingi salah seorang Mahasiswa S2 yang akan mengadakan penelitian (study) mengenai dampak keberadaan kanal sebelum dan sesudah dilakukan penebatan terhadap hutan rawa gambut. Berikut kisah dibalik perjalanan team menuju lokasi kanal.

Kegiatan penebatan (blocking kanal) sendiri sudah dilakukan sejak tahun 2002 dengan beberapakali perbaikan (rekonstruksi) baik secara teknis hingga metode penebatan. Jika pada saat kegiatan penebatan pertamakali dilakukan kondisi tebat selalu dibongkar (dirusak) oleh masyarakat (red:masyarakat Pencari kayu / illegal logging), namun pada kunjungan kali ini kondisi keempat tebat di kedua kanal tersebut masih sangat baik. Tanah yang digunakan untuk menutup kerangka tebat kini telah banyak ditumbuhi oleh tumbuhan semak dan rumput. Begitu juga pohon yang ditanam di atas tanah-tanah penutup tersebut juga telah berdiri dengan kokoh. Konstruksi tebatnya juga tidak mengalami kerusakan atau pembongkaran seperti sebelumnya. Kondisi permukaan air tebat di bagian hulu dan hilir tebat saat itu sedang tinggi dan mengalir secara normal melalui saluran air yang sengaja dibuat pada saat pembangunan tebat di tengah permukaan konstruksi tebat. Tentu saja kondisi ini sangat menggembirakan meskipun saat implementator dan rekan-rekannya berkunjung, masih saja dijumpai beberapa orang pembalak yang sedang berusaha melewatkan kayu-kayunya melalui kanal-kanal yang belum ditebat.

Ada kisah menarik dibalik kunjungan ke lokasi kanal tersebut. Saat Implementator dan rekan-rekannya bertemu dengan pembalak yang sedang mengangkut kayu-kayunya, sempat terjadi ketegangan diantara mereka. Karena perawakan yang tinggi besar serta cara bicara yang tegas ditambah dengan rompi hitam yang dikenakan oleh salah seorang rekan Implementator tersebut sempat membuat para pembalak sedikit curiga dan ketakutan. Mereka menduga bahwa rekan Implementator tersebut adalah seorang petugas (polisi hutan) yang sedang berpatroli dan akan menangkap mereka, sehingga salah satu dari mereka mencoba memberikan tips (uang sogokan) kepada Implementator dan rekan-rekan tersebut, namun dengan tegas tips tersebut ditolak dan dijelaskan maksud dan tujuan kunjungan sebenarnya bukan untuk menangkap mereka. Namun untuk memantau kondisi kanal dan tebat permanen yang dibangun pada tahun 2006 lalu. Setelah itu para pembalak kelihatan sedikit lega meskipun masih sangat berhati-hati dan tidak berani banyak memberikan keterangan saat ditanya oleh salah seorang dari team. Melihat dari cara mereka yang mencoba memberikan tips kepada Implementator dan rekan, bisa jadi menjadi salah satu penyebab mengapa kegiatan ilegal logging di Hutan Indonesia tidak pernah bisa berakhir dengan tuntas. Jika setiap komponen dari pemberantasan ilegal logging bisa mendapat kesempatan untuk mengeruk keuntungan dari kegiatan ini. Ini hanya salah satu fakta terkecil yang berada di masyarakat bawah, bisa kita bayangkan bagaimana pada tingkatan yang lebih tinggi lagi? Dengan cukong dan pemodal yang lebih besar yang bisa memberikan tips milyaran atau bahkan triliunan kepada para yang berkepentingan dan berwenang? Tentu saja Sang Pemodal akan dengan leluasa bisa melenggang melepaskan diri dari jeratan hukum dan kabur keliling dunia untuk membersihkan diri dan menikmati hasil jarahan hutan Indonesia. Kondisi seperti inilah mungkin yang menjadi salah satu penyebab mengapa kegiatan Ilegal Logging tak dapat dituntaskan, dan lebih miris lagi yang selalu kena jerat hukum adalah para pembalak (anak kapak), mereka dijadikan kambing hitam dan sasaran empuk petugas dalam mencari peluang dan mencari ketenaran dalam kegiatan pemberantasan ilegal loging. Jikalaupun ada penangkapan terhadap Sang Dalang, dipastikan itu takkan bertahan lama, setelah semua diam, maka Sang Dalangpun akan kembali dapat menikmati kebebasan dan kembali melakukan aktifitasnya. Berbeda dengan para pembalak, ketika mereka tertangkap tangan oleh petugas saat sedang beraktifitas, maka dapat dipastikan apa yang menimpa nasib mereka dan keluarganya. Padahal mereka hanya sekedar imbas dari ketidakberdayaan dalam mengatasi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan hidup yang kian membumbung. Sekedar mengingatkan kembali, bahwa keberadaan kanal-kanal liar di Kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang telah ada sejak beberapa tahun lalu, diperkirakan tahun 1970-an kanal-kanal tersebut sudah ada. Karena pada tahun tersebut mulai beroperasinya HPH. Meskipun saat itu pembuatan kanal (parit) itu dilarang, namun pada kenyataannya, terdapat sebuah kanal yang sengaja dibuat oleh HPH (dok: laporan akhir CCFPI, WIIP-WBH tahun 2006) yang digunakan untuk mengeluarkan kayu dari dalam hutan menuju Sungai. Berakhirnya masa konsesi tahun 1999-2000 di kawasan HRGMK, status pengelolaan lahan bekas areal HPH tersebut belum menentu sehingga banyak diperebutkan oleh masyarakat untuk memanfaatkan kayu-kayu (pohon-pohon) yang masih tersisa. Dan diperkirakan sejak itu banyak kanal-kanal yang sengaja dibuat oleh masyarakat untuk melakukan aktifitas penebangan liar (illegal logging) dibekas areal HPH.

Pembangunan tebat pada kanal-kanal liar tahun 2006

Hingga survey yang dilakukan oleh WBH dan WIIP tahun 2002, terdapat 113 kanal buatan di kawasan HRGMK (83 kanal berada ditanah gambut, 30 kanal berada di tanah alluvial). Kanal-kanal tersebut masih banyak yang aktif dan digunakan oleh para pembalak untuk mengeluarkan kayu-kayu hasil tebangan keluar kawasan, lalu dilanjutkan dengan melalu jalur sungai dengan menggunakan tenaga motor (Perahu Motor). Kondisi ini tentu mengakibatkan sulitnya melakukan penebatan secara permanent saat itu, karena jika dipaksakan diperkirakan akan banyak komplik yang akan terjadi dengan masyarakat (pembalak). Untuk itu dibuatlah suatu kesepakatan bersama masyarakat pencari kayu yang solusinya adalah dengan membuat tebat semi permanent. Sehingga pada saat pembalak akan melewatkan kayu-kayu tersebut tebatnya dapat dibongkar dan dipasang kembali. Itu harapan dari kesepkatan. Namun kesepakatan hanyalah diatas kertas dan pemanis janji, pada pelaksanaannya, tebat-tebat tersebut dibongkar dan tidak dipasangkan kembali. Kondisi ini terus berulang karena yang melewati kanal-kanal tersebut tidak hanya satu atau dua pembalak, namun lebih dari itu karena kanal-kanal tersebut ternyata selain digunakan langsung oleh pemiliknya, juga disewakan kepada para pembalak yang ingin melewatkan kayunya. Sudah dapat dibayangkan bagaimana tingginya aktifitas tebat yang haru selalu dibongkar setiap saat. Ditambah pada saat musim hujan, kondisi air sedang tinggi, tahun 2002-2005 diperkirakan hampir 1000 kubik kayu yang dikeluarkan setiap hari melalui jalur sungai dan kanal-kanal buatan yang berada dalam kawasan HRGMK.

Namun seiring menipisnya kayu dalam kawasan HRGMK, kanal-kanal tersebut mulai banyak ditinggalkan dan terbengkalai tanpa perawatan. Kondisi inilah yang dikhawatirkan karena bekas galian dalam kawasan HRGMK tersebut akan menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut. Keberadaan kanal-kanal liar tersebut memberikan konstribusi yang cukup tinggi terhadap drainase dalam hutan rawa gambut.

Sebelum hari beranjak sore, team kembali melanjutkan kunjungan ke kanal-kanal lainnya yang telah ditebat secara permanen. Namun keterbatasan waktu dan juga lokasi yang berjauhan dari masing-masing kanal, menyebabkan kunjungan terakhir hanya sampai pada Kanal Pak Nasir. Padahal masih ada empat kanal yang belum dikunjungi, yaitu Kanal Pak Kuncit, Kanal Pak Muk, Kanal Pak Majan dan Kanal Pak Yavis. Keempat kanal ini ditebat secara permanen bersamaan dengan kanal Pak Nasir pada pertengahan 2006.

Sepanjang perjalanan menyusuri sungai, team sempat mengabadikan aktifitas buruh perusahaan HPH (PT. Rimba Hutani Mas) yang saat ini sedang mendapatkan hak pengelolaan hutan di kawasan Musi Banyuasin dan Jambi termasuk didalamnya kawasan HRGMK. Namun sayangnya, team tidak bisa berhenti untuk sekedar mengobrol dengan para buruh karena keterbatasan waktu yang tidak memungkinkan untuk singgah, disamping itu juga harus memburu waktu sebelum hari mulai gelap. Saat team tiba di perkampungan, hari benar-benar sudah sangat gelap dan kelelahan yang sebelumnya tidak dirasakan oleh team, saat tiba di tempat peristirahatan (rumah penduduk lokal) mulai menyerang sehingga tidak banyak yang dilakukan oleh team pada malam harinya, setelah sedikit mengobrol dan berdiskusi informal masing-masing sudah mulai terlelap dengan mimpinya.

Pengertian dan Makna Penting Dibalik Sejarah Tanggal 17 Agustus 2015 Bagi Indonesia


Written by Administrator


Friday, 21 August 2015 10:06

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di tanggal 17 Agustus 1945

yakni salah satu tonggak yang sangat bersejarah dan tidak akan dilupakan buat orang-orang Indonesia sendiri. Begitu gigih para pahlawan Indonesia yang berjuang buat menumpas para penjajah yang datang ke Tanah Air tercinta ini. Beberapa penjajah yang memiliki maksud hanya buat menindas dan buat menjadikan bangsa Indonesia ini sebagai budak para penjajah.

Perjuangan seluruh masyarakat Indonesia dalam upaya mencapai kemerdekaan berlangsung selama berabad-abad lamanya. Berkorban dengan penuh jiwa dan raga tentunya. Perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan tersebut akhirnya dapat diraih pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi ini tentu tak lepas dari berbagai pihak tentara Jepang yang terdesak dari pihak sekutu dalam peperangan Asia Timur.

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 tentunya memiliki arti yang begitu penting untuk Bangsa Indonesia sendiri. Secara garis besar mengenai arti ataupun makna pentingnya tanggal 17 Agustus bagi bangsa Indonesia yang pertama ialah, bahwa proklamasi kemerdekaan RI sebagai puncak perjuangan para bangsa Indonesia ketika itu. Kemudian makna yang selanjutnya adalah, bahwa Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI, yang terbentang luas mulai dari sabang sampai dengan merauke.

Bukan itu saja, makna lain dari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 adalah, bahwa ini merupakan titik tolak dari pelaksanaan amanat penderitaan rakyat Indonesia ketika itu. Kemudian makna yang lain adalah, bahwa Proklamasi Kemerdekaan RI sebagai titik tolak perubahan dari tata hukum colonial yang berubah menjadi tata hukum nasional.

Setiap hal besar yang bersejarah di Indonesia tentunya memiliki makna makna tersendiri soal kelangsungan pelaksanaan atau dari berbagai persoalan yang lain. Termasuk peristiwa yang begitu bersejarah, Proklamasi Kemerdekaan RI pastinya akan memiliki makna yang cukup besar, karena dengan menyatakan Indonesia merdeka adalah sebuah keberanian dengan tekad yang kokoh.

Indonesia lahir bukan melalui sejarah yang pendek dan biasa saja, akan tetapi Republik Indonesia lahir karena buah kesabaran dan kokohnya perjuangan para pendahulu. Kemerdekaan bukan merupakan hasil akhir dari perjuangan bangsa Indonesia, Indonesia pun menginginkan orang orang di dalamnya merupakan orang orang yang memiliki jiwa juang pula. Jiwa juang dalam hal menuntut ilmu, memahami akan sejarah Indonesia, dan lain sebagainya.

Upacara 17 Agustus 2015

Perjuangan Hidup Masyarakat Local Dan Keberpihakan Pemerintah


Written by Administrator


Wednesday, 06 January 2010 14:17

Dari perjalanan tim pelaksana proyek melakukan dialog informal dengan Dinas Kehutanan MUBA

dan juga dengan aparat pemerintah desa yang ada di sekitar hutan serta dari hasil pengamatan lapangan, maka ter-inpirasi oleh kami untuk mengangkat cerita Perjuangan masyarakat dan kurangnya keberpihakan Pemerintah didalam memerankan masyarakat local untuk pengelolaan hutan

Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK) merupakan bagian dari ekosistem hutan gambut yang sangat penting, baik nilai ekologinya maupun nilai ekonomi. Jika dilihat dari kondisi biofisiknya, bahwa kawasan ini masih terdapat bagian yang memiliki sumber daya kayu yang cukup baik dan juga memiliki kondisi tanah gambut yang cukup tebal (> 3 meter). Disekitar kawasan ini terdapat dua desa yang langsung berakses, yaitu desa Muara Merang dan desa Kepayang, karena untuk menuju ke lokasi kawasan tersebut mesti melalui dua desa tersebut. Bagi masyarakat di dua desa ini, bahwa kawasan HRGMK merupakan bagian penting dari sejarah kehidupan masyarakatnya. Karena sumber daya hutan yang ada di kawasan tersebut merupakan daya tarik dan sumber matapencaharian utama untuk kehadiran awalnya di desa ini. Sehingga sampai saat ini, masih banyak masyarakatnya yang sangat ketergantungan dengan sumber daya hutan (kayu) yang ada didalam kawasan tersebut.

Akan tetapi, konsep pengelolaan hutan dari dulu sampai sekarang sangat tidak berpihak kepada masyarakat. Pengelolaan hutan yang ada di sekitar desa mereka selalu diprioritaskan kepada perusahaan-perusahaan besar yang sangat tidak memperhatikan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Pada tahun 1970-an sampai tahun 2000, kawasan ini dikelola oleh HPH yang sangat ketat pengawasannya (protektif) dan bahkan sampai berakhir massanya tidak ada sumbangsih didalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Pada massa HPH habis (tahun 2000) sampai akhir tahun 2005, pengelolaan kawasan HRGMK dalam massa transisi (tidak ada perusahaan yang memiliki konsesi) sehingga berduyun-duyun masyarakat yang melakukan penebangan kayu sisa-sisa HPH. Kondisi ini tetap menjadikan masyarakat local tersingkirkan, karena yang banyak diuntungkan adalah para pemodal (disebut: cukong) yang datang dari luar desa, sedangkan masyarakat hanya dapat menjadi anak kapak (disebut: buruh) bagi para pemodal-pemodal tersebut.

Waktu terus berlalu, mulai awal tahun 2006 Pemerintah sangat gencar dengan penerapan kebijakan untuk memberantas pembalakan liar (Illegal Logger) pada kawasan ini, masyarakat resah dan bahkan kehilangan matapencahariannya karena para pemodal-pemodal tidak berani lagi memberikan modal dan membeli kayu dari masyarakat local. Sehingga kehidupan masyarakat kembali dalam ketidakpastian, dan masyarakat masih beruntung karena disekitar desa mereka terdapat konsesi perkebunan Sawit yang telah membuka lahan pada areal penggunaan lain (APL) yang seharusnya dapat dimiliki oleh masyarakat sebagai lahan garapannya. Dengan adanya Perusahaan perkebunan tersebut, masyarakat dapat menjadi buruh harian lepas (BHL) dengan upah yang sangat kcil (Rp. 25,000,-/hari kerja).

Disisi lain, kawasan didalam HRGMK yang sebelumnya dijadikan kawasan untuk penebangan liar (Illegal logging) dan uring-uringan pengambilan kayu disaat ada kesempatan, pada akhir tahun 2006 ini telah dijadikan lahan untuk penanaman akasia (HTI PT. Rimba Hutani Mas), dan beberapa perusahaan lainnya yang juga akan menanam akasia. Hal yang ironis dan menyedihkan, karena begitu mudahnya perusahaan-perusahaan besar mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah, sedangkan masyarakat tetap menjadi penonton akan “pestanya orang luar (pemodal besar) pada lahan-lahan di dalam kawasan desa mereka sendiri. Hal ini terlihat dilapangan, bahwa para perusahaan-perusahaan HTI tersebut lalu lalang membawa kayu hasil penebangan dilahan yang telah mereka mulai Land Clering (LC). Dimana keberpihakan para pemangku negeri ini (disebut: Menhut) terhadap kelestarian hutan alam dan keterlibatan masyarakatnya, karena jelas-jelas pada kebijakan PP No. 34 tahun 2002 bahwa kawasan yang dapat dialokasikan untuk HTI adalah kawasan yang tidak produktif (semak belukar, padang ilalang) tetapi kenyataan dilapangan sangat tidak sejalan dengan kebijakan tersebut. Kawasan HRGMK yang masih sangat baik (produktif), kok dijadikan areal untuk HTI.

Melihat kondisi ini, adanya kekhawatiran dari masyarakat akan hilangnya semua potensi yang mereka miliki termasuk potensi lahan yang ada di sekitar mereka dengan menjamurnya perusahaan-perusahaan yang telah mendapatkan izin, baik perusahaan sawit maupun HTI. Oleh karena itu, beberapa inisiatif dari masyarakat local Desa Muara Merang (dusun III – Pancoran) telah membuka kebun karet di dalam kawasan hutan produksi. Mereka sangat sadar bahwa; lahan kebun mereka ini berada di dalam kawasan hutan produksi, tapi mau dibilang apa? Karena lahan sudah sangat terbatas (diambil oleh perusahaan-perusahaan besar untuk dijadikan HTI dan perkebunan sawit). Disamping itu, masyarakat lokal desa Kepayang, telah juga berinisiatif untuk mengajukan pengelolaan HTR dan hutan desa pada kawasan yang tidak produktif di dalam kawasan HRGMK. Namun, inisiatif-inisiatif ini kurang mendapat fasilitasi dan respon positif dari Pemerintah Daerah kabupaten MUBA melalui Dinas Kehutanan. Karena Dishut MUBA, memandang bahwa masyarakat yang telah membuka kebun karet di dusun III (Pancoran) telah menyalahi aturan karena mereka telah membuka lahan kebun karet pada kawasan hutan produksi. Pihak Dinas Kehutanan MUBA beranggapan bahwa; jika mereka difasilitasi untuk pengelolaan HTR maka seolah-olah Dinas Kehutanan MUBA melegalkan keberadaan mereka. Sebenarnya anggapan ini, memang harus dilakukan untuk dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal didalam memanfaatkan lahan yang ada di sekitar mereka. Namun kenyataan sekarang ini, Dishut MUBA sangat tidak responsif untuk memfasilitasi kondisi tersebut sehingga masyarakat lokal terus dihantui ketakutan akan kepastian untuk menikmati hasil jerih payah mereka dari membuka lahan karet yang sudah mulai berumur 2-3 tahun. Disamping itu, untuk menyikapi masyarakat lokal desa Kepayang yang telah mengusulkan HTR dan hutan desa seluas 6.000 ha, Pemerintah Daerah Muba melalui Dishutnya juga kurang direspon dengan baik. Dishut selalu berpikiran negatif terhadap keberadaan masyarakat tersebut, sehingga usulan pengajuan masyarakat dalam bentuk surat menyurat masih terbenam di mejanya kepala dinas tanpa adanya kepastian kapan usulan tersebut di respon?……..

Bagaimana kelanjutan dari kisah perjuangan masyarakat ini, akan dapat kita lihat perkembangannya dalam cerita di bulan selanjutnya. (wbh)

Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK), dulu dan sekarang?

Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK), dulu dan sekarang?


Written by Administrator


Wednesday, 06 January 2010 14:16

Hutan Rawa Gambut Merang-Kepayang (HRGMK),

secara administrasi desa berada didalam pengawasan desa Muara Merang dan desa Kepayang kecamatan Bayung Lencir kabupaten Musi Banyuasin. Kedua desa ini merupakan desa terdekat dan ber-akses langsung dengan kawasan, sehingga menjadikannya sebagai target yang akan dilakukan kajian (disebut: studi) oleh Yayasan WBH dengan dukungan dari Sustainable Sumatera Support (SSS) didalam peluang penerapan model Community Base Forest Management (CBFM) oleh masyarakat lokal terhadap kawasan tersebut.

Pada tahap awal pelaksanaan proyek di bulan Desember 2008, telah dilakukan kajian Sosial-Ekonomi terhadap masyarakat di dua desa dan Karakteristik Kawasan HRGMK. Dari pelaksanaan kegiatan di lapangan, tim kajian telah menghimpun cerita menarik yang digali dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dan perwakilan pemerintahan desa tentang Hutan dan sistem pengelolaannya dulu dan sekarang.

Pada kuisioner semi-terstruktur yang merupakan panduan interview bagi tim kajian lapangan, terdapat satu pertanyaan yang memerlukan diskusi mendalam antara tim kajian dengan masyarakat yang diwawancarai. Pertanyaan tersebut adalah “apa persepsi/pandangan Bapak/Ibu tentang hutan? dan menurut Bapak/Ibu, bagaimana sistem pengelolaan hutan yang telah dilakukan selama ini?.

Hutan merupakan kumpulan beranekaragam pepohonan dan juga terdapat banyak binatang liar yang hidup didalamnya; ujar Pak Sewi (nama lengkapnya Sewinarno) salah seorang guru honor olahraga di SD Negeri 1 dusun Bakung desa Muara Merang, dan pak Sewi ini mulai menetap di desa Muara Merang pada tahun 2000 yang sebelumnya berasal dari Tanjung Raja, OKI. Dalam pembicaraan selanjutnya, pak Sewi menjelaskan bahwa; keberadaan Hutan Rawa Gambut Merang – Kepayang yang terdapat dibagian utara desa Muara Merang telah mempengaruhi karakter kehidupan masyarakat desa ini. Ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam kayu sebagai matapencaharian utama telah dimulai sejak masa HPH (akhir tahun 70-an) sampai tahun 2004. Berkayu telah mendidik masyarakat menjadi pemalas, menyukai kegiatan yang instant (cepat menghasilkan uang), sehingga sangat jarang masyarakat disini yang telah memiliki kebun (misalnya: karet, sawit, buah-buahan, dll.) yang cukup luas dan menghasilkan, padahal lahan disini cukup luas. Dengan bertambah jauhnya lokasi untuk tempat mengambil kayu dan juga semakin ketatnya pengawasan dari Pemerintah terhadap penebangan liar pada awal tahun 2004 sampai sekarang, maka masyarakat semakin sulit mengandalkan kegiatannya dari usaha sebagai pembalogg. Oleh karena itu, sejak tahun 2004 tersebut sudah banyak masyarakat yang memulai untuk mengembangkan usaha-usaha alternative seperti berkebun karet, buah-buahan, berternak, dan juga sebagai buruh di perusahaan-perusahaan perkebunan sawit sekitar desa. Pada akhir pembicaraannya, pak Sewi menekankan bahwa; keadaan sekarang ini, hampir tidak ada lagi warga desa Muara Merang yang berprofesi sebagai pembalogg (penebang liar).

Setelah melakukan wawancara dan penggalian informasi yang relevan dengan pak Sewi, anggota tim langsung menuju ke rumah Ibu Hj. Maimunah biasa dipangil Nyek adalah seorang janda dan merupakan sesepuh desa. Tim studi meminta kepada Nyek untuk menceritakan kondisi desa Muara Merang dulu dan sekarang. Dengan berbekal perjalanan hidupnya, Nyek memulai ceritanya; sekitar awal tahun 1960-an, Nyek beserta Suami serta mengajak seorang anak laki-laki yang masih kecil (sekarang Kades Muara Merang) memulai perjalanan panjang dari desa asalnya yaitu Pangkalan Balai menuju lokasi desa Muara Merang sekarang. Perjalanan yang hanya menggunakan perahu (berdayung sampan) di mulai dari sungai Musi, kemudian menelusuri sungai-sungai kecil untuk menuju sungai Banyuasin dan kemudian sungai Lalan, yang memakan waktu lebih kurang tiga minggu untuk sampai ke Muara Sungai Merang. Muara Sungai Merang sebagai tujuan akhir perjalanan, karena disini sangat banyak akan sumber daya ikan yang sangat cocok dengan profesi kami sebagai nelayan. Disamping itu, lokasi tersebut belum ada masyarakat yang bermukim sehingga memberikan keleluasaan bagi kami untuk berusaha nelayan dan membuka lahan pertanian. Dalam kurun waktu lima tahun bermukim, sudah ada sekitar lima keluarga yang menetap dan kami sepakat untuk pindah dan membuat pemukiman baru dibagian lebih hulu sungai Lalan (lokasi dusun Bakung sekarang) karena lokasinya lebih tinggi dibanding lokasi pemukiman sebelumnya. Pada awal tahun 1970-an, mulainya berdatangan orang kehutanan melakukan survey dan pengambilan kayu dilahan-lahan sepanjang sungai Lalan dan sungai Merang yang merupakan pemukiman kami sebagai tempat persinggahan orang-orang tersebut. Sejalan dengan waktu, masyarakat yang menetap di disini terus bertambah banyak. Bahkan pada tahun 1983 dibuatlah program Pemerintah untuk memukimkan para suku kubu yang hidup dipinggiran sungai Lalan dan sungai Merang, dengan dibangunkan rumah tempat bermukim lebih kurang 50 buah serta diberikan lahan ± 0,5 ha di belakang pemukiman yang ditanami karet. Akan tetapi program ini tidak membuat betah suku kubu dan akhirnya rumah-rumah yang dibangun banyak yang ditinggalkan. Puncak dan pesatnya para pendatang yang bermukim di desa Muara Merang terjadi pada akhir tahun 1998 dan awal tahun 2000, karena penebangan kayu di kawasan Hutan dibebaskan untuk masyarakat. Sehingga banyak sekali para pendatang terutama toke-toke (pemodal) dari Selapan (OKI) mendirikan Sawmill disepanjang sungai Lalan. Begitu juga dengan masyarakat lokal disini banyak yang menjadi buruh di pabrik Sawmil dan juga melakukan penebangan kayu secara mandiri untuk dijual di Sawmill-Sawmill tersebut. Pada masa ini masyarakat lokal Muara Merang dan juga pendatang sangat mudah mendapatkan uang dan hidup dalam kemewahan. Akan tetapi, pada masa ini masyarakat tidak memikirkan untuk menabung guna kehidupan kedepannya, misalnya membuat kebun karet atau kebun sawit, dan membuat rumah yang bagus. Jika kita lihat sekarang, kondisi masyarakat disini rata-rata masih dalam hidup miskin dan serba kekurangan. Kayu sudah habis, lahan desa banyak diambil oleh perusahaan Sawit dan HTI, sedangkan masyarakat tetap dalam kemiskinan; ujar Nyek menutup pembicaraannya.

Pada sesi lain, tim melakukan wawancara dan diskusi dengan Bapak Wanto (Ketua BPD desa Muara merang). Bapak Wanto ini adalah salah satu mantan pembalok di kawasan HRGMK pada masa berakhirnya HPH tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Hutan merupakan aset ekonomi bagi masyarakat desa, hal ini terbukti dari masa penebangan yang dibebaskan pada awal tahun 2000-an, banyak masyarakat yang kehidupannya lebih meningkat (lebih baik). Akan tetapi, keadaan ini hanya berlangsung sampai akhir tahun 2004, yang selanjutnya kawasan HRGMK banyak dikuasai oleh para pemilik modal luar desa yang indikasinya dibekengi oleh aparat Polda dan juga HTI Sinar Mas yang melakukan pemanenan hutan alam. Sehingga masyarakat lokal tersingkirkan alias tidak dapat lagi mengambil kayu di kawasan tersebut, padahal kawasan ini berada di dalam wilayah desa Muara Merang. Untuk kedepannya diharapkan adanya jalan keluar bagi masyarakat untuk bisa mamanfaatkan kayu didalam kawasan tersebut, jangan hanya perusahaan-perusahaan besar saja (seperti HTI Sinar Mas) yang diperhatikan oleh Pemerintah, sudah seharusnya masyarakat lokal juga dibina dan diperhatikan; ujar Pak Wanto sambil menghisap rokoknya. Kemudian Pak Wanto menambahkan, bahwa; kawasan HRGMK kondisinya saat ini masih cukup bagus alias masih banyak tegakan kayunya, dan jika dipelihara dan dikelola dengan baik, tidak perlu dilakukan penanaman lagi atau anakan alam yang sudah ada dapat tumbuh dan berkembang menjadi besar. Sangat disayangkan adanya perusahaan HTI pada kawasan tersebut, hal ini kemungkinan akal-akalan perusahaan untuk bisa mengambil sisa kayu alam untuk dijadikan kertas dan juga dijual logg-nya.

Pada studi Sosek ini, tim juga melakukan penggalian data dan informasi tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat di desa Kepayang. Anggota tim langsung menemui sekaligus melakukan wawancara dengan Pjs. Kades Kepayang (Bapak M. Ibnu Hajar); dalam wawancara ini, bapak Ibnu hajar (biasa disapa pak Benu) menjelaskan tentang pandangannya tentang hutan dan model pengelolaanya selama ini; Hutan merupakan kumpulan bermacam-macam kayu tegakan dan juga sebagai tempat hidupnya satwa liar. Kawasan hutan adalah hutan yang dikelola oleh negara, seperti hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Didalam wilayah desa Kepayang terdapat kawasan hutan produksi, yang sering kami sebut sebagai hutan gambut merang-kepayang. Memang didalam kawasan hutan tersebut terdapat tanah gambut yang relatif tebal dan juga dibeberapa tempat tidak bergambut serta datarannya tinggi (tidak berawa). Kondisi kawasan hutan produksi tersebut dibeberapa tempat sudah rusak (tidak ada tegakan kayu besar), dikarenakan pernah terjadi kebakaran hutan yang cukup besar pada tahun 1997, 2004, 2006, dan juga kerusakan ini disebabkan oleh banyaknya penebangan liar pasca konsesi HPH tahun 2000. Disamping itu, sistem pengelolaan yang dilakukan selama ini sangat kurang berpihak kepada masyarakat. Pada saat sekarang ini, kawasan-kawasan HRGMK telah banyak dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar HTI. Sehingga hilir mudik, perusahaan-perusahaan tersebut mengangkut kayu-kayu logg hasil dari kegiatan pembersihan lahan (land clearingnya) nyaris hampir setiap hari dapat terlihat disekitar kawasan Sungai Merang. Kok, perusahaan boleh mengambil kayu, mengapa masyarakat tidak boleh? (desah pak Benu sambil menunjuk tongkang angkutan kayu dari PT. RHM yang lewat membawa kayu). Kedepannya kami sangat khawatir akan hilangnya semua lahan yang ada di sekitar desa kami, sehingga kami telah mengusulkan HTR kepada pemerintah MUBA seluas 6.000 ha, mudah-mudahan akan cepat terealisasi. HTR ini akan kami tanami dengan karet dan juga untuk per 2.000 ha-nya akan kami jadikan hutan desa. Kami sangat mendukung dengan adanya, program dari WBH untuk mendorong masyarakat didalam pengelolaan hutan. Mudah-mudahan masyarakat kami akan lebih mudah dan didengar dalam memperjuangkan keinginan kami (sebuah ungkapan hati pak Benu kepada tim studi, pada saat pak Benu menutup pembicaraannya).

Demikianlah cerita singkat yang didapat dari hasil wawancara tim studi Sosek dilapangan, sebagai khasanah kita didalam memahami masyarakat akan keberadaan hutan yang ada disekitar mereka. (wbh)

Profil Umum Lokasi Kunjungan Peserta Workshop Bioright


Written by Administrator


Wednesday, 06 January 2010 14:15

 

Profil Umum Lokasi Kunjungan Peserta Workshop Bioright

Wetlands and Poverty Reduction Project (WPRP),

Provinsi Sumatera Selatan

  1. Profil Umum Ekosistem

Provinsi Sumatera Selatan memiliki luasan lahan gambut terluas kedua setelah provinsi Riau, yang mana luasan lahan gambut yang ada di Sumatera Selatan 1.420.042 ha (19,71% dari luasan lahan gambut yang ada di Pulau Sumatera). Keberadaan lahan gambut yang ada di Sumatera Selatan tersebut menyebar di beberapa kabupaten, dan kabupaten yang memiliki lahan gambut terluas adalah kabupaten Ogan Komering Ilir sejumlah 768.501 ha, terluas kedua adalah kabupaten Musi Banyuasin sejumlah 593.311 ha, dan selebihnya menyebar di beberapa kabupaten lainnya.

Berdasarkan beberapa kajian dari Wetlands International – Indonesia Program (WIIP) & Yayasan Wahana Bumi Hijau (YWBH), keberadaan lahan gambut yang ada di Sumatera Selatan ini sudah mengalami degradasi yang cukup tinggi, bahkan sudah banyak yang dikonversi menjadi lahan perkebunan Sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dan pada kajian ini, juga menyebutkan bahwa dari luasan lahan gambut yang ada di Sumatera Selatan tersebut hanya tertinggal ± 200.000 ha yang masih berhutan alami, yaitu lahan gambut yang ada di kawasan sungai Merang dan sungai Kepayang Kecamatan Bayung Lencir kabupaten Musi Banyuasin. Sehingga dapat di sebutkan bahwa, kawasan hutan gambut yang ada di sekitar Sungai Merang dan Sungai Kepayang yang selanjutnya disebut Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK), merupakan satu-satunya kawasan hutan rawa gambut alami terakhir di Sumatera Selatan.

Dari beberapa kajian tentang karakteristik gambut di kawasan HRGMK ini, menyebutkan bahwa ketebalan tanah gambutnya cukup bervariasi mulai dari 0,5 meter sampai 6 meter, begitu juga dengan kondisi tegakan vegetasinya yang relative masih berhutan alam dan juga memiliki nilai keanekaragaman fauna yang masih tinggi dan dilindungi. Disamping itu, kawasan HRGMK ini juga memiliki tekanan yang cukup besar dari berbagai aktivitas manusia, misalnya seperti masih banyaknya masyarakat yang melakukan penebangan liar (illegal logging), konversi lahan manjadi perkebunan Sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) serta kebakaran hutan. Dengan kondisinya demikian, maka sangat perlu dilakukan upaya-upaya perlindungan dan konservasi kawasan HRGMK yang berbasiskan masyarakat lokal. Oleh karena itu, program Wetlands and Poverty Reduction Project (WPRP) yang ada di Sumatera Selatan di laksanakan di ekosistem HRGMK tersebut.

  1. Arti Penting Ekosistem HRGMK

Ekosistem HRGMK yang berdasarkan penyebaran vegetasi hutan rawa gambutnya terletak antara 01°45™-02°03™ LS dan 103°51™-104°17™ BT, memiliki nilai penting baik secara ekonomi, sosial dan ekologi. Secara ekonomis, HRGMK masih memiliki potensi sumber daya hutan kayu yang masih besar seperti jenis : Meranti (Shorea spp.), Jelutung rawa (Dyera lowii), Ramin (Gonystylus bancanus), Pulai rawa (Alstonia pneumatophora), Gelam (Melaleuca leucadendron), dan jenis-jenis pohon hutan tropis lainnya. Selain itu terdapat juga sumber daya hutan non-kayu seperti rotan (Calamus spp.) yang masih cukup potensial dan banyak, disamping itu kedua sungai yang ada didalam kawasan HRGMK juga memiliki potensi ikan alam (ikan sungai khas lahan gambut) yang juga masih banyak, seperti: ikan tapah (Wallago leerii), ikan lais (Kryptopterus sp.), ikan Baung (Mystus wyckii), dll.

Nilai sosial HRGMK bagi masyarakat sekitar kawasan dan masyarakat provinsi Sumatera Selatan juga memiliki nilai sosial yang cukup tinggi, karena HRGMK ini sangat erat kaitannya dengan sejarah terbentuknya desa-desa yang ada di sekitar kawasan, seperti desa Muara Merang dan desa Kepayang. Terbentuknya desa-desa berawal dari bermukimnya pendatang yang mengambil potensi sumber daya hutan kayu dan non kayu serta sumber daya perikanan yang ada di kawasan tersebut. Seiring dengan waktu, para pendatang terus bertambah dan menetap yang pada akhirnya terbentukah satu desa Muara Merang, yang sekarang sudah dimekarkan menjadi dua desa yaitu desa Muara Merang dan desa Kepayang. Disamping itu, pada aliran sungai Merang bagian hulu juga memiliki habitat bagi spesies endemik, yaitu : Buaya senyulong (tomistoma schlegelli). Keberadaan spesies endemik ini telah menjadikan kebanggaan bagi masyarakat lokal dan pemerintah daerah, sehingga kawasan ini sudah menjadi isu bersama untuk dapat dilindungi dan dilestarikan.

Secara ekologis, kawasan HRGMK ini memiliki nilai kekayaan yang sangat tinggi, berdasarkan bentang alamnya yang cukup luas dan sebagai penghubung dua taman Nasional (taman nasional Berbak dan taman nasional Sembilang) maka menjadikan kawasan HRGMK sebagai koridor dan habitat penting bagi penyebaran berbagai jenis fauna yang dilindungi, seperti : Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus), Beruang madu (Helarctos malayanus), Tapir (Tapirus indicus), Bangau rawa storm (Ciconia stormi), Elang tongtong (Leptoptilos javanicus), Raja udang meninting (Alcedo meninting), Rangkong badak (Buceros rhinoceros), Buaya senyulong ((tomistoma schlegelli), dan masih jenis satwa lainnya. Disamping itu, HRGMK juga sebagai kawasan penting bagi penyimpanan karbon di alam, dengan nilai kandungan karbon yang tersimpan > 400 juta ton (berdasarkan kajian proyek CCFPI, 2003). Dan juga dengan kapasitas dari lahan gambut yang masih alami dapat menyerap air sampai 90 % dan terdapat dua kubah gambut pada kawasan tersebut, maka kawasan HRGMK juga berfungsi sebagai sumber dan pengatur air bagi sungai-sungai yang ada disekitarnya.

Semua nilai dan potensi yang terkandung pada ekosistem HRGMK di atas, sudah mengalami degradasi dan terancam hilang karena banyaknya aktivitas manusia yang kurang memperhatikan aspek kelestariannya. Sehingga sangat perlu dilakukan usaha-usaha konservasi sebagai upaya melindungi dan melestarikan potensi yang sudah diidentifikasi tersebut.

  1. Profil Desa Lokasi Program WPRP :

Desa Muara Merang Kecamatan Bayung Lencir kabupaten Musi Banyuasin merupakan salah satu desa yang berhubungan langsung dengan kawasan HRGMK, sehingga desa ini dijadikan desa prioritas program WPRP. Desa Muara Merang ini memiliki jarak ± 75 km dari ibu kota kecamatan Bayung Lencir dan berjarak ± 225 km dari ibu kota kabupaten MUBA (Kota Sekayu) serta berjarak 250 Km dari ibu kota provinsi Sumsel (Kota Palembang). Untuk menuju desa ini dapat melalui jalan darat (menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat) dan juga dapat melalui jalur sungai (menggunakan kendaraan air/speedboat), dengan kebutuhan waktunya ± 2 jam dari ibu kota kecamatan (Bayung lencir), ± 5 jam dari ibu kota kabupaten (Sekayu) dan ± 6 jam dari ibu kota provinsi (Palembang).

Desa Muara Merang memiliki luasan wilayah administratifnya ± 60.000 ha, yang berbatasan dengan empat desa sempadannya; yaitu : sebelah Utara berbatasan dengan desa Muara Medak, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Mangsang, sebelah Selatan berbatasan dengan desa Penuduhan, sebelah Timur berbatasan dengan desa Kepayang. Kondisi lahan yang ada di wilayah desa Muara Merang ini sebagian besar (60%) adalah lahan dataran rendah rawa dan rawa gambut, serta sisa-nya (40%) adalah lahan dataran rendah kering. Sedangkan penggunaan lahan yang ada saat ini hampir 50% sudah menjadi konsesi dari perusahaan perkebunan Sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan 50%-nya digunakan untuk pemukiman dan Hutan Produksi (HP) dengan kondisi tanahnya bergambut dan juga masih memiliki vegetasi (hutan) yang relatif baik.

Desa Muara Merang ini terdapat dua dusun yang jarak antar dusunnya sangat berjauhan, yaitu dusun Bakung yang letaknya di bantaran sungai Lalan dan dusun Pancoran yang letaknya di Utara desa yang berbatasan dengan wilayah desa Muara Medak, bahkan untuk menuju dusun ini harus melalui provinsi Jambi. Jumlah penduduk yang ada di desa Muara Merang ± 360 Kepala keluarga (KK) dengan jumlah jiwanya ± 1.800 Jiwa. Pekerjaan dan sumber matapencaharian masyarakatnya adalah buruh perkebunan Sawit (50%), petani tanaman pangan, karet dan palawija ± 30% serta pedagang, kerajinan, peternakan, dan pegawai pemerintah daerah (guru) ± 20%.

Dusun Bakung merupakan akses utama untuk menuju kawasan HRGMK, sehingga konsentrasi program WPRP diprioritaskan kepada masyarakat yang ada di dusun Bakung, yang pelaksanaannya merupakan desiminasi keberhasilan dari program CCFPI yang telah dilakukan sebelumnya. Disamping itu juga, pada awal pelaksanaan program WPRP (tahun 2006), masyarakat yang ada di dusun Bakung merupakan masyarakat transisi dari mata pencaharian penebang kayu (Illegal logger) kepada pola pertanian menetap dan buruh perusahaan sawit, sehingga sangat diperlukan intervensi dari program WPRP didalam membangun usaha masyarakatnya yang lebih baik dan berkelanjutan.

  1. Profil Kelompok Binaan Program WPRP :

Program pembinaan masyarakat yang sinergis dengan konservasi kawasan desa & HRGMK, yang dilakukan melalui program WPRP pada masyarakat dusun Bakung desa Muara Merang, telah dilakukan kepada 8 kelompok swadaya masyarakat (KSM). Adapun profil dari masing-masing kelompok yang telah dibina tersebut akan dijabarkan sebagi berikut :

(1) Kelompok Hijau Lestari

Kelompok Hijau Lestari didirikan pada tanggal 27 Maret 2006, yang pada awalnya beranggotakan 5 orang dengan jumlah laki-laki 4 orang dan perempuan 1 orang. Sejalan dengan berkembangnya usaha yang dilakukan oleh kelompok ini, maka pada awal tahun 2007 melakukan penambahan anggota berjumlah 10 orang yang semuanya laki-laki. Kelompok Hijau Lestari yang di Ketuai oleh: Bapak Hendarto, yang sampai saat ini memiliki anggota 15 orang.

Pada awal berdirinya kelompok Hijau Lestari, memiliki kegiatan usaha bersama (usaha kolektif) yaitu : budidaya Cabe dan penggemukan Sapi Bali. Sejalan dengan berjalannya waktu, kegiatan usaha cabe yang dilakukan pada tahun 2006 mengalami musibah kebanjiran sehingga merugi (tidak berhasil). Disamping itu, kejadian banjir dan keadaan pasang surut yang tidak menentu tersebut juga mempengaruhi perkembangan Sapi Bali yang digemukan, maka pada awal tahun 2007 usaha penggemukan Sapi Bali dipindahkan ke dusun Tanah Tinggi dan dikelolah oleh 10 orang yang merupakan anggota baru dari kelompok Hijau Lestari.

Dengan adanya motivasi untuk tetap memiliki usaha, maka pada akhir tahun 2007 kelompok Hijau Lestari diberikan penguatan modal (pinjaman tanpa bunga) melalui program WPRP. Penguatan modal yang diberikan tersebut, digunakan oleh 5 orang anggota kelompok untuk budidaya usaha Cabe dan juga 10 orang anggota kelompok di Tanah Tinggi mengembangkan usaha tanam Kedele.

Kondisi usaha yang dilakukan sekarang (akhir Juli 2008), pertama: usaha budidaya cabe yang dilakukan oleh kelompok masih tetap dilakukan dan untuk mengurangi kegagalan dalam usaha budidaya cabe yang dilakukan oleh kelompok pada periode ini, sekarang juga dikembangkan usaha tanaman sayur-sayuran pada areal yang sama. Kedua : usaha kedele yang dilekukan oleh 10 orang anggota kelompok di Tanah Tinggi sudah melakukan panen pada bulan Maret 2008 dengan hasil yang kurang memuaskan, sehingga anggota kelompok ini akan kembali melakukan usaha penggemukan Sapi dan sekarang melalui program WPRP sudah didistribuskan pinjaman tiga Sapi dari dua belas Sapi yang direncanakan.

Salah satu bentuk persyaratan untuk mendapatkan pinjaman adalah kelompok memiliki kewajiban untuk membuat pembibitan dan atau menenam tanaman tahunan pada lahan mereka. Sehingga sampai saat ini, kelompok Hijau Lestari telah menanam ± 1.300 Batang tanaman karet pada lahan anggota kelompok, dan juga terdapat 200 batang bibit jati (polybag) berumur ± 4 bulan.

(2) Kelompok Citra Usaha

Kelompok Citra Usaha didirikan pada tanggal 25 Mei 2006, yang beranggotakan 6 orang dengan jumlah laki-laki 3 orang dan perempuan 3 orang. Kelompok yang diketuai oleh: Bapak Sahbana ini, pada awalnya telah memiliki usaha dan keahlian. Sehingga melalui program WPRP pada pertengahan tahun 2007, masing-masing usaha anggota tersebut didukung permodalan (pinjaman lunak) untuk mengembangkan usaha masing-masing anggota. Dalam satu kelompok ini terdapat tiga usaha yang dikembangkan, yaitu : usaha ternak ayam potong, usaha kerajinan kayu dan usaha budidaya cabe.

Masing-masing usaha yang dilakukan sekarang, masih berjalan dengan baik, kecuali usaha cabe yang mengalami kegagalan karena serangan hama. Oleh karena itu, untuk anggota yang melakukan usaha budidaya Cabe telah melakukan usaha alternative, yaitu menanam tanaman palawija (sayuran) pada lahan budidaya cabe sebelumnya.

Dalam upaya memenuhi kewajiban untuk mendapatkan pinjaman, yaitu membuat bibit dan atau menanam tanaman keras pada lahan masing-masing anggota. Sekarang ini sudah dilakukan penanaman karet sejumlah 500 batang (berumur ± 6 – 1 tahun) dan juga telah dibuat pembibitan berjumlah ± 85 bibit (polybag) dengan jenis tanaman campuran.

(3) Kelompok Keluarga Mandiri

Kelompok keluarga Mandiri yang didirikan pada tanggal 26 Maret 2006, diketuai oleh Bapak M. Nasir, beranggotakan 8 orang yang semuanya laki-laki. Anggota kelompok ini sebagain besar adalah mantan pembalogg (ex. Illegal logger). Dengan kesungguhannya untuk keluar dari belengu kemiskinan dan perusak hutan, maka pembentukan kelompok ini sebagai langkah awal untuk membuat usaha alternative yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Sehingga pada awal terbentuknya kelompok dikembangkanlah dua usaha, yaitu usaha pembibitan dan penaman karet pada lahan anggota dan usaha ternak ayam potong. Keinginan keras untuk membuat usaha dari anggota kelompok tersebut sangat didukung oleh Yayasan WBH. Sehingga usaha penanaman karet yang dilakukan oleh beberapa anggota kelompok (± 1.000 batang) sudah tumbuh dan berkembang dengan baik, dengan umur tanaman karetnya saat ini ± 2 tahun. Disamping usaha penanaman karet tersebut, ada 4 anggota kelompok yang mengembangkan usaha ternak ayam potong, yang sejak awal berdirinya kelompok usaha ini dapat berjalan dengan baik dan bahkan cukup membantu perekonomian rumah tangganya. Sehingga pada pertengahan tahun 2007, melalui program WPRP menambah modal (pinjaman lunak) untuk meningkatkan usaha yang dikembangkan tersebut dan usaha yang dijalankan ini juga cukup berhasil. Pada awal tahun 2008, kelompok usaha ternak ayam potong ini memiliki inisiatif baru untuk membangun usaha baru, yaitu usaha ternak ayam bertelur dengan alasan bahwa pasar ternak ayam potong sudah sangat sempit karena sudah sangat banyak masyarakat yang melakukan usaha tersebut. Oleh karena itu, inisiatif ini juga diduung oleh yayasan WBH melalui program WPRP. Sehingga melalui program WPRP telah dilakukan penambahan modal usaha (pinjaman lunak) untuk mengembangkan usaha tersebut, yang sampai saat ini (akhir bulan Juli 2008) telah dibangun kandang yang sesuai dengan kebutuhan usaha baru tersebut. Sedangkan bibit ayam bertelurnya masih dipesan di pusat pembibitan ayam bertelur kota Jambi, diperkirakan pada awal bulan September 2008 sudah bisa didatangkan dilokasi usaha kelompok.

Pemenuhan kewajiban kelompok untuk membuat bibit dan atau menanam tanaman keras, sekarang telah di tanam ± 600 batang tanaman karet di lokasi lahan anggota (berumur ± 6 – 10 bulan) dan telah tumbuh dengan subur.

(4) Kelompok Anggrek

Kelompok Anggrek merupakan kelompok perempuan yang memiliki motivasi tinggi untuk membantu perekonomian rumah tangga. Kelompok ini beranggotakan 8 orang, yang di ketuai oleh Ibu Kartini. Pada awal berdirinya kelompok ini telah memiliki usaha bersama berupa kerajinan kempelang ikan dan usaha simpan pinjam yang berjalan dengan baik. Maka dengan kehadiran program WPRP, kelompok ini juga dapat mengembangkan usahanya melalui penguatan modal usaha (pinjaman lunak), sehingga usaha-usaha yang dilakukan oleh kelompok sudah lebih bervariasi dan berjalan dengan baik. Adapun usaha yang dilakukan oleh kelompok tersebut ada adalah : ternak ayam potong, pembuatan kempelang ikan, penjualan voucher dan simpan pinjam.

Adapun dalam memenuhi kewajiban kelompok sebagai syarat mendapatkan pinjaman lunak, maka kelompok telah membuat 150 bibit tanaman (polybag) dengan jenis kayu campuran.

(5) Kelompok Lestari

Kelompok Lestari merupakan kelompok inisiatif baru dari beberapa anggota masyarakat dusun Bakung, yang setelah melihat keberhasilan dan kesungguhan kelompok yang ada. Maka pada tanggal 28 Maret 2007, 8 orang anggota masyarakat (5 orang laki-laki & 3 orang perempuan) membentuk satu kelompok usaha deangan nama Lestari. Kelompok ini di ketuai oleh Bapak M. Hasan, dengan usaha yang dikelolah oleh kelompoknya adalah ternak ayam Potong. Pada pertengahan tahun 2007, kelompok ini membangun kandang ternak tempat usaha secara swadaya kemudian setelah kandang selesai dibuat, kelompok membuat proposal perencanaan usaha untuk meminta dukungan penguatan modal usaha (pinjaman lunak) melalui program WPRP. Setelah proses beberapa bulan, maka mulai akhir tahun 2007 usaha ternak ayam potong tersebut mulai berjalan, dan sampai saat ini (akhir bulan Juli 2008) sudah melakukan 4 kali produksi yang dijual di pasar sekitar desa Muara Merang.

Dalam upaya melakukan kewajibannya membuat bibit dan atau menanam tanaman keras dilahan anggota kelompok, kelompok ini telah membuat bibit tanaman keras (dalam polybag) dengan jenis tanaman hutan (campuran) berjumlah ± 1.000 batang. Lokasi pembibitan ini dibuat dilahan ketua kelompok dan dipelihara secara bersama-sama oleh anggota kelompok.

(6) Kelompok Nelayan Sinar Lestari

Kelompok Nelayan Sinar Lestari merupakan perhimpunan masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan di dalam sungai Merang. Kelompok ini didirikan pada tanggal 1 November 2006, yang diketuai oleh Bapak Samsudin dan beranggotakan 11 orang (7 laki-laki & 4 perempuan).

Kelompok Nelayan Sinar Lestari memiliki usaha yang sama yaitu mengelolah perikanan alam yang ada di hulu sungai Merang. Sebelum terbentuknya kelompok tersebut, para nelayan ini melakukan usaha perikanannya secara sendiri-sendiri dan harus melakukan pembayaran (uang sewa tangkap ikan) serta penjualan ikan hasil tangkapannya kepada pemilik lelang (pemenang lelang) sungai Merang. Sehingga masyarakat nelayan memiliki keterikatan dan menggantungkan nasibnya hidupnya pada pemilik lelang (pemenang lelang) tersebut. Setelah masyarakat nelayan berkelompok pada akhir 2006, maka kelompok nelayan bersama yayasan WBH membuat strategi bersama untuk mendapatkan hak pengelolaan sungai Merang dengan mengikuti proses lelang sungai yang akan dilakukan oleh PEMDA MUBA pada akhir tahun (bulan Desember setiap tahunnya). Sehingga dengan adanya dukungan pinjaman modal dari program WPRP serta melakukan pendekatan yang intensif dengan instansi terkait di MUBA, maka proses lelang sungai Merang pada tahun 2007 dan juga tahun 2008 ini dimenangkan (memiliki hak pengelolaan ikan) oleh kelompok Nelayan melalui Bapak Kades Muara Merang. Oleh karena itu, dalam dua tahun terakhir, kelompok nelayan dapat dengan leluasa melakukan usaha pengelolaan ikan alam di sungai Merang tersebut. Mudah-mudahan pada tahun selanjutnya, sungai Merang ini dapat terus dilakukan pengelolaannya oleh kelompok nelayan sinar lestari tersebut.

Sebagai kewajiban kelompok nelayan terhadap bantuan modal (pinjaman lunak) yang diberikan oleh program WPRP kepada kelompok tersebut, maka kelompok nelayan di syaratkan untuk melakukan pemeliharaan terhadap 5 buah Kanal yang telah dilakukan penyekatan (blocking) dan juga memelihara ± 1.200 tanaman yang telah ditanam disekitar kanal pada program CCFPI sebelumnya.

Sampai saat ini, usaha perikanan yang dilakukan oleh kelompok nelayan tetap berjalan dengan baik. Bahkan untuk mengelolah ikan pada musim air surut/kemarau ini (yang diprediksi musim ikan banyak), kelompok nelayan telah membangun empang/tuguk sebagai media (alat) menangkap ikan secara bersama-sama. Disamping usaha perikanan yang terus dilakukan dengan baik, kewajiban memelihara blocking kanal dan tanaman hasil rehabilitasi sebelumnya juga dapat dipelihara dengan baik.

(7) Regu Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (RPKHL)

RPKHL merupakan kelompok pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dimiliki oleh desa Muara Merang. Inisiasi awal pembentukan regu pengendalian kebakaran hutan dan lahan desa adalah prakarsa South Sumatera Fire Forest Management project (SSFFMP) pada awal tahun 2006. Secara teknis pengendalian kebakaran sudah dilakukan pelatihan oleh SSFFMP terhadap 15 anggota regu tersebut, dan juga dibantu paket alat-alat pemadaman. Akan tetapi, dalam satu tahun berjalan anggota kelompok ini tidak terkoordinir lagi bahkan alat-alat yang dibantu tersebut banyak yang rusak dan hilang. Oleh karena itu, pada akhir 2007 melalui program WPRP kelompok tersebut dikoordinir lagi, dilakukan beberapa pelatihan serta diberikan juga bantuan peralatan yang sebelumnya sudah rusak atau hilang. Dan untuk mempertegas kelembagaan ini ditingkat desa, yayasan WBH bersama pengurus kelompok meminta Kepala Desa Muara Merang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang kelembagaan tersebut. Sehingga sampai saat ini, RPKHL sudah diakui dan menjadi bagian dari kelembagaan desa serta selalu siap sedia melakukan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang ada di desa Muara Merang.

(8) Kelompok Kenanga

Kelompok kenanga merupakan kelompok perempuan, dengan jumlah anggota 10 orang dan diketuai oleh Ibu Laila Suhat. Kelompok Kenanga ini berada di desa Kepayang yang meruapakan desa pemekaran dari desa Muara Merang (pertengahan tahun 2006). Pembentukan kelompok Kenanga ini pada tanggal 29 Maret 2006, dengan usaha kelompoknya adalah pembuatan keripik ubi singkong. Untuk mengembangkan usaha yang telah dirintis tersebut, maka pada pertengahan tahun 2007 melalui program WPRP dibantu penguatan modal usaha (pinjaman lunak) kepada kelompok tersebut. Sehingga kelompok Kenanga dapat mengembangkan usahanya tersebut lebih baik. Bahkan sampai saat ini, usaha kelompok tersebut telah berkembang menjadi usaha simpan pinjam untuk Ibu-Ibu yang membuat usaha skala kecil di desa Kepayang.

Untuk melaksanakan kewajiban kelompok didalam membuat pembibitan yang merupakan syarat mendapatkan pinjaman, maka kelompok ini telah membuat bibit tanaman jati sebanyak ± 300 batang yang sudah berumur 6 bulan.

Mengembangkan Usaha yang Sinergis dengan Penanam Pohon Merupakan Solusi Nyata untuk meningkatkan perekonomian

masyarakat dan perbaikan kondisi lingkungan hidup

Secercah Harapan Di Tanah Tinggi


Written by Administrator


Wednesday, 06 January 2010 14:14

Cuaca panas ditengah teriknya matahari yang tepat berada diatas kepala

tidak mengurungkan niat Implementator untuk terus memonitoring

atau sekedar mengunjungi kelompok-kelompok tani di Desa Muara Merang pada siang itu. Bulan Maret seharusnya cuaca masih lembab atau hujan, namun hari itu sinar matahari sudah muncul sejak pagi tanpa sedikitpun awan gelap membayangi seperti hari biasanya. Sepertinya bumi sedang menunjukkan kepada manusia bahwa dia punya kuasa atas manusia bukan manusia atas dirinya.

Setelah menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan atau mungkin tiba-tiba saja diperlukan saat diperjalanan, implementator mulai melakukan perjalanan ke lokasi-lokasi yang telah di datanya sejak keberangkatan dari Palembang. Berbekalkan sebuah sepeda motor bebek sambil membonceng salah seorang pendamping lokal, keduanya menuju ke lahan perkebunan kacang kedelai Kelompok Hijau Lestari yang berada di selatan desa. Lahan yang terhampar seluas 10 ha yang baru sebagian di garap ini bersebelahan dengan lahan perkebunan kelapa sawit PT. Pinang Wit Mas (PT. PWS). lokasinyapun sebenarnya berada tidak jauh dari areal tempat tinggal masing-masing anggota kelompok. Selain mudah dijangkau karena hanya melalui jalur darat, perkebunan kedelai ini dipastikan tidak akan terlalu banyak gangguan dari hewan penggangu (red: babi) seperti kebun-kebun anggota kelompok lainnya. Karena letaknya yang strategis ini diharapkan akan memudahkan para anggota kelompok dalam memantau dan melakukan pemeliharaan terhadap kebun dan tanaman-tanaman yang mereka tanam.

Sesampainya di lokasi, implementator dan pendamping lokal disambut oleh seraut wajah sumringah Pak Suantak. Tubuh kurusnya yang masih tegap tampak masih sangat kokoh menopang badannya yang ringkih dimakan usia. Sambil berusaha membersihkan jari tanganya dari kulit dan jerami kacang kedelai yang baru saja dijemurkannya, Pak Suantak menyongsong kedatangan Implementator dan Pendamping Lokal sambil mengulurkan tangan untuk menyalami keduanya.

Siang itu Pak Suantak memang sedang sibuk mengeringkan hasil panen kacang kedelainya yang ditanam beberapa waktu lalu. Ini terlihat dengan adanya kacang-kacang kedelai yang masih melekat di tangkai-tangkainya yang sudah mulai mengering diatas hamparan karung-karung bekas di tengah lahan perkebunannya. Dengan dibantu anak sulungnya, Pak Suantak kembali membolak balikkan jerami-jerami kacang yang belum kering sambil berkisah saat dia dan seluruh anggota keluarga panen dengan dibantu oleh anggota kelompok lainnya. Sesekali Pak Suantak menyeka keringat yang membasahi dahinya, sembari melanjutkan celotehnya mengenai perkembangan tanaman-tanaman kacang kedelai yang dikelola anggota kelompok lainnya. Beliau menyayangkan kondisi kebun anggota lainnya yang menurutnya kurang perawatan bahkan cenderung dibiarkan terbengkalai, tanaman kacang yang berebut tumbuh dengan rumput dan ilalang memang sempat terlihat saat kunjungan implementator di pertengahan February lalu. Padahal masih menurut penuturannya, jika saja dirawat dengan baik pasti akan lebih banyak lagi hasil yang didapat dan sudah barang tentu keuntungannya bukan hanya untuk kelompok namun juga untuk pribadi masing-masing. Kesibukan anggota lainnya di luar kegiatan bertani menyebabkan kerugian bagi kelompok tutur beliau. Karena jika saja seluruh anggota kelompok dapat menghasilkan panen kurang lebih sama seperti yang diperolehnya, maka dapat dipastikan keuntungan yang akan didapat periode tanam sekarang jauh lebih baik dari hasil atau upah yang didapat sebagai buruh lepas di perkebunan selama 3 (tiga) bulan.

Pak Suantak salah seorang anggota kelompok yang boleh dikatakan sukses dan cukup berhasil pada panen kacang kedelai diperiode ini. Kegigihan dan ketekunannya membuahkan hasil. Tak seperti anggota kelompok lainnya, Pak Suantak benar-benar bertekad ingin mengembangkan hasil pertaniannya dengan cara merawat dan mengurusnya secara langsung dan intensif. Jika anggota kelompok lainnya masih mempertahankan status buruhnya di PT. PWS sebagai buruh perkebunan, tidak demikian dengan Pak Suantak. Dengan berbekalkan tekad yang kuat dan keuletannya, Pak Suantak mampu meraup untung yang cukup besar dari tanaman kedelainya kali ini. Dari modal 10 kg/KK yang diterima oleh masing-masing anggota kelompok dengan pembagian lahan masing-masing ½ ha, Pak Suantak mampu menghasilkan 500 kg kacang kedelai yang berkualitas bagus.

Saat ditanya akan diapakan hasil panennya kali ini, dengan lugas Pak Suantak mengatakan bahwa kacang yang dihasilkan pada panen pertama ini hasilnya sangat bagus, selain jenis kacangnya kacang kedelai putih yang berarti banyak manfaat dan kegunaannya, biji-bijinyapun lebih besar, padat dan kencang. Sehingga sangat cocok untuk dijadikan bibit. Karena itu sebelum dijual ke luar (red:pasar) Pak Suantak berencana akan menjual kepada anggota kelompok lainnya yang masih membutuhkan bibit untuk masa tanam periode berikutnya. Jika ada sisa baru akan dibawa keluar untuk dijual.

Namun Pak Suantak belum berani menjamin akan meluaskan lahan perkebunan kacang kedelainya dari ½ ha menjadi 1 ha. karena menurut dia, jika anggota kelompok yang lain belum membuka lahan secara bersama-sama, maka dia tetap akan bertahan diatas lahan seluas tersebut hingga ada kesepakatan baru dalam kelompok.

Selain Pak Suantak masih ada Pak Dedek yang juga memfokuskan dan menggantungkan harapan dari hasil pertanian. namun saat kedatangan implementator Pak Dedek sedang tidak berada di tempat hanya ada istri dan anak-anaknya. Pak Dedek juga merupakan salah seorang anggota kelompok yang bergabung dalam unit usaha tanam kacang kedelai. Sama seperti Pak Suantak, Pak Dedek juga mampu menghasilkan panen dari bibit 10 kg menjadi setengah ton lebih kacang kedelai. Tidak jauh berbeda dari kacang yang dihasilkan Pak Suantak, kacang kedelai Pak Dedek juga mempunyai biji-biji yang besar, padat dan kencang. Namun istrinya belum tahu rencana suaminya selanjutnya akan diapakan kacang-kacang tersebut sambil memperlihatkan sepiring kacang kedelai yang sudah bersih dan kering. saat ditanya pendamping lokal apakah kacang-kacang tersebut akan dibuat tempe atau makanan lainnya, istri Pak Dedekpun masih belum bisa menjawabnya, karena menurutnya masih ada beberapa bagian yang belum dipetik dari pohonnya karena saat panen terdahulu polongannnya masih belum terlalu tua sehingga tidak dipetik bersamaan, dan sekarang (saat kunjungan berlangsung) diyakini pasti sudah siap petik tutur istri Pak Dedek.

Pak Dedek dan Pak Suantak adalah contoh nyata bagi anggota kelompok lainnya, saat ketekunan dan kesungguhan untuk berhasil benar-benar diimplementasikan pada sesuatu pekerjaan, maka akan didapat hasil nyata nan gemilang. Jika anggota kelompok lainnya hanya mampu memanen rata-rata 30 – 100 kg / KK, maka tidak dengan Pak Dedek dan Pak Suantak. Saat harga kedelai membumbung tinggi dari waktu ke waktu beberapa waktu lalu, semangat dan tekad setiap anggota kelompok yang tergabung dalam unit usaha tanam kedelai benar-benar membara dan berharap akan banyak keuntungan yang akan mereka dapat dari tanaman kedelainya. Namun kesibukan sebagai buruh perkebunan telah melupakan hasrat dan keinginan mereka, mereka lalai memelihara tanaman kacang-kacangnya dan merekapun mendapatkan hasil setimpal dari apa yang telah mereka lakukan sebelumnya.

Berbeda dengan Pak Dedek dan Pak Suantak, mereka merelakan waktu dan perhatiannya tersita bahkan tak segan mereka juga melibatkan anak dan istri untuk turut merawat dan memelihara kedelai-kedelainya dengan harapan akan mendapat keuntungan yang lebih baik di masanya seperti sekarang ini. Dan keduanyapun mendapatkan apa yang mereka tanam.

Saat anggota lain masih sibuk dengan kegiatan panennya, keduanya malah sudah sibuk dengan proses pembersihan dan penyimpanan hasil panen. Tuhan maha adil dan maha bijak dengan segala usaha dan upaya yang dilakukan hamba-Nya.

hasil panen kacang kedelai petani yang menghasilkan kacang berkualitas(foto 1 dan 2); Implementator dan pendamping lokal berpose sejenak sembari melepas penat Pak Suantak sehabis menjemurhasil panen kacang kedelainya (foto 3)

Kisah di Balik Kunjungan ke Kanal-Kanal Liar di Kawasan HRGMK


Written by Administrator


Wednesday, 06 January 2010 14:13

 

Setelah hampir satu semester tidak ada khabar

mengenai perkembangan kanal-kanal liar

yang berada di kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK),

pada akhir Maret 2008 lalu, Implementator bersama rekan-rekannya bersama dengan beberapa penduduk local kembali memantau lokasi di beberapa kanal yang sudah di tebat (red:block). Yaitu Kanal Perjanjian dan Kanal Penyamakan. Kegiatan kunjungan ke lokasi kanal-kanal tersebut dalam rangka mendampingi salah seorang Mahasiswa S2 yang akan mengadakan penelitian (study) mengenai dampak keberadaan kanal sebelum dan sesudah dilakukan penebatan terhadap hutan rawa gambut. Berikut kisah dibalik perjalanan team menuju lokasi kanal.

Kegiatan penebatan (blocking kanal) sendiri sudah dilakukan sejak tahun 2002 dengan beberapakali perbaikan (rekonstruksi) baik secara teknis hingga metode penebatan. Jika pada saat kegiatan penebatan pertamakali dilakukan kondisi tebat selalu dibongkar (dirusak) oleh masyarakat (red:masyarakat Pencari kayu / illegal logging), namun pada kunjungan kali ini kondisi keempat tebat di kedua kanal tersebut masih sangat baik. Tanah yang digunakan untuk menutup kerangka tebat kini telah banyak ditumbuhi oleh tumbuhan semak dan rumput. Begitu juga pohon yang ditanam di atas tanah-tanah penutup tersebut juga telah berdiri dengan kokoh. Konstruksi tebatnya juga tidak mengalami kerusakan atau pembongkaran seperti sebelumnya. Kondisi permukaan air tebat di bagian hulu dan hilir tebat saat itu sedang tinggi dan mengalir secara normal melalui saluran air yang sengaja dibuat pada saat pembangunan tebat di tengah permukaan konstruksi tebat. Tentu saja kondisi ini sangat menggembirakan meskipun saat implementator dan rekan-rekannya berkunjung, masih saja dijumpai beberapa orang pembalak yang sedang berusaha melewatkan kayu-kayunya melalui kanal-kanal yang belum ditebat.

Ada kisah menarik dibalik kunjungan ke lokasi kanal tersebut. Saat Implementator dan rekan-rekannya bertemu dengan pembalak yang sedang mengangkut kayu-kayunya, sempat terjadi ketegangan diantara mereka. Karena perawakan yang tinggi besar serta cara bicara yang tegas ditambah dengan rompi hitam yang dikenakan oleh salah seorang rekan Implementator tersebut sempat membuat para pembalak sedikit curiga dan ketakutan. Mereka menduga bahwa rekan Implementator tersebut adalah seorang petugas (polisi hutan) yang sedang berpatroli dan akan menangkap mereka, sehingga salah satu dari mereka mencoba memberikan tips (uang sogokan) kepada Implementator dan rekan-rekan tersebut, namun dengan tegas tips tersebut ditolak dan dijelaskan maksud dan tujuan kunjungan sebenarnya bukan untuk menangkap mereka. Namun untuk memantau kondisi kanal dan tebat permanen yang dibangun pada tahun 2006 lalu. Setelah itu para pembalak kelihatan sedikit lega meskipun masih sangat berhati-hati dan tidak berani banyak memberikan keterangan saat ditanya oleh salah seorang dari team. Melihat dari cara mereka yang mencoba memberikan tips kepada Implementator dan rekan, bisa jadi menjadi salah satu penyebab mengapa kegiatan ilegal logging di Hutan Indonesia tidak pernah bisa berakhir dengan tuntas. Jika setiap komponen dari pemberantasan ilegal logging bisa mendapat kesempatan untuk mengeruk keuntungan dari kegiatan ini. Ini hanya salah satu fakta terkecil yang berada di masyarakat bawah, bisa kita bayangkan bagaimana pada tingkatan yang lebih tinggi lagi? Dengan cukong dan pemodal yang lebih besar yang bisa memberikan tips milyaran atau bahkan triliunan kepada para yang berkepentingan dan berwenang? Tentu saja Sang Pemodal akan dengan leluasa bisa melenggang melepaskan diri dari jeratan hukum dan kabur keliling dunia untuk membersihkan diri dan menikmati hasil jarahan hutan Indonesia. Kondisi seperti inilah mungkin yang menjadi salah satu penyebab mengapa kegiatan Ilegal Logging tak dapat dituntaskan, dan lebih miris lagi yang selalu kena jerat hukum adalah para pembalak (anak kapak), mereka dijadikan kambing hitam dan sasaran empuk petugas dalam mencari peluang dan mencari ketenaran dalam kegiatan pemberantasan ilegal loging. Jikalaupun ada penangkapan terhadap Sang Dalang, dipastikan itu takkan bertahan lama, setelah semua diam, maka Sang Dalangpun akan kembali dapat menikmati kebebasan dan kembali melakukan aktifitasnya. Berbeda dengan para pembalak, ketika mereka tertangkap tangan oleh petugas saat sedang beraktifitas, maka dapat dipastikan apa yang menimpa nasib mereka dan keluarganya. Padahal mereka hanya sekedar imbas dari ketidakberdayaan dalam mengatasi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan hidup yang kian membumbung. Sekedar mengingatkan kembali, bahwa keberadaan kanal-kanal liar di Kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang telah ada sejak beberapa tahun lalu, diperkirakan tahun 1970-an kanal-kanal tersebut sudah ada. Karena pada tahun tersebut mulai beroperasinya HPH. Meskipun saat itu pembuatan kanal (parit) itu dilarang, namun pada kenyataannya, terdapat sebuah kanal yang sengaja dibuat oleh HPH (dok: laporan akhir CCFPI, WIIP-WBH tahun 2006) yang digunakan untuk mengeluarkan kayu dari dalam hutan menuju Sungai. Berakhirnya masa konsesi tahun 1999-2000 di kawasan HRGMK, status pengelolaan lahan bekas areal HPH tersebut belum menentu sehingga banyak diperebutkan oleh masyarakat untuk memanfaatkan kayu-kayu (pohon-pohon) yang masih tersisa. Dan diperkirakan sejak itu banyak kanal-kanal yang sengaja dibuat oleh masyarakat untuk melakukan aktifitas penebangan liar (illegal logging) dibekas areal HPH.

Pembangunan tebat pada kanal-kanal liar tahun 2006

Hingga survey yang dilakukan oleh WBH dan WIIP tahun 2002, terdapat 113 kanal buatan di kawasan HRGMK (83 kanal berada ditanah gambut, 30 kanal berada di tanah alluvial). Kanal-kanal tersebut masih banyak yang aktif dan digunakan oleh para pembalak untuk mengeluarkan kayu-kayu hasil tebangan keluar kawasan, lalu dilanjutkan dengan melalu jalur sungai dengan menggunakan tenaga motor (Perahu Motor). Kondisi ini tentu mengakibatkan sulitnya melakukan penebatan secara permanent saat itu, karena jika dipaksakan diperkirakan akan banyak komplik yang akan terjadi dengan masyarakat (pembalak). Untuk itu dibuatlah suatu kesepakatan bersama masyarakat pencari kayu yang solusinya adalah dengan membuat tebat semi permanent. Sehingga pada saat pembalak akan melewatkan kayu-kayu tersebut tebatnya dapat dibongkar dan dipasang kembali. Itu harapan dari kesepkatan. Namun kesepakatan hanyalah diatas kertas dan pemanis janji, pada pelaksanaannya, tebat-tebat tersebut dibongkar dan tidak dipasangkan kembali. Kondisi ini terus berulang karena yang melewati kanal-kanal tersebut tidak hanya satu atau dua pembalak, namun lebih dari itu karena kanal-kanal tersebut ternyata selain digunakan langsung oleh pemiliknya, juga disewakan kepada para pembalak yang ingin melewatkan kayunya. Sudah dapat dibayangkan bagaimana tingginya aktifitas tebat yang haru selalu dibongkar setiap saat. Ditambah pada saat musim hujan, kondisi air sedang tinggi, tahun 2002-2005 diperkirakan hampir 1000 kubik kayu yang dikeluarkan setiap hari melalui jalur sungai dan kanal-kanal buatan yang berada dalam kawasan HRGMK.

Namun seiring menipisnya kayu dalam kawasan HRGMK, kanal-kanal tersebut mulai banyak ditinggalkan dan terbengkalai tanpa perawatan. Kondisi inilah yang dikhawatirkan karena bekas galian dalam kawasan HRGMK tersebut akan menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut. Keberadaan kanal-kanal liar tersebut memberikan konstribusi yang cukup tinggi terhadap drainase dalam hutan rawa gambut.

Sebelum hari beranjak sore, team kembali melanjutkan kunjungan ke kanal-kanal lainnya yang telah ditebat secara permanen. Namun keterbatasan waktu dan juga lokasi yang berjauhan dari masing-masing kanal, menyebabkan kunjungan terakhir hanya sampai pada Kanal Pak Nasir. Padahal masih ada empat kanal yang belum dikunjungi, yaitu Kanal Pak Kuncit, Kanal Pak Muk, Kanal Pak Majan dan Kanal Pak Yavis. Keempat kanal ini ditebat secara permanen bersamaan dengan kanal Pak Nasir pada pertengahan 2006.

Sepanjang perjalanan menyusuri sungai, team sempat mengabadikan aktifitas buruh perusahaan HPH (PT. Rimba Hutani Mas) yang saat ini sedang mendapatkan hak pengelolaan hutan di kawasan Musi Banyuasin dan Jambi termasuk didalamnya kawasan HRGMK. Namun sayangnya, team tidak bisa berhenti untuk sekedar mengobrol dengan para buruh karena keterbatasan waktu yang tidak memungkinkan untuk singgah, disamping itu juga harus memburu waktu sebelum hari mulai gelap. Saat team tiba di perkampungan, hari benar-benar sudah sangat gelap dan kelelahan yang sebelumnya tidak dirasakan oleh team, saat tiba di tempat peristirahatan (rumah penduduk lokal) mulai menyerang sehingga tidak banyak yang dilakukan oleh team pada malam harinya, setelah sedikit mengobrol dan berdiskusi informal masing-masing sudah mulai terlelap dengan mimpinya.