Kisah di Balik Kunjungan ke Kanal-Kanal Liar di Kawasan HRGMK


Written by Administrator


Wednesday, 06 January 2010 14:13

Setelah hampir satu semester tidak ada khabar

mengenai perkembangan kanal-kanal liar

yang berada di kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK),

pada akhir Maret 2008 lalu, Implementator bersama rekan-rekannya bersama dengan beberapa penduduk local kembali memantau lokasi di beberapa kanal yang sudah di tebat (red:block). Yaitu Kanal Perjanjian dan Kanal Penyamakan. Kegiatan kunjungan ke lokasi kanal-kanal tersebut dalam rangka mendampingi salah seorang Mahasiswa S2 yang akan mengadakan penelitian (study) mengenai dampak keberadaan kanal sebelum dan sesudah dilakukan penebatan terhadap hutan rawa gambut. Berikut kisah dibalik perjalanan team menuju lokasi kanal.

Kegiatan penebatan (blocking kanal) sendiri sudah dilakukan sejak tahun 2002 dengan beberapakali perbaikan (rekonstruksi) baik secara teknis hingga metode penebatan. Jika pada saat kegiatan penebatan pertamakali dilakukan kondisi tebat selalu dibongkar (dirusak) oleh masyarakat (red:masyarakat Pencari kayu / illegal logging), namun pada kunjungan kali ini kondisi keempat tebat di kedua kanal tersebut masih sangat baik. Tanah yang digunakan untuk menutup kerangka tebat kini telah banyak ditumbuhi oleh tumbuhan semak dan rumput. Begitu juga pohon yang ditanam di atas tanah-tanah penutup tersebut juga telah berdiri dengan kokoh. Konstruksi tebatnya juga tidak mengalami kerusakan atau pembongkaran seperti sebelumnya. Kondisi permukaan air tebat di bagian hulu dan hilir tebat saat itu sedang tinggi dan mengalir secara normal melalui saluran air yang sengaja dibuat pada saat pembangunan tebat di tengah permukaan konstruksi tebat. Tentu saja kondisi ini sangat menggembirakan meskipun saat implementator dan rekan-rekannya berkunjung, masih saja dijumpai beberapa orang pembalak yang sedang berusaha melewatkan kayu-kayunya melalui kanal-kanal yang belum ditebat.

Ada kisah menarik dibalik kunjungan ke lokasi kanal tersebut. Saat Implementator dan rekan-rekannya bertemu dengan pembalak yang sedang mengangkut kayu-kayunya, sempat terjadi ketegangan diantara mereka. Karena perawakan yang tinggi besar serta cara bicara yang tegas ditambah dengan rompi hitam yang dikenakan oleh salah seorang rekan Implementator tersebut sempat membuat para pembalak sedikit curiga dan ketakutan. Mereka menduga bahwa rekan Implementator tersebut adalah seorang petugas (polisi hutan) yang sedang berpatroli dan akan menangkap mereka, sehingga salah satu dari mereka mencoba memberikan tips (uang sogokan) kepada Implementator dan rekan-rekan tersebut, namun dengan tegas tips tersebut ditolak dan dijelaskan maksud dan tujuan kunjungan sebenarnya bukan untuk menangkap mereka. Namun untuk memantau kondisi kanal dan tebat permanen yang dibangun pada tahun 2006 lalu. Setelah itu para pembalak kelihatan sedikit lega meskipun masih sangat berhati-hati dan tidak berani banyak memberikan keterangan saat ditanya oleh salah seorang dari team. Melihat dari cara mereka yang mencoba memberikan tips kepada Implementator dan rekan, bisa jadi menjadi salah satu penyebab mengapa kegiatan ilegal logging di Hutan Indonesia tidak pernah bisa berakhir dengan tuntas. Jika setiap komponen dari pemberantasan ilegal logging bisa mendapat kesempatan untuk mengeruk keuntungan dari kegiatan ini. Ini hanya salah satu fakta terkecil yang berada di masyarakat bawah, bisa kita bayangkan bagaimana pada tingkatan yang lebih tinggi lagi? Dengan cukong dan pemodal yang lebih besar yang bisa memberikan tips milyaran atau bahkan triliunan kepada para yang berkepentingan dan berwenang? Tentu saja Sang Pemodal akan dengan leluasa bisa melenggang melepaskan diri dari jeratan hukum dan kabur keliling dunia untuk membersihkan diri dan menikmati hasil jarahan hutan Indonesia. Kondisi seperti inilah mungkin yang menjadi salah satu penyebab mengapa kegiatan Ilegal Logging tak dapat dituntaskan, dan lebih miris lagi yang selalu kena jerat hukum adalah para pembalak (anak kapak), mereka dijadikan kambing hitam dan sasaran empuk petugas dalam mencari peluang dan mencari ketenaran dalam kegiatan pemberantasan ilegal loging. Jikalaupun ada penangkapan terhadap Sang Dalang, dipastikan itu takkan bertahan lama, setelah semua diam, maka Sang Dalangpun akan kembali dapat menikmati kebebasan dan kembali melakukan aktifitasnya. Berbeda dengan para pembalak, ketika mereka tertangkap tangan oleh petugas saat sedang beraktifitas, maka dapat dipastikan apa yang menimpa nasib mereka dan keluarganya. Padahal mereka hanya sekedar imbas dari ketidakberdayaan dalam mengatasi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan hidup yang kian membumbung. Sekedar mengingatkan kembali, bahwa keberadaan kanal-kanal liar di Kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang telah ada sejak beberapa tahun lalu, diperkirakan tahun 1970-an kanal-kanal tersebut sudah ada. Karena pada tahun tersebut mulai beroperasinya HPH. Meskipun saat itu pembuatan kanal (parit) itu dilarang, namun pada kenyataannya, terdapat sebuah kanal yang sengaja dibuat oleh HPH (dok: laporan akhir CCFPI, WIIP-WBH tahun 2006) yang digunakan untuk mengeluarkan kayu dari dalam hutan menuju Sungai. Berakhirnya masa konsesi tahun 1999-2000 di kawasan HRGMK, status pengelolaan lahan bekas areal HPH tersebut belum menentu sehingga banyak diperebutkan oleh masyarakat untuk memanfaatkan kayu-kayu (pohon-pohon) yang masih tersisa. Dan diperkirakan sejak itu banyak kanal-kanal yang sengaja dibuat oleh masyarakat untuk melakukan aktifitas penebangan liar (illegal logging) dibekas areal HPH.

Pembangunan tebat pada kanal-kanal liar tahun 2006

Hingga survey yang dilakukan oleh WBH dan WIIP tahun 2002, terdapat 113 kanal buatan di kawasan HRGMK (83 kanal berada ditanah gambut, 30 kanal berada di tanah alluvial). Kanal-kanal tersebut masih banyak yang aktif dan digunakan oleh para pembalak untuk mengeluarkan kayu-kayu hasil tebangan keluar kawasan, lalu dilanjutkan dengan melalu jalur sungai dengan menggunakan tenaga motor (Perahu Motor). Kondisi ini tentu mengakibatkan sulitnya melakukan penebatan secara permanent saat itu, karena jika dipaksakan diperkirakan akan banyak komplik yang akan terjadi dengan masyarakat (pembalak). Untuk itu dibuatlah suatu kesepakatan bersama masyarakat pencari kayu yang solusinya adalah dengan membuat tebat semi permanent. Sehingga pada saat pembalak akan melewatkan kayu-kayu tersebut tebatnya dapat dibongkar dan dipasang kembali. Itu harapan dari kesepkatan. Namun kesepakatan hanyalah diatas kertas dan pemanis janji, pada pelaksanaannya, tebat-tebat tersebut dibongkar dan tidak dipasangkan kembali. Kondisi ini terus berulang karena yang melewati kanal-kanal tersebut tidak hanya satu atau dua pembalak, namun lebih dari itu karena kanal-kanal tersebut ternyata selain digunakan langsung oleh pemiliknya, juga disewakan kepada para pembalak yang ingin melewatkan kayunya. Sudah dapat dibayangkan bagaimana tingginya aktifitas tebat yang haru selalu dibongkar setiap saat. Ditambah pada saat musim hujan, kondisi air sedang tinggi, tahun 2002-2005 diperkirakan hampir 1000 kubik kayu yang dikeluarkan setiap hari melalui jalur sungai dan kanal-kanal buatan yang berada dalam kawasan HRGMK.

Namun seiring menipisnya kayu dalam kawasan HRGMK, kanal-kanal tersebut mulai banyak ditinggalkan dan terbengkalai tanpa perawatan. Kondisi inilah yang dikhawatirkan karena bekas galian dalam kawasan HRGMK tersebut akan menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut. Keberadaan kanal-kanal liar tersebut memberikan konstribusi yang cukup tinggi terhadap drainase dalam hutan rawa gambut.

Sebelum hari beranjak sore, team kembali melanjutkan kunjungan ke kanal-kanal lainnya yang telah ditebat secara permanen. Namun keterbatasan waktu dan juga lokasi yang berjauhan dari masing-masing kanal, menyebabkan kunjungan terakhir hanya sampai pada Kanal Pak Nasir. Padahal masih ada empat kanal yang belum dikunjungi, yaitu Kanal Pak Kuncit, Kanal Pak Muk, Kanal Pak Majan dan Kanal Pak Yavis. Keempat kanal ini ditebat secara permanen bersamaan dengan kanal Pak Nasir pada pertengahan 2006.

Sepanjang perjalanan menyusuri sungai, team sempat mengabadikan aktifitas buruh perusahaan HPH (PT. Rimba Hutani Mas) yang saat ini sedang mendapatkan hak pengelolaan hutan di kawasan Musi Banyuasin dan Jambi termasuk didalamnya kawasan HRGMK. Namun sayangnya, team tidak bisa berhenti untuk sekedar mengobrol dengan para buruh karena keterbatasan waktu yang tidak memungkinkan untuk singgah, disamping itu juga harus memburu waktu sebelum hari mulai gelap. Saat team tiba di perkampungan, hari benar-benar sudah sangat gelap dan kelelahan yang sebelumnya tidak dirasakan oleh team, saat tiba di tempat peristirahatan (rumah penduduk lokal) mulai menyerang sehingga tidak banyak yang dilakukan oleh team pada malam harinya, setelah sedikit mengobrol dan berdiskusi informal masing-masing sudah mulai terlelap dengan mimpinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*