Wahana Bumi Hijau

Penetapan Direktur Eksekutif WBH Periode 2016 sampai 2020

Foto: Serah Terima Jabatan dari Direktur Eksekutif yang lama (Deddy Permana) kepada Direktur Eksekutif yang baru (Yulhendrawan)

WBH Sumsel – Rapat Dewan Pembina Yayasan Wahana Bumi Hijau yang dilaksanakan pada tanggal 5 – 7 Mei 2016 telah menetapkan beberapa keputusan hasil rapat diantaranya Penetapan Bapak Yulhendrawan, S.Si sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Wahana Bumi Hijau (YWBH) periode 2016 – 2020 dan Ibu Uci Sulandari, S.Si, M.Si sebagai Direktur Representative Jakarta periode 2016 – 2020.
Secara umum kerja-kerja WBH diperiode kedepan masih konsen pada isu-isu pemberdayaan masyarakat dan lingkungan hidup sesuai visi misi organisasi mengingat masih banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan kedepan tentunya kerjasama dengan berbagai pihak baik NGO lokal, Nasional dan Internasional masih tetap dibutuhkan dalam upaya mewujudkan cita-cita organisasi.

Read more…

 

Page 1 of 22

Wahana Bumi Hijau

Penetapan Direktur Eksekutif WBH Periode 2016 sampai 2020

Foto: Serah Terima Jabatan dari Direktur Eksekutif yang lama (Deddy Permana) kepada Direktur Eksekutif yang baru (Yulhendrawan)

WBH Sumsel – Rapat Dewan Pembina Yayasan Wahana Bumi Hijau yang dilaksanakan pada tanggal 5 – 7 Mei 2016 telah menetapkan beberapa keputusan hasil rapat diantaranya Penetapan Bapak Yulhendrawan, S.Si sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Wahana Bumi Hijau (YWBH) periode 2016 – 2020 dan Ibu Uci Sulandari, S.Si, M.Si sebagai Direktur Representative Jakarta periode 2016 – 2020.
Secara umum kerja-kerja WBH diperiode kedepan masih konsen pada isu-isu pemberdayaan masyarakat dan lingkungan hidup sesuai visi misi organisasi mengingat masih banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan kedepan tentunya kerjasama dengan berbagai pihak baik NGO lokal, Nasional dan Internasional masih tetap dibutuhkan dalam upaya mewujudkan cita-cita organisasi.

Read more…

 

Page 1 of 22

Hutan Desa Kepayang – Sumatera Selatan

Desa kepayang yang berada di bantara Sungai Lalan pada awalnya merupakan bagian dari Desa Muara Merang, memisahkan diri menjadi Desa Kepayang pada November 2006. Secara administratif Desa Kepayang berada di Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Maecenas hendrerit, massa ac laoreet iaculipede mnisl ullamcorper- massa, cosectetuer feipsum eget pede. Proin nunc. Donec nonummy, tellus er sodales enim, in tincidun- mauris in odio.

LIPI Kembangkan Pisang “Gemuk” dan Tahan Penyakit

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kini tengah mengembangkan pisang berkualitas unggul. Target pisang yang dihasilkan adalah panjang, berukuran besar alias gemuk, tahan penyakit, serta lezat.

Dr Ir Witjaksono MSc, Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, mengungkapkannya dalam diskusi “Penelitian untuk Ciptakan Pisang Berkualitas dan Tahan Penyakit” yang diadakan pada Selasa (19/6/2012) di Jakarta.

Witjak menjelaskan, upaya mengembangkan pisang kualitas unggul dilakukan lewat persilangan pisang tetraploid (punya 4 set kromosom) dengan pisang diploid (wild type). Hasil persilangan akan memiliki sifat triploid (punya 3 set kromosom).

Sejauh ini, LIPI telah melakukan penyilangan beberapa jenis pisang tetraploid hasil induksi dengan pisang jenis Musa acuminata malaccensis. Jenis Musa acuminata malaccensis diketahui tahan terhadap penyakit layu fusarium yang disebabkan jamur fusarium.

Dalam persilangan, indukan jantan yang digunakan adalah pisang madu (Musa acuminata), pisang mas soponyono yang berasal dari Yogyakarta dan pisang mas kluthuk. Sementara induk betinanya ialah jenis Musa acuminata malaccensis.

“Tapi hasilnya, pisangnya ukurannya kecil, karena membawa sifat induknya. Pisang mas, pisang madu lalu malaccensis itu ukurannya kecil. Ini kurang potensial secara ekonomis kalau mau dijual,” papar Witjak.

Witjak menerangkan bahwa satu tandan pisang mas maksimal hanya seberat 10 kg, sementara satu tandan pisang ambon bisa seberat 25 kg. Sebagai sumber pangan, pisang mas tidak ekonomis karena konsumen harus membeli lebih.

Untuk memberi solusi, LIPI kini berupaya mencari indukan lain yang berukuran besar. Pisang ambon sudah terlalu banyak dikonsumsi sehingga tidak dipilih. Akhirnya, LIPI fokus pada Musa acuminata sumatrana, jenis pisang asal Sumatera yang berukuran besar tapi tak tahan penyakit.

Pisang sebagai sumber pangan pokok

Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati pisang. Jenis pisang yang dikenal saat ini serta telah dikonsumsi saja ada 20 spesies. Sementara itu, masih ada ratusan yang sampai kini belum dimanfaatkan.

Witjak mengungkapkan, pisang bisa dimanfaatkan sebagai sumber makan an pokok. Afrika, misalnya, mampu mengolah pisang menjadi tepung pisang. Di Indonesia, pemanfaatan tepung pisang masih minim, hanya sebagai campuran kue.

Dengan pengembangan varietas pisang, Indonesia bisa menambah daftar sumber pangan untuk mencukupi kebutuhan nutrisi di dalam negeri. Bahan olahan dari pisang juga bisa diekspor untuk menghasilkan pemasukan.

Pengembangan varietas pisang juga penting untuk kemandirian. Wakil Kepala LIPI Dr Endang Sukara menambahkan, “Jangan sampai pisang yang buah tropis saja kita impor. Sekarang ini kita banyak mengimpor pisang Cavendish, karena tampilannya yang bagus.”

Pada pertemuan Selasa kemarin, James Dale dari Queendsland University of Technology yang sudah mempelajari pisang selama 30 tahun menjajaki kemungkinan kerja sama dengan ilmuwan Indonesia untuk mengembangkan varietas pisang berkualitas.

Dale sebelumnya telah menemukan gen dalam jenis pisang Musa acuminata malaccensis yang membuat tanaman tersebut tahan pada penyakit layu fusarium. Dale telah mencoba menyisipkan gen tersebut pada jenis pisang Cavendish dan berhasil.

Witjaksono mengungkapkan, “Gen yang ditemukan bisa digunakan sebagai penanda. Jika kita teliti suatu tanaman yang mengandung gen tersebut, pasti dia resisten dengan fusarium. Ini dinamakan Molecular Marker Assisted Breeding, pemuliaan tanaman yang dibantu penandaan.”

Pertanian pisang saat ini menghadapi beberapa kendala. Serangan fusarium membuat daun layu dan mati. Selain itu, terdapat pula penyakit bunchy top yang membuat tanaman pisang kepok tidak menghasilkan buah.

Sumber: Kompas Saint

Inovasi Terbaru BATAN, Sidenuk dan Mugibat


Written by Administrator


Saturday, 24 December 2011 16:41

Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) terus mengembangkan varietas padi unggul yang tahan hama, punya produktifitas tinggi dan rasa enak lewat teknologi radiasi. Saat ini, BATAN mempunya dua varietas padi hasil radiasi baru, yakni Sidenuk dan Mugibat.

Sidenuk adalah singkatan dari Si Dedikasi Nuklir. Varietas itu dirilis Mei 2011 lalu berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 2257/Kpts/SR.120/2011. Beberapa daerah, salah satunya Blitar, telah mencoba menanam varietas padi ini.

Prof Dr Mugiono, pemulia padi BATAN, mengungkapkan, Sidenuk adalah perbaikan dari varietas Diah Suci, yang merupakan varietas hasil persilangan Cilosari dan IR 74 yang kemudian dimutasikan dengan cara iradiasi.

“Diah Suci ini punya rasa yang enak dan produktifitas tinggi. Tapi kalau pemupukannya banyak, dia akan rebah. Makanya kita kembangkan Sidenuk yang tidak mudah rebah. Batang Sidenuk lebih pendek 15 cm dari Diah Suci,” jelas Mugiono.

Keunggulan Diah Suci tetap dipertahankan di Sidenuk. Di antaranya adalah ketahanan terhadap wereng strain 1, 2 dan 3, potong leher dan hawar daun. Demikian juga produktifitas tinggi dan rasa yang pulen. Potensi produktifitas Sidenuk adalah 6,5 ton per hektar.

Sementara itu, varietas Mugibat adalah singkatan dari Mutasi Unggul Iradiasi Batan. Varietas ini merupakan hasil mutasi dari varietas Cimelati yang dilepas BP Padi Departemen Pertanian pada tahun 2003. Mugibat juga punya rasa pulen, tahan wereng, potong leher dan hawar daun.

“Kita sudah lakukan uji multilokasi di 16 lokasi. Sekarang tinggal tunggu SK Menteri. Kita sudah ajukan mudah-mudahan bisa dilepas tahun depan,” tutur Mugiono ketika ditemui dalam panen perdana padi varietas Bestari di Blitar, Jawa Timur, Rabu (14/12/2011).

BATAN saat ini terus melakukan upaya pengembangan varietas padi. Salah satu tujuannya adalah menciptakan padi unggul sehingga mampu mengatasi tantangan ketahanan pangan. Iradiasi adalah salah satu cara menciptakan keanekaragaman yang teknologinya sudah siap.

Selain itu, BATAN juga berupaya untuk memberikan sosialisasi pada masyarakat bahwa nuklir tidak selalu berdampak buruk. Pengembangan varietas padi dan penggunaan teknologi nuklir dalam dunia kedokteran adalah salah satu contoh manfaat nuklir.

Budi Daya Kedelai Di Lahan Kering

Menanggapi kenaikan harga pangan dunia, kita tidak perlu panik dan pesimis apalagi sampai kolaps, semestinya hal itu menjadikan kita lebih tertantang dan tambah berfikir menghadapinya. Sumberdaya alam kita masih ada yang dapat digunakan tanpa harus memaksakan dengan cara alih fungsi lahan atau hutan lindung menjadi lahan produksi pangan.

Misalnya: Lahan kering di Indonesia, terutama di luar jawa bahkan di jawa pun sekian juta hektar masih sebagai lahan tidur belum dimanfaatkan padahal potensinya dapat ditanami palawija bahkan padi gogo yang toleran kekeringanpun sudah tersedia benihnya.

Kedelai termasuk yang kena dampak kenaikan harga dunia dan sangat mempengaruhi produktivitas pengusaha tahu/tempe dan industri lainnya di dalam negeri. Oleh karena itu perlu segera menanggulanginya dengan cara antara lain dengan memperluas sentra produksi kedelai di lahan kering.

Kedelai masih toleran ditanam pada lahan kering, mampu menghasikan 1,5-2 ton/ha.( Prov. Lampung 2006).

Agroekologi lahan kering dipilah menjadi dua kelompok besar yaitu:

  • Lahan kering tidak masam

  • Lahan kering masam

Pola tanam tanam lahan kering umumnya:

Pada pertanaman dimusim hujan (Oktober-Januari) dianjurkan menggunakan varietas berumur sedang dan pada pertanaman di musim marengan (MK 1) Februari-Mei dapat dipilih umur sedang dan genjah.

Paket teknologi budidaya kedelai dilahan kering terdiri atas komponen sebagai berikut:

  1. Penyiapan lahan, pengolahan tanah sampai gembur, menjelang musim hujan, dibajak 1-2 kali kemudian digaru satu kali dan diratakan.

  2. Pembuatan saluran drainase dengan jarak antar saluran 3-5 m. Interval antar saluran drainase dapat dirapatkan atau dijarangkan sesuai dengan jenis tanah dan kemiringan lahan.

  3. Penggunaan varietas unggul tipe biji besar atau sedang, bernas, berdaya tumbuh > 85%, murni, sehat dan bersih. Dengan total kebutuhan benih antara 40-60 kg/ha, tergantung pada ukuran biji makin besar ukuran biji makin banyak benih yang diperlukan.

  4. Perlakuan benih dengan Carbosulfan (10 g Marshal 2587/kg benih) atau Fipronil (10 ml Regent/1 kg benih) untuk mengendalikan lalat bibit dan hama lain.

  5. Populasi tanaman 250.000 – 500.000 per hektar, pengaturan jarak tanam, lubang tempat benih ditutup dengan tanah (abu dan pupuk kandang) bila tersedia dapat digunakan.

  6. Pada lahan kering masam perlu digunakan amelioran, penggunaannya secara teknis ditentukan berdasarkan tingkat kejenuhan alumunium (Al) hal ini memiliki hubungan erat dengan tingkat keasaman tanah(pH tanah) disarankan pemberian kapur dolomit yang halus agar cepat larut dalam tanah. Sedangkan jumlah dolomit yang digunakan 1,5 ton/ha atau tergantung tingkat keasaman tanahnya.

  7. Jenis dan takaran pupuk dapat berbeda disesuaikan pada kondisi atau tingkat kesuburan tanah berdasar analisis tanah, jika tersedia pupuk organik atau pupuk kandang, dianjurkan sekitar 2 ton/ha. Pupuk kandang diberikan pada saat tanam untuk menutup benih 4-5 gram /lubang tanam, Mulsa jerami dapat memasok hara dan lebih ditujukan untuk mengendalikan gulma. Pemberian NPK lazimnya sebagai pupuk dasar sudah diketahui oleh para petani. Perlu diperhatikan secara ekonomi efisiensi dan efektivitas pemberian pupuk untuk menekan biaya produksi.

  8. Pemberian air jika kelembaban tanah tidak mencukupi terutama pada stadium awal pertumbuhan, saat berbunga, dan saat pengisian polong dengan menggunakan sumur, pompa air atau dari sungai bila mungkin.

  9. Gulma dikendalikan berdasarkan pemantauan secara manual (penyiangan dengan cangkul atau sistem cabut) maupun secara kimia menggunakan herbisida pra maupun pasca tumbuh. Dilakukan seminggu sebelum tanam sedangkan penyemprotan herbisida pacsa tumbuh perlu hati-hati dengan menggunakan tudung nozzle agar tidak membakar daun kedelai.

  10. Pengendalian HAMA DAN PENYAKIT berdasarkan pengendalian hama terpadu (PHT)

  11. Tanaman siap dipanen apabila daun sudah luruh dan 95% polong berwarna kuning coklat, dilakukan secara manual (disabit atau dicabut) maupun menggunakan mesin perontok.
  12. Pengupasan biji dari polong dapat dilakukan sisitem geblok dengan pemukul kayu maupun dengan mesin pemecah polong

Newer news items:

Older news items:


Hentikan Penggunaan Pestisida


Written by Administrator


Friday, 29 July 2011 09:32

Padang, WBHNEWS – Penggunaan pestisida secara masif pada lahan pertanian di Pulau Jawa mesti dihentikan guna mencegah makin merebaknya hama wereng coklat.

Demikian dikatakan B Merle Shepard, profesor emeritus dari Universitas Clemson, Amerika Serikat, Jumat (22/7), di sela pertemuan bertajuk ”Galanggang Alam Petani Organik” di Kota Padang, Sumatera Barat.

Menurut Merle, apa yang terjadi di Jawa kini mirip dengan serangan hama serupa pada 1980-an ketika ia masih bekerja di International Rice Research Institute di Filipina. Ia menggambarkan serangan wereng coklat terjadi karena ”tentara” alami untuk membunuhnya telah lebih dulu dimatikan oleh semprotan pestisida.

”Makin banyak pestisida disemprotkan, serangan wereng coklat makin mengganas,” kata Merle.

Merle ketika itu merupakan salah seorang ilmuwan yang pernah diundang Presiden Soeharto untuk menjelaskan soal serangan wereng coklat. Dalam pertemuan itu, Merle kemudian menjelaskan soal logika ”tentara” alami guna menjaga tanaman yang justru dibunuh terlebih dahulu oleh pestisida.

Saat itu, Soeharto kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 pada tanggal 5 November 1986 tentang peningkatan pengendalian hama wereng coklat pada tanaman padi. Puncaknya, 28 bahan aktif pestisida dalam 57 produk pestisida dilarang masuk Indonesia.

Merle yang datang ke Galanggang Alam Petani Organik bersama profesor emeritus lainnya dari Universitas Clemson, Gerald R Carner, mengatakan, saat ini yang harus dilakukan ialah memberitahukan kembali apa yang sebenarnya terjadi kepada petani. ”Indonesia termasuk unggul dalam soal manajemen pengendalian hama, tetapi orang-orang lebih sering lupa soal yang dulu terjadi. Sementara sejarah selalu berulang,” katanya.

Pertanian organik

Guna mengaktifkan predator alami dan menjaga keberlangsungan siklusnya itu, konsep pertanian organik secara menyeluruh adalah salah satu jawabannya. Merle mengatakan, pertanian organik kini berkembang di mana-mana, bahkan di Amerika Serikat, dengan pertumbuhan hingga 20 persen per tahun.

Kenyataan bahwa ada kesenjangan antara dunia ilmuwan, dunia penelitian, hasil penelitian, dan petani di Indonesia, menurut Merle, mesti bisa diatasi dengan sekolah lapang yang gerakannya sudah dimulai di Sumbar sejak 1984 lalu. ”Saya pikir Sumbar ada di jalur yang benar untuk mengembangkan pertanian organik,” ujar Gerald.

Namun, Merle mengingatkan, konsep belajar dan berbagi pengetahuan yang terbaik di kalangan petani ialah dari para petani itu sendiri. ”Dengan metode partisipatif, mereka mencari jawab dan alasan atas berbagai hal. Kita tidak bisa hanya katakan tidak boleh semprot pestisida, harus ada juga alasannya mengapa tidak boleh,” ujarnya.

Gerald menambahkan, merebaknya hama wereng coklat di Jawa pada saat ini dan kondisi lahan yang berkurang kesuburannya karena puluhan tahun menyerap pupuk kimia tetap tidak jadi penghambat. ”Saya pikir Indonesia sangat beruntung karena lahannya masih lebih subur dibandingkan dengan negara lain,” katanya. (INK)


Newer news items:

Older news items:


Menjadi Petani Organik


Written by Administrator


Friday, 22 July 2011 10:03

Uu Saeful Bahri hanya bisa mengelus dada saat beberapa warga menertawakan cara tanam padi yang dilakukannya. Bila biasanya petani membutuhkan 30-40 kilogram benih per hektar, ia hanya membutuhkan 5-7 kilogram. Selain itu, bila petani biasanya menanam padi lima pohon per lubang, ia hanya menanam satu pohon per lubang.

”Mereka bilang kalau ada keong atau hama yang lain, bisa-bisa padi dimakan semua, saya bakal gagal panen dan rugi. Banyak lagi yang mereka tertawakan, seperti air di sawah yang tidak tergenang atau lahan yang tak ditaburi pupuk kimia,” cerita Uu mengingat peristiwa 12 tahun lalu.

Namun, nada pesimistis itu perlahan lenyap berubah menjadi kekaguman. Pola tanam yang dilakukan Uu ternyata memberikan hasil yang jauh lebih banyak dan berkualitas. Satu hektar lahan sawahnya bisa menghasilkan 10 ton gabah kering dengan modal Rp 1 juta-Rp 2 juta per musim tanam.

Hal itu berbeda dengan lahan petani konvensional yang maksimal hanya menghasilkan 7 ton gabah dan menghabiskan modal hingga Rp 5 juta per musim tanam.

Perbedaan harga pasarannya pun tinggi. Beras organik dijual hingga Rp 10.000 per kilogram (kg), sedangkan dengan bibit yang sama, padi konvensional paling tinggi terjual Rp 7.000 per kg.

”Ejekan mereka lalu berubah jadi rasa penasaran. Banyak petani ingin mengetahui apa rahasianya,” kata Uu.

Karena itu, cara tanam yang dilakukan Uu pun menjadi tontonan. Sejak menyemai benih hingga menanamnya di sawah, banyak warga berjejer di pematang sawah. Beberapa yang tertarik lebih jauh memberanikan diri bertanya dan spontan minta diajari cara menanam seperti yang dilakukan Uu.

”Tak ada sakit hati. Justru saya senang berbagi kemampuan demi hasil yang lebih baik,” katanya.

Metode yang diterapkan Uu adalah cara tanam padi organik. Metode ini intinya adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktivitas tanpa menghancurkan kualitas tanah. Setidaknya ada empat rekayasa teknis yang dibutuhkan di sini, yaitu persiapan benih berkualitas, pengolahan tanah teratur, pemupukan yang tepat menggunakan kompos dan pupuk hijau, serta pemeliharaan yang telaten dan teratur.

Sesungguhnya sejak dulu petani Indonesia telah mengenal cara bertani seperti itu. Salah satu buktinya, menurut Uu, sejak dulu leluhur memperlakukan tanah dan padi sebagai induk dari kehidupan. Lahan sawah padi organik pun pantang ditaburi pupuk atau pestisida kimia.

”Kotoran sapi dan daun busuk punya unsur hara tinggi. Selama ini ada anggapan salah di kalangan petani. Mereka menganggap kalau mau panen banyak, harus mengutamakan kesuburan tanamannya. Padahal, yang terpenting adalah tanah. Kalau tanah subur, ditanami apa saja pasti tumbuh dengan baik,” katanya.

Dukungan daerah

Perkenalan Uu dengan padi organik berawal dari kegelisahannya dengan hasil panen petani yang tak maksimal pada 1999. Sebagai Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, ia harus memberikan alternatif baru cara tanam yang menguntungkan.

Setelah mengikuti beragam pengenalan yang diadakan Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, Uu yakin system of rice intensification (SRI) organik bisa memberi keuntungan bagi petani. Sejak tahun 2003 ia menetapkan padi organik sebagai program unggulan KTNA Kabupaten Tasikmalaya.

Namun, tak mudah mengenalkan metode ini kepada petani. Muncul pro dan kontra terkait penerapan cara tanam ini. Atas dorongan beberapa kawan, Uu terus maju dan meminta dukungan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dan Provinsi Jabar. Bupati Tasikmalaya dan Gubernur Jabar memintanya terus mengembangkan metode itu.

Pesertanya tidak hanya dari Pulau Jawa, tetapi juga dari berbagai daerah di Sumatera, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, hingga Sulawesi. Bahkan, Norman Uphoff, pakar padi organik dari Cornell University Amerika Serikat, pun berkunjung ke Tasikmalaya dan mengacungkan jempol atas hasil yang diraih petani di kabupaten ini.

”Mulai tahun 2004 hingga kini, bersama teman-teman petani organik, saya mempromosikan dan memberikan pelatihan bagi masyarakat. Ada pula sekolah singkat yang dikelola petani organik Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik untuk menularkan cara bertanam padi organik,” katanya.

Petani mandiri

Khusus di Kabupaten Tasikmalaya, menurut Uu, lahan padi organik terus mengalami peningkatan. Kini ada delapan Gapoktan yang aktif melakukan penanaman padi organik. Rata-rata Gapoktan punya empat kelompok dengan anggota sekitar 25 orang.

Dari 49.500 hektar lahan sawah di Tasikmalaya, baru 320 hektar yang merupakan sawah organik bersertifikat organik internasional dan perdagangan berkeadilan dari The Institute for Marketology yang berbasis di Swiss. Seluas 60 hektar lainnya baru mendapatkan sertifikasi Standar Nasional Indonesia. Rata-rata panen mereka 10 ton per hektar.

”Lulus sertifikasi itu tak mudah karena kami minimal harus tanam serempak dalam satu lahan luas selama tiga tahun. Selain itu, data sejak tiga tahun lalu harus dibuat dan diberikan kepada pengawas. Rumit pada awalnya, tetapi karena sudah terbiasa, kami bisa menikmatinya,” kata Uu.

Padi organik telah dikenal di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, keberhasilan petani Tasikmalaya mengembangkan padi organik membuat Kementerian Pertanian menetapkan daerah ini sebagai sentra padi organik bersama Kabupaten Garut dan Kabupaten Ciamis, Jabar.

Pesanan padi organik dari luar negeri pun tidak pernah sepi. Permintaan 90 ton per pengiriman terpaksa ditolak karena petani baru bisa memenuhi pasar luar negeri secara teratur 18 ton per pengiriman. Permintaan datang dari Amerika Serikat, Jepang, dan Arab Saudi.

Uu tetap bersemangat mengembangkan padi organik. Ini tak semata-mata demi memenuhi permintaan pasar, tetapi ada yang lebih penting, yakni menjaga kesuburan tanah untuk warisan generasi selanjutnya. Lewat padi organik pula, banyak lapangan pekerjaan baru tercipta.

”Buat saya, yang paling penting dari semua itu adalah menjadikan petani mandiri, petani yang bisa menjadi tuan di atas lahannya sendiri,” kata Uu.


Newer news items:

Older news items:


13,9 Juta Hektar Jadi Kawasan Konservasi


Written by Administrator


Friday, 22 July 2011 09:42

WBHNews, Sampai akhir 2010 ada 13,9 juta hektar perairan di Indonesia yang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi dari target 15,5 juta hektar pada tahun 2014. Dari 13,9 juta hektar tersebut ditargetkan ada sekitar 4,5 juta hektar yang dikelola secara efektif pada 2010-2014.

Demikian dikatakan Syamsul Bahri Lubis, Kepala Subdirektorat Konservasi Jenis Ikan Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, di sela-sela lokakarya pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi perairan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), Kamis (21/7/2011).

“Kawasan seluas 13,9 juta hektar itu baru penetapan di atas kertas. Bentuk pengelolaan efektifnya baru dimulai 2011 ini. Pada 2010-2014, kami meningkatkan pengelolaan. Yang 4,5 juta hektar dikelola secara efektif, sedangkan yang lain tetap didorong, tetapi tetap harus ada prioritas sesuai kemampuan,” ujarnya.

Dikelola secara efektif bermaksud bahwa pada kawasan konservasi itu terdapat sejumlah indikator, seperti memiliki rencana pengelolaan sampai 20 tahun ke depan dan keberadaan lembaga pengelola itu sendiri. Selain itu juga terdapat upaya pengawasan dan perbaikan dari ekosistem yang ada di daerah konservasi tersebut. Sejauh ini, di luar kawasan 13,9 juta hektar tersebut umumnya belum memiliki lembaga pengelola.

Menurut Syamsul, sejumlah daerah yang telah masuk ke kawasan konservasi antara lain berada di perairan Sawu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, kawasan Raja Ampat di Papua Barat, dan beberapa titik di kawasan Sulawesi Selatan. Baru-baru ini juga dicadangkan kawasan konservasi nasional di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau.

“Di Anambas ini lebih kepada nilai strategis politis, yakni berada di daerah perbatasan. Substansi konservasi, kan, tidak hanya melindungi sumber daya yang ada yang masih terjaga, tetapi juga untuk keperluan lain, seperti strategis politis,” ucapnya.

Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel, Said Ahmad mengatakan, pihaknya akan menetapkan rencana tata ruang wilayah yang dengannya, kawasan konservasi tidak boleh dilanggar untuk kepentingan apa pun. Selama ini kawasan perairan Tanah Bumbu kerap dipakai untuk kepentingan ekonomi. Salah satunya pelabuhan khusus batu bara.

Sumber: KOMPAS.COM