Written by Administrator
Wednesday, 21 May 2014 02:16
Pertanian merupakan salah satu sumber ketahanan pangan. Namun tidak dipungkiri, banyak ancaman yang dapat mengganggu ketahanan pangan pertanian di Indonesia.
Beberapa di antaranya cuaca ekstrim, perubahan infrastruktur, alih fungsi lahan, dan lainnya.
“Di sisi lain produksi kita ini banyak menghadapi tantangan. Tantangan internalnya banyak, tantangan eksternalnya juga banyak. Contoh yang paling nyata ancaman ini bahkan menjadi ancaman adalah perubahan iklim yang tidak bisa diprediksi BMGK dengan tepat (anomali iklim). Kasihan para petani mereka harus merespon perubahan iklim global itu,” kata Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan, dalam acara Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota Wilayah Barat (Sumatera dan Jawa) pekan lalu.
Ancaman perubahan struktur dilihat dari berapa banyak bendungan yang sudah dibangun. Lebih banyak bendungan peninggalan Belanda. Kemudian ancaman alih fungsi lahan, setiap hari berbicara konversi lahan, tetapi tiap hari juga konversi berlangsung.
“Memang kalau lahan sempit kita mengatakan bahwa kita harus melindungi lahan, tetapi semua kegiatan ekonomi itu bersifat landed (tanah),” ujarnya.
Setiap industri membutuhkan tanah, baik itu untuk industri komersial, perumahan, semuanya itu membutuhkan tanah. Sehingga perebutan lahan itulah menjadi ancaman bagi lahan pertanian.
Hal itu harus disikapi secara arif bagaimana supaya industri-industri komersial dan perumahan itu ditempatkan di lahan-lahan yang memang tidak bersentuhan langsung dengan lahan pertanian yang produktif.
“Bagaimana supaya konversi lahan itu menghindari sawah-sawah yang ada di Jawa yang beririgasi teknis. Itu sesuatu yang memang harus kita pikirkan juga,” ungkapnya.
Ancaman lain seperti degradasi lingkungan dalam pangan yang terus menerus berlangsung. Aleh karena itu di berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi ini harus bisa memberikan komitmen yang kuat, bagaimana bisa mempertahankan ketahanan pangan dengan baik.
“Ini menjadi menjadi renungan kita bersama. Ketika ada undang-undang peruntukan lahan yang berkelanjutan, undang-undang itu diterjemahkan melalui perda-perda. Dibutuhkan sesuai kebutuhan pangan masyarakat disitu,” imbuhnya.
Dia juga berharap antar wilayah harus produktif berpikir secara global, bukan untuk kepentingan diri sendiri (wilayah masing-masing). Ketahanan pangan itu harus dimaknai dalam prespektif nasional, bukan kepentingan Kabupaten/Kota.
“Kalau seperti itu bahaya. Karena tidak bisa mentransfer ke daerah-daerah lain yang tidak produktif. Perlu lah ada kebanggaan Kabupaten/Kota bahwa dengan surplus yang bisa memberikan nafkah bagi Kabupaten/Kota lain itu adalah hal bagian yang sangat membanggakan,” pungkasnya. (Dede Rosyadi /Merdeka.com)