Adiosyafri, S.Si


Written by Administrator


Friday, 14 January 2011 07:00

Mengabdi Menjadikan Hutan Lestari

“Orang-orang ini telah terbukti mampu menunjukkan secara nyata jalan keluar yang bisa menjadi alternatif untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial dalam masyarakat, sesuai dengan bidang-bidang yang mereka geluti”. Sanjungan yang disampaikan Dr. Imam Prasodjo, sosiolog Universitas Indonesia itu, salah satunya ditujukan kepada seorang putra daerah Sumatera Selatan, Adiosyafri namanya.

Adios, demikian pria kelahiran Muaraenim, Sumatera Selatan, ini biasa disapa, menjadi salah satu penerima penghargaan Indonesia Berprestasi Award 2009. Adios terpilih menjadi penerima penghargaan Special Recognition pada Kategori Sosial Kemasyarakatan. Penghargaan Bagi para Pengabdi Masyarakat ini diberikan oleh PT.Excelcomindo Pratama Tbk (XL) pada tahun 2009 lalu.

Keperduliannya di bidang sosial kemasyarakatan, khususnya lingkungan hidup melahirkan komitmen yang tinggi pada sosok pria yang dilahirkan pada 30 September 1976 ini. Sebagai seoarang putra Sumatera Selatan, Adios mengaku prihatin akan kerusakan lingkungan yang terjadi,
terlebih kerusakan lingkungan tersebut terjadi di salah satu provinsi yang memiliki kekayaan alam ini.

Sampai dengan kini, terhitung sepuluh tahun lebih, Adios telah bergelut dalam bidang sosial kemasyarakatan dan lingkungan. Kini, dia aktif bersama teman-temannya di Yayasan Wahana Bumi Hijau (YWBH). Selain di YWBH, alumni Universitas Sriwijaya Jurusan MIPA Fisika Angkatan 1995 ini juga menjabat sebagai Kepala Divisi perencanaan & Evaluasi Program pada Konsorsium Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan Sumatera Selatan dan Koordinator Presedium Forum Pendidikan Lingkungan Hidup
Sumatera Selatan.

“Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sudah harus ditanamkan kepada anak-anak. Sebab pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi merupakan diakibatkan dari orang-orang yang tidak memiliki kesadaran yang baik akan pentingnya lingkungan yang lestari,” ujarnya yang beberapa waktu belakangan ini berkesempatan menjadi mentor Climate for Classroom (C4C) pada 6 Sekolah Islam di Kota Palembang yang difasilitasi oleh British Council.

Ironis memang, ujar Adios, ketika daerah yang memiliki sumber daya alam yang kaya dirusak oleh orang-orang dengan alasan keterbatasan ekonomi. “Walau pembalakan liar secara besar-besaran disponsori oleh pemodal besar dengan kerja yang terorganisi, namun tidak sedikit masyarakat sekitar hutan karean keterbatasan ekonomi bekerja menjadi buruh upahan dalam proses pembalak liar tersebut,” tegasnya.

Karena itu, Adios bersama teman-temannya juga aktif melakukan pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat sekitar hutan. “Seperti yang pernah dilakukan di masyarakat sekitar lahan gambut, kita melakuan penggalian potensi ekonomi dan berupaya mengembangkan potensi tersebut sebagai mata pencarian alternativ, sehingga masyarakat mengesampingkan pendapatan sebagai pembalakan liar atau dengan pola konpensasi menjaga lingkungan hidup,” tutur pria yang mengkoordinatori Pengembangan Ekonomi Produktif Masyarakat Miskin di kawasan Buffer Zone Taman
Nasional Sembilang.

Dengan cara tersebut, lanjutnya, banyak lahan kritis yang bisa diselamatkan. Upaya tersebut juga tidak memerlukan banyak modal. Misalkan dengan pemberdayaan ekonomi, masyarakat diwajibkan melakukan pembibitan tanaman tertentu, penanaman dan pemeliharaan pohon tersebut
sebagai kompensasi dari manfaat ekonomi yang telah diperoleh.

“Permasalahan lingkungan kerusakanan hutan lainnya, adalah kebakaran hutan yang kerap terjadi pada saat musim kemarau,” katanya.
Menurutnya, persoalan kebakaran tidak hanya bagaimana memadamkan api, tapi juga melakukan pencegahan terjadinya kebakaran.
Seperti halnya dalam menyelamatkan lahan gambut dari kebakaran. Masyarakat membuat tebat di sepanjang parit yang banyak terdapat di sekitar Sungai Merang dan Sungai Kepayang. Tebat semipermanen itu terbuat dari kayu dan papan. Tujuan membuat tebat agar air yang mengalir di parit tidak cepat kering saat musim kemarau sebab tanah gambut sangat cepat menyerap air sehingga rawan terjadi kebakaran hutan.
Hal tersebut menjadi penting dilakukan karena Sumatera Selatan merupakan salah satu propinsi yang masih memiliki lahan gambut dengan seluas sekitar 200.000 hektare dengan ketelabalan 1-6 meter, tepatnya terletak di Kabupaten Musi Banyuasin.
“Sayangnya, keberadaan lahan gambut tersebut selalu terancam kerusakan. Pada era hak pengelolaan hutan (HPH), kawasan tersebut rusak akibat penggundulan hutan. Sekarang, pada era reformasi terancam oleh proyek hutan tanaman industri (HTI) dan pembalakan liar,” tegas Adios.
Adios menegaskan, upaya penyelamatan lingkungan tidak bisa dilakukan secara parsial. Pemerintah, lembaga swasta, dan masyarakat harus memiliki cara pandang dan komitmen yang kuat terhadap penyelamatan lingkungan.
Terkait dengan pemerintahan Sumatera Selatan sendiri, lanjutnya, sudah merespon baik terhadap pembalakan liar yang terjadi. Tim pemberantasan pembalakan liar di Sumatera Selatan akan dibentuk disetiap kabupaten atas inisiasi Gubernur Sumatera Selatan H. Alex Noerdin.

Sumber : www.beritamusi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*