Written by Administrator
Friday, 18 July 2014 14:16
Penegak hukum dinilai diskriminatif, hanya berjalan buat rakyat kecil. Kala warga menang gugatan hukum sampai MA, tak digubris pemerintah daerah. Perusahaan tetap beroperasi. Kepolisian malah menjadi penjaga perusahaan walau warga beberapa kali melaporkan pelanggaran perusahaan. Kala warga dituduh melakukan pelanggaran terhadap perusahaan, dalam waktu sekejab, polisi menentapkan mereka menjadi tersangka.
Perjuangan warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, mendapatkan lingkungan sehat, dengan menolak tambang, berbuah pahit. Bagaimana tidak, PT Mikgro Metal Perdana (MMP), perusahaan tambang bijih besi masih bisa terus beroperasi meskipun Mahkamah Agung memerintahkan bupati mencabut izin. Warga yang sejak awal menolak tambang menggunakan jalur-jalur damai akhirnya terjebak. Mereka terlibat bentrok, satu alat berat perusahaan terbakar. Polisi sigap bekerja, dua warga, Y Tuhema dan F Kaongan, dituding sebagai pelaku. Mereka ditetapkan menjadi tersangka pada Kamis dini hari (17/7/14).
Di Manado, perwakilan warga Desa Kahuku menyesalkan, sikap diskriminatif kepolisian antara warga dan perusahaan. Penegakan hukum hanya tajam ke masyarakat kecil dan tumpul ke pengusaha.
Mengapa? Sejak 24 September 2013 putusan inkracht MA memenangkan gugatan warga atas penolakan tambang di Pulau Bangka. Ketua PTUN Manado, pada 24 Juni 2014, melayangkan surat perintah eksekusi MMP.
Belum lagi, aktivitas pertambangan itu, beberapa kali dilaporkan warga pada instansi terkait. Misal, 20 Mei 2014, 18 warga mengajukan laporan tindak pidana pertambangan (ilegal mining) dan lingkungan, ke Polda Sulut diterima Dirintelkam. Sebulan berlalu, 30 Juni 2014, Merty Katulung, warga Desa Kahuku juga melaporkan ke Polda Sulut.
Kenyataan, Polda Sulut belum menindaklanjuti laporan warga. Lebih aneh, setelah bentrok antar desa Sabtu (12/7/14), dua warga penolak tambang langsung ditetapkan sebagai tersangka.
Selengkapnya baca di: http://www.mongabay.co.id/category/lingkungan-hidup/