Last Updated on Monday, 12 October 2015 12:28
Written by Administrator
Monday, 12 October 2015 12:19
Empat tahun lalu tragedi mirip darurat asap di Indonesia terjadi di Jepang. Ketika itu pada Maret 2011 gempa bumi hebat mengakibatkan gelombang tsunami di Sendai. Bencana itu membuat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)—yang memasok listrik ke perusahaan Tokyo Electric Power Company (TEPCO)—meledak dan reaktor bocor sehingga melepas radiasi berbahaya. Pemerintah Jepang bergerak cepat menetapkan “keadaan darurat tenaga nuklir” kemudian mengevakuasi ribuan penduduk yang tinggal dekat PLTN. Sebaliknya TEPCO dianggap lambat melakukan pembersihan dan mencegah penyebaran radiasi.
Semua mafhum gempa dan tsunami merupakan bencana, tetapi kebocoran reaktor akibat bencana adalah kelalaian manusia dalam perencanaan proyek. Rakyat Jepang pun marah sehingga pemerintah melalui Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan, menekan Presiden TEPCO, Masataka Shimizu, untuk bertanggungjawab lebih proaktif. Naoto Kan meminta TEPCO menyelesaikan kasus ini dan membersihkan daerah dari radiasi nuklir. TEPCO bersedia bertanggungjawab dengan bekerja lebih cepat mengatasi situasi dan mencegah penyebaran radiasi lebih meluas.
Toh, bukan pertanggungjawaban itu yang menarik perhatian seluruh dunia—terutama orang asing yang tinggal di Jepang. Presiden Tepco melakukan kisah heroik seperti layaknya kisah anime atau manga. Usai bersedia memenuhi permintaan perdana menteri, Presiden TEPCO berkunjung ke lokasi pengungsian. Di sana Masataka menemui pengungsi satu per satu lalu bersujud. Di tengah suasana emosional itu seorang pria murka. Ia lantas duduk di atas kursi dan mencaci-maki Masataka yang bersujud dalam diam sebagai bentuk permohonan maafnya.
Itulah gambaran penyesalan seorang pemimpin perusahaan di Jepang yang telah merugikan rakyat banyak. Cerita itu melengkapi kisah heroik lain dari Jepang semisal pejabat yang bunuh diri atau mengundurkan diri bila ketahuan melakukan tindakan aib. Tradisi meminta maaf merendahkan diri demi kehormatan atas kesalahan yang dilakukan rakyat Jepang diwarisi oleh tradisi seppuku (ritual bunuh diri akibat kesalahan yang disengaja atau pun tidak sengaja, red) para samurai. Jauh panggang dari api dengan kelakuan para pemimpin perusahaan perkebunan sawit dan HTI yang areal kebunnya di lahan gambut dilalap api. Jangankan meminta maaf, mereka malah ramai-ramai—melalui konsorsium perusahaan—menolak turut bertanggung-jawab. Mereka malah berkilah sebagai korban karena lahan konsesi mereka terbakar akibat loncatan api dari lahan tetangga.
Bila pun benar lahan mereka terbakar akibat loncatan api dari lahan sebelah, sikap mereka berbanding terbalik dengan Presiden TEPCO yang memilih bertanggung-jawab dan meminta maaf meskipun penyebab meledaknya reaktor jelas-jelas bencana alam gemba bumi dan tsunami yang tak dapat diramalkan. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, sebagian—untuk tidak menyebut semuanya—perusahaan pemegang ijin di lahan gambut memang melakukan pembukaan lahan gambut dengan pembakaran.
Bahkan berbagai NGO seperti Walhi melalui tim investigasi mereka sudah melaporkan beberapa perusahaan yang lahannya terbakar di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Karena itu sudah selayaknya pemerintah pusat dan pemerintah daerah menekan mereka untuk bertanggung jawab membantu memadamkan api, meminta maaf pada masyarakat, serta mengganti kerugian material dan non material yang dialami masyarakat. Rakyat pun jangan mudah tergoda malah saling mencaci-maki Pemerintah Pusat yang kini tengah bekerja keras mengkoordinasikan pemadaman api. Tentu kita semua tahu pemberi ijin perusahaan pasca reformasi berada di tangan pemerintah daerah. Sehingga sejatinya gubernur dan bupati—di bawah koordinasi presiden—yang wilayahnya terbakar selayaknya pula meminta maaf pada publik.
Pasca kebakaran gambut tahun ini, pemerintah pusat dan daerah harus memetakan lahan yang terbakar dengan bantuan data satelit lalu mengambil alih penguasaan lahan kembali kepada pemerintah. Tentu dengan tetap meminta kompensasi biaya pemulihan lahan. Ke depan pemerintah daerah perlu mengevaluasi mekanisme pemberian ijin perusahaan yang hendak mengusahakan areal gambut. Hanya perusahaan yang menguasai teknologi pengelolaan lahan gambut yang boleh diberikan ijin. Pemerintah daerah harus paham bahwa karakteristik lahan gambut sangat spesifik lokasi dan berbeda dengan lahan kering sehingga butuh teknologi yang berbeda.
Sebagai contoh sederhana selama ini kebanyakan perusahaan perkebunan memahami pembuatan kanal alias saluran di daerah rawa gambut adalah untuk mendrainase (membuang) air berlebih di lahan sehingga layak untuk ditanami sawit atau kayu bahan baku kertas. Padahal, menurut Prof. Dr. Muhammad Noor, peneliti di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pembuatan kanal di lahan rawa gambut bertujuan sebaliknya. Kanal berfungsi sebagai sarana pengawetan (konservasi) air sehingga muka air tanah dapat diatur.
Contoh lain adalah pintu air di irigasi lahan kering berfungsi untuk mengatur pemberian air dari saluran ke areal tanam. Sebaliknya di lahan gambut pintu air justeru berperan untuk membendung air agar tidak keluar ke sungai. Prinsip sederhananya di lahan kering kekurangan air terjadi di areal tanam karena sumber air adalah sungai. Sementara di lahan rawa gambut, sumber air adalah areal tanam sedangkan sungai adalah saluran pembuangan. Di luar 2 contoh di atas, masih banyak teknologi spesifik lokasi lain yang dibutuhkan untuk membuka lahan gambut.
Tentu tanggung jawab para pemimpin korporasi tak hanya berhenti dengan hanya meminta maaf. Mereka wajib mengatasi kebakaran hutan, mencegah penyebaran, dan membayar kerugian materi dan nonmateri pada negara. Bila itu tidak dilakukan jangan salahkan warga Indonesia maupun warga dunia melakukan aksi boikot terhadap produk korporasi. Pengadilan rakyat pun bukan tak mungkin tak terhindarkan. Terakhir, jangan sampai sejarah mencatat korporasi perkebunan di Indonesia hadir sebagai pelaku genosida paling kejam di dunia. (Sumber: Radar)
Destika Cahyana, SP
Peneliti di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Kalimantan Selatan
Pendiri Yayasan Wahana Bumi Hijau (WBH), Sumatera Selatan
Pendiri Institut Agroekologi Indonesia, Jakarta
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Chiba, Jepang dengan kajian Remote Sensing.
Ketua Hubungan Pemerintah RI Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) wilayah Kanto, Jepang