Konservasi Laut Berbasis Masyarakat di Kepulauan Seribu

Wahana Bumi Hijau, BL – Sinyal positif menjadi bagian dari upaya konservasi berbasis masyarakat. Selain memastikan upaya perlindungan berbagai keanekaragaman hayati lebih efektif, hal itu juga terbukti mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat disekitar dan didalam kawasan.

Di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS), Jakarta, misalnya. Masyarakat diarahkan untuk mengembangkan berbagai kegiatan ekowisata seperti adopsi karang di bawah bimbingan Balai TNLKpS, unit pelaksana teknis di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dampaknya masyarakat memiliki alternatif mata pencaharian yang ramah lingkungan dan kesehatan terumbu karang bisa terjaga.

Harmoni kehidupan tersebut terpantau di sela Pelatihan Identifikasi Kesehatan Terumbu Karang yang diselenggarakan Ecodiver Journalist, 23-34 Mei 2015 yang lalu. Mahmudin (50 tahun), salah satu tokoh masyarakat di Pulau Pramuka, menuturkan kegiatan adopsi karang bermula pada awal tahun 2000-an. Saat itu salah satu mata pencaharian masyarakat adalah mengambil terumbu karang di alam dan menjualnya kepada pengepul sebagai pelengkap akuarium.

“Petugas memang selalu melarang, tapi mengambil terumbu karang adalah sumber pendapatan kami saat itu,” kata May, panggilan akrab Mahmudin.

Balai TNLKpS kemudian mencoba pendekatan baru. Masyarakat dilatih untuk melakukan penangkaran karang. Mereka diperbolehkan memperdagangkan karang hasil penangkaran dengan syarat merupakan keturunan kedua. Sementara indukannya dikembalikan ke lautan. “Sejak itu, kami berhenti mengambil karang,” kata May yang bersama rekan-rekannya kini mengelola kelompok Pondok Karang.

Belakangan, pola penangkaran karang hias itu juga menarik minat wisatawan untuk terlibat. Bedanya, terumbu karang hasil penangkaran yang dilakukan wisatawan tidak dijual, tapi sepenuhnya dikembalikan ke lautan. Pola ini, kata May, mendongkrak pendapatan masyarakat. Dampaknya sekarang, masyarakat kini lebih banyak melakukan penangkaran untuk dikembalikan ke alam ketimbang untuk tujuan perdagangan.

Kesadaran masyarakat untuk melestarikan terumbu karang pun makin menguat. Kini masyarakat menjalankan inisiatif perlindungan terumbu karang dengan mengelola Areal Perlindungan Laut (APL) seluas 16,5 hektare di sebelah Utara Pulau Pramuka.

Areal tersebut ditutup dari berbagai aktivitas seperti pemancingan ikan, maupun kegiatan wisata seperti snorkeling dan menyelam. Masyarakat juga memperkaya terumbu karang yang ada dengan berbaga jenis karang dari seluruh Indonesia. “Saat ini sudah ada 400 jenis karang,” kata May.

Inisiatif yang dilaksanakan sejak 2013 itu menunjukan gejala keberhasilan. Kemunculan jenis ikan yang sebelumnya sulit ditemui adalah bukti yang nyata. Menurut May, pada awal dikelola, pihaknya melepas sekitar 20 ekor ikan badut (clownfish) dari berbagai jenis di APL. Ikan yang terkenal karena berperan sebagai Nemo, dalam film animasi itu kemudian berkembang biak hingga sempat mencapai 400 ekor.

Masyarakat rela berkorban waktu dan biaya dalam mengelola APL. Sejauh ini tak ada pendapatan yang diperoleh masyarakat dari mengelola areal tersebut. Namun, mereka berencana untuk mengajukan izin pengelolaan pariwisata alam (IPPA) kepada Balai TNLKpS, tiga-empat tahun lagi setelah areal tersebut dinilai telah benar-benar pulih.

“Nanti hanya wisatawan dengan sertifikat tertentu yang sudah pasti tidak merusak karang yang boleh berkunjung ke APL,” ujar May.

Keinginan May dan rekan-rekannya mendapat dukungan. Kepala Seksi III Balai TNLKpS Untung Suripto mengungkapkan, APL berada pada zona pemanfaatan tradisional di TNLKpS yang memungkinkan untuk dikelola oleh masyarakat. “Areal tersebut bisa menjadi spot wisata premium bagi penyelam atau peminat snorkeling,” katanya.

Untung menjelaskan, kegiatan konservasi berbasis masyarakat memang menjadi agenda utama pengelolaan taman nasional satu-satunya di Ibukota Jakarta itu. Keberadaan masyarakat dan akses taman nasional yang terbuka di lautan membuat pelibatan masyarakat dalam upaya konservasi bukan lagi pilihan, tapi keharusan.

Pakar karang The Nature Conservancy (TNC) Rizya Ardiwijaya mengakui dampak positif sinergi masyarakat di TNLKpS. Rizya bersama sejumlah wartawan sempat melakukan penyelaman di dua titik, yaitu Sea Garden dan Panggang Timur. Menurut dia, ekosistem perairannya memang menghadapi banyak persoalan. “Namun secara umum terumbu karang di sini cukup baik, tak ditemukan adanya penyakit terutama di spot Panggang Timur,” pungkasnya. (Sugiharto Budiman/ Eco Diver Journalists) Sumber: Berita Lingkungan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*