Cegah Kerusakan Hutan dengan KLHS


Written by Administrator


Monday, 04 July 2011 16:46

Terkait dengan perubahan peruntukan kawasan hutan, yang merupakan bagian dari perencanaan tata ruang, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Demikian menurut Gusti Muhammad Hatta, sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam sambutannya saat dialog interaktif sebagai rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni dengan tema Hutan sebagai Penyangga Kehidupan di Jakarta (3/6).

Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

Hutan yang ada di wilayah Indonesia telah mendapatkan tekanan dari berbagai kegiatan, temasuk kegiatan pembangunan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin luasnya hutan yang mengalami perubahan fungsi maupun peruntukkan.

Menurut data dari Statistik Kehutanan tahun 2008, laju deforestasi 7 (tujuh) pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, serta Bali dan Nusa Tenggara pada periode tahun 2000-2005 rata-rata sebesar 1,09 juta hektar/tahun. Angka deforestasi hutan di dalam dan di luar kawasan hutan pada periode 2003-2006 sebesar 1.174.068,0 hektar/tahun. Sementara itu, perubahan fungsi kawasan hutan sampai dengan tahun 2008 mencapai 3.200.463,07 hektar.

Dengan alasan peningkatan pertumbuhan ekonomi, salah satu upaya yang seringkali dilakukan adalah perubahan fungsi hutan untuk kegiatan lain yang dinilai dapat memberikan pendapatan yang lebih besar, antara lain untuk kegiatan perkebunan, pertambangan, permukiman atau pariwisata. Kegiatan peningkatan perekonomian tersebut seringkali menimbulkan masalah perubahan fungsi lahan yang menabrak kawasan hutan terutama kawasan konservasi, tumpang tindih perizinan penggunaan lahan, atau dampak kerusakan lingkungan hidup.

Tentunya kita tidak bermaksud menghambat kegiatan pembangunan yang pada dasarnya dilakukan untuk mensejahterakan masyarakat, namun kita perlu saling mengingatkan, bahwa berdasarkan fungsinya, baik untuk tata air, keseimbangan ekosistem maupun pengendali perubahan iklim, hutan perlu kita lestarikan. Sehingga kita perlu mengupayakan, agar kegiatan pembangunan yang kita jalankan dapat selalu sinergi dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup, kata Gusti Muhammad Hatta.

Sony Keraf sebagai ahli lingkungan hidup dan mantan Menteri Lingkungan Hidup, mengatakan bahwa perangkat preventif diperlukan terhadap potensi dampak negatif yang dapat timbul sebagai konsekuensi dari pembangunan. Potensi dampak negatif dapat timbul tidak hanya dari kegiatan usaha, tetapi lebih jauh ke hulu, dapat timbul dari kebijakan, rencana atau program yang dikembangkan. Potensi dampak negatif itu harus dicegah sejak dari penyusunan kebijakan, rencana dan atau program.

Menurutnya, proses analisis KLHS dapat terintegrasi dalam proses analisis kegiatan penyusunan kebijakan itu sendiri. Sebagai bagian dari proses perbaikan kebijakan dan perencanaan, KLHS dilakukan oleh pembuat kebijakan itu sendiri, dengan melibatkan pemangku kepentingan.

Apabila hasil KLHS menunjukkan bahwa kebijakan, rencana dan atau program berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, maka kebijakan, rencana dan atau program tersebut wajib diperbaiki, tegasnya.

Dijelaskannya bahwa kebijakan perubahan peruntukan kawasan hutan merupakan suatu kebijakan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Fungsi hutan yang kompleks mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam ekonomi, sosial budaya, jasa lingkungan dengan menjaga sumber daya air, hayati, perubahan iklim dan sebagainya, dibandingkan dengan kegiatan lain seperti tambang yang hanya bernilai ekonomi saja.

Perencanaan dan penyusunan kebijakan KLHS ini penting untuk mencegah terjadinya tumpang tindihnya kebijakan yang seringkali terjadi selama ini. Menurut Hariadi Kartodihardjo sebagai ahli kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), sekitar 60 persen kesalahan dalam pengelolaan sumber daya hutan karena kebijakan bukan ulah perusahaan. Sehingga yang bisa dilakukan yaitu harmonisasi Undang-Undang Tata Ruang, Kehutanan dan Perda, penyelesaian administrasi legalitas pemanfaatan lahan dan hutan serta klasifikasi data yang ada.

Sumber: Berita:Bumi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*