Written by Administrator
Sunday, 20 November 2011 14:02
JAKARTA, – Survei Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) menunjukkan fakta bahwa konflik kehutanan semakin mencemaskan. Tercatat ada 69 konflik yang dijumpai di 10 provinsi, meliputi Riau, Sumatera Barat, Jambi, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.
“Yang menyesakkan, masyarakat selalu berada dalam posisi termarjinal atau terpinggirkan dalam setiap konflik kehutanan. “
Konflik tersebut terjadi di wilayah seluas 843.879 hektar atau sekitar lima kali luas daratan Provinsi DKI Jakarta. Jumlah itu dipercaya masih bisa bertambah bila mengikutsertakan wilayah lain, misalnya Papua.
Koordinator Eksekutif Huma, Andiko, mengatakan bahwa konflik kehutanan mayoritas terjadi antara Kementerian Kehutanan, Perhutani dan Taman Nasional dengan masyarakat lokal. Perhutani tercatat sebagai biang utama konflik, dengan prosentase konflik dengan masyarakat sebesar 41% dan masyarakat adat 3%. Sementara itu, konflik antara masyarakat dan Taman Nasional sebesar 10%.
“Yang menyesakkan, masyarakat selalu berada dalam posisi termarjinal atau terpinggirkan dalam setiap konflik kehutanan,” kata Andiko dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/11/2011).
Contoh nyata adalah konflik antara masyarakat Battang Barat, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, ketika wilayah yang telah didiaminya itu ditetapkan sebagai hutan lindung.
“Masyarakat dijebloskan ke penjara, padahal secara historis mereka menempati hutan lindung jauh sebelum kawasan itu ditetapkan,” jelas Sainal Abidin, Direktur Eksekutif Wallacea, Palopo.
Berdasarkan tata batas yang ditetapkan di Taman Wisata Alam Ba’Tang di wilayah itu, masyarakat dianggap menduduki wilayah yang hanya diperuntukkan bagi konservasi.
Kussarianto dari Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan dan Nia Ramadhaniaty dari Rimbawan Muda Indonesia Bogor menyatakan, penyebab konflik-konflik tersebut adalah tumpang tindihnya kebijakan dan tak adanya pelibatan masyarakat di dalam pembuatan kebijakan itu. Kussarianto mengatakan, salah satunya adalah tumpang tindih kebijakan perizinan.
Di Kalimantan Tengah, izin perkebunan bisa berada di kawasan hutan yang telah ada pemanfaatan kayu atau pun tambangnya. Ada sekitar 316 unit perusahaan perkebunan yang beroperasi dengan luas area mencapai 3,75 juta hektar di kawasan itu.
“Sedangkan konsesi tambang ada sekitar 669 di seluruh provinsi dengan luas area 2,74 juta hektar,” katanya.
Sementara menurut Nia, masyarakat juga tidak dilibatkan pada kasus perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berdasarkan SK MenHut No 175/2003. Dia mengungkapkan, masyarakat lokal memang sempat dikumpulkan untuk membahas zonasi. Namun, soal zonasi sama sekali tak disentuh dan akhirnya daftar hadir justru dipakai sebagai legitimasi seolah mereka setuju.
“Yang terjadi di masyarakat itu, mereka (pihak taman nasional) melakukan pemalsuan tanda tangan, seolah mereka menyetujui adanya konsultasi publik itu,” jelas Nia.
Atas permasalahan yang terjadi, Huma merekomendasikan adanya perbaikan pada tumpang tindih perizinan dan kebijakan. Selain itu, perlu upaya resolusi konflik yang lebih menyeluruh.
Andiko dan Itan juga menyerukan perlunya pelibatan masyarakat lokal dan adat dalam penyelesaian konflik maupun kebijakan perizinan. Selama ini, perhatian pada masyarakat adat sangat kurang, bahkan tak lebih diperhatikan daripada orang utan.
Sumber: Kompas.Com