Butuh 700 Tahun Serap Kembali Emisi


Written by Administrator


Thursday, 29 September 2011 13:39

Pembakaran hutan dan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit yang terus berlangsung akan menyulitkan Indonesia menurunkan jumlah emisi karbonnya. Emisi karbon yang diserap tanaman sawit tidak akan pernah sebanding dengan emisi karbon yang dilepaskan dari pembakaran hutan dan lahan gambut.

Butuh 600 tahun-700 tahun bagi tanaman sawit untuk menyerap kembali emisi yang dihasilkan dari pembakaran gambut sebelum sawit itu ditanam, ujar peneliti senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (Center for International Forestry Research) yang juga Guru Besar Ilmu Atmosfer, Institut Pertanian Bogor, Daniel Murdiyarso, di Jakarta, Senin (5/9).

Sawit harus diremajakan setiap 20 tahun-25 tahun sekali. Karena itu, sawit tidak pernah menjadi sumber biomassa yang permanen.

Pembakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia selama 1997-2006 telah menghasilkan 1,2 miliar-1,4 miliar ton karbondioksida ke atmosfer setiap tahun. Sementara data Institut Sumber Daya Dunia (World Resources Institute) pada 2005 menyebutkan, emisi gas karbondioksida Indonesia mencapai 2 miliar ton.

Hal ini berarti sebagian besar emisi gas karbon Indonesia dihasilkan dari pembakaran hutan dan lahan gambut. Kondisi itu wajar karena jumlah emisi karbon dari pembakaran hutan dan lahan gambut mencapai 10 kali lebih banyak dibandingkan pembakaran di lahan biasa.

Lahan gambut terbentuk dari tumpukan bahan organik, dari sisa kayu hingga serasah daun yang tertimbun ratusan hingga ribuan tahun sehingga kandungan karbonnya tinggi, ujarnya.

Lahan gambut paling dilirik untuk dijadikan areal perkebunan sawit karena potensi konfliknya rendah sebab banyak lahan gambut tidak jelas status hukumnya dan hanya sedikit warga yang tinggal di sekitarnya. Selain itu, lahan gambut umumnya masih memiliki banyak tanaman sehingga hanya dengan menebang hutan, pengusaha sudah untung.

Fahmuddin Agus dan IG Made Subiksa dalam buku Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan (2006) menyebutkan, selain dari pembakaran hutan dan lahan, emisi juga berasal dari pembuatan drainase lahan gambut untuk pertanian, perkebunan, dan permukiman. Semakin dalam drainase yang dibuat, semakin tinggi emisi yang dihasilkan. Emisi ini berasal dari proses dekomposisi atau penguraian gambut oleh mikroorganisme.

Daniel meminta alih fungsi lahan gambut untuk perkebunan sawit dihentikan. Masih banyak lahan non-gambut telantar yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan sawit. Selain bisa menekan jumlah emisi karbon, lahan telantar bisa dioptimalkan.

Langkah terbaik menekan emisi karbon adalah membiarkan hutan dan lahan gambut apa adanya, ujarnya.

Sumber: Kompas.Com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*