Written by Administrator
Thursday, 27 October 2011 10:26
Habitat satwa langka kembali terbentuk di bekas lahan kritis seluas 349,54 hektare di Kecamatan Paliyan, Gunungkidul Yogyakarta yang merupakan sederetan pegunungan Karst Gunung Sewu. Rehabilitasi hutan selama lima tahun terakhir berhasil mengubah lahan kritis tersebut menjadi habitat monyet ekor panjang dan 40 jenis burung langka.
Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Muhamad Na’im mengatakan bahwa rehabilitasi hasil kerja sama Pemprov DIY, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Mitsui Sumitomo Insurance membuahkan hasil. Sejak rehabilitasi dilakukan, lahan kritis menjadi hijau dan mengundang monyet ekor panjang untuk menempati kawasan tersebut.
Sebanyak 40 jenis burung langka yang sebelumnya hilang akibat kerusakan lingkungan dampak aktivitas perladangan oleh warga di kawasan karst Gunung Sewu juga datang kembali. Sementara itu, program rehabilitasi dilakukan dengan penanaman pohon sebanyak 324.773 batang yang meliputi 30 jenis pohon. Di antaranya, jambu mete, ketapang, pace, sawo dan sonokeling.
Menurut Muhamad, dampak positif rehabilitasi tak sebatas mengembalikan habitat satwa, namun juga mengembalikan fungsi hutan sebagai sumber mata air atau hidrologis. Atas keberhasilan program rehabilitasi ini, Direktur Mitsui Sumitomo Insurance, Hitoshi Ichihara menyatakan, pada lima tahun ke depan, program akan lebih difokuskan pada pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan margasatwa. Salah satu caranya adalah dengan penerapan pengetahuan dan kemampuan bertani guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi.
Pemberdayaan dan pendidikan pada warga juga akan dilakukan agar warga tak melakukan perusakan hutan yang dapat mengganggu ekosistem. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan, Darori menambahkan, kawasan suaka margasatwa pegunungan Sewu adalah laboratorium alam. Oleh karenanya, banyak spesies yang harus dilindungi. Lahan tersebut, lanjutnya, tak cocok untuk lahan pertanian melainkan ekowisata flora dan fauna.
“Kawasan karst perlu dilindungi karena ikut berfungsi menyeimbangkan siklus karbon,” tambahnya.(National Geographic Indonesia/Olivia Lewi Pramesti)