Nelayan Langkat Ingin Kembalikan Hutan Mangrove


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 14:28

JAKARTA, WBHNEWS – Keberadaan Perkebunan kelapa sawit yang menggunakan lahan pada ekosistem mangrove di Kabupaten Langkat Sumatera Utara, menyebabkan kesejahteraan Nelayan terganggu. Konversi hutan mangrove membuat hasil tangkapan berkurang dan menimbulkan intrusi laut ke rumah-rumah warga.

Presidium Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Region Sumatera, Tajruddin Hasibuan, Selasa (8/11/2011) dihubungi dari Jakarta, mengatakan ekosistem mangrove merupakan tempat bertelur dan membesarkan biota-biota Laut komersial seperti kepiting, udang, dan ikan. Namun ironisnya, ekosistem ini banyak dikonversi menjadi areal Kebun kelapa sawit.

“Nelayan yang menggantungkan Hidup pada hasil laut, sangat terganggu penghidupannya,” ucap Tajruddin. Di Sumatera, konversi mangrove menjadi sawit banyak terjadi di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Di Langkat, ujarnya, sedikitnya 20.000 hektar Hutan mangrove sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Meski sejak tahun 2000 telah diprotes warga, Perkebunan itu terus berlangsung. Namun, kesabaran warga telah habis.

“Besok, hari Rabu ini, ribuan warga di Lubuk Kertang Kecamatan Berandan Barat Langkat, akan mengadakan aksi untuk mengembalikan fungsi lahan sawit yang seharusnya adalah ekosistem mangrove,” ucapnya.

Dari sisi yuridis, ucapnya, warga merasa yakin karena lahan ekosistem itu dilindungi secara hukum, tetapi dikonversi menjadi Kebun sawit.

“Kawasan itu sudah jelas teregister dan tercatat di Kementerian Kehutanan sebagai daerah yang tidak boleh dikonversi atau diubah menjadi bentuk apa pun,” ucap Tajruddin.

Sumber : Kompas.Com

Lima Hutan Rakyat Terima Sertifikat Legalitas Kayu


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 14:25

LAMPUNG TENGAH, WBHNEWS Lima kelompok usaha kelola hutan masyarakat mendapat sertifikat legalitas kayu. Kelima kelompok tersebut adalah Koperasi Comlog Giri Mukti Wana Tirta (Pekandangan-Lampung Tengah), Koperasi Wana Manunggal Lestari (Gunung Kidul-DIY), Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat Wonosobo (Wonosobo-Jawa Tengah), Gapoktanhut Jati Mustika (Blora-Jawa Tengah), dan Koperasi Hutan Jaya Lestari (Konawe Selatan-Sulawesi Tenggara).

“Keberhasilan lima kelompok usaha masyarakat ini merupakan bukti bahwa sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dapat diterapkan sebagai penjaminan yang kredibel bagi usaha ekonomi skala kecil dan menengah perkayuan yang dikelola masyarakat secara berkelompok atau group certification. Pembiayaannya pun menjadi lebih terjangkau,” ujar Diah Raharjo, Direktur Program Multistakeholder Forestry Program, dalam pernyataan yang diterima Kompas.com, Jumat (11/11/2011). Diah menambahkan, sertifikasi ini otomatis akan memperkuat manajemen pengelolaan hutan skala masyarakat, baik yang didukung oleh LSM pendamping maupun pemerintah daerah.

Pada saat yang sama, Menteri Kehutanan meluncurkan logo kayu legal yang dinamai tanda V-Legal. MS Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, mengatakan, dengan adanya logo ini, legalitas pemanfaatan kayu asal hutan Indonesia pasti terjamin sehingga mendukung pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya.

“Setiap logo disertai nomor kode verifikasi sehingga kayu atau produk kayu dapat ditelusuri balik asal muasalnya, baik dari areal hutan maupun lahan milik yang sah ataupun yang dikelola secara lestari,” imbuh Sembiring.

Dengan penyerahan lima sertifikat bagi kelompok usaha hutan rakyat, saat ini sudah ada 59 sertifikat untuk pengelolaan hutan dan 136 sertifikat untuk industri kayu. Total luas hutan kelola masyarakat yang mendapat sertifikat adalah 3.100 hektar, tersebar di 41 desa di Indonesia, dan berdampak langsung pada 6.024 anggota kelompoknya. Harapan ke depan, penerapan SVLK di hutan masyarakat dapat memaksimalkan manfaat pengelolaan hutan melalui skema REDD+.

Sumber : Kompas.Com

Enam Tim Penghalau Gajah Liar Disiapkan


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 14:19

PEKANBARU, WBHNEWS Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Riau atau BBKSDA Riau menyiapkan tim pengusir gajah liar (flying squad) untuk mengantisipasi gejolak konflik antara gajah dan manusia yang tinggal di sekitar hutan.

Kepala BBKSDA Riau Kurnia Rauf, Selasa (15/11/2011) di Pekanbaru, mengatakan, ada sekitar enam flying squad yang telah dibentuk untuk mengusir gajah liar tersebut.

“Enam tim tersebut tersebar di sejumlah wilayah rawan konflik yang ada di Provinsi Riau. Salah satunya di Kabupaten Bengkalis, tepatnya di dua kecamatan, yakni Mandau dan Pinggir,” katanya.

Tim pengendali gajah tersebut, menurut Kurnia, sebelumnya dibentuk berdasarkan kesempatan dan kesepahaman di internal BBKSDA Riau dan BKSDA Pusat. Tim ini akan difokuskan untuk menghalau gajah-gajah liar agar tidak merusak perkebunan dan rumah warga yang berada di wilayah rawan konflik.

Saat ini flying squad juga telah siap melakukan penghalauan gajah liar yang mengamuk di sejumlah wilayah Riau. Tim diharapkan dapat bekerja semaksimal mungkin hingga mampu meminimalkan angka konflik gajah dengan manusia.

“Intinya, dan yang paling penting, begitu terjadi konflik, sebaiknya masyarakat segera memberikan laporan ke BBKSDA. Setelah itu, baru akan dilakukan pemantauan lapangan dan tim flying squad akan segera diterjunkan,” ujar Kurnia.

Belum lama ini sekumpulan gajah liar sempat mengamuk dan merusak puluhan hektar perkebunan dan merobohkan sebuah rumah di Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Kawanan gajah liar tersebut sudah mulai bermunculan sejak lima hari terakhir.

Warga setempat menyatakan, sejauh ini belum ada antisipasi dari pihak terkait, meski sebenarnya warga telah melaporkannya secara lisan ke BBKSDA dan pemerintah setempat.

Gajah-gajah itu paling sering keluar pada sore dan malam hari. Akibatnya, banyak warga yang mengaku khawatir menjadi korbannya.

Gajah sumatera liar masuk ke perkebunan milik warga

BKSDA Monitor Lokasi Bulus Raksasa Menampakkan Diri


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 14:10

JAKARTA, WBHNEWS Penemuan bulus raksasa (Chitra chitra javanensis), yang diketahui merupakan hewan terancam punah berdasarkan daftar merah International Union for Conservation of Nature dan dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 pada Jumat (11/11/2011), tak cuma membuat geger, tetapi juga menimbulkan pertanyaan. Apakah Sungai Ciliwung merupakan habitat bulus raksasa itu?

Pakar herpetologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mumpuni, dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (15/11/2011), mengatakan, bulus raksasa itu pernah ditemukan di Sungai Ciliwung tahun 1980-an. Tepatnya, bulus raksasa itu ditemukan di wilayah Radio Dalam dan Tanjung Priok.

Namun, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Ahmad Saerozi saat dihubungi, Rabu (16/11/2011), mempertanyakan hal tersebut. Ia mengatakan, BKSDA sejauh ini belum pernah menemukan satwa tersebut. Ia mengungkapkan, ada kemungkinan bahwa bulus raksasa itu adalah lepasan dari piaraan warga.

Untuk menyelidiki hal tersebut, tim BKSDA kemarin mendatangi lokasi penemuan bulus raksasa itu. Ketika bertemu Haji Bombayyang menampung bulus raksasatim BKSDA menemukan fakta bahwa bulus raksasa tidak ada karena sudah dilepaskan pada Rabu dini hari. Namun, tim berhasil mengorek beberapa informasi dari warga.

“Dari keterangan Haji Bombay, bulus raksasa itu sering dijumpai warga. Biasanya warga menemukan bulus itu di aliran sungai yang kedalamannya sekitar 10 meter. Bulus itu menyembulkan kepalanya,” kata Budi Mulyanto, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA DKI Jakarta, saat dihubungi, Kamis (17/11/2011).

Ada empat lokasi di mana bulus raksasa itu sering ditemui. Keempat lokasi itu adalah Kudung Babi, Kedung Raden, Kedung Wuni, dan Kedung Kuda, yang semuanya berada di wilayah aliran Sungai Ciliwung. Pelepasan bulus dilakukan di Kedung Wuni, berada di dekat tempat latihan Kopassus yang juga berdekatan dengan Tanjung Barat.

“Saat ini kami sudah kerahkan tim untuk melakukan monitor di lokasi-lokasi tersebut,” kata Budi. Monitoring meliputi observasi jika bulus tersebut muncul ke permukaan maupun menjaring informasi dari warga sekitar tentang penampakan bulus itu. Menurut Budi, jika Sungai Ciliwung menjadi habitat satwa itu, pasti bulus tersebut pasti akan sering dijumpai.

Hasil monitoring akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan langkah selanjutnya. Bila Ciliwung merupakan habitat bulus raksasa langka itu, langkah konservasi tentu harus dilakukan. Penyelesaian masalah Ciliwung tidak hanya akan mencakup masalah tumpukan sampah, tetapi juga keanekaragaman hayati di dalamnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, mayoritas ikan, udang, kepiting, dan moluska Ciliwung telah punah. Kepunahan ikan mencapai 92 persen dari total biota yang ada berdasarkan riset tahun 2009 oleh LIPI dengan membandingkan koleksi biota di Museum Biologi Bogor. Kepunahan bulus raksasa ini harus dicegah.

Sumber: Kompas.Com

Perhutani, Biang Utama Konflik Kehutanan


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 14:02

JAKARTA, – Survei Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) menunjukkan fakta bahwa konflik kehutanan semakin mencemaskan. Tercatat ada 69 konflik yang dijumpai di 10 provinsi, meliputi Riau, Sumatera Barat, Jambi, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

“Yang menyesakkan, masyarakat selalu berada dalam posisi termarjinal atau terpinggirkan dalam setiap konflik kehutanan. “

Konflik tersebut terjadi di wilayah seluas 843.879 hektar atau sekitar lima kali luas daratan Provinsi DKI Jakarta. Jumlah itu dipercaya masih bisa bertambah bila mengikutsertakan wilayah lain, misalnya Papua.

Koordinator Eksekutif Huma, Andiko, mengatakan bahwa konflik kehutanan mayoritas terjadi antara Kementerian Kehutanan, Perhutani dan Taman Nasional dengan masyarakat lokal. Perhutani tercatat sebagai biang utama konflik, dengan prosentase konflik dengan masyarakat sebesar 41% dan masyarakat adat 3%. Sementara itu, konflik antara masyarakat dan Taman Nasional sebesar 10%.

“Yang menyesakkan, masyarakat selalu berada dalam posisi termarjinal atau terpinggirkan dalam setiap konflik kehutanan,” kata Andiko dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/11/2011).

Contoh nyata adalah konflik antara masyarakat Battang Barat, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, ketika wilayah yang telah didiaminya itu ditetapkan sebagai hutan lindung.

“Masyarakat dijebloskan ke penjara, padahal secara historis mereka menempati hutan lindung jauh sebelum kawasan itu ditetapkan,” jelas Sainal Abidin, Direktur Eksekutif Wallacea, Palopo.

Berdasarkan tata batas yang ditetapkan di Taman Wisata Alam Ba’Tang di wilayah itu, masyarakat dianggap menduduki wilayah yang hanya diperuntukkan bagi konservasi.

Kussarianto dari Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan dan Nia Ramadhaniaty dari Rimbawan Muda Indonesia Bogor menyatakan, penyebab konflik-konflik tersebut adalah tumpang tindihnya kebijakan dan tak adanya pelibatan masyarakat di dalam pembuatan kebijakan itu. Kussarianto mengatakan, salah satunya adalah tumpang tindih kebijakan perizinan.

Di Kalimantan Tengah, izin perkebunan bisa berada di kawasan hutan yang telah ada pemanfaatan kayu atau pun tambangnya. Ada sekitar 316 unit perusahaan perkebunan yang beroperasi dengan luas area mencapai 3,75 juta hektar di kawasan itu.

“Sedangkan konsesi tambang ada sekitar 669 di seluruh provinsi dengan luas area 2,74 juta hektar,” katanya.

Sementara menurut Nia, masyarakat juga tidak dilibatkan pada kasus perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berdasarkan SK MenHut No 175/2003. Dia mengungkapkan, masyarakat lokal memang sempat dikumpulkan untuk membahas zonasi. Namun, soal zonasi sama sekali tak disentuh dan akhirnya daftar hadir justru dipakai sebagai legitimasi seolah mereka setuju.

“Yang terjadi di masyarakat itu, mereka (pihak taman nasional) melakukan pemalsuan tanda tangan, seolah mereka menyetujui adanya konsultasi publik itu,” jelas Nia.

Atas permasalahan yang terjadi, Huma merekomendasikan adanya perbaikan pada tumpang tindih perizinan dan kebijakan. Selain itu, perlu upaya resolusi konflik yang lebih menyeluruh.

Andiko dan Itan juga menyerukan perlunya pelibatan masyarakat lokal dan adat dalam penyelesaian konflik maupun kebijakan perizinan. Selama ini, perhatian pada masyarakat adat sangat kurang, bahkan tak lebih diperhatikan daripada orang utan.

Sumber: Kompas.Com

Konflik Tanah Capai 1.753 Kasus


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 13:56

BENGKULU – Konflik tanah yang bersifat struktural dan melibatkan penyalahgunaan negara di Tanah Air mencapai 1.753 kasus. Dalam konflik ini, masyarakat kecil selalu menjadi korban.Demikian dikatakan Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Usep Setiawan, saat pembukaan Kongres Serikat Petani Bengkulu (Stab), Minggu (20/11/2011), di Bengkulu. Usep mengatakan, konflik tanah di mana-mana yang kerap mengorbankan rakyat kecil merupakan gambaran umum pertanahan kita. “Politik pertanahan kita yang belum berpihak kepada rakyat kecil adalah akar masalah mengapa konflik tanah tetap tinggi,” ujar USep.

Karena itulah, konflik tanah tersebut, kata Usep, menjadi salah satu agenda strategis BPN Pusat selain empat agenda strategis lainnya, yakni pembaruan agrarian, penertiban dan pendayagunaan lahan telantar, legalisasi aset, dan pengembangan kantor pelayanan bergerak. Menurut Usep, keberhasilan penanganan konflik tanah dan reformasi agraria belum berjalan baik. Diperlukan partisipasi aktif organisasi tani agar penyelesaian konflik tanah yang melibatkan masyarakat, negara, dan pihak swasta bisa berjallan dengan baik.

Sumber: Kompas.Com

Bekas Lahan Kritis Jadi Habitat Satwa Langka


Written by Administrator


Thursday, 27 October 2011 10:26

Habitat satwa langka kembali terbentuk di bekas lahan kritis seluas 349,54 hektare di Kecamatan Paliyan, Gunungkidul Yogyakarta yang merupakan sederetan pegunungan Karst Gunung Sewu. Rehabilitasi hutan selama lima tahun terakhir berhasil mengubah lahan kritis tersebut menjadi habitat monyet ekor panjang dan 40 jenis burung langka.

Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Muhamad Na’im mengatakan bahwa rehabilitasi hasil kerja sama Pemprov DIY, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Mitsui Sumitomo Insurance membuahkan hasil. Sejak rehabilitasi dilakukan, lahan kritis menjadi hijau dan mengundang monyet ekor panjang untuk menempati kawasan tersebut.

Sebanyak 40 jenis burung langka yang sebelumnya hilang akibat kerusakan lingkungan dampak aktivitas perladangan oleh warga di kawasan karst Gunung Sewu juga datang kembali. Sementara itu, program rehabilitasi dilakukan dengan penanaman pohon sebanyak 324.773 batang yang meliputi 30 jenis pohon. Di antaranya, jambu mete, ketapang, pace, sawo dan sonokeling.

Menurut Muhamad, dampak positif rehabilitasi tak sebatas mengembalikan habitat satwa, namun juga mengembalikan fungsi hutan sebagai sumber mata air atau hidrologis. Atas keberhasilan program rehabilitasi ini, Direktur Mitsui Sumitomo Insurance, Hitoshi Ichihara menyatakan, pada lima tahun ke depan, program akan lebih difokuskan pada pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan margasatwa. Salah satu caranya adalah dengan penerapan pengetahuan dan kemampuan bertani guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi.

Pemberdayaan dan pendidikan pada warga juga akan dilakukan agar warga tak melakukan perusakan hutan yang dapat mengganggu ekosistem. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan, Darori menambahkan, kawasan suaka margasatwa pegunungan Sewu adalah laboratorium alam. Oleh karenanya, banyak spesies yang harus dilindungi. Lahan tersebut, lanjutnya, tak cocok untuk lahan pertanian melainkan ekowisata flora dan fauna.

“Kawasan karst perlu dilindungi karena ikut berfungsi menyeimbangkan siklus karbon,” tambahnya.(National Geographic Indonesia/Olivia Lewi Pramesti)

Butuh 700 Tahun Serap Kembali Emisi


Written by Administrator


Thursday, 29 September 2011 13:39

Pembakaran hutan dan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit yang terus berlangsung akan menyulitkan Indonesia menurunkan jumlah emisi karbonnya. Emisi karbon yang diserap tanaman sawit tidak akan pernah sebanding dengan emisi karbon yang dilepaskan dari pembakaran hutan dan lahan gambut.

Butuh 600 tahun-700 tahun bagi tanaman sawit untuk menyerap kembali emisi yang dihasilkan dari pembakaran gambut sebelum sawit itu ditanam, ujar peneliti senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (Center for International Forestry Research) yang juga Guru Besar Ilmu Atmosfer, Institut Pertanian Bogor, Daniel Murdiyarso, di Jakarta, Senin (5/9).

Sawit harus diremajakan setiap 20 tahun-25 tahun sekali. Karena itu, sawit tidak pernah menjadi sumber biomassa yang permanen.

Pembakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia selama 1997-2006 telah menghasilkan 1,2 miliar-1,4 miliar ton karbondioksida ke atmosfer setiap tahun. Sementara data Institut Sumber Daya Dunia (World Resources Institute) pada 2005 menyebutkan, emisi gas karbondioksida Indonesia mencapai 2 miliar ton.

Hal ini berarti sebagian besar emisi gas karbon Indonesia dihasilkan dari pembakaran hutan dan lahan gambut. Kondisi itu wajar karena jumlah emisi karbon dari pembakaran hutan dan lahan gambut mencapai 10 kali lebih banyak dibandingkan pembakaran di lahan biasa.

Lahan gambut terbentuk dari tumpukan bahan organik, dari sisa kayu hingga serasah daun yang tertimbun ratusan hingga ribuan tahun sehingga kandungan karbonnya tinggi, ujarnya.

Lahan gambut paling dilirik untuk dijadikan areal perkebunan sawit karena potensi konfliknya rendah sebab banyak lahan gambut tidak jelas status hukumnya dan hanya sedikit warga yang tinggal di sekitarnya. Selain itu, lahan gambut umumnya masih memiliki banyak tanaman sehingga hanya dengan menebang hutan, pengusaha sudah untung.

Fahmuddin Agus dan IG Made Subiksa dalam buku Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan (2006) menyebutkan, selain dari pembakaran hutan dan lahan, emisi juga berasal dari pembuatan drainase lahan gambut untuk pertanian, perkebunan, dan permukiman. Semakin dalam drainase yang dibuat, semakin tinggi emisi yang dihasilkan. Emisi ini berasal dari proses dekomposisi atau penguraian gambut oleh mikroorganisme.

Daniel meminta alih fungsi lahan gambut untuk perkebunan sawit dihentikan. Masih banyak lahan non-gambut telantar yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan sawit. Selain bisa menekan jumlah emisi karbon, lahan telantar bisa dioptimalkan.

Langkah terbaik menekan emisi karbon adalah membiarkan hutan dan lahan gambut apa adanya, ujarnya.

Sumber: Kompas.Com

Permenhut Sudah Dicabut


Written by Administrator


Thursday, 29 September 2011 13:34

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan,

Setelah mengundang reaksi keras dari para aktivis lingkungan, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan akhirnya mencabut Peraturan Menteri Kehutanan No.62/2011.

“Permenhut 62/2011 sudah dicabut kemarin (Senin),” ucap Zulkifli, Selasa (27/9/2011), seusai mendampingi Presiden Yudhoyono membuka Konferensi Internasional Forests Indonesia yang digelar Lembaga Riset Kehutanan Dunia CIFOR di Jakarta.

Seperti diberitakan, permenhut itu mengundang protes karena memasukkan kelapa sawit sebagi hutan. Hal ini membuka potensi pemutihan bagi izin-izin kelapa sawit yang bermasalah.

Ia menjelaskan, Permenhut setelah diterbitkan bisa saja dicabut jika tidak disetujui masyarakat. Dengan pencabutan itu, maka pengaturan akan dikembalilkan kepada Permenhut 614/1999.

Dikecam, Kelapa Sawit Jadi Tanaman Hutan

Jakarta – Greenpeace mengecam keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) yang mengakomodasi kelapa sawit sebagai bagian dari tanaman hutan. Ini berpotensi menambah kerusakan hutan gambut serta memperbanyak emisi karbon.

Kebijakan itu tercantum dalam Permenhut Nomor 62/Menhut/II/2011 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Berbagai Jenis pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK/HTI) yang dikeluarkan 25 Agustus 2011 dan diundangkan pada 6 September 2011.

Kami menganggap bahwa Kementerian Kehutanan berbohong dan tidak konsisten dalam komitmennya menjaga hutan Indonesia yang masih tersisa. Keluarnya Permenhut ini adalah wujud gagalnya pemerintah dalam melakukan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran ekspansi perkebunan sawit di kawasan hutan, ujar Bustar Maitar, juru kampanye hutan Greenpeace, Senin (19/9/2011), di Jakarta.

Menurut dia, dengan dimasukkannya sawit dalam kategori hutan, dikhawatirkan akan menyebabkan makin besarnya emisi dari perusakan hutan dan lahan gambut yang saat ini sudah sangat besar. Selain itu, juga membenarkan dibabatnya hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Ini jelas bertentangan dengan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menurunkan emisi Indonesia hingga 41 persen pada tahun 2020, ujar Bustar.

Konsumsi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan semakin meningkatnya penggunaan CPO untuk biofuel di pasar internasional telah mengakibatkan meluasnya penghancuran hutan dan gambut di Indonesia. Langkah Menteri Kehutanan ini akan memperparah kehancuran hutan alam Indonesia yang masih tersisa karena memberi peluang perkebunan berlindung di balik kategori hutan.

Sebagai informasi, Indonesia adalah negara dengan laju deforestasi tercepat di seluruh dunia sehingga menempatkannya sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia. Analisis Greenpeace telah mengidentifikasi ada sekitar 5,4 juta hektar kebun sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan dan gambut. Pada 18 Maret 2011 pemerintah juga telah mencabut izin prinsip pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang mencakup 182 perusahaan sawit di seluruh Indonesia karena ditengarai telah merambah kawasan hutan tanpa prosedur yang sah.

Menteri Zulkifli Hasan harus segera membatalkan Permenhut ini dan mulai fokus pada bagaimana melindungi hutan Indonesia yang masih tersisa, biodiversitas, serta masyarakat yang hidupnya bergantung kepada hutan. Jika diteruskan, kerusakan dahsyat hutan akan terus terjadi dan menteri akan bertanggung jawab atas gagalnya Indonesia memenuhi komitmen penurunan emisi yang telah dilontarkan Presiden, katanya.

Sumber: Kompas.com

Gempa Mukomuko Tak Pengaruhi Marapi


Written by Administrator


Thursday, 04 August 2011 11:32

WBHNEWS, Gempa 6 Skala Richter (SR) yang mengguncang Mukomuko, Bengkulu, Kamis (4/8/2011) tidak berdampak pada aktivitas Gunung Marapi, meskipun gempa itu dirasakan beberapa wilayah di Sumatera Barat.

Koordinator Pusat Pengendali Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) Sumatera Barat, Ade Edwar mengatakan tak ada pengaruh goncangan gempa tadi terhadap aktivitas Gunung Marapi.

“Hasil rekaman fisik kami, belum ada dampak terhadap gunung akibat gempa Bengkulu yang juga mengguncang beberapa kawasan di provinsi kita,” ujarnya.

Menurut data Badan Meteorologi Krimatologi dan Geofisika (BMKG), titik gempa berada di 2,88 Lintang Selatan dan 100,97 Bujur Timur, atau 37 kilometer barat daya Mukomuko, Bengkulu. Kedalaman episentrum ada di 28 kilometer. Gempa ini dinyatakan tidak berpotensi tsunami

Hingga pagi ini, kata Ade, status Gunung Marapi masih waspada,”Kita juga akan tetap siaga beberapa hari ke depan. Maka, warga kita imbau untuk tidak panik, karena kita sudah siapkan perencanaan-perencanaan, jika terjadi kemungkinan terburuk,” tegasnya.

Sumber: Kompas.Com


Newer news items:

Older news items: