Pelatihan Pemetaan Hutan Desa


Written by Administrator


Sunday, 25 December 2011 12:23

Kegiatan pelatihan dan pemetaan tata batas areal kerja hutan desa Muara Merang Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan telah dilaksanakan bertempat di dusun III (dusun Pancuran) desa Muara Merang. Tujuan kegiatan ini pada intinya adalah mempersiapkan masyarakat dalam melakukan pemetaan, dimana pada tahap pelatihan pemetaan yaitu memberikan pengetahuan teori dan teknis pemetaan kepada masyarakat, memperkenalkan sarana pendukung pemetaan seperti GPS, peta dasar, kompas dan lain-lain. Dan pada tahap pemetaan yaitu melibatkan peran serta masyarakat dalam proses pemetaan, mulai dari mencari dan mengambil titik batas areal kerja hutan desa, batas zona lindung, zona produksi, potensi hutan, areal gambut, lokasi perkebunan masyarakat, melakukan cross-check batas sepadan dengan desa tetangga, batas dengan konsesi perusahaan sampai dengan pemasangan rambu dan peringatan agar tidak melakukan perusakan didalam areal hutan desa.
Pelatihan pemetaan ini diikuti oleh 71 orang peserta yang terdiri dari Pemerintah Desa, perwakilan lembaga desa, tokoh masyarakat dan masyarakat dusun III (dusun Pancuran) desa Muara Merang dan untuk kegiatan pemetaan sendiri dilakukan oleh 29 orang dibagi dalam 3 kelompok kerja dengan tugas mematakan tiga wilayah administrasi RT, yaitu wilayah RT 05,06 dan 07. Kegiatan pelatihan dan pemetaan ini dibuka secara resmi oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis Kelompok Pengelola Hutan Produksi Lalan, Mangsang Mendis Kabuapaten Musi Banyuasin, kemudian dilanjutkan dengan proses fasilitasi pelatihan yang dipandu oleh Fasilitator dari Yayasan Wahana Bumi Hijau Sumsel.
Alur proses pelatihan dimulai dari Pembukaan, Pengantar Pelatihan, Penyampaian Materi teori dan Praktek seta Pembagian Kelompok Pemetaan lapangan. Pelajaran teori yang disampaikan meliputi : Pengenalan GPS, Konsep Pemetaan Partisipatif, Teknik Navigasi dengan Metode Kompas, Teknik Navigasi Menggunakan GPS, Teknik Pengukuran dan Pemetaan serta pembagian kelompk kerja pemetaan lapangan. Metode pelatihan adalah paparan, diskusi dan tanya jawab. Sedangkan metode pemetaan lapangan dilakukan kerja kelompok.
Kelompok kerja pemetaan dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, masing-masing kelompok beranggotakan 8 orang. Tugas masing-masing kelompok kerja adalah memetakan areal kerja hutan desa berdasarkan wilayah administrasi RT masing-masing, yaitu RT 05, 06 dan 07. Untuk membantuk kerja kelompok di lapangan, masing-masing kelompok dibantu oleh 2 orang fasilitator dari Yayasan Wahana Bumi Hijau. Hasil pemetaan yang dilakukan yaitu adanya peta tata batas wilayah areal kerja hutan desa Muara Merang, yang telah dipasang patok-patok sementara sebagai tanda batas wilayah, termasuk batas zonasi (zona perlindungan dan zona pemanfaatan), potensi hutan dan gambut serta batas sepadan dengan desa tetangga dan batas dengan konsesi perusahaan sekitar.

Operasi Ilegal Logging di Desa Muara Merang

Operasi Ilegal Logging di Desa Muara Merang – Sumatera Selatan


Written by Administrator


Sunday, 25 December 2011 12:06

Maraknya aktivitas penebangan liar (Illegal Logging) di hulu Sungai Merang yang juga merupakan Zona Perlindungan dari kawasan Hutan Desa Muara Merang, Lembaga Pengelola Hutan Desa Muara Merang dan Pemerintah Desa Muara Merang melakukan operasi Illegal Logging dilaksanakan pada tanggal 9-15 Maret 2010, melibatkan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin serta Yayasan Wahana Bumi Hijau. Tim operasi terdiri dari; Ir. H. Hidayat Nawawi, SP (Kepala UPTD-KPHP Lalan Mangsang Mendis), Lengkolan (Polhut Muba), Romi Trisna Cahyadi (Dishut Muba), H. Rusdi Senen (Kepala Desa Muara Merang), Saidi (Tokoh Masyarakat), Romli (Perangkat Desa), dan Paisal (WBH).

Sasaran Operasi
Berdasarkan hasil diskusi bersama dengan kepala desa dan perangkat desa Muara Merang, di buat rencana operasi dengan fokus pada wilayah hulu Sungai Merang, dimana mereka juga merasa di rugikan dengan adanya aktivitas ilegal logging karena wilayah tersebut berada di Zona lindung Hutan Desa. Sebagai gambaran bahwa desa Muara Merang telah memiliki izin mengelola hutan desa seluas 7.250 Ha dari Menteri Kehutanan Republik Indonesia berdasarkan SK Menhut No. 54/Menhut-II/2010 yang dikeluarkan pada tanggal 21 Januari 2010. Hutan Desa hak pengelolaannya diberikan kepada Desa selanjutnya Lembaga Desa yang mengelolah hutan tersebut atas nama desa sesuai dengan peraturan yang ada.

Dalam operasi ini semua barang bukti yang ditemukan baik dalam bentuk rakit maupun masih dalam bentuk tumpukan balok kayu pada setiap Parit dilokasi akan disita oleh KPHP-UPTD Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin sebagai pengelolah kawasan HP Lalan.

Rencana Tindak Lanjut
Kayu yang sudah disita akan di tarik dan dihitung jumlah kubikasi secara mendetil oleh petugas yang ditunjuk oleh dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin. Pengukuran kayu yang sudah ditemukan dilakukan untukan mengetahu jumlah barang bukti yang ditemukan selanjutnya akan diamankan agar barang bukti hasil temuan tersebut tidak hilang dicuri oleh pekerja yang masih berada dilokasi hutan desa.
Parit yang ada diseluruh kawasan Sungai Merang akan ditutup tidak boleh lagi bekerja di lokasi parit-parit tersebut. Akan ada pos penjagaan dan operasi rutin secara bersama dengan melibatkan aparat keamanan dan masyarakat desa Sungai Merang.

Untuk pelaku ilegal logging atau cukong-cukong kayu akan dilaporkan ke Polda sumsel, agar ditetapkan sebagai tersangka pelaku ilegal logging di kawasan HP lalan dan sekitarnya. Selanjutnya diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Kronologis Singkat Kasus Illegal Logging di Hutan Gambut Merang Sumatera Selatan

Sekilas tentang Illegal logging di Merang

Illegal logging di Kawasan Hutan Merang sudah berlangsung sejak tahun 2000, tepatnya ketika perusahaan HPH ( PT. Bumi Raya ) di kawasan ini berhenti beroperasi. Kemudian datanglah masyarakat dari Ogan Komering Ilir yang memang sudah terbiasa dengan kegiatan pembalakan di daerahnya. Kegiatan ini kemudian tidak pernah berhenti sampai dengan sekarang.

Kegiatan pembalakan liar ini dilakukan secara besar-besar dan berkelompok, dimana setiap kelompok terdiri dari 3-5 orang kelompok bisa mencapai Ratusan. Kemampuan menebang kayu dalam satu kelompok penebang dalam satu hari bisa mencapai 40 sampai 50 potong kayu yang panjangnya 4 5 meter. Penebangan tidak dilakukan sepanjang tahun, hanya pada bulan Oktober sampai Mei, atau tidak lebih dari 8 (delapan) bulan setiap tahunnya, dengan waktu efektif 6 (enam) bulan. Kelompok kelompok tersebut didukung oleh pemodal / cukong.

Kegiatan Pemberantasan Pembalakan liar. sudah beberapa kali dilakukan oleh pihak berwenang baik dari pihak kepolisan maupun dari pihak kehutanan Kabupaten Muba. Tetapi kegiatan pembalak liar juga terus berjalan hingga sekarang. Hingga akhir tahun 2010 Kita walhi dan anggotanya mendorong pihak pimpinan daerah melakukan tinjauan lapangan secara mendadak melalui udara.

Wahana Bumi Hijau yang telah sejak awal tahun 2000 melalui pendampingan di beberapa desa yang berbatasan dengan arel hutan gambut tersebut yang tujuannya untuk melakukan identifikasi dan melakukan pengembangan usaha peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat setempat melalui penyaluran dana bergulir untuk usaha micro finance di segala bidang usaha pertanian, perkebunan, peternakan dan kerajinan masyarakat lokal. Kegiatan tersebut dilakukan sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang tahun 2011 masih berjalan, dan kami akan melakukannya terus menerus sampai titik darah penghabisan guna upaya kemajuan msyarakat dan mendorong kelestaria hutan gambut di sumatera selatan ” tutur Aprilino, salah seorang pendamping masyarakat yang ditugaskan oleh Yayasan Wahana Bumi Hijau sebagai pendamping lapangan”

Namun bagaimanapun kegiatan pemberantasan illegal logging tidak semudah membalik telapak tangan, Kita juga telah melakukan kerjasama dengan pihak pihak terkait dalam upaya pelestarian hutan, baik dengan pihak pemerintah setempat sampai tingkat nasional, berikut kronologis singkat kasus ilegal logging di desa Muara Merang Kabupaten Musi Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan

  1. Survey udara bersama Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin. Hasilnya, gubernur menyatakan moratorium untuk Hutan Merang dan segera membentuk tim terpadu pemberantasan illegal logging.
  2. Berita dan photo llegal logging Merang menjadi headline di Harian Kompas.
  3. Tim terpadu pemberantasan illegal logging terbentuk, dengan komando operasional di Musi Banyuasin. Operasi tim terpadu menemukan 8000 batang kayu illegal di Sungai Merang dan Buring. Dan tertangkap 2 orang tersangka di tangkap dilapangan.
  4. Tim terpadu melakukan rapat koordinasi di kantor gubernur sumatera selatan. Untuk melakukan tindak tindakan kedepan dihadiri oleh Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten MUBA, Pihak Kepolisian, TNI dan Pihak Kementerian Kehutanan Jakarta.
  5. Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan menutup sementara seluruh sawmill di Muara Merang dan Kepayang karena diduga keras menampung kayu illegal dari Hutan Merang.dengan mengeluarkan Surat Kepala Dinas Kehutanan No. 522.504/6839-III/hut tentang Pembekuan Sementara Operasional 7 sawmill di sekitar Hutan Merang
  6. Dilakukan monitoring dengan temuan lapangan
  7. Pertemuan dengan Bupati Musi Banyuasin H. Pahri Azhari. Tujuan pertemuan ini adalah untuk mendorong Bupati Musi Banyuasin melakukan aksi nyata pemberantasan illegal logging di Hutan Merang. Bupati Musi Banyuasin SETUJU untuk memimpin operasi illegal logging di Merang. Namun sayangnya, hingga sekarang kegiatan operasi lapangan belum juga dilakukan.
  8. Press conference dengan LSM/NGO yang perduli terhadap Kasus illegal logging, dilakukan di Kantor LBH Sumatera Selatan dan atas dukungan lembaga terdiri dari LBH Palembang Yayasan Spora Serikat Hijau Indonesia Sumsel Wahana Bumi Hijau WALHI Sumsel Konsorsium Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan Sumsel Yayasan Kuala Merdeka.
  9. Dalam kegiatan tersebut. Mendesak aparat terkait untuk secara serius memberantas illegal logging, dan ini harus dipimpin oleh kepala pemerintahan di Propinsi dan Kabupaten. Terhadap temuan temuan lapangan diantaranya:
  • Beberapa aktivitas illegal logging berada dikawasan konsesi PT. Rimba Hutani Mas, yaitu kawasan yang dialokasikan untuk wilayah konservasi.
  • Modus pengeluaran kayu dari Hutan Merang diduga adalah dengan cara dipasang tulisan Sitahan Polda.
  • Surat Kepala Dinas Kehutanan No. 522.504/6839-III/hut tentang Pembekuan Sementara Operasional 7 sawmill di sekitar Hutan Merang tidak berjalan. SK ini bahkan cenderung tidak berarti sama sekali.
  • Mempertanyakan status perkembagan proses hukum terhadap 2 pelaku yang tertangkap tangan pada waktu operasi gabungan oleh Polda Sumsel dan Dinas Kehutanan pada Tanggal 10-16 Desember 2010.

Kronologis Singkat Kasus Illegal Logging di Hutan Gambut Merang – Sumatera Selatan


Written by Administrator


Saturday, 24 December 2011 15:14

Sekilas tentang Illegal logging di Merang

Illegal logging di Kawasan Hutan Merang sudah berlangsung sejak tahun 2000, tepatnya ketika perusahaan HPH ( PT. Bumi Raya ) di kawasan ini berhenti beroperasi. Kemudian datanglah masyarakat dari Ogan Komering Ilir yang memang sudah terbiasa dengan kegiatan pembalakan di daerahnya. Kegiatan ini kemudian tidak pernah berhenti sampai dengan sekarang.

Kegiatan pembalakan liar ini dilakukan secara besar-besar dan  berkelompok, dimana setiap kelompok terdiri dari 3-5 orang kelompok bisa mencapai Ratusan.  Kemampuan menebang kayu dalam satu kelompok penebang dalam satu hari bisa mencapai 40 sampai 50 potong kayu yang panjangnya 4 – 5 meter. Penebangan tidak dilakukan sepanjang tahun, hanya pada bulan Oktober sampai Mei, atau tidak lebih dari 8 (delapan) bulan setiap tahunnya, dengan waktu efektif 6 (enam) bulan. Kelompok kelompok tersebut didukung oleh pemodal / cukong.

Kegiatan Pemberantasan Pembalakan liar. sudah beberapa kali dilakukan oleh pihak berwenang baik dari pihak kepolisan maupun dari pihak kehutanan Kabupaten Muba. Tetapi kegiatan pembalak liar juga terus berjalan hingga sekarang. Hingga akhir tahun 2010 Kita walhi dan anggotanya mendorong pihak pimpinan daerah melakukan tinjauan lapangan secara mendadak melalui udara.

Wahana Bumi Hijau yang telah sejak awal tahun 2000 melalui pendampingan di beberapa desa yang berbatasan dengan arel hutan gambut tersebut yang tujuannya untuk melakukan identifikasi dan melakukan pengembangan usaha peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat setempat melalui penyaluran dana bergulir untuk usaha micro finance di segala bidang usaha pertanian, perkebunan, peternakan dan kerajinan masyarakat lokal. Kegiatan tersebut dilakukan sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang tahun 2011 masih berjalan, dan kami akan melakukannya terus menerus sampai titik darah penghabisan guna upaya kemajuan msyarakat dan mendorong kelestaria hutan gambut di sumatera selatan ” tutur Aprilino, salah seorang pendamping masyarakat yang ditugaskan oleh Yayasan Wahana Bumi Hijau sebagai pendamping lapangan”

Namun bagaimanapun kegiatan pemberantasan illegal logging tidak semudah membalik telapak tangan, Kita juga telah melakukan kerjasama dengan pihak pihak terkait dalam upaya pelestarian hutan, baik dengan pihak pemerintah setempat sampai tingkat nasional, berikut kronologis singkat kasus ilegal logging di desa Muara Merang Kabupaten Musi Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan

  1. Survey udara bersama Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin.  Hasilnya, gubernur menyatakan moratorium untuk Hutan Merang dan segera membentuk tim terpadu pemberantasan illegal logging.
  2. Berita dan photo llegal logging Merang menjadi headline di Harian Kompas.
  3. Tim terpadu pemberantasan illegal logging terbentuk, dengan komando operasional di Musi Banyuasin. Operasi tim terpadu menemukan 8000 batang kayu illegal di Sungai Merang dan Buring. Dan tertangkap 2 orang tersangka di tangkap dilapangan.
  4. Tim terpadu melakukan rapat koordinasi di kantor gubernur sumatera selatan. Untuk melakukan tindak –tindakan kedepan dihadiri oleh Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten MUBA, Pihak Kepolisian, TNI dan Pihak Kementerian Kehutanan Jakarta.
  5. Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan menutup sementara seluruh sawmill di Muara Merang dan Kepayang karena diduga keras menampung kayu illegal dari Hutan Merang.dengan mengeluarkan  Surat Kepala Dinas Kehutanan No. 522.504/6839-III/hut tentang Pembekuan Sementara Operasional 7 sawmill di sekitar Hutan Merang
  6. Dilakukan monitoring dengan temuan lapangan
  7. Pertemuan dengan Bupati Musi Banyuasin H. Pahri Azhari.  Tujuan pertemuan ini adalah untuk mendorong Bupati  Musi Banyuasin melakukan aksi nyata pemberantasan illegal logging di Hutan Merang. Bupati Musi Banyuasin SETUJU untuk memimpin operasi illegal logging di Merang. Namun sayangnya, hingga sekarang kegiatan operasi lapangan belum juga dilakukan.
  8. Press conference dengan LSM/NGO yang perduli  terhadap Kasus illegal logging,  dilakukan di Kantor LBH Sumatera Selatan dan atas dukungan lembaga terdiri dari LBH Palembang – Yayasan Spora – Serikat Hijau Indonesia Sumsel – Wahana Bumi Hijau – WALHI Sumsel – Konsorsium Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan Sumsel – Yayasan Kuala Merdeka.
  9. Dalam kegiatan tersebut. Mendesak aparat terkait untuk secara serius memberantas illegal logging, dan ini harus dipimpin oleh kepala pemerintahan di Propinsi dan Kabupaten. Terhadap temuan temuan lapangan  diantaranya:
  • Beberapa aktivitas illegal logging berada dikawasan konsesi PT. Rimba Hutani Mas, yaitu kawasan yang dialokasikan untuk wilayah konservasi.
  • Modus pengeluaran kayu dari Hutan Merang diduga adalah dengan cara dipasang tulisan “Sitahan Polda”.
  • Surat Kepala Dinas Kehutanan No. 522.504/6839-III/hut tentang Pembekuan Sementara Operasional 7 sawmill di sekitar Hutan Merang tidak berjalan. SK ini bahkan cenderung tidak berarti sama sekali.
  • Mempertanyakan status perkembagan proses hukum terhadap 2 pelaku yang tertangkap tangan pada waktu operasi gabungan oleh Polda Sumsel dan Dinas Kehutanan pada Tanggal 10-16 Desember 2010.

Rencana Pengelolaan Buaya Senyulong di Sungai Merang

Rencana Pengelolaan Buaya Senyulong di Sungai Merang – Sumatera Selatan


Written by Administrator


Saturday, 15 January 2011 07:00

Dinas Kehutanan MUBA

Sejak workshop tentang buaya senyulong tahun 2002 hingga terbentuknya tim koordinasi pengelolaan hutan rawa gambut merang kepayang yang di SK- kan oleh Bupati MUBA 2004 , belum ada tindak lanjut yang dilakukan oleh pihak Dinas Kehutanan MUBA. Menurut Try kalau memang ada rencana kedepan untuk mendiskusikan kembali dan membuat perencanaan pengelolaan yang lebih detil maka Dinas Kehutanan Muba siap berperan aktif.

v Bappeda MUBA (Kontak person Drs. Apriadi, M.si – Kepala Bappeda Kabupaten MUBA)

Pada prinsipnya Pihak Bappeda menyambut baik rencana WBH untuk kembali mendiskusikan dan membuat perencanaan jelas pengelolaan Buaya Senyulong. Menurut Apriadi, Rencana Tata Ruang Kabupaten Muba masih belum dibahas dan disahkan, karena menunggu RTRWP Sumsel yang akan direvisi. Jika kawasan lindung Buaya Senyulong tersebut sudah masuk dalam Tata Ruang Propinsi, maka secara otomatis Tata Ruang Kabupaten Muba akan mengacu terhadap Tata Ruang Propinsi. Tinggal ditingkat pendetailannya akan dimasukan di Tata Ruang Kabupaten. Selanjutnya kalau memang sudah ada masukan dari berbagai pihak dan ada rencana untuk mendiskusikan lebih terfokus, pihak Bappeda MUBA dan pihak terkait di kabupaten Muba siap untuk berperan.

v Bappeda Propinsi Sumatera Selatan (Kontak Person Ibu Regina dan Pak Joko)

Dalam diskusi dengan Pak Joko dan Ibu Regina, berdasakan RTRW Propinsi 2005-2019 yang sudah disahkan dalam Perda pada tahun 2006, kawasan Hutan Lindung Khusus Habitat Buaya Senyulong sudah masuk dengan luas 13.871 ha pada wilayah kabupaten MUBA. Sesuai dengan perkembangan akhir-akhir ini setelah keluarnya Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, maka RTRW Propinsi Sumatera Selatan harus di revisi dan disesuaikan dengan Tata Ruang Nasional, selanjutnya RTRW Kabupaten mengacu dengan RTRW Propinsi. Menurut informasi dari Pak Joko rencana revisi Tata Ruang Propinsi Sumatera Selatan akan dilaksanakan pada tahun 2010. Sebelum tata ruang tersebut di revisi, RTRW yang diperdakan pada tahun 2006 masih tetap berlaku. Pihak Bappeda Propinsi akan tetap berkomitmen pada perencanaan revisi tahun depan untuk tetap memasukan kawasan Hutan Lindung Khusus Habitat Buaya Senyulong kedalam RTRW Propinsi dan didorong pendetailan di RTRW Kabupaten Muba. Beberapa hal di RTRW Propinsi harus direvisi dan disesuaikan dengan UU tersebut.

v BKSD Sumatera Selatan (Kontak Person Pak Haidir)

Setelah workshop tahun 2002, kawasan Habitat Buaya Senyulong pernah diusulkan ke Departemen Kehutanan melalui surat oleh BKSDA Sumsel sebagai kawasan Ekosistem Esensial, sampai sekarang belum ada respon dan tindak lanjut dari pusat. Ekosistem esensial merupakan kawasan ekosistem penting tetapi tidak masuk dalam perlakukan khusus seperti TN, SM dll. Ekosistem esensial bisa saja berada di Hutan Produksi atau Hutan Lindung. Karena Kawasan di Sungai Merang merupakan Hutan Produksi maka kawasan ekosistem esensial sepertinya cocok untuk diusulkan ke departemen lewat dirjen PHKA. Sedangkan peluang lain jika sebagian kawasan tersebut sudah termasuk di wilayah konsesi HTI maka bisa saja kawasan tersebut diusulkan menjadi Kawasan Pelestarian Plasma Nulfa (KPPN) yang di kelola oleh perusahaan yang mempunyai izin konsesi di wilayah tersebut, dan dituangkan dalam RKT perusahaan tersebut. Untuk rencana kedepan bisa saja jika pihak pemerintah daerah Propinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Muba memasukan kawasan tersebut kedalam RTRWP dan RTRWK menjadi Hutan Lindung Khusus. Pihak pemerintah pusat melalui BKSDA mengusulkan kawasan tersebut menjadi kawasan ekosistem esensial, sehingga anggaran dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat bisa masuk pada kawasan tersebut. Selain program yang bersumber dari APBN dan APBD bisa dimasukan pada kawasan tersebut, pihak perusahaan-pun bisa mendukungnya dengan menjadikan kawasan tersebut menjadi Kawasan Pelestarian Plasma Nulfa (KPPN). Selanjutnya Pak Haidir siap mendikusikan lebih fokus untuk perencana pengelolaan kawasan Lindung Habitat Buaya Senyulong kedepan, terlebih adanya dukungan dari LSM yang fokus di daerah tersebut. (Deddy Permana)

Aktivitas Masyarakat di Sekitar Habitat Buaya Senyulong


Written by Administrator


Saturday, 15 January 2011 07:00

Sungai Merang merupakan sistem sungai kecil pada Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK), lokasinya berada didalam wilayah administrasi desa Muara Merang kecamatan Bayung Lencir kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Dari beberapa hasil survei yang dilaksanakan oleh  WMI dan BKSDA Sumsel tahun 1995-1996, diketahui bahwa di daerah sungai Merang ini terdapat habitat penting,

 

yaitu persarangan dan populasi Buaya Senyulong (Tomistoma schlegelii) yang secara internasional species ini dinyatakan sebagai species yang terancam kepunahannya dengan klasifikasi Genting atau Endangered species. Selain itu daerah ini juga merupakan habitat bagi pemijahan ikan, sumberdaya kayu dan perikanan air tawar serta menurut data terakhir kawsan ini merupakan suatu kawasan hutan rawa gambut relatif utuh yang tersisa di provinsi Sumatera Selatan serta suatu ekosistem yang rentan secara global (Bezuijen, dkk. 2002).

Pemanfaatan SDA di Sekitar Habitat Buaya Senyulong Oleh Masyarakat Lokal

Dari hasil observasi lapangan dan hasil wawancara dengan komunitas masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan, diketahui paling tidak ada tiga macam pemanfaatan sungai Merang oleh masyarakat sekitar, yaitu (1) pada bagian hulu, dominan dimanfaatkan oleh para penebang liar sebagai akses mengeluarkan hasil tebangan kayu yang mereka tarik melalui parit-parit buatan yang ada didalam hutan. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut, mereka keluarkan melalui parit/kanal yang telah mereka persiapkan sebelumnya menuju badan sungai Merang dan seterusnya ditarik sampai ke muara sungai, (2) pada bagian tengah, lebih dominan dimanfaatkan oleh Kelompok Nelayan Sinar Lestari yang memperoleh kuasa hak pengelolaan dari pemerintah desa Muara Merang untuk mencari ikan/bekarang dengan menggunakan alat tangkap tradisional. Kelompok nelayan berjumlah  + 10 KK dan mereka bermukim di pingir-pinggir sungai, (3) pada bagian hilir lebih banyak dimanfaatkan oleh para masyarakat dan karyawan lapangan perusahaan perkebunan, perusahaan HTI (PT. Rimba Hutani Mas) yang mempunyai areal konsesi disekitar kawasan. Bagi masyarakat dan para karyawan ini, keberadaan sungai Merang merupakan akses trasportasi dari dan menuju lokasi kerja. Khusus bagi perusahaan HTI yang saat ini sedang melakukan kegiatan land clearing (LC), keberadaan sungai Merang ini secara intensif digunakan untuk mengeluarkan kayu hasil land clearing (LC) menuju ke Pabrik Kertas milik Sinarmas Group yang ada di provinsi Jambi.

Ancaman yang Terjadi pada Habitat Buaya Senyulong Saat Ini

Secara umum terdapat tiga ancaman serius yang terjadi pada habitat buaya senyulong saat ini, yaitu  (1) terusiknya kondisi habitat oleh rutinitas angkutan dan mobilitas para penebang liar dari dan menuju lokasi penebangan kayu, (2) menurunnya kedalaman sungai akibat dari banyaknya pembuatan parit/kanal akses mengeluarkan kayu hasil tebangan, (3) pada saat musim kemarau sering terjadi kebakaran yang disebabkan oleh kelalaian penggunaan api para penabang liar.  Implikasi dari ketiga ancaman ini menyebabkan keberadaan populasi buaya senyulong saat ini diambang kepunahan.

Persepsi Masyarakat Terhadap Buaya Senyulong

Menurut para nelayan, keberadaan buaya senyulong merupakan suatu indikator dari keberadaan ikan disekitar, makin banyak buaya makin banyak ikan disekitar. Oleh karena itu para nelayan tidak memburu buaya, kemudian buaya senyulong tidak bernilai ekonomis. Sedangkan menurut para pencari kayu/pembalok, buaya senyulong adalah hewan yang biasa saja, hewan yang hidup di rawa gambut dan tidak ganas. Para pembalok tidak pernah memburu hewan ini karena tidak bernilai ekonomis. (masrun zawawi)

Informasi Singkat Proyek Perlindungan Buaya Senyulong


Written by Administrator


Saturday, 15 January 2011 07:00

Tentang proyek

Proyek ini berjudul Protection of the Senyulong crocodile habitat in the Merang-Kepayang Peat Swamp Forest (Perlindungan terhadap habitat buaya Senyulong di kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang). Secara umum proyek ini merupakan bagian dari proyek jangka panjang yang direncanakan oleh Wahana Bumi Hijau (WBH) Palembang dalam mengembangkan bentuk konservasi yang ideal bagi kelestarian Habitat Buaya Senyulong di Kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang.

Untuk saat ini, proyek ini mempunyai 3 tujuan utama yaitu :

1) Untuk mengumpulkan informasi tentang Habitat Buaya Senyulong seperti jumah populasinya, jumlah sebarannya, sarangnya dan ukuranya.

2). Untuk mengumpulkan informasi tentang sosial ekonomi sekitar kawasan, misalnya jumlah populasi penduduk yang tinggal disekitar habitat buaya Senyulong, kegiatan “kegiatan pemanfataan sumber daya alam yang berlangsung disekitar habitat Senyulong, dan bentuk-bentuk ancaman utama terhadap habitat buaya Senyulong. Dan

3), dari kedua informasi diatas, akan dicari dan dikembangkan model-model konservasi yang relevan untuk perlindungan habitat buaya Senyulong di Sungai Merang.

Selain itu, diawal project ini, juga dilakukan penelusuran berbagai aktivitas yang pernah, sedang dan akan dilakukan oleh berbagai pihak, seperti pemerintah, peneliti, masyarakat, perusahaan dan organisasi non pemerintah. Diakhir proyek diharapkan akan ada kesepakatan para pihak berkepentingan mengenai bentuk konservasi yang cocok terhadap Habitat Buaya Senyulong, dan terkumpulkan data yang akurat mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat dan perkembangan habitat Buaya Senyulong di kawasan Hutan rawa Gambut Merang Kepayang.

Saat ini, proyek ini berjalan atas pendanaan oleh International Union Conservation of Nature Nederland melalui skema Ecosystem Grants Programme atau disingkat IUCN NL-EGP. (Proj. Manager)

Intervensi dan Eksploitasi Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang


Written by Administrator


Saturday, 15 January 2011 07:00

Sejak tahun 1950-an, intervensi dan eksploitasi Hutan Gambut Merang Kepayang sudah dimulai dengan berkembangnya berbagai aktivitas masyarakat seperti berotan, dan berkayu untuk keperluan rumah tangga serta pertanian. Tapi kegiatan ini tidak sampai mengakibatkan kerusakan hutan. Study dari Lamonier tahun 1981 menyatakan bahwa pada kawasan hutan di daerah Sungai Lalan dan Petaling tinggi pohon rata-rata adalah 30-40 meter. Kebanyakan dari pohon-pohon tersebut adalah Macrophyllous (Shorea uliginosa, Dyera lowii, Campnosperma coriacea), microphyllous (parastemon urophylum, Durio Carinatus, Gonystylus bancanus, Mezzetia topoda dan tetramerista glabra). Selain itu menurut Corner (1978) dan Dirjen Kehutanan (1970) jenis meranti dan pulai ditemui lebih dari 10% (Diameter Breast Height – DBH > 35 cm) dari pohon-pohon besar secara keseluruhan. Sementara jenis durian Durio sp, Kempas, Medang, terentang dan jelutung mendominasi sekitar 5%.

Informasi mengenai keberadaan hutan di kawasan Merang Kepayang juga didapat dari tokoh masyarakat yang tinggal di desa Muara Merang. Misalnya pak Hendar, dia mengatakan bahwa pada sekitar tahun 60-an dusun Bakung masih penuh dengan berbagai jenis pohon, dan masih banyak pohon yang mempunyai ketinggian sampai dengan lebih dari 50 meter dengan diameter lebih dari 40 cm, terutama untuk jenis Tenam (Diterocarpaceae), Meranti dan Ramin. Bahkan tingkat kepadatan pohon ini (Tenam) diperkirakan lebih dari 1.000 batang per KM2 (Erner, 1970 di Verhengt 1990).

Selanjutnya, ibu Zainunnah juga mengatakan bahwa berbagai jenis kayu dapat ditemukan di kawasan Merang namun yang paling dominan adalah Meranti, Ramin, Merawan dan Jelutung. Asmadi, mantan pekerja PT. BRUI juga mengatakan hal senada, kawasan hutan Merang Kepayang kaya dengan berbagai jenis kayu kualitas nomor 1. Kayu-kayu habis setelah masuknya HPH dan kegiatan sawmill yang menggila sejak 1999 – 2005. Untuk tanaman non kayu, Merang-Kepayang sangat kaya dengan rotan. Per orang bisa mendapatkan 3 gelung per hari. Kawasan sekitar Sungai Bakung (Lokasi PT. PWS sekarang) merupakan tempat dimana penduduk local mencari rotan untuk dijadikan anyaman dan berbagai kerajinan untuk dijual.

Awal kerusakan hutan Merang Kepayang dimulai dengan munculnya HPH tahun 1979. Selanjutnya setelah HPH dilanjutkan dengan aktivitas sawmill, perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri. Secara garis besar dapat dikelompokan seperti dibawah ini. Sampai dengan 35 tahun kedepan kegiatan eksploitasi hutan yang akan terus ada adalah HTI dan perkebunan sawit (Aidil).

Makna Keberhasilan Berkelompok


Written by Administrator


Saturday, 15 January 2011 07:00

Proses pendampingan masyarakat dalam

kegiatan usaha ekonomi rakyat

Pemilihan alternatif ekonomi yg tepat dan dukungan langsung dari pihak lain dapat mempercepat keberhasilan dalam membangun ekonomi yang lebih baik, namun semuanya tidak lepas dari Motivasi, kemauan dan kerja keras. Karena dengan motivasi, Kemauan dan kerja keras diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan ekonomi dan hal ini juga merupakan faktor penentu yang sangat penting. Dari sini juga akan muncul insiatif-insiatif baru serta semangat untuk selalu menggali potensi dan peluang serta pengetahuan baru yang lebih baik dan inovatif.

Berkelompok dalam berusaha merupakan salah satu cara untuk mendorong motivasi kebersamaan dan lebih kuat dalam menyelesaikan satu masalah. Tapi jika berkelompok terkesan dipaksakan, justru akan terjadi sebaliknya. Berkelompok bisa saja akan menjadi penghambat dalam penyelesaian masalah yang lebih besar, jika kegiatan berkelompok hanya difokuskan melulu pada penyelesaian konfik internal kelompok maka dapat dipastikan tujuan dan rencana kerja yang sudah disusun dan dirancang secara matang oleh kelompok akan terbengkalai dan yang terjadi adalah menurunkan kriatifitas individu dalam kelompok, kelelahan dan kejenuhan anggota-anggota kelompok dalam berusaha untuk maju serta motivasi akan semakin rendah dalam menyikapi permasalah-permasalah yang di hadapi.

Berkelompok atau membangun organisasi bertujuan untuk mempercepat dan mendorong perubahan yang lebih masif (menyeluruh) dan membangun kepekaan sosial, kebersaman dan berkeadilan merupakan modal yang sangat penting.

Kelompok Keluarga Mandiri di Desa Muara Merang merupakan salah satu kelompok yang didampingi oleh Yayasan Wahana Bumi Hijau melalui program Wetlands Poperty Reduction Project. Kelompok ini mengalami perkembangan yang cukup baik dengan kondisi kelompok yang terus mengalami perubahan dan juga konfliks. Diawali dengan usaha penanaman cabe dilanjutkan dengan pembukaan lahan untuk kebun karet dan hingga pada akhirnya kelompok melakukan inisiatif usaha berdasarkan minat anggota kelompok. Dari 10 (sepuluh) orang anggota kelompok, 5 (lima) orang anggota mengusulkan usaha ternak ayam potong. Salah satunya adalah Pak Sewinarno, selain sebagai penggagas ide usaha, beliau juga di daulat oleh teman satu kelompoknya untuk menjadi koordinator kelompok usaha ternak ayam potong.

Sebelumnya, Pak Sewi (begitu beliau biasa disapa) bekerja sebagai buruh di perusahaan perkebunan Sawit (PT.PWS). Pak sewi berinisiatif berhenti dari pekerjaanya sebagai buruh perkebunan untuk membentuk usaha sendiri. Dengan penghasilan (upah sebagai buruh) yang pas pasan dan mengandalkan gaji honor mengajar di SD negeri desa Muara Merang ternyata sangat tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga. Dengan modal yang didapat dari pinjaman dana bergulir wetlands poperty reduction project, Pak sewi memulai usaha ternak ayamnya. Motivasi dan semangatnya yang tinggi ditambah sedikit pengetahuan mengenai peternakan ayam, mereka mulai merintis usaha tersebut. Setelah 8 kali panen, Pak Sewi dapat melakukan pengembalian hutang kelompok kepada pihak yayasan, dalam hal ini WBH. Dari perkembangan usaha ternak ayam potongnya, ternyata cukup banyak mengundang minat dan perhatian dari beberapa teman-temannya diluar kelompoknya. Sehingga, ada beberapa kepala keluarga turut membuka usaha yang serupa. Hal ini sedikit menimbulkan masalah bagi pak sewi, karena posisi kandang ayamnya yang jauh dari rumah-rumah penduduk laiinnya, menyebabkan beberapa pelanggannya banyak berpindah menjadi pelanggan di ternak ayam lainnya. Namun hal tersebut tidak membuat Pak Sewi patah semangat, dengan semangat dan kejelian dalam melihat peluang, pak sewi mengganti jenis ayam yang diternaknya, yang tadinya ternak ayam potong menjadi ayam petelur. Selanjutnya kelompok tersebut mengembangkan usaha ternak ayam petelur. Dengan kembali mengajukan proposal bantuan modal usaha, pak sewi berkeyakinan jika usahanya kali ini akan berhasil. Karena tekad dan semangat dari kelompok untuk terus mengembangkan usahanya tersebut, yayasan WBH pun kembali melakukan pengucuran bantuan modal untuk kelompok keluarga mandiri. Modal tersebut didapat dari hasil perguliran dana kelompok yang sudah mulai membayar cicilan pinjaman kelompoknya. Kelompok keluaga mandiri merupakan kelompok pertama yang menikmati hasil perguliran dana tersebut. Usaha peternakan ayam petelur ini dimulai pada akhir tahun 2008 dengan kucuran modal kurang lebih 14 juta rupiah yang sumber utama pendanaannya dari program WPRP. Pada tahap awal kelompok tersebut membeli bibit ayam petelur sebanyak 200 ekor. Sedangkan untuk pembuatan kandang merupakan swadaya kelompok, dengan menambahkan beberapa fasilitas kandang seperti tempat telurnya, kandang ayam potong yang lama telah berubah menjadi kandang ayam petelur.

Perkembangan terakhir pada bulan Januari 2009 ini perternakan ayam petelur tersebut sudah mulai menghasilkan . Setiap hari menghasilkan 100 – 130 butir telur atau sekitar 7 kg perhari dengan harga 15 ribu /kg penghasilan perhari kira-kira 100 ribu /hari atau sekitar 3 juta rupiah dalam satu bulannya. Target terus meningkat diperkirakan hasil telur bisa mencapai 200 – 250 butir perhari atau sekitar 16 kg /hari sehingga perkiraan akan mencapai 240.000 rupiah perhari atau 7,2 juta perbulan.

Untuk pemasaran telur-telur itu sendiri tidak terlalu sulit bagi kelompok karena semua hasil produksi telur yang dihasilkan setiap harinya masih dapat diserap semuanya untuk kebutuhan lokal. Usaha ini dianggap menjadi lebih produktif dibandingkan dengna usaha ternak ayam potong sebelumnya, karena jika ada ayam yang kemampuan bertelurnya sudah tidak produktif, maka dagingnya bisa di jual atau minimal dipotong untuk di konsumsi oleh anggota kelompok sendiri.

Keberhasilan usaha diatas tentu saja membutuhkan proses dan kesabaran, selanjutnya kelompok tersebut menikmati keberhasilan usaha mereka.

Melakukan inisiatif dan motivasi yang tinggi dalam proses pembangunan ekonomi masyarakat yang lebih baik tidaklah mudah, potensi diri karakter individu masyarakat sangat menentukan pencapaian hasil-hasil tersebut. Proses pendampingan yang dilakukan tetap akan berhasil dengan membutuhkan waktu yang cukup panjang jika tanpa ada usaha dari masyarakat itu sendiri yang berproses meningkatkan kesadaranya dan menumbuhkan motivasi dan inisiatif baru untuk perubahan mereka sendiri. (ddy)

Perjuangan Hidup Masyarakat Local Dan Keberpihakan Pemerintah

Dari perjalanan tim pelaksana proyek melakukan dialog informal dengan Dinas Kehutanan MUBA

dan juga dengan aparat pemerintah desa yang ada di sekitar hutan serta dari hasil pengamatan lapangan, maka ter-inpirasi oleh kami untuk mengangkat cerita Perjuangan masyarakat dan kurangnya keberpihakan Pemerintah didalam memerankan masyarakat local untuk pengelolaan hutan

Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK) merupakan bagian dari ekosistem hutan gambut yang sangat penting, baik nilai ekologinya maupun nilai ekonomi. Jika dilihat dari kondisi biofisiknya, bahwa kawasan ini masih terdapat bagian yang memiliki sumber daya kayu yang cukup baik dan juga memiliki kondisi tanah gambut yang cukup tebal (> 3 meter). Disekitar kawasan ini terdapat dua desa yang langsung berakses, yaitu desa Muara Merang dan desa Kepayang, karena untuk menuju ke lokasi kawasan tersebut mesti melalui dua desa tersebut. Bagi masyarakat di dua desa ini, bahwa kawasan HRGMK merupakan bagian penting dari sejarah kehidupan masyarakatnya. Karena sumber daya hutan yang ada di kawasan tersebut merupakan daya tarik dan sumber matapencaharian utama untuk kehadiran awalnya di desa ini. Sehingga sampai saat ini, masih banyak masyarakatnya yang sangat ketergantungan dengan sumber daya hutan (kayu) yang ada didalam kawasan tersebut.

Akan tetapi, konsep pengelolaan hutan dari dulu sampai sekarang sangat tidak berpihak kepada masyarakat. Pengelolaan hutan yang ada di sekitar desa mereka selalu diprioritaskan kepada perusahaan-perusahaan besar yang sangat tidak memperhatikan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Pada tahun 1970-an sampai tahun 2000, kawasan ini dikelola oleh HPH yang sangat ketat pengawasannya (protektif) dan bahkan sampai berakhir massanya tidak ada sumbangsih didalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Pada massa HPH habis (tahun 2000) sampai akhir tahun 2005, pengelolaan kawasan HRGMK dalam massa transisi (tidak ada perusahaan yang memiliki konsesi) sehingga berduyun-duyun masyarakat yang melakukan penebangan kayu sisa-sisa HPH. Kondisi ini tetap menjadikan masyarakat local tersingkirkan, karena yang banyak diuntungkan adalah para pemodal (disebut: cukong) yang datang dari luar desa, sedangkan masyarakat hanya dapat menjadi anak kapak (disebut: buruh) bagi para pemodal-pemodal tersebut.

Waktu terus berlalu, mulai awal tahun 2006 Pemerintah sangat gencar dengan penerapan kebijakan untuk memberantas pembalakan liar (Illegal Logger) pada kawasan ini, masyarakat resah dan bahkan kehilangan matapencahariannya karena para pemodal-pemodal tidak berani lagi memberikan modal dan membeli kayu dari masyarakat local. Sehingga kehidupan masyarakat kembali dalam ketidakpastian, dan masyarakat masih beruntung karena disekitar desa mereka terdapat konsesi perkebunan Sawit yang telah membuka lahan pada areal penggunaan lain (APL) yang seharusnya dapat dimiliki oleh masyarakat sebagai lahan garapannya. Dengan adanya Perusahaan perkebunan tersebut, masyarakat dapat menjadi buruh harian lepas (BHL) dengan upah yang sangat kcil (Rp. 25,000,-/hari kerja).

Disisi lain, kawasan didalam HRGMK yang sebelumnya dijadikan kawasan untuk penebangan liar (Illegal logging) dan uring-uringan pengambilan kayu disaat ada kesempatan, pada akhir tahun 2006 ini telah dijadikan lahan untuk penanaman akasia (HTI PT. Rimba Hutani Mas), dan beberapa perusahaan lainnya yang juga akan menanam akasia. Hal yang ironis dan menyedihkan, karena begitu mudahnya perusahaan-perusahaan besar mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah, sedangkan masyarakat tetap menjadi penonton akan “pestanya orang luar (pemodal besar) pada lahan-lahan di dalam kawasan desa mereka sendiri. Hal ini terlihat dilapangan, bahwa para perusahaan-perusahaan HTI tersebut lalu lalang membawa kayu hasil penebangan dilahan yang telah mereka mulai Land Clering (LC). Dimana keberpihakan para pemangku negeri ini (disebut: Menhut) terhadap kelestarian hutan alam dan keterlibatan masyarakatnya, karena jelas-jelas pada kebijakan PP No. 34 tahun 2002 bahwa kawasan yang dapat dialokasikan untuk HTI adalah kawasan yang tidak produktif (semak belukar, padang ilalang) tetapi kenyataan dilapangan sangat tidak sejalan dengan kebijakan tersebut. Kawasan HRGMK yang masih sangat baik (produktif), kok dijadikan areal untuk HTI.

Melihat kondisi ini, adanya kekhawatiran dari masyarakat akan hilangnya semua potensi yang mereka miliki termasuk potensi lahan yang ada di sekitar mereka dengan menjamurnya perusahaan-perusahaan yang telah mendapatkan izin, baik perusahaan sawit maupun HTI. Oleh karena itu, beberapa inisiatif dari masyarakat local Desa Muara Merang (dusun III – Pancoran) telah membuka kebun karet di dalam kawasan hutan produksi. Mereka sangat sadar bahwa; lahan kebun mereka ini berada di dalam kawasan hutan produksi, tapi mau dibilang apa? Karena lahan sudah sangat terbatas (diambil oleh perusahaan-perusahaan besar untuk dijadikan HTI dan perkebunan sawit). Disamping itu, masyarakat lokal desa Kepayang, telah juga berinisiatif untuk mengajukan pengelolaan HTR dan hutan desa pada kawasan yang tidak produktif di dalam kawasan HRGMK. Namun, inisiatif-inisiatif ini kurang mendapat fasilitasi dan respon positif dari Pemerintah Daerah kabupaten MUBA melalui Dinas Kehutanan. Karena Dishut MUBA, memandang bahwa masyarakat yang telah membuka kebun karet di dusun III (Pancoran) telah menyalahi aturan karena mereka telah membuka lahan kebun karet pada kawasan hutan produksi. Pihak Dinas Kehutanan MUBA beranggapan bahwa; jika mereka difasilitasi untuk pengelolaan HTR maka seolah-olah Dinas Kehutanan MUBA melegalkan keberadaan mereka. Sebenarnya anggapan ini, memang harus dilakukan untuk dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal didalam memanfaatkan lahan yang ada di sekitar mereka. Namun kenyataan sekarang ini, Dishut MUBA sangat tidak responsif untuk memfasilitasi kondisi tersebut sehingga masyarakat lokal terus dihantui ketakutan akan kepastian untuk menikmati hasil jerih payah mereka dari membuka lahan karet yang sudah mulai berumur 2-3 tahun. Disamping itu, untuk menyikapi masyarakat lokal desa Kepayang yang telah mengusulkan HTR dan hutan desa seluas 6.000 ha, Pemerintah Daerah Muba melalui Dishutnya juga kurang direspon dengan baik. Dishut selalu berpikiran negatif terhadap keberadaan masyarakat tersebut, sehingga usulan pengajuan masyarakat dalam bentuk surat menyurat masih terbenam di mejanya kepala dinas tanpa adanya kepastian kapan usulan tersebut di respon?……..

Bagaimana kelanjutan dari kisah perjuangan masyarakat ini, akan dapat kita lihat perkembangannya dalam cerita di bulan selanjutnya. (wbh)