Video Mesuji Bukan Rekayasa!


Written by Administrator


Saturday, 24 December 2011 16:00

JAKARTA, Abdul Majid alias Trubus, mantan anggota Pam Swakarsa dari PT Silva Inhutani, mengungkapkan, tak ada rekayasa dalam video Mesuji yang diedarkan di Youtube dan yang dipertontonkan kepada Komisi III DPR. Menurut dia, video mengenai kekerasan di Kabupaten Mesuji, Lampung, diambil sendiri olehnya dengan memakai kameranya.

Sementara peristiwa di Mesuji, Sumsel, Trubus mengaku bukan ia yang mengambil gambarnya dan tak tahu kronologi peristiwa itu. Ia hanya memotret kepala yang telah dipenggal di PT SWA tersebut. “Tidak ada rekayasa. Saya yang ambil gambar itu. Gambar itu saya ambil dan niat saya mewakili kawan-kawan untuk disampaikan kepada Presiden bagaimana nasib teman-teman di sana. Makanya itu, kalau ada yang menyatakan saya merekayasa, saya siap bertemu orangnya,” ujar Trubus dalam diskusi “Kasus Mesuji, Fakta atau Rekayasa” di Jakarta, Jumat (23/12/2011).

Trubus juga meminta agar para pejabat negara dan pemerintah tidak meributkan masalah video itu, tetapi mencari solusi untuk penyelesaian Mesuji yang dianggap sangat tidak adil terhadap warga. “Saya minta jangan lagi meributkan soal gambar. Saya ingin bagaimana masyarakat Mesuji yang saat ini masih hidup di pengungsian,” kata Trubus.

Sebelumnya diberitakan, salah satu adegan sadis yang ditampilkan dalam video “Pembantaian Mesuji” ternyata juga diambil dari konflik di Thailand selatan. Hal itu dilansir kantor berita CBS News yang ditulis 16 Desember 2011. Di dalam berita yang menganalisis isi video pembantaian Mesuji yang tersebar luas di dunia maya ini terungkap bahwa salah satu adegan video itu diambil di Thailand selatan. Para pelaku pembantaian yang terlihat memakai celana loreng, bersenjata laras api, dan mengenakan penutup muka ini ternyata para anggota separatis Pattani. Dalam adegan video yang digabungkan pula dengan pembunuhan sadis di Sodong, Ogan Komering Ilir, ini, CBS meyakini bahwa itu terjadi di Thailand berdasarkan bahasa dan dialek yang digunakan, yaitu Melayu Pattani.

Sumber: Kompas.Com

Enggano Diusulkan Menjadi Pulau Konservasi


Written by Administrator


Thursday, 01 December 2011 11:13

WBHNEWS – BENGKULU – Masyarakat adat Kepulauan Enggano Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, meminta pemerintah menetapkan pulau itu sebagai pulau konservasi agar terlindung dari berbagai ancaman eksploitasi.

“Kami meminta pemerintah menjadikan pulau ini sebagai pulau konservasi dan menjadikan enam desa di pulau ini sebagai desa konservasi,” kata Koordinator Kepala Suku Enggano Iskandar Zulkarnain Kauno di Bengkulu, Senin (28/11/2011).

Ia mengatakan, hal tersebut merupakan salah satu langkah adaptasi perubahan iklim yang mengancam keberadaan pulau terluar seluas 40 ribu meter persegi itu.

Pembangunan desa konsevasi untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menurutnya mutlak dilakukan dengan menghentikan segala bentuk eksploitasi yang bisa merusak kelestarian pulau terluar itu.

Masyarakat adat Pulau Enggano, kata dia, juga sudah sepakat menolak pembukaan perkebunan skala besar di daerah itu karena akan mengancam ketersediaan air bersih bagi warga enam desa di pulau itu.

“Kami (juga) menolak penambahan keluarga baru atau transmigran karena otomatis akan membutuhkan lahan baru yang mengorbankan kawasan hutan,” tambahnya.

Iskandar mengatakan, keberadaan hutan dan terumbu karang menjadi penopang utama keberlangsungan Pulau Enggano. Untuk itu, ia mengharapkan adanya model desa konservasi di enam desa di pulau tersebut, yakni Desa Kahyapu, Kaana, Apoho, Meok, Malakoni dan Banjarsari.

“Kami memiliki aturan dan hukum adat yang masih diterapkan untuk menjaga kelestarian Enggano, kami minta pemerintah daerah mengakui itu seperti hukum positif,” tambahnya.

Ia mencontohkan, pembagian lahan untuk setiap kepala keluarga sudah diatur secara hukum adat dan proses pembukaan lahan juga mengacu pada konsep kearifan lokal yang menjamin keberlangsungan ekosistim Pulau Enggano.

Masing-masing kepala keluarga tidak bisa mengolah lahan lebih dari dua hektare karena pulau ini terbatas lahannya.Selain itu, berdasarkan hukum adat setempat, masyarakat juga dilarang membuka kawasan di sempadan sungai hingga 200 meter karena akan merusak daerah aliran sungai.

Sebelumnya, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu (BKSDA) Amon Zamora menyatakan kawasan hutan dan terumbu karang merupakan dua sumber daya alam yang menjadi penyangga Pulau Enggano sehingga harus dilestarikan.

Kehidupan masyarakat kepulauan itu kata dia, sangat tergantung dengan kelestarian kawasan hutan yang menjadi daerah tangkapan air sehingga ketersediaan air bersih bagi warga di pulau itu terjamin.

Amon menambahkan, terdapat sejumlah kawasan lindung dan konservasi yang sudah ditetapkan di pulau terluar itu antara lain Cagar Alam (CA) Sungai Bahewo register 97 seluas 496,06 hektare, CA Teluk Klowe register 96 seluas 331,23 hektare, dan CA Tanjung Laksaha register 95A seluas 333,28 hektare.

Selanjutnya, CA Kioyo I dan Kioyo II register 100 seluas 305 hektare dan Taman Buru Gunung Nanua register 59 seluas 7.271 hektare, Hutan Lindung Koho Buwa-Buawa seluas 3.450 hektare dan Hutan Produksi Terbatas Ulu Malakoni register 99 seluas 2.191,78 hektare.

Pembangunan Irigasi Bakal Molor


Written by Administrator


Thursday, 01 December 2011 11:05

WBHNEWS – KAYUAGUNG, Pembangunan irigasi teknis di Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), yang rencananya dimulai awal 2012 terancam molor.

Sebab, warga selaku pemilik lahan yang akan dibebaskan untuk pembangunan irigasi teknis tersebut,meminta ganti rugi sangat mahal dan tidak sesuai dengan anggaran yang dianggarkan Pemerintah Kabupaten OKI. Hal itu terungkap dalam rapat membahas ganti rugi lahan untuk pembangunan irigasi teknis antara warga Desa Cahaya Tani dan Bumi Agung dengan Pemkab OKI yang digelar di ruang Bende Seguguk I kemarin.

Rapat tersebut tidak menemukan titik temu antara warga dan pemerintah dalam menetapkan besaran biaya ganti rugi lahan.Kabag Pertanahan Setda OKI Alamsyah kemarin mengatakan,hasil rapat belum ada kata sepakat.Permintaan tuntutan 30 warga dari dua desa tersebut terlalu tinggi.Ke depan kita akan menurunkan Tim 9 ke lokasi untuk mengecek harga pasaran tanah di desa tersebut,ujarnya.

Pemerintah daerah menawarkan ganti rugi harga sesuai dengan NJOP sekitar Rp2.500/- meter.Namun,nyatanya,warga minta ganti rugi bervariasi dengan klasifikasi harga tanah sawah Rp20.000/meter atau Rp200 juta/hektare. Lahan kebun juga Rp20.000/meter atau Rp200 juta/hektare, belum termasuk tanam tumbuh.

Sedangkan untuk tanah pekarangan posisi pinggir jalintim Rp500 ribu/meter atau Rp500 juta/hektare, tanah sawah sekitar 150 meter dari jalintim sebesar Rp24.000/meter atau Rp240 juta/hektare serta tanah pekarangan yang jauh dari desa sebesar Rp30.000/meter atau Rp300 juta/hektare.

Pada pertemuan tersebut, salah seorang warga, H Irfan, menyebutkan, mereka telah mengajukan permintaan ganti rugi tersebut sesuai harga pasaran di lokasi. Kalau tidak diganti rugi sebesar itu, kami bisa kehilangan mata percarian karena banyak lahan sawah yang berpotensi yang terkena pembangunan irigasi,ujarnya.

Karena pada pertemuan tersebut tidak ada titik temu atau tidak ada kesepakatan, maka Asisten I Setda OKI H Kasmir A Kirom selaku pimpinan rapat, menutup rapat dan berjanji akan menurunkan tim sembilan ke lokasi untuk mengecek harga pasaran tanah di wilayah Lempuing. Kondisi ini memang sedikit menghambat kita, tetapi kami yakin, ini bisa kita selesaikan dengan secepat mungkin, sehingga pembangunan irigasi tetap berjalan sesuai waktu yang telah ditentukan,janji dia.

Untuk diketahui, proyek pembangunan irigasi teknis diKecamatanLempuingakandimulai pada 2012.Proyek tersebut baru akan berjalan tahun 2012.Saat ini,kita masih membahas kesepakatan pembebasan lahan, ujarnya seraya menyebutkan, terdapat sembilan desa yang berpotensi terkena pembebasan. Luas keseluruhan lahan mencapai 161,8 hektare di Kecamatan Lempuing.

Berapa besaran ganti rugi lahan kepada warga belum ditemukan kesepakatan. Hal itu masih kita bahas. Sampai saat ini, tidak ada kendala di lapangan. Masyarakat paham bahwa proyek ini bukan mercusuar, melainkan irigasi sawah untuk kesejahteraan rakyat, ungkap dia. Sebelumnya, Consulting Engineer Nippon Koei dari Jepang sudah melakukan survei rencana pembangunan Irigasi Komering di Kecamatan Lempuing Induk.

Dana pembangunan irigasi teknis stage II fase II di Kecamatan Lempuing bersumber dari hibah Pemerintah Jepang senilai Rp400 miliar. Namun, hingga kini proses ganti rugi tanah masih belum tuntas.

Prabumulih Gratiskan 1.000 Sambungan Gas


Written by Administrator


Thursday, 01 December 2011 11:01

WBHNEWS – PRABUMULIH, Sedikitnya 1.000 warga Kota Prabumulih bakal mendapatkan sambungan gas alam secara gratis.

Wakil Wali Kota Prabumulih Ridho Yahya mengungkapkan,pihaknya sudah mendapatkan kepastian bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memasang 1.000 sambungan gas dengan cuma-cuma di kota penghasil nanas ini. Pemerintah Kota (Pemkot) Prabumulih menggratiskan pemasangan 1.000 sambungan gas kota pada 2012.

Wakil Wali Kota Prabumulih Ridho Yahya mengatakan, pihaknya sudah menganggarkan biaya pemasangan sambungan gas tersebut pada Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) 2012. Mudah-mudahan program gas kota di Kota Prabumulih berlangsung lancar tanpa ada gangguan, katanya saat berkunjung ke lokasi sumber penyaluran gas kota di Kelurahan Patih Galung,Kecamatan Prabumulih Barat,kemarin.

Kepala Dinas Pertambangan Energi dan Lingkungan Hidup (DPELH) Prabumulih Dani Fachrial mengatakan, pada 2012 rencananya mulai dipasang 5.000 sambungan gas di kota bermoto Seinggok Sepemunyian ini. Selain 1.000 sambungan yang diberikan dengan prodeo juga terdapat 4.000 sambungan lain yang akan dipasang. @ahmad teddy

Konflik Desa Perusahaan – Warga Blokade Akses Masuk Medco


Written by Administrator


Thursday, 01 December 2011 10:58

WBHNEWS – MUARABELITI, Puluhan warga Desa Pelawe,Kecamatan BTS Ulu Cecar,Kabupaten Musi Rawas (Mura), memblokade jalan poros Desa Palawe kemarin. Warga memasang portal di akses masuk menuju lokasi PT Medco tersebut.

Hal itu dilakukan warga sebagai bentuk protes karena manajemen perusahaan belum mengganti rugi lahan karet dan sawit mereka yang terbakar akibat aktivitas Stasiun Pembuangan Api (Flaring) PT Medco beberapa waktu lalu. Sekretaris Desa (Sekdes) Pelawe Ahmad Yani AA mengatakan, tindakan ini dilakukan karena warga menilai tidak ada iktikad baik dari perusahaan untuk menyelesaikan permasalahan terbakarnya 10 hektare kebun sawit dan 5 hektare kebun karet milik warga setempat.

Peristiwa itu terjadi sekitar 80 hari lalu.Tetapi, belum ada iktikad baik PT Medco. Kami sudah membicarakan masalah ini dengan Humas PT Medco. Bahkan, melaporkan kejadian itu ke Polsek BTS Ulu Polres Mura,kata Ahmad Yani. Sementara itu, informasi di lapangan menyebutkan, sedikitnya 4 unit kendaraan PT Medco dilarang massa untuk melintas di jalan poros.

Namun, aksi penghadangan itu tidak berlaku bagi masyarakat umum. Humas PT Medco Afriandi membantah tudingan bahwa pihaknya tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan masalah dengan warga.Medco sudah melakukan pertemuan dengan masyarakat, tapi belum ada kesepakatan.

Patut dipertanyakan keberadaan api flaring sudah ada sejak lama,tapi mengapa baru sekarang dipermasalahkan. Harapan kami semua pihak dapat menahan diri dalam menyelesaikan masalah ini tidak main portal jalan karena yang dirugikan negara, jelasnya.

Sementara itu,Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Musi Rawas (Mura), AKBP Rizal Syahman Radi melalui Kasat Reskrim,AKP Suryadi mengatakan, pihaknya telah mengetahui adanya pemblokadean jalan itu. Dia mengaku sudah mengirimkan beberapa personilnya untuk mengamankan lokasi dan mencegah terjadinya tindakan anarkistis.

Kita harapkan penye-lesaiannya secara musyawarah antara warga dan PT Medco. Masyarakat diimbau tidak melakukan tindakan pidana, pungkas Suryadi. ?hengky chandra agoes

Nelayan Langkat Ingin Kembalikan Hutan Mangrove


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 14:28

JAKARTA, WBHNEWS – Keberadaan Perkebunan kelapa sawit yang menggunakan lahan pada ekosistem mangrove di Kabupaten Langkat Sumatera Utara, menyebabkan kesejahteraan Nelayan terganggu. Konversi hutan mangrove membuat hasil tangkapan berkurang dan menimbulkan intrusi laut ke rumah-rumah warga.

Presidium Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Region Sumatera, Tajruddin Hasibuan, Selasa (8/11/2011) dihubungi dari Jakarta, mengatakan ekosistem mangrove merupakan tempat bertelur dan membesarkan biota-biota Laut komersial seperti kepiting, udang, dan ikan. Namun ironisnya, ekosistem ini banyak dikonversi menjadi areal Kebun kelapa sawit.

“Nelayan yang menggantungkan Hidup pada hasil laut, sangat terganggu penghidupannya,” ucap Tajruddin. Di Sumatera, konversi mangrove menjadi sawit banyak terjadi di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Di Langkat, ujarnya, sedikitnya 20.000 hektar Hutan mangrove sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Meski sejak tahun 2000 telah diprotes warga, Perkebunan itu terus berlangsung. Namun, kesabaran warga telah habis.

“Besok, hari Rabu ini, ribuan warga di Lubuk Kertang Kecamatan Berandan Barat Langkat, akan mengadakan aksi untuk mengembalikan fungsi lahan sawit yang seharusnya adalah ekosistem mangrove,” ucapnya.

Dari sisi yuridis, ucapnya, warga merasa yakin karena lahan ekosistem itu dilindungi secara hukum, tetapi dikonversi menjadi Kebun sawit.

“Kawasan itu sudah jelas teregister dan tercatat di Kementerian Kehutanan sebagai daerah yang tidak boleh dikonversi atau diubah menjadi bentuk apa pun,” ucap Tajruddin.

Sumber : Kompas.Com

Lima Hutan Rakyat Terima Sertifikat Legalitas Kayu


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 14:25

LAMPUNG TENGAH, WBHNEWS Lima kelompok usaha kelola hutan masyarakat mendapat sertifikat legalitas kayu. Kelima kelompok tersebut adalah Koperasi Comlog Giri Mukti Wana Tirta (Pekandangan-Lampung Tengah), Koperasi Wana Manunggal Lestari (Gunung Kidul-DIY), Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat Wonosobo (Wonosobo-Jawa Tengah), Gapoktanhut Jati Mustika (Blora-Jawa Tengah), dan Koperasi Hutan Jaya Lestari (Konawe Selatan-Sulawesi Tenggara).

“Keberhasilan lima kelompok usaha masyarakat ini merupakan bukti bahwa sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dapat diterapkan sebagai penjaminan yang kredibel bagi usaha ekonomi skala kecil dan menengah perkayuan yang dikelola masyarakat secara berkelompok atau group certification. Pembiayaannya pun menjadi lebih terjangkau,” ujar Diah Raharjo, Direktur Program Multistakeholder Forestry Program, dalam pernyataan yang diterima Kompas.com, Jumat (11/11/2011). Diah menambahkan, sertifikasi ini otomatis akan memperkuat manajemen pengelolaan hutan skala masyarakat, baik yang didukung oleh LSM pendamping maupun pemerintah daerah.

Pada saat yang sama, Menteri Kehutanan meluncurkan logo kayu legal yang dinamai tanda V-Legal. MS Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, mengatakan, dengan adanya logo ini, legalitas pemanfaatan kayu asal hutan Indonesia pasti terjamin sehingga mendukung pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya.

“Setiap logo disertai nomor kode verifikasi sehingga kayu atau produk kayu dapat ditelusuri balik asal muasalnya, baik dari areal hutan maupun lahan milik yang sah ataupun yang dikelola secara lestari,” imbuh Sembiring.

Dengan penyerahan lima sertifikat bagi kelompok usaha hutan rakyat, saat ini sudah ada 59 sertifikat untuk pengelolaan hutan dan 136 sertifikat untuk industri kayu. Total luas hutan kelola masyarakat yang mendapat sertifikat adalah 3.100 hektar, tersebar di 41 desa di Indonesia, dan berdampak langsung pada 6.024 anggota kelompoknya. Harapan ke depan, penerapan SVLK di hutan masyarakat dapat memaksimalkan manfaat pengelolaan hutan melalui skema REDD+.

Sumber : Kompas.Com

Enam Tim Penghalau Gajah Liar Disiapkan


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 14:19

PEKANBARU, WBHNEWS Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Riau atau BBKSDA Riau menyiapkan tim pengusir gajah liar (flying squad) untuk mengantisipasi gejolak konflik antara gajah dan manusia yang tinggal di sekitar hutan.

Kepala BBKSDA Riau Kurnia Rauf, Selasa (15/11/2011) di Pekanbaru, mengatakan, ada sekitar enam flying squad yang telah dibentuk untuk mengusir gajah liar tersebut.

“Enam tim tersebut tersebar di sejumlah wilayah rawan konflik yang ada di Provinsi Riau. Salah satunya di Kabupaten Bengkalis, tepatnya di dua kecamatan, yakni Mandau dan Pinggir,” katanya.

Tim pengendali gajah tersebut, menurut Kurnia, sebelumnya dibentuk berdasarkan kesempatan dan kesepahaman di internal BBKSDA Riau dan BKSDA Pusat. Tim ini akan difokuskan untuk menghalau gajah-gajah liar agar tidak merusak perkebunan dan rumah warga yang berada di wilayah rawan konflik.

Saat ini flying squad juga telah siap melakukan penghalauan gajah liar yang mengamuk di sejumlah wilayah Riau. Tim diharapkan dapat bekerja semaksimal mungkin hingga mampu meminimalkan angka konflik gajah dengan manusia.

“Intinya, dan yang paling penting, begitu terjadi konflik, sebaiknya masyarakat segera memberikan laporan ke BBKSDA. Setelah itu, baru akan dilakukan pemantauan lapangan dan tim flying squad akan segera diterjunkan,” ujar Kurnia.

Belum lama ini sekumpulan gajah liar sempat mengamuk dan merusak puluhan hektar perkebunan dan merobohkan sebuah rumah di Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Kawanan gajah liar tersebut sudah mulai bermunculan sejak lima hari terakhir.

Warga setempat menyatakan, sejauh ini belum ada antisipasi dari pihak terkait, meski sebenarnya warga telah melaporkannya secara lisan ke BBKSDA dan pemerintah setempat.

Gajah-gajah itu paling sering keluar pada sore dan malam hari. Akibatnya, banyak warga yang mengaku khawatir menjadi korbannya.

Gajah sumatera liar masuk ke perkebunan milik warga

BKSDA Monitor Lokasi Bulus Raksasa Menampakkan Diri


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 14:10

JAKARTA, WBHNEWS Penemuan bulus raksasa (Chitra chitra javanensis), yang diketahui merupakan hewan terancam punah berdasarkan daftar merah International Union for Conservation of Nature dan dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 pada Jumat (11/11/2011), tak cuma membuat geger, tetapi juga menimbulkan pertanyaan. Apakah Sungai Ciliwung merupakan habitat bulus raksasa itu?

Pakar herpetologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mumpuni, dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (15/11/2011), mengatakan, bulus raksasa itu pernah ditemukan di Sungai Ciliwung tahun 1980-an. Tepatnya, bulus raksasa itu ditemukan di wilayah Radio Dalam dan Tanjung Priok.

Namun, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Ahmad Saerozi saat dihubungi, Rabu (16/11/2011), mempertanyakan hal tersebut. Ia mengatakan, BKSDA sejauh ini belum pernah menemukan satwa tersebut. Ia mengungkapkan, ada kemungkinan bahwa bulus raksasa itu adalah lepasan dari piaraan warga.

Untuk menyelidiki hal tersebut, tim BKSDA kemarin mendatangi lokasi penemuan bulus raksasa itu. Ketika bertemu Haji Bombayyang menampung bulus raksasatim BKSDA menemukan fakta bahwa bulus raksasa tidak ada karena sudah dilepaskan pada Rabu dini hari. Namun, tim berhasil mengorek beberapa informasi dari warga.

“Dari keterangan Haji Bombay, bulus raksasa itu sering dijumpai warga. Biasanya warga menemukan bulus itu di aliran sungai yang kedalamannya sekitar 10 meter. Bulus itu menyembulkan kepalanya,” kata Budi Mulyanto, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA DKI Jakarta, saat dihubungi, Kamis (17/11/2011).

Ada empat lokasi di mana bulus raksasa itu sering ditemui. Keempat lokasi itu adalah Kudung Babi, Kedung Raden, Kedung Wuni, dan Kedung Kuda, yang semuanya berada di wilayah aliran Sungai Ciliwung. Pelepasan bulus dilakukan di Kedung Wuni, berada di dekat tempat latihan Kopassus yang juga berdekatan dengan Tanjung Barat.

“Saat ini kami sudah kerahkan tim untuk melakukan monitor di lokasi-lokasi tersebut,” kata Budi. Monitoring meliputi observasi jika bulus tersebut muncul ke permukaan maupun menjaring informasi dari warga sekitar tentang penampakan bulus itu. Menurut Budi, jika Sungai Ciliwung menjadi habitat satwa itu, pasti bulus tersebut pasti akan sering dijumpai.

Hasil monitoring akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan langkah selanjutnya. Bila Ciliwung merupakan habitat bulus raksasa langka itu, langkah konservasi tentu harus dilakukan. Penyelesaian masalah Ciliwung tidak hanya akan mencakup masalah tumpukan sampah, tetapi juga keanekaragaman hayati di dalamnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, mayoritas ikan, udang, kepiting, dan moluska Ciliwung telah punah. Kepunahan ikan mencapai 92 persen dari total biota yang ada berdasarkan riset tahun 2009 oleh LIPI dengan membandingkan koleksi biota di Museum Biologi Bogor. Kepunahan bulus raksasa ini harus dicegah.

Sumber: Kompas.Com

Perhutani, Biang Utama Konflik Kehutanan


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 14:02

JAKARTA, – Survei Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) menunjukkan fakta bahwa konflik kehutanan semakin mencemaskan. Tercatat ada 69 konflik yang dijumpai di 10 provinsi, meliputi Riau, Sumatera Barat, Jambi, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

“Yang menyesakkan, masyarakat selalu berada dalam posisi termarjinal atau terpinggirkan dalam setiap konflik kehutanan. “

Konflik tersebut terjadi di wilayah seluas 843.879 hektar atau sekitar lima kali luas daratan Provinsi DKI Jakarta. Jumlah itu dipercaya masih bisa bertambah bila mengikutsertakan wilayah lain, misalnya Papua.

Koordinator Eksekutif Huma, Andiko, mengatakan bahwa konflik kehutanan mayoritas terjadi antara Kementerian Kehutanan, Perhutani dan Taman Nasional dengan masyarakat lokal. Perhutani tercatat sebagai biang utama konflik, dengan prosentase konflik dengan masyarakat sebesar 41% dan masyarakat adat 3%. Sementara itu, konflik antara masyarakat dan Taman Nasional sebesar 10%.

“Yang menyesakkan, masyarakat selalu berada dalam posisi termarjinal atau terpinggirkan dalam setiap konflik kehutanan,” kata Andiko dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/11/2011).

Contoh nyata adalah konflik antara masyarakat Battang Barat, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, ketika wilayah yang telah didiaminya itu ditetapkan sebagai hutan lindung.

“Masyarakat dijebloskan ke penjara, padahal secara historis mereka menempati hutan lindung jauh sebelum kawasan itu ditetapkan,” jelas Sainal Abidin, Direktur Eksekutif Wallacea, Palopo.

Berdasarkan tata batas yang ditetapkan di Taman Wisata Alam Ba’Tang di wilayah itu, masyarakat dianggap menduduki wilayah yang hanya diperuntukkan bagi konservasi.

Kussarianto dari Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan dan Nia Ramadhaniaty dari Rimbawan Muda Indonesia Bogor menyatakan, penyebab konflik-konflik tersebut adalah tumpang tindihnya kebijakan dan tak adanya pelibatan masyarakat di dalam pembuatan kebijakan itu. Kussarianto mengatakan, salah satunya adalah tumpang tindih kebijakan perizinan.

Di Kalimantan Tengah, izin perkebunan bisa berada di kawasan hutan yang telah ada pemanfaatan kayu atau pun tambangnya. Ada sekitar 316 unit perusahaan perkebunan yang beroperasi dengan luas area mencapai 3,75 juta hektar di kawasan itu.

“Sedangkan konsesi tambang ada sekitar 669 di seluruh provinsi dengan luas area 2,74 juta hektar,” katanya.

Sementara menurut Nia, masyarakat juga tidak dilibatkan pada kasus perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berdasarkan SK MenHut No 175/2003. Dia mengungkapkan, masyarakat lokal memang sempat dikumpulkan untuk membahas zonasi. Namun, soal zonasi sama sekali tak disentuh dan akhirnya daftar hadir justru dipakai sebagai legitimasi seolah mereka setuju.

“Yang terjadi di masyarakat itu, mereka (pihak taman nasional) melakukan pemalsuan tanda tangan, seolah mereka menyetujui adanya konsultasi publik itu,” jelas Nia.

Atas permasalahan yang terjadi, Huma merekomendasikan adanya perbaikan pada tumpang tindih perizinan dan kebijakan. Selain itu, perlu upaya resolusi konflik yang lebih menyeluruh.

Andiko dan Itan juga menyerukan perlunya pelibatan masyarakat lokal dan adat dalam penyelesaian konflik maupun kebijakan perizinan. Selama ini, perhatian pada masyarakat adat sangat kurang, bahkan tak lebih diperhatikan daripada orang utan.

Sumber: Kompas.Com