Konflik Tanah Capai 1.753 Kasus


Written by Administrator


Sunday, 20 November 2011 13:56

BENGKULU – Konflik tanah yang bersifat struktural dan melibatkan penyalahgunaan negara di Tanah Air mencapai 1.753 kasus. Dalam konflik ini, masyarakat kecil selalu menjadi korban.Demikian dikatakan Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Usep Setiawan, saat pembukaan Kongres Serikat Petani Bengkulu (Stab), Minggu (20/11/2011), di Bengkulu. Usep mengatakan, konflik tanah di mana-mana yang kerap mengorbankan rakyat kecil merupakan gambaran umum pertanahan kita. “Politik pertanahan kita yang belum berpihak kepada rakyat kecil adalah akar masalah mengapa konflik tanah tetap tinggi,” ujar USep.

Karena itulah, konflik tanah tersebut, kata Usep, menjadi salah satu agenda strategis BPN Pusat selain empat agenda strategis lainnya, yakni pembaruan agrarian, penertiban dan pendayagunaan lahan telantar, legalisasi aset, dan pengembangan kantor pelayanan bergerak. Menurut Usep, keberhasilan penanganan konflik tanah dan reformasi agraria belum berjalan baik. Diperlukan partisipasi aktif organisasi tani agar penyelesaian konflik tanah yang melibatkan masyarakat, negara, dan pihak swasta bisa berjallan dengan baik.

Sumber: Kompas.Com

Bekas Lahan Kritis Jadi Habitat Satwa Langka


Written by Administrator


Thursday, 27 October 2011 10:26

Habitat satwa langka kembali terbentuk di bekas lahan kritis seluas 349,54 hektare di Kecamatan Paliyan, Gunungkidul Yogyakarta yang merupakan sederetan pegunungan Karst Gunung Sewu. Rehabilitasi hutan selama lima tahun terakhir berhasil mengubah lahan kritis tersebut menjadi habitat monyet ekor panjang dan 40 jenis burung langka.

Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Muhamad Na’im mengatakan bahwa rehabilitasi hasil kerja sama Pemprov DIY, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Mitsui Sumitomo Insurance membuahkan hasil. Sejak rehabilitasi dilakukan, lahan kritis menjadi hijau dan mengundang monyet ekor panjang untuk menempati kawasan tersebut.

Sebanyak 40 jenis burung langka yang sebelumnya hilang akibat kerusakan lingkungan dampak aktivitas perladangan oleh warga di kawasan karst Gunung Sewu juga datang kembali. Sementara itu, program rehabilitasi dilakukan dengan penanaman pohon sebanyak 324.773 batang yang meliputi 30 jenis pohon. Di antaranya, jambu mete, ketapang, pace, sawo dan sonokeling.

Menurut Muhamad, dampak positif rehabilitasi tak sebatas mengembalikan habitat satwa, namun juga mengembalikan fungsi hutan sebagai sumber mata air atau hidrologis. Atas keberhasilan program rehabilitasi ini, Direktur Mitsui Sumitomo Insurance, Hitoshi Ichihara menyatakan, pada lima tahun ke depan, program akan lebih difokuskan pada pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan margasatwa. Salah satu caranya adalah dengan penerapan pengetahuan dan kemampuan bertani guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi.

Pemberdayaan dan pendidikan pada warga juga akan dilakukan agar warga tak melakukan perusakan hutan yang dapat mengganggu ekosistem. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan, Darori menambahkan, kawasan suaka margasatwa pegunungan Sewu adalah laboratorium alam. Oleh karenanya, banyak spesies yang harus dilindungi. Lahan tersebut, lanjutnya, tak cocok untuk lahan pertanian melainkan ekowisata flora dan fauna.

“Kawasan karst perlu dilindungi karena ikut berfungsi menyeimbangkan siklus karbon,” tambahnya.(National Geographic Indonesia/Olivia Lewi Pramesti)

Butuh 700 Tahun Serap Kembali Emisi


Written by Administrator


Thursday, 29 September 2011 13:39

Pembakaran hutan dan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit yang terus berlangsung akan menyulitkan Indonesia menurunkan jumlah emisi karbonnya. Emisi karbon yang diserap tanaman sawit tidak akan pernah sebanding dengan emisi karbon yang dilepaskan dari pembakaran hutan dan lahan gambut.

Butuh 600 tahun-700 tahun bagi tanaman sawit untuk menyerap kembali emisi yang dihasilkan dari pembakaran gambut sebelum sawit itu ditanam, ujar peneliti senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (Center for International Forestry Research) yang juga Guru Besar Ilmu Atmosfer, Institut Pertanian Bogor, Daniel Murdiyarso, di Jakarta, Senin (5/9).

Sawit harus diremajakan setiap 20 tahun-25 tahun sekali. Karena itu, sawit tidak pernah menjadi sumber biomassa yang permanen.

Pembakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia selama 1997-2006 telah menghasilkan 1,2 miliar-1,4 miliar ton karbondioksida ke atmosfer setiap tahun. Sementara data Institut Sumber Daya Dunia (World Resources Institute) pada 2005 menyebutkan, emisi gas karbondioksida Indonesia mencapai 2 miliar ton.

Hal ini berarti sebagian besar emisi gas karbon Indonesia dihasilkan dari pembakaran hutan dan lahan gambut. Kondisi itu wajar karena jumlah emisi karbon dari pembakaran hutan dan lahan gambut mencapai 10 kali lebih banyak dibandingkan pembakaran di lahan biasa.

Lahan gambut terbentuk dari tumpukan bahan organik, dari sisa kayu hingga serasah daun yang tertimbun ratusan hingga ribuan tahun sehingga kandungan karbonnya tinggi, ujarnya.

Lahan gambut paling dilirik untuk dijadikan areal perkebunan sawit karena potensi konfliknya rendah sebab banyak lahan gambut tidak jelas status hukumnya dan hanya sedikit warga yang tinggal di sekitarnya. Selain itu, lahan gambut umumnya masih memiliki banyak tanaman sehingga hanya dengan menebang hutan, pengusaha sudah untung.

Fahmuddin Agus dan IG Made Subiksa dalam buku Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan (2006) menyebutkan, selain dari pembakaran hutan dan lahan, emisi juga berasal dari pembuatan drainase lahan gambut untuk pertanian, perkebunan, dan permukiman. Semakin dalam drainase yang dibuat, semakin tinggi emisi yang dihasilkan. Emisi ini berasal dari proses dekomposisi atau penguraian gambut oleh mikroorganisme.

Daniel meminta alih fungsi lahan gambut untuk perkebunan sawit dihentikan. Masih banyak lahan non-gambut telantar yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan sawit. Selain bisa menekan jumlah emisi karbon, lahan telantar bisa dioptimalkan.

Langkah terbaik menekan emisi karbon adalah membiarkan hutan dan lahan gambut apa adanya, ujarnya.

Sumber: Kompas.Com

Permenhut Sudah Dicabut


Written by Administrator


Thursday, 29 September 2011 13:34

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan,

Setelah mengundang reaksi keras dari para aktivis lingkungan, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan akhirnya mencabut Peraturan Menteri Kehutanan No.62/2011.

“Permenhut 62/2011 sudah dicabut kemarin (Senin),” ucap Zulkifli, Selasa (27/9/2011), seusai mendampingi Presiden Yudhoyono membuka Konferensi Internasional Forests Indonesia yang digelar Lembaga Riset Kehutanan Dunia CIFOR di Jakarta.

Seperti diberitakan, permenhut itu mengundang protes karena memasukkan kelapa sawit sebagi hutan. Hal ini membuka potensi pemutihan bagi izin-izin kelapa sawit yang bermasalah.

Ia menjelaskan, Permenhut setelah diterbitkan bisa saja dicabut jika tidak disetujui masyarakat. Dengan pencabutan itu, maka pengaturan akan dikembalilkan kepada Permenhut 614/1999.

Dikecam, Kelapa Sawit Jadi Tanaman Hutan

Jakarta – Greenpeace mengecam keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) yang mengakomodasi kelapa sawit sebagai bagian dari tanaman hutan. Ini berpotensi menambah kerusakan hutan gambut serta memperbanyak emisi karbon.

Kebijakan itu tercantum dalam Permenhut Nomor 62/Menhut/II/2011 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Berbagai Jenis pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK/HTI) yang dikeluarkan 25 Agustus 2011 dan diundangkan pada 6 September 2011.

Kami menganggap bahwa Kementerian Kehutanan berbohong dan tidak konsisten dalam komitmennya menjaga hutan Indonesia yang masih tersisa. Keluarnya Permenhut ini adalah wujud gagalnya pemerintah dalam melakukan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran ekspansi perkebunan sawit di kawasan hutan, ujar Bustar Maitar, juru kampanye hutan Greenpeace, Senin (19/9/2011), di Jakarta.

Menurut dia, dengan dimasukkannya sawit dalam kategori hutan, dikhawatirkan akan menyebabkan makin besarnya emisi dari perusakan hutan dan lahan gambut yang saat ini sudah sangat besar. Selain itu, juga membenarkan dibabatnya hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Ini jelas bertentangan dengan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menurunkan emisi Indonesia hingga 41 persen pada tahun 2020, ujar Bustar.

Konsumsi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan semakin meningkatnya penggunaan CPO untuk biofuel di pasar internasional telah mengakibatkan meluasnya penghancuran hutan dan gambut di Indonesia. Langkah Menteri Kehutanan ini akan memperparah kehancuran hutan alam Indonesia yang masih tersisa karena memberi peluang perkebunan berlindung di balik kategori hutan.

Sebagai informasi, Indonesia adalah negara dengan laju deforestasi tercepat di seluruh dunia sehingga menempatkannya sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia. Analisis Greenpeace telah mengidentifikasi ada sekitar 5,4 juta hektar kebun sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan dan gambut. Pada 18 Maret 2011 pemerintah juga telah mencabut izin prinsip pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang mencakup 182 perusahaan sawit di seluruh Indonesia karena ditengarai telah merambah kawasan hutan tanpa prosedur yang sah.

Menteri Zulkifli Hasan harus segera membatalkan Permenhut ini dan mulai fokus pada bagaimana melindungi hutan Indonesia yang masih tersisa, biodiversitas, serta masyarakat yang hidupnya bergantung kepada hutan. Jika diteruskan, kerusakan dahsyat hutan akan terus terjadi dan menteri akan bertanggung jawab atas gagalnya Indonesia memenuhi komitmen penurunan emisi yang telah dilontarkan Presiden, katanya.

Sumber: Kompas.com

Gempa Mukomuko Tak Pengaruhi Marapi


Written by Administrator


Thursday, 04 August 2011 11:32

WBHNEWS, Gempa 6 Skala Richter (SR) yang mengguncang Mukomuko, Bengkulu, Kamis (4/8/2011) tidak berdampak pada aktivitas Gunung Marapi, meskipun gempa itu dirasakan beberapa wilayah di Sumatera Barat.

Koordinator Pusat Pengendali Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) Sumatera Barat, Ade Edwar mengatakan tak ada pengaruh goncangan gempa tadi terhadap aktivitas Gunung Marapi.

“Hasil rekaman fisik kami, belum ada dampak terhadap gunung akibat gempa Bengkulu yang juga mengguncang beberapa kawasan di provinsi kita,” ujarnya.

Menurut data Badan Meteorologi Krimatologi dan Geofisika (BMKG), titik gempa berada di 2,88 Lintang Selatan dan 100,97 Bujur Timur, atau 37 kilometer barat daya Mukomuko, Bengkulu. Kedalaman episentrum ada di 28 kilometer. Gempa ini dinyatakan tidak berpotensi tsunami

Hingga pagi ini, kata Ade, status Gunung Marapi masih waspada,”Kita juga akan tetap siaga beberapa hari ke depan. Maka, warga kita imbau untuk tidak panik, karena kita sudah siapkan perencanaan-perencanaan, jika terjadi kemungkinan terburuk,” tegasnya.

Sumber: Kompas.Com


Newer news items:

Older news items:


Gempa JugaTerasa di Kerinci


Written by Administrator


Thursday, 04 August 2011 11:02

WBHNEWS, Gempa berkekuatan 6.0 Skala Richter yang mengguncang Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, pukul 07.16 tadi ikut dirasakan juga di Sungai Penuh, Kerinci, Jambi.

Barlian, sarga Mukomuko yang sedang berada di Kerinci, menyampaikan, dirinya sedang tidur ketika gempa terjadi.Ia langsung terbangun dan menelepon istri serta kedua anaknya. “Alhamdulilah keluarga tidak apa-apa. Mereka langsung lari keluar rumah begitu gempa terjadi. Kata istri saya getarannya kencang sekali memang,” kata Barlian melalui telepon, Rabu (4/8).

Berdasarkan Badan Meteoroligi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) gempa di Mukomuko berpusat di 37 arah barat daya Mukomuko dengan kedalaman 28 kilometer. Gempa tersebut tidak berpotensi tsunami.

Sumber: KOMPAS.COM


Newer news items:

Older news items:


Daya Tampung Karbon Justru Naik


Written by Administrator


Wednesday, 03 August 2011 11:12

WBHNEWS, Salah satu dampak positif pemanasan global adalah meningkatkan kapasitas pohon dan tumbuh-tumbuhan dalam penampungan karbondioksida. Sebuah studi yang dipimipin oleh Jerry Melillo dari Marine Biological Laboratory Amerika Serikat mengindikasikan itu.

Pada ringkasan tulisan penelitian yang dimuat dalam publikasi jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences baru-baru ini, dikatakan bahwa menghangatnya iklim telah merangsang penangkapan juga penyimpanan karbondioksida pada bagian tanaman dalam jumlah lebih besar. Menurut para peneliti, makin banyaknya karbon yang terserap saat tumbuhan melakukan proses fotosintesis itu disebabkan lebih banyak nitrogen yang memungkinkan untuk dapat dibuat dalam kondisi suhu tanah hangat.

Selama ini, tutur Melillo, pohon-pohon yang ada di Amerika Serikat umumnya sangat terbatas kandungan nitrogennya. “Kami menemukan bahwa pemanasan (global) telah memerangkap senyawa nitrogen di dalam tanah berupa nitrogen organik, untuk dilepaskan sebagai senyawa anorganik. Ketika pohon menyerap nitrogen anorganik ini, pertumbuhannya akan lebih cepat dan menampung lebih banyak karbon,” jelasnya.

Ia menambahkan, keseimbangkan jumlah karbon di ekosistem hutan untuk dekade-dekade selanjutnya di saat fenomena perubahan iklim juga terjadi, akan sangat bergantung pada aneka faktor lain. “Misalnya, ketersediaan air, efek peningkatan temperatur bagi fotosintesis dan respirasi, serta konsentrasi karbondioksida di lapisan atmosfer,” katanya. (National Geographic Indonesia/Gloria Samantha)

Bentuk Bumi Makin Gendut di Khatulistiwa


Written by Administrator


Wednesday, 03 August 2011 10:59

WBHNEWS, Bumi semakin besar di bagian khatulistiwa. Fakta itu terungkap dari penelitian terhadap data yang dikumpulkan oleh satelit Gravity Recover and Climate Experiment (GRACE) milik NASA dan German Space Agency. Disebutkan, bertambahnya penumpukan di khatulistiwa itu disebabkan oleh mencairnya lapisan es di Greenland dan Antartika.

Menurut Steve Nerem, ilmuwan asal University of Colorado, Amerika Serikat, hingga 22 ribu tahun lalu, es hingga beberapa kilometer menyelimuti sebagian besar belahan utara Bumi. Berhubung tekanan akibat bobot dari es di daratan telah berkurang karena mencair, tanah di bawahnya telah memantul dan menyebabkan Bumi menjadi lebih lonjong. “Mirip dengan spons, dan dibutuhkan waktu yang cukup lama agar Bumi kembali ke bentuk asalnya,” kata Nerem.

Sebagai informasi, sejak awal, planet Bumi memang tidak bulat sempurna. Akibat perputaran rotasinya, air di permukaan Bumi lebih banyak terkumpul di kawasan khatulistiwa dibandingkan dengan di kutub.

Para ilmuwan sendiri mengamati terjadinya “penyusutan lemak” di lingkar khatulistiwa. Akan tetapi, kemudian terjadi perubahan. Di sekitar pertengahan 1990-an, diketahui bahwa tren telah berbalik dan Bumi kembali tambah “gendut di lingkar pinggangnya”, sama seperti bola yang ditekan dari atas dan bawahnya. Namun mereka tidak memiliki alat untuk memastikan mengapa hal itu bisa terjadi, hingga baru-baru ini.

Dengan GRACE, peneliti dapat menguji coba teori yang menyatakan bahwa hilangnya es merupakan faktor pengubah bentuk planet Bumi. GRACE mengambil gambar dari permukaan Bumi setiap 30 hari sehingga memungkinkan peneliti memantau perubahan massa es terhadap perubahan gravitasi. Jadi, jika ada perubahan terhadap bentuk Bumi, maka akan ada perubahan terhadap distribusi massa. Akibatnya, medan gravitasi juga berubah.

Peneliti menemukan, mencairnya gletser di Greenland dan Kutub Selatan merupakan kontributor terbesar terhadap membengkaknya “lingkar pinggang” Bumi karena banyak air yang dibawa ke khatulistiwa. Menurut data, dua belahan Bumi kehilangan 382 miliar ton es per tahunnya. Berkurangnya beban yang perlu ditanggung benua memungkinkan tanah untuk naik dan membuat planet menjadi lebih bulat, namun proses ini membutuhkan waktu ribuan tahun. Sementara itu, pertumbuhan ketebalan di khatulistiwa mencapai 0,7 sentimeter per dekade.

Saat ini, kata Nerem, radius planet Bumi 21 kilometer lebih besar di khatulistiwa dibandingkan di kutub. Artinya, titik paling jauh permukaan Bumi dari inti Bumi bukanlah di puncak gunung Everest, melainkan di puncak gunung berapi di Ekuador yang lebih dekat ke khatulistiwa. (National Geographic Indonesia/Abiyu Pradipa)

Kanwil Kemnag Sumsel Pantau Hilal


Written by Administrator


Saturday, 30 July 2011 08:22

PALEMBANG, WBHNEWS Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Selatan akan memantau keberadaan hilal atau bulan untuk penghitungan rukyat awal Ramadhan 1432 Hijriah yang dilakukan dari Hotel Aryaduta, Palembang.

Kepala Kantor Kemnag Sumsel, Najib Haitami, di Palembang, Jumat (29/7/2011), mengatakan, lokasi pemantauan hilal dinilai paling memenuhi syarat mengingat hotel itu merupakan gedung yang paling tinggi di daerah tersebut.

Sejak beberapa tahun ini, pemantauan hilal juga telah dilaksanakan secara rutin dari hotel tersebut. Menurut dia, pihaknya akan memantau hilal pada Minggu (31/7/2011) guna menghitung awal Ramadhan.

Namun, kendati masih harus memantau hilal dan menghitung rukyat awal Ramadhan, menurut Najib, pihaknya juga akan tetap menunggu pengumuman dari Kemnag untuk memastikan mulai ibadah puasa tahun ini.

Ia menegaskan, pemantauan hilal dengan menggunakan alat pembesar rutin dilakukan setiap menjelang Ramadhan. Pemantauan itu untuk memastikan bahwa pelaksanaan awal Ramadhan tetap sesuai dengan perhitungan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.

Dia mengimbau agar warga Sumsel untuk melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan ketentuan pemerintah mengingat perhitungan awal Ramadhan telah dilakukan secara detail dengan pemantauan yang benar.

REDD Berjalan Bagaimana Nasib Kami


Written by Administrator


Friday, 29 July 2011 11:11

WBHNEWS, Beberapa proyek percontohan REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and Degradation), upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan, telah berjalan.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat lokal yang dilibatkan belum memahami tujuan dari proyek ini.

Apa yang terjadi di Desa Petak Puti di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah, adalah salah satu contohnya. Di desa yang menjadi proyek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) hasil kerja sama Indonesia Australia dilakukan itu, masyarakat justru khawatir tentang proyek percontohan yang dijalankan.

“Tahun 2013, proyek KFCP ini kan berakhir. Kami khawatir nanti mereka akan menjadi hak kami. Hak itu misalnya kebun. Sampai sekarang kami tidak tahu apakah nanti akan terjadi seperti itu atau tidak,” ungkap Yuyo P Dulin, Kepala Desa Petak Puti, pada Senin (18/7/2011).

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, masyarakat Petak Puti mengalami trauma akan pengalaman masa lalu. Yuyo menjelaskan, sekitar tahun 2004, ada pihak yang datang serta melaksanakan proyeknya tanpa izin dan merugikan masyarakat setempat. Hal lain yang menjadi kekhawatiran adalah pelaksanaan REDD+ nantinya.

“Bagaimana nasib kami kalau REDD+ berjalan karena nanti hutan tidak dapat dijangkau manusia. Bagaimana kalau kita punya kebutuhan. Mau bikin kandang ayam atau rumah misalnya,” jelas Yuyo.

Menurut Yuyo, banyak hal tentang REDD+ yang belum dimengerti masyarakat. Dirinya sendiri mengaku bahwa hanya memahami REDD+ sebatas pada upaya mengurangi gas rumah kaca, belum pada semua konsekuensi jika REDD+ dijalankan nantinya.

Yuyo mengungkapkan, masyarakat perlu diberi pengetahuan soal REDD+ dan konsekuensinya. Yuyo juga meminta jaminan bahwa REDD+ ataupun proyek percontohannya tidak mengambil hak masyarakat.

Selain itu, menurut Yuyo, di luar soal REDD+, ada hal lebih penting yang perlu diupayakan jika nanti masyarakat benar-benar tidak bisa mengakses hutan. Ia menaruh harapan besar pada soal mata pencaharian alternatif sehingga masyarakat tetap bisa berusaha meningkatkan taraf hidupnya.

“Sekarang masyarakat bergantung pada karet dan ikan. Bagaimana KFCP juga ikut memikirkan hal ini. Jadi bagaimana masa depannya nanti Petak Puti ini,” kata Yuyo. Mata pencaharian alternatif penting sebab beberapa warga masih melakukan praktik yang merusak lingkungan, seperti menambang emas.

Sumber: Kompas.Com