Death Of Farmer In Jambi Is a clear Indicator Of the failure of APP in Implementing Their Social Responsibility


Written by Administrator


Thursday, 05 March 2015 11:33

Palembang , March 2nd , 2015. The brutality murder to farmer of Lubuk Mandarsah, District Tebo, MR. Indra Pelani, who was carried out by 7 security guards of industrial timber company, PT. WKS, owned by Asia Pulp and Paper (APP) in Jambi on last Friday, February 27, 2015.

Desa Lubuk Mandarsah that was approximately established in 1975, identified to have lands conflict with WKS over about 1.570 ha of lands since the beginning of the WKS operation in about 2004. To date, this conflict remains unresolved.

Beating, abduction carried out by WKSs security forces that caused a death of MR. Indra cannot be separated from the tensions between communities and companies, which resulted both parties to easily burned emotions, and lead to violence.
Wahana Bumi Hijau (WBH) condemns any violence and sadistic approaches in conflict resolution. We are expressing our deep sorrow over the death of Comrade Indra and standing with family, friends and colleagues, fellow farmers on this difficult time.

This tragedy has also strengthened our belief that APP that just celebrated 2nd anniversary of implementation of the Forest Conservation Policy on the 5th of February, not seriously or has failed to implement the commitment and social responsibility.

We are hereby urging APP to take comprehensive action to solve the entire social conflict, not only concerning to Lubuk Mandarsah, but also the overall conflict in their concessions and suppliers, which is in our record there are about 300s of conflict.

Related to this tragic event, APP must quickly take action to do, fair and independent, and transparent investigation, with the involvement of NGOs, government, authority and Komnas HAM.

APP also must immediately conduct a thorough investigation and evaluation of the security procedures and security services of a third party to make sure something like this does not happen again in the future.

Chronologic of Attacks, Beatings and Murder of Farmers Activist in Lubuk Mndarsah, District Tebo Province Jambi (Walhi – JAMBI)

Indonesia

Kematian Petani Lubuk Mandarsah Bukti Gagalnya Pelaksanaan Komitmen Sosial APP


Written by Administrator


Thursday, 05 March 2015 11:28

Palembang, 2 Maret 2015. Pembunuhan sadis terjadi terhadap petani Desa Lubuk Mandarsah Kabupaten Tebo bernama Indra Pelani, yang diduga kuat dilakukan oleh  7 tenaga kemanan perusahaan Hutan Tanaman Industri PT. WKS, perusahaan milik Asia Pulp dan Paper (APP) di Jambi pada Jumat yang lalu, 27 Februari 2015.
Desa Lubuk Mandarsah yang berdiri sejak tahun 1975  diketahui mempunyai konflik lahan seluas lebih kurang 1570 ha dengan PT. WKS sejak awal beroperasinya perusahaan tahun 2004, dan konflik tersebut hingga kini belum terselesaikan.

Pengeroyokan yang mengakibatkan meninggalnya Kawan Indra, tidak dapat dipisahkan dari adanya ketegangan hubungan antara masyarakat dan perusahaan, yang mengakibatkan mudahnya keduabelah pihak untuk tersulut emosi, dan berujung pada tindakan kekerasan.

Wahana Bumi Hijau mengutuk tindakan kekerasan dan sadis tersebut. Kami menyatakan duka yang mendalam atas meninggalnya Kawan Indra dan berdiri bersama keluarga, sahabat dan kawan – kawan petani, dimasa yang sulit ini.  
Tragedi ini juga semakin memperkuat keyakinan kami bahwa APP yang baru saja meperingati 2 tahun pelaksanaan Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy – FCP) pada 5 Februari yang lalu, tidak secara serius atau telah gagal melaksanakan komitmen dan tanggungjawab social mereka.
Untuk itu kami mendesak APP untuk secara serius menyelesaikan seluruh konflik social, tidak hanya yang menyangkut Lubuk Mandarsah, namun keseluruhan konflik yang terjadi didalam konsesi mereka, yang menurut kami ada 300-an konflik.
Terkait kematian tragis ini, APP harus secara cepat mendorong dilakukanya investigasi yang terbuka, adil dan independen, dengan melibatkan pemerintah, NGO, pihak berwenang dan KOMNAS HAM.  
APP juga harus segera mengadakan evaluasi dan investigasi menyeluruh terhadap prosedur keamanan dan jasa keamanan dari pihak ketiga untuk  memastikan peristiwa seperti ini tidak lagi terjadi.

English

Kematian Petani Lubuk Mandarsah Bukti Gagalnya Pelaksanaan Komitmen Sosial APP


Written by Administrator


Thursday, 05 March 2015 11:28

Palembang, 2 Maret 2015. Pembunuhan sadis terjadi terhadap petani Desa Lubuk Mandarsah Kabupaten Tebo bernama Indra Pelani, yang diduga kuat dilakukan oleh 7 tenaga kemanan perusahaan Hutan Tanaman Industri PT. WKS, perusahaan milik Asia Pulp dan Paper (APP) di Jambi pada Jumat yang lalu, 27 Februari 2015.
Desa Lubuk Mandarsah yang berdiri sejak tahun 1975 diketahui mempunyai konflik lahan seluas lebih kurang 1570 ha dengan PT. WKS sejak awal beroperasinya perusahaan tahun 2004, dan konflik tersebut hingga kini belum terselesaikan.

Pengeroyokan yang mengakibatkan meninggalnya Kawan Indra, tidak dapat dipisahkan dari adanya ketegangan hubungan antara masyarakat dan perusahaan, yang mengakibatkan mudahnya keduabelah pihak untuk tersulut emosi, dan berujung pada tindakan kekerasan.

Wahana Bumi Hijau mengutuk tindakan kekerasan dan sadis tersebut. Kami menyatakan duka yang mendalam atas meninggalnya Kawan Indra dan berdiri bersama keluarga, sahabat dan kawan kawan petani, dimasa yang sulit ini.
Tragedi ini juga semakin memperkuat keyakinan kami bahwa APP yang baru saja meperingati 2 tahun pelaksanaan Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy FCP) pada 5 Februari yang lalu, tidak secara serius atau telah gagal melaksanakan komitmen dan tanggungjawab social mereka.
Untuk itu kami mendesak APP untuk secara serius menyelesaikan seluruh konflik social, tidak hanya yang menyangkut Lubuk Mandarsah, namun keseluruhan konflik yang terjadi didalam konsesi mereka, yang menurut kami ada 300-an konflik.
Terkait kematian tragis ini, APP harus secara cepat mendorong dilakukanya investigasi yang terbuka, adil dan independen, dengan melibatkan pemerintah, NGO, pihak berwenang dan KOMNAS HAM.
APP juga harus segera mengadakan evaluasi dan investigasi menyeluruh terhadap prosedur keamanan dan jasa keamanan dari pihak ketiga untuk memastikan peristiwa seperti ini tidak lagi terjadi.

English

Tolak Tambang, Dua Warga jadi Tersangka


Written by Administrator


Friday, 18 July 2014 14:16

Penegak hukum dinilai diskriminatif, hanya berjalan buat rakyat kecil. Kala warga menang gugatan hukum sampai MA, tak digubris pemerintah daerah. Perusahaan tetap beroperasi. Kepolisian malah menjadi penjaga perusahaan walau warga beberapa kali melaporkan pelanggaran perusahaan. Kala warga dituduh melakukan pelanggaran terhadap perusahaan, dalam waktu sekejab, polisi menentapkan mereka menjadi tersangka.

Perjuangan warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, mendapatkan lingkungan sehat, dengan menolak tambang, berbuah pahit. Bagaimana tidak, PT Mikgro Metal Perdana (MMP), perusahaan tambang bijih besi masih bisa terus beroperasi meskipun Mahkamah Agung memerintahkan bupati mencabut izin. Warga yang sejak awal menolak tambang menggunakan jalur-jalur damai akhirnya ‘terjebak.” Mereka terlibat bentrok, satu alat berat perusahaan terbakar.  Polisi  ’sigap’ bekerja, dua warga, Y Tuhema dan F Kaongan,  dituding sebagai pelaku. Mereka ditetapkan menjadi tersangka pada Kamis dini hari (17/7/14).

Di Manado, perwakilan warga Desa Kahuku menyesalkan, sikap diskriminatif kepolisian antara  warga dan perusahaan. Penegakan hukum hanya tajam ke masyarakat kecil dan tumpul ke pengusaha.

Mengapa? Sejak 24 September 2013 putusan inkracht MA memenangkan gugatan warga atas penolakan tambang di Pulau Bangka. Ketua PTUN Manado, pada 24 Juni 2014, melayangkan surat perintah eksekusi MMP.

Belum lagi, aktivitas pertambangan itu, beberapa kali dilaporkan warga pada instansi terkait. Misal, 20 Mei 2014, 18 warga mengajukan laporan tindak pidana pertambangan (ilegal mining) dan lingkungan, ke Polda Sulut diterima Dirintelkam. Sebulan berlalu, 30 Juni 2014, Merty Katulung, warga Desa Kahuku juga melaporkan ke Polda Sulut.

Kenyataan, Polda Sulut belum menindaklanjuti laporan warga. Lebih aneh, setelah bentrok antar desa Sabtu (12/7/14), dua warga penolak tambang langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Selengkapnya baca di: http://www.mongabay.co.id/category/lingkungan-hidup/

Tolak Tambang, Dua Warga jadi Tersangka


Written by Administrator


Friday, 18 July 2014 14:16

Penegak hukum dinilai diskriminatif, hanya berjalan buat rakyat kecil. Kala warga menang gugatan hukum sampai MA, tak digubris pemerintah daerah. Perusahaan tetap beroperasi. Kepolisian malah menjadi penjaga perusahaan walau warga beberapa kali melaporkan pelanggaran perusahaan. Kala warga dituduh melakukan pelanggaran terhadap perusahaan, dalam waktu sekejab, polisi menentapkan mereka menjadi tersangka.

Perjuangan warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, mendapatkan lingkungan sehat, dengan menolak tambang, berbuah pahit. Bagaimana tidak, PT Mikgro Metal Perdana (MMP), perusahaan tambang bijih besi masih bisa terus beroperasi meskipun Mahkamah Agung memerintahkan bupati mencabut izin. Warga yang sejak awal menolak tambang menggunakan jalur-jalur damai akhirnya terjebak. Mereka terlibat bentrok, satu alat berat perusahaan terbakar. Polisi sigap bekerja, dua warga, Y Tuhema dan F Kaongan, dituding sebagai pelaku. Mereka ditetapkan menjadi tersangka pada Kamis dini hari (17/7/14).

Di Manado, perwakilan warga Desa Kahuku menyesalkan, sikap diskriminatif kepolisian antara warga dan perusahaan. Penegakan hukum hanya tajam ke masyarakat kecil dan tumpul ke pengusaha.

Mengapa? Sejak 24 September 2013 putusan inkracht MA memenangkan gugatan warga atas penolakan tambang di Pulau Bangka. Ketua PTUN Manado, pada 24 Juni 2014, melayangkan surat perintah eksekusi MMP.

Belum lagi, aktivitas pertambangan itu, beberapa kali dilaporkan warga pada instansi terkait. Misal, 20 Mei 2014, 18 warga mengajukan laporan tindak pidana pertambangan (ilegal mining) dan lingkungan, ke Polda Sulut diterima Dirintelkam. Sebulan berlalu, 30 Juni 2014, Merty Katulung, warga Desa Kahuku juga melaporkan ke Polda Sulut.

Kenyataan, Polda Sulut belum menindaklanjuti laporan warga. Lebih aneh, setelah bentrok antar desa Sabtu (12/7/14), dua warga penolak tambang langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Selengkapnya baca di: http://www.mongabay.co.id/category/lingkungan-hidup/

RPP Gambut, Perlindungan atau Pemanfaatan?


Written by Administrator


Friday, 18 July 2014 13:57

Setelah berulang kali direvisi, rancangan peraturan pemerintah tentang gambut akhirnya selesai. Kini, draf final kebijakan ini sudah di meja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, siap ditandatangani. Namun, masih muncul kekhawatiran dari berbagai kalangan jika aturan itu belum memberikan perlindungan bagi gambut yang tersisa. Sebab, RPP Gambut ini dinilai masih lekat semangat pemanfaatan daripada perlindungan.

Haris Gunawan, ahli gambut dari Univeritas Riau mengatakan, pemerintah seharusnya fokus pada semangat perlindungan gambut yang tersisa bukan pemanfaatan. Jikapun, sampai ada izin, harus benar-benar ketat sekali.  “Saat ini, dengan setuasi seperti ini, saya belum yakin ada izin keluar bisa dikontrol, pengawasan bagus,” katanya di Jakarta, belum lama ini.

Di Indonesia, katanya, banyak pendapat dari kalangan ahli gambut. Mereka mempunyai mazhab-mazhab. “Mazhab saya berbeda dengan spirit RPP Gambut itu. Ga bisa hanya 30% perlindungan. Dengan kasus Riau 17 tahun terbakar.  Kalimantan terbakar 1 juta hektar.” Dalam RPP Gambut itu disebutkan ekosistem gambut dengan fungsi lindung 30% dari seluruh luas kesatuan hidrologis gambut.

Menurut dia, jika kebijakan gambut seperti itu tak akan menyelesaikan masalah. “Itu spiritnya pemanfaatan kok, bukan spirit perlindungan. Yang kita harus bangun adalah spirit perlindungan. Sudah selesai itu spirit pemanfaatan,” ujar dia.

Haris membenarkan, para akademisi masing-masing mempunyai banyak sudut pandang dan latar belakang. “Kalau tanya ke saya, RPP Gambut itu jangan segera ditandatanganilah. Harus dimatangkan dulu, mendengarkan semua dulu,” katanya.

Dia mengusulkan, jikapun ada kebijakan publik mengenai gambut, harus konteks pelestarian atau perlindungan. “Yang tersisa harus diprotek. Inilah sebelum Papua mengikuti Kalimantan dan Riau sekarang. Karena yang tersisa itu benteng terakhir buat menyangga kehidupan ke depan. Saya khawatir kita ini generasi yang bikin kolaps generasi berikutnya.”

Bagaimana kongkretnya?  Kata Haris, buat peratusan khusus tentang bagaimana mengelola kanal-kanal yang sudah ada. Juga,  lebih mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang sesuai karakteristik gambut berair. “Jangan mengedepankan tanaman-tanaman budidaya yang gak suka air, misal sawit.”

Teguh Surya dari Greenpeace mengatakan, isi draf kebijakan ini masih sangat kompromis dan membenarkan gambut nol sampai tiga meter dikonversi. “Sanksi yang diterapkan pun tidak akan memberikan efek jera karena bisa dikerjakan pihak ketiga dan nilai dikompromikan,” katanya kepada Mongabay di Jakarta, belum lama ini.

Dia mengatakan, hal penting lain yang menjadi sorotan adalah izin-izin yang keluar dan berada di kawasan dengan fungsi lindung gambut tetap berlaku sampai izin habis. Pasal ini, katanya, menghilangkan esensi perlidungan gambut. “Seharusnya izin ditinjau ulang dan kawasan dikukuhkan sebagai kawasan gambut fungsi lindung. Kalau RPP gambut gini dapat dipastikan Indonesia tidak akan bisa mencapai target penurunan emisi pada 2020 sesuai janji.”

Indonesia, kata Teguh, tidak akan pernah bisa menghentikan dan mencegah becana asap akibat hutan dan gambut terbakar. Kondisi ini, katanya, akan menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan Indonesia ke depan. “Jika Presiden tetap menandatangani RPP Gambut dengan isi begitu, berarti Presiden SBY inkonsiten dengan komitmen dan meninggalkan warisan bom waktu.”

Menurut dia, sampai saat ini, setidaknya ada tiga draf RPP Gambut beredar. Antara lain, RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, pada Oktober 2013 dan edisi Januari 2014. Lalu, Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang diyakini versi terbaru.

“Perubahan tiga kali sejak Oktober 2013, tetapi jika dilihat detil, substansi pokok perlindungan gambut tidak berubah.”

Teguh mencontohkan, gambut dengan kedalaman 0-3 meter tidak terlindungi, baku kerusakan gambut dengan fungsi budidaya dan sanksi juga masih sama.  “Intinya yang berubah hanyalah struktur penulisan, tidak pada substansi yang selama ini dipersoalkan.”

Dia menilai, isi RPP Gambut tak mengalami perbaikan kemungkinan  karena tidak ada ruang partisipasi publik dalam mencermati isi aturan ini. “Konsultasi publik KLH hanya terbatas pada ahli gambut, beberapa organisasi yang fokus pada isue gambut. Bagaimana dengan pemerintah dan masyarakat khusus yang hidup di wilayah bergambut?”

Dia memaparkan beberapa hal, seperti Pasal 22, pada bagian pencegahan kerusakan eksoistem gambut , seharusnya kebakaran hutan atau gambut menjadi salah satu kriteria kerusakan ekosistem gambut.

Begitu juga Pasal 27 dan 28, malah melemahkan esensi perlindungan gambut. Bahkan, terkesan terlalu memberikan keistimewaan kepada pengusaha yang tidak mau bertanggungjawab atas kerusakan ekosistem gambut.

Lalu, Pasal 42, cukup mengkhawatirkan. Sebab, masa pembuatan peta acuan tentang kesatuan hidrologis gambut dan peta fungsi lindung dan fungsi budidaya, memakan waktu empat tahun. “Kita tidak bisa menunggu selama itu karena bisa jadi gambut telah habis peta baru keluar dan PP Gambut menjadi tidak bermanfaat.”

Mas Achmad Santosa, deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, membenarkan jika draf final RPP Gambut sudah diserahkan ke Presiden, tinggal ditandatangani.

Menurut dia, revisi kali itu sudah lebih baik, tak malah longgar atau memberikan peluang pemanfaatan gambut. Dia setuju, terpenting dari kebijakan ini bisa melindungi gambut yang tersisa.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/07/16/rpp-gambut-semangat-perlindungan-atau-pemanfaatan/

RPP Gambut, Perlindungan atau Pemanfaatan?


Written by Administrator


Friday, 18 July 2014 13:57

Setelah berulang kali direvisi, rancangan peraturan pemerintah tentang gambut akhirnya selesai. Kini, draf final kebijakan ini sudah di meja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, siap ditandatangani. Namun, masih muncul kekhawatiran dari berbagai kalangan jika aturan itu belum memberikan perlindungan bagi gambut yang tersisa. Sebab, RPP Gambut ini dinilai masih lekat semangat pemanfaatan daripada perlindungan.

Haris Gunawan, ahli gambut dari Univeritas Riau mengatakan, pemerintah seharusnya fokus pada semangat perlindungan gambut yang tersisa bukan pemanfaatan. Jikapun, sampai ada izin, harus benar-benar ketat sekali. Saat ini, dengan setuasi seperti ini, saya belum yakin ada izin keluar bisa dikontrol, pengawasan bagus, katanya di Jakarta, belum lama ini.

Di Indonesia, katanya, banyak pendapat dari kalangan ahli gambut. Mereka mempunyai mazhab-mazhab. Mazhab saya berbeda dengan spirit RPP Gambut itu. Ga bisa hanya 30% perlindungan. Dengan kasus Riau 17 tahun terbakar. Kalimantan terbakar 1 juta hektar. Dalam RPP Gambut itu disebutkan ekosistem gambut dengan fungsi lindung 30% dari seluruh luas kesatuan hidrologis gambut.

Menurut dia, jika kebijakan gambut seperti itu tak akan menyelesaikan masalah. Itu spiritnya pemanfaatan kok, bukan spirit perlindungan. Yang kita harus bangun adalah spirit perlindungan. Sudah selesai itu spirit pemanfaatan, ujar dia.

Haris membenarkan, para akademisi masing-masing mempunyai banyak sudut pandang dan latar belakang. Kalau tanya ke saya, RPP Gambut itu jangan segera ditandatanganilah. Harus dimatangkan dulu, mendengarkan semua dulu, katanya.

Dia mengusulkan, jikapun ada kebijakan publik mengenai gambut, harus konteks pelestarian atau perlindungan. Yang tersisa harus diprotek. Inilah sebelum Papua mengikuti Kalimantan dan Riau sekarang. Karena yang tersisa itu benteng terakhir buat menyangga kehidupan ke depan. Saya khawatir kita ini generasi yang bikin kolaps generasi berikutnya.

Bagaimana kongkretnya? Kata Haris, buat peratusan khusus tentang bagaimana mengelola kanal-kanal yang sudah ada. Juga, lebih mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang sesuai karakteristik gambut berair. Jangan mengedepankan tanaman-tanaman budidaya yang gak suka air, misal sawit.

Teguh Surya dari Greenpeace mengatakan, isi draf kebijakan ini masih sangat kompromis dan membenarkan gambut nol sampai tiga meter dikonversi. Sanksi yang diterapkan pun tidak akan memberikan efek jera karena bisa dikerjakan pihak ketiga dan nilai dikompromikan, katanya kepada Mongabay di Jakarta, belum lama ini.

Dia mengatakan, hal penting lain yang menjadi sorotan adalah izin-izin yang keluar dan berada di kawasan dengan fungsi lindung gambut tetap berlaku sampai izin habis. Pasal ini, katanya, menghilangkan esensi perlidungan gambut. Seharusnya izin ditinjau ulang dan kawasan dikukuhkan sebagai kawasan gambut fungsi lindung. Kalau RPP gambut gini dapat dipastikan Indonesia tidak akan bisa mencapai target penurunan emisi pada 2020 sesuai janji.

Indonesia, kata Teguh, tidak akan pernah bisa menghentikan dan mencegah becana asap akibat hutan dan gambut terbakar. Kondisi ini, katanya, akan menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan Indonesia ke depan. Jika Presiden tetap menandatangani RPP Gambut dengan isi begitu, berarti Presiden SBY inkonsiten dengan komitmen dan meninggalkan warisan bom waktu.

Menurut dia, sampai saat ini, setidaknya ada tiga draf RPP Gambut beredar. Antara lain, RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, pada Oktober 2013 dan edisi Januari 2014. Lalu, Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang diyakini versi terbaru.

Perubahan tiga kali sejak Oktober 2013, tetapi jika dilihat detil, substansi pokok perlindungan gambut tidak berubah.

Teguh mencontohkan, gambut dengan kedalaman 0-3 meter tidak terlindungi, baku kerusakan gambut dengan fungsi budidaya dan sanksi juga masih sama. Intinya yang berubah hanyalah struktur penulisan, tidak pada substansi yang selama ini dipersoalkan.

Dia menilai, isi RPP Gambut tak mengalami perbaikan kemungkinan karena tidak ada ruang partisipasi publik dalam mencermati isi aturan ini. Konsultasi publik KLH hanya terbatas pada ahli gambut, beberapa organisasi yang fokus pada isue gambut. Bagaimana dengan pemerintah dan masyarakat khusus yang hidup di wilayah bergambut?

Dia memaparkan beberapa hal, seperti Pasal 22, pada bagian pencegahan kerusakan eksoistem gambut , seharusnya kebakaran hutan atau gambut menjadi salah satu kriteria kerusakan ekosistem gambut.

Begitu juga Pasal 27 dan 28, malah melemahkan esensi perlindungan gambut. Bahkan, terkesan terlalu memberikan keistimewaan kepada pengusaha yang tidak mau bertanggungjawab atas kerusakan ekosistem gambut.

Lalu, Pasal 42, cukup mengkhawatirkan. Sebab, masa pembuatan peta acuan tentang kesatuan hidrologis gambut dan peta fungsi lindung dan fungsi budidaya, memakan waktu empat tahun. Kita tidak bisa menunggu selama itu karena bisa jadi gambut telah habis peta baru keluar dan PP Gambut menjadi tidak bermanfaat.

Mas Achmad Santosa, deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, membenarkan jika draf final RPP Gambut sudah diserahkan ke Presiden, tinggal ditandatangani.

Menurut dia, revisi kali itu sudah lebih baik, tak malah longgar atau memberikan peluang pemanfaatan gambut. Dia setuju, terpenting dari kebijakan ini bisa melindungi gambut yang tersisa.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/07/16/rpp-gambut-semangat-perlindungan-atau-pemanfaatan/

Ini Dia Capres dan Cawapres Pro Lingkungan


Written by Administrator


Wednesday, 21 May 2014 02:26

Aktivis Greenpeace mengantarkan Raung dan Umba ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendaftar menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
Keduanya mendaftar karena belum satu pun Bakal Calon Presiden yang menyatakan 100% berkomitmen terhadap perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup Indonesia.
Mereka adalah ikon capres dan cawapres yang pro lingkungan yang sengaja digiring aktivis lingkungan Greenpeace ke Media Center KPU. Raung sang Calon Presiden (Capres) adalah Harimau Sumatera yang telah kehilangan keluarganya akibat kebakaran hutan, dan juga kehilangan lebih dari separuh habitatnya karena deforestasi. Indonesia kehilangan 15,8 juta hektar hutan pada 2000—2012. Sementara pada 2011—2012 tingkat kehilangan hutan mencapai level tertinggi sejak akhir 1990-an meskipun pemerintah telah mengeluarkan aturan jeda tebang (moratorium).

Adapun Calon Wakil Presiden (Cawapres) adalah Umba, Lumba-lumba yang terancam kehilangan nyawa akibat penangkapan ikan berlebih dan kehilangan laut bersih akibat tailing dan buangan minyak kotor. Sejak April 2014 pencemaran akibat buangan minyak kotor di kawasan pesisir Bintan, Batam dan Karimun, Provinsi Kepulauan Riau diperkirakan mencapai 5.000 barel—10.000 barel atau setara hingga 1.590 meter kubik minyak kotor yang tiba dan mencemari kawasan pantai.
Selain itu, Raung dan Umba juga menemukan kesalahan tata kelola pembangunan ekonomi nasional. Indonesia mengalami pertumbuhan luar biasa pesat di sektor pertambangan batu bara, ditandai dengan peningkatan ekspor hingga 5 kali lipat pada 2000—2012, menjadikan Indonesia eksportir terbesar sejak 2011. Lebih dari 85% produksi batubara Indonesia diekspor, hanya kurang dari 15% nya yang digunakan untuk kepentingan domestik.
Ironisnya, Indonesia hanya memiliki 0,6% cadangan batubara dunia, jauh di bawah cadangan yang dimiliki Amerika Serika, China, Australia dan India. Meskipun menjadi negara pengekspor terbesar batubara di dunia, ekspor batubara hanya menyumbang 3% dari total PDB, tidak sebanding dengan dampak negatif dan kerusakan yang diakibatkan oleh sektor batubara terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Persoalan lain yang menjadi fokus adalah kualitas air yang terus memburuk. Hampir seluruh sungai utama di Indonesia mengalami penurunan kualitas air, yang paling berbahaya adalah karena pencemaran bahan kimia beracun industri. Padahal lebih dari 119 juta masyarakat belum mempunyai akses terhadap air bersih. Salah satunya adalah Sungai Citarum yang menyuplai air ke Jakarta. Berbagai bahan kimia berbahaya dibuang oleh industri ke badan-badan sungai dan banyak diantaranya belum diatur oleh pemerintah Indonesia.
Secara keseluruhan Raung dan Umba melihat lingkungan hidup sebagai penyangga dasar kehidupan hayati termasuk manusia di dalamnya berada dalam keadaan krisis. Oleh karena itu dengan mendaftar sebagai Capres dan Cawapres, keduanya berjanji akan 100% berkomitmen terhadap lingkungan hidup Indonesia, guna menjaga yang masih ada dan memulihkan yang terlanjur rusak. Keduanya juga menantang Capres dan Cawapres lain untuk 100% berkomitmen terhadap lingkungan hidup Indonesia.
Afrisyah Nasution, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia mengatakan, pihaknya sengaja mengiring Raung dan Umba mendaftar sebagai Capres dan Cawapres di KPU, sebagai sindiran atas terhadap belum adanya Capres dan Cawapres yang mengusung visi dan misi lingkungan. Ia berharap KPU bisa menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki komitmen terhadap lingkungan hidup.

Sumber: BL

Ini Dia Capres dan Cawapres Pro Lingkungan


Written by Administrator


Wednesday, 21 May 2014 02:26

Aktivis Greenpeace mengantarkan Raung dan Umba ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendaftar menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
Keduanya mendaftar karena belum satu pun Bakal Calon Presiden yang menyatakan 100% berkomitmen terhadap perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup Indonesia.
Mereka adalah ikon capres dan cawapres yang pro lingkungan yang sengaja digiring aktivis lingkungan Greenpeace ke Media Center KPU. Raung sang Calon Presiden (Capres) adalah Harimau Sumatera yang telah kehilangan keluarganya akibat kebakaran hutan, dan juga kehilangan lebih dari separuh habitatnya karena deforestasi. Indonesia kehilangan 15,8 juta hektar hutan pada 20002012. Sementara pada 20112012 tingkat kehilangan hutan mencapai level tertinggi sejak akhir 1990-an meskipun pemerintah telah mengeluarkan aturan jeda tebang (moratorium).

Adapun Calon Wakil Presiden (Cawapres) adalah Umba, Lumba-lumba yang terancam kehilangan nyawa akibat penangkapan ikan berlebih dan kehilangan laut bersih akibat tailing dan buangan minyak kotor. Sejak April 2014 pencemaran akibat buangan minyak kotor di kawasan pesisir Bintan, Batam dan Karimun, Provinsi Kepulauan Riau diperkirakan mencapai 5.000 barel10.000 barel atau setara hingga 1.590 meter kubik minyak kotor yang tiba dan mencemari kawasan pantai.
Selain itu, Raung dan Umba juga menemukan kesalahan tata kelola pembangunan ekonomi nasional. Indonesia mengalami pertumbuhan luar biasa pesat di sektor pertambangan batu bara, ditandai dengan peningkatan ekspor hingga 5 kali lipat pada 20002012, menjadikan Indonesia eksportir terbesar sejak 2011. Lebih dari 85% produksi batubara Indonesia diekspor, hanya kurang dari 15% nya yang digunakan untuk kepentingan domestik.
Ironisnya, Indonesia hanya memiliki 0,6% cadangan batubara dunia, jauh di bawah cadangan yang dimiliki Amerika Serika, China, Australia dan India. Meskipun menjadi negara pengekspor terbesar batubara di dunia, ekspor batubara hanya menyumbang 3% dari total PDB, tidak sebanding dengan dampak negatif dan kerusakan yang diakibatkan oleh sektor batubara terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Persoalan lain yang menjadi fokus adalah kualitas air yang terus memburuk. Hampir seluruh sungai utama di Indonesia mengalami penurunan kualitas air, yang paling berbahaya adalah karena pencemaran bahan kimia beracun industri. Padahal lebih dari 119 juta masyarakat belum mempunyai akses terhadap air bersih. Salah satunya adalah Sungai Citarum yang menyuplai air ke Jakarta. Berbagai bahan kimia berbahaya dibuang oleh industri ke badan-badan sungai dan banyak diantaranya belum diatur oleh pemerintah Indonesia.
Secara keseluruhan Raung dan Umba melihat lingkungan hidup sebagai penyangga dasar kehidupan hayati termasuk manusia di dalamnya berada dalam keadaan krisis. Oleh karena itu dengan mendaftar sebagai Capres dan Cawapres, keduanya berjanji akan 100% berkomitmen terhadap lingkungan hidup Indonesia, guna menjaga yang masih ada dan memulihkan yang terlanjur rusak. Keduanya juga menantang Capres dan Cawapres lain untuk 100% berkomitmen terhadap lingkungan hidup Indonesia.
Afrisyah Nasution, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia mengatakan, pihaknya sengaja mengiring Raung dan Umba mendaftar sebagai Capres dan Cawapres di KPU, sebagai sindiran atas terhadap belum adanya Capres dan Cawapres yang mengusung visi dan misi lingkungan. Ia berharap KPU bisa menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki komitmen terhadap lingkungan hidup.

Sumber: BL

WWF Siap Membantu Inisiatif Restori APP


Written by Administrator


Wednesday, 21 May 2014 02:08

JAKARTA, BL- WWF menyambut baik inisiatif restorasi dan konservasi yang diumumkan kemarin oleh Asia Pulp & Paper (APP), anak perusahaan Sinar Mas.

Direktur Program Kehutanan Global dari WWF-Internasional, Rod Taylor dalam rilisnya yang diterima Beritalingkungan.com mengatakan, rencananya  APP untuk memulihkan dan melindungi satu juta hektar hutan alam dan ekosistem lainnya di Sumatera dan Kalimantan, telah menguatkan Kebijakan Konservasi Hutan, yang dikenal dengan FCP, yang diumumkannya Februari 2013 silam.

Namun inisiatif ini memerlukan kerjasama dengan para pemangku kawasan lainnya, masyarakat, instansi pemerintah dan LSM, di lanskap-lanskap yang disebutkan oleh APP dalam pengumumannya. Masih dibutuhkan konsultasi dengan berbagai pihak terkait langkah-langkah yang efektif dengan capaian yang terukur agar pelaksanaan restorasi dan konservasi ini dapat diwujudkan.

WWF kata Taylor terbuka untuk melanjutkan diskusi dengan APP untuk dapat memberikan masukan terkait pendekatan implementasi, prioritas dan pengembangan rencana aksi dengan target waktu yang jelas guna mewujudkan dampak konservasi yang nyata dari inisiatif ini.

Rod Taylor menjelaskan, WWF dan LSM lain  telah mengidentifikasi kurangnya perhatian APP terhadap deforestasi yang dilakukan di masa lalu, rencana baru ini akan menyempurnakan Kebijakan Konservasi Hutan (FCP) mereka. Namun pengumuman tersebut memberikan harapan. “Kami akan siap untuk bersama dengan APP dan pemangku kepentingan lain untuk  menghasilkan rincian detil inisiatif ini.”ujarnya.

Komitmen baru APP untuk restorasi dan konservasi ini mewakili kawasan yang  luasnya hampir setara dengan luasan konsesi hutan tanaman yang saat ini dikelola oleh APP. Koalisi LSM di Riau, Eyes on the Forest – dimana WWF-Indonesia adalah salah satu anggotanya – memperkirakan bahwa APP dan para pemasok kayunya telah membuka lebih dari dua juta hektar lahan hutan tropis, sejak mereka mulai beroperasi 30 tahun lalu.

Menurut Pimpinan Program Transformasi Pasar untuk Komoditas Hutan dari WWF-Indonesia, Aditya Bayunanda, untuk menjadi perusahaan yang bertanggungjawab tidaklah cukup dengan hanya berhenti melakukan pembukaan hutan alam, tetapi harus juga melaksanakan mitigasi dampak yang ditimbulkan sebelumnya.

Komitmen APP untuk mengambil inisiatif konservasi dan restorasi di tingkat lanskap ini memberikan harapan, meskipun keputusan mengenai bagaimana hal ini dilakukan nantinya memerlukan keterlibatan pemerintah dan masyarakat setempat serta pemangku kepentingan lainnya.”

“Kami juga sangat percaya bahwa jumlah luasan yang dihitung dalam target satu juta hektar ini, semestinya merupakan area tambahan dari luasan yang wajib dilindungi pemegang konsesi hutan tanaman di Indonesia berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.”tuturnya.

Belum lama ini, APP menyetujui kajian independen oleh Rainforest Alliance (RA) untuk melakukan evaluasi kinerja atas Kebijakan Konservasi Hutan (FCP) APP . Evaluasi  ini sejalan dengan permintaan WWF dan LSM lainnya agar tersedia sebuah rujukan bersama yang kredibel bagi para pembeli untuk menilai apakah perusahan ini telah mengubah operasinya sesuai komitmen yang dibuat.

Bayunanda mengatakan, WWF tetap menghimbau pelaku bisnis untuk memastikan bahwa APP telah taat mengimplementasikan secara penuh komitmennya, sebelum membuat keputusan untuk membeli dari APP.

“Komitmen baru APP untuk restorasi dan konservasi ini perlu diperkuat dengan masukan dari para pemangku kepentingan dalam pelaksanaannya dengan indikator pencapaian yang jelas.”tandasnya (Marwan).

Sumber: Berita Lingkungan