Dari perjalanan tim pelaksana proyek melakukan dialog informal dengan Dinas Kehutanan MUBA
dan juga dengan aparat pemerintah desa yang ada di sekitar hutan serta dari hasil pengamatan lapangan, maka ter-inpirasi oleh kami untuk mengangkat cerita Perjuangan masyarakat dan kurangnya keberpihakan Pemerintah didalam memerankan masyarakat local untuk pengelolaan hutan
Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK) merupakan bagian dari ekosistem hutan gambut yang sangat penting, baik nilai ekologinya maupun nilai ekonomi. Jika dilihat dari kondisi biofisiknya, bahwa kawasan ini masih terdapat bagian yang memiliki sumber daya kayu yang cukup baik dan juga memiliki kondisi tanah gambut yang cukup tebal (> 3 meter). Disekitar kawasan ini terdapat dua desa yang langsung berakses, yaitu desa Muara Merang dan desa Kepayang, karena untuk menuju ke lokasi kawasan tersebut mesti melalui dua desa tersebut. Bagi masyarakat di dua desa ini, bahwa kawasan HRGMK merupakan bagian penting dari sejarah kehidupan masyarakatnya. Karena sumber daya hutan yang ada di kawasan tersebut merupakan daya tarik dan sumber matapencaharian utama untuk kehadiran awalnya di desa ini. Sehingga sampai saat ini, masih banyak masyarakatnya yang sangat ketergantungan dengan sumber daya hutan (kayu) yang ada didalam kawasan tersebut.
Akan tetapi, konsep pengelolaan hutan dari dulu sampai sekarang sangat tidak berpihak kepada masyarakat. Pengelolaan hutan yang ada di sekitar desa mereka selalu diprioritaskan kepada perusahaan-perusahaan besar yang sangat tidak memperhatikan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Pada tahun 1970-an sampai tahun 2000, kawasan ini dikelola oleh HPH yang sangat ketat pengawasannya (protektif) dan bahkan sampai berakhir massanya tidak ada sumbangsih didalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Pada massa HPH habis (tahun 2000) sampai akhir tahun 2005, pengelolaan kawasan HRGMK dalam massa transisi (tidak ada perusahaan yang memiliki konsesi) sehingga berduyun-duyun masyarakat yang melakukan penebangan kayu sisa-sisa HPH. Kondisi ini tetap menjadikan masyarakat local tersingkirkan, karena yang banyak diuntungkan adalah para pemodal (disebut: cukong) yang datang dari luar desa, sedangkan masyarakat hanya dapat menjadi anak kapak (disebut: buruh) bagi para pemodal-pemodal tersebut.
Waktu terus berlalu, mulai awal tahun 2006 Pemerintah sangat gencar dengan penerapan kebijakan untuk memberantas pembalakan liar (Illegal Logger) pada kawasan ini, masyarakat resah dan bahkan kehilangan matapencahariannya karena para pemodal-pemodal tidak berani lagi memberikan modal dan membeli kayu dari masyarakat local. Sehingga kehidupan masyarakat kembali dalam ketidakpastian, dan masyarakat masih beruntung karena disekitar desa mereka terdapat konsesi perkebunan Sawit yang telah membuka lahan pada areal penggunaan lain (APL) yang seharusnya dapat dimiliki oleh masyarakat sebagai lahan garapannya. Dengan adanya Perusahaan perkebunan tersebut, masyarakat dapat menjadi buruh harian lepas (BHL) dengan upah yang sangat kcil (Rp. 25,000,-/hari kerja).
Disisi lain, kawasan didalam HRGMK yang sebelumnya dijadikan kawasan untuk penebangan liar (Illegal logging) dan uring-uringan pengambilan kayu disaat ada kesempatan, pada akhir tahun 2006 ini telah dijadikan lahan untuk penanaman akasia (HTI PT. Rimba Hutani Mas), dan beberapa perusahaan lainnya yang juga akan menanam akasia. Hal yang ironis dan menyedihkan, karena begitu mudahnya perusahaan-perusahaan besar mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah, sedangkan masyarakat tetap menjadi penonton akan “pestanya orang luar (pemodal besar) pada lahan-lahan di dalam kawasan desa mereka sendiri. Hal ini terlihat dilapangan, bahwa para perusahaan-perusahaan HTI tersebut lalu lalang membawa kayu hasil penebangan dilahan yang telah mereka mulai Land Clering (LC). Dimana keberpihakan para pemangku negeri ini (disebut: Menhut) terhadap kelestarian hutan alam dan keterlibatan masyarakatnya, karena jelas-jelas pada kebijakan PP No. 34 tahun 2002 bahwa kawasan yang dapat dialokasikan untuk HTI adalah kawasan yang tidak produktif (semak belukar, padang ilalang) tetapi kenyataan dilapangan sangat tidak sejalan dengan kebijakan tersebut. Kawasan HRGMK yang masih sangat baik (produktif), kok dijadikan areal untuk HTI.
Melihat kondisi ini, adanya kekhawatiran dari masyarakat akan hilangnya semua potensi yang mereka miliki termasuk potensi lahan yang ada di sekitar mereka dengan menjamurnya perusahaan-perusahaan yang telah mendapatkan izin, baik perusahaan sawit maupun HTI. Oleh karena itu, beberapa inisiatif dari masyarakat local Desa Muara Merang (dusun III – Pancoran) telah membuka kebun karet di dalam kawasan hutan produksi. Mereka sangat sadar bahwa; lahan kebun mereka ini berada di dalam kawasan hutan produksi, tapi mau dibilang apa? Karena lahan sudah sangat terbatas (diambil oleh perusahaan-perusahaan besar untuk dijadikan HTI dan perkebunan sawit). Disamping itu, masyarakat lokal desa Kepayang, telah juga berinisiatif untuk mengajukan pengelolaan HTR dan hutan desa pada kawasan yang tidak produktif di dalam kawasan HRGMK. Namun, inisiatif-inisiatif ini kurang mendapat fasilitasi dan respon positif dari Pemerintah Daerah kabupaten MUBA melalui Dinas Kehutanan. Karena Dishut MUBA, memandang bahwa masyarakat yang telah membuka kebun karet di dusun III (Pancoran) telah menyalahi aturan karena mereka telah membuka lahan kebun karet pada kawasan hutan produksi. Pihak Dinas Kehutanan MUBA beranggapan bahwa; jika mereka difasilitasi untuk pengelolaan HTR maka seolah-olah Dinas Kehutanan MUBA melegalkan keberadaan mereka. Sebenarnya anggapan ini, memang harus dilakukan untuk dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal didalam memanfaatkan lahan yang ada di sekitar mereka. Namun kenyataan sekarang ini, Dishut MUBA sangat tidak responsif untuk memfasilitasi kondisi tersebut sehingga masyarakat lokal terus dihantui ketakutan akan kepastian untuk menikmati hasil jerih payah mereka dari membuka lahan karet yang sudah mulai berumur 2-3 tahun. Disamping itu, untuk menyikapi masyarakat lokal desa Kepayang yang telah mengusulkan HTR dan hutan desa seluas 6.000 ha, Pemerintah Daerah Muba melalui Dishutnya juga kurang direspon dengan baik. Dishut selalu berpikiran negatif terhadap keberadaan masyarakat tersebut, sehingga usulan pengajuan masyarakat dalam bentuk surat menyurat masih terbenam di mejanya kepala dinas tanpa adanya kepastian kapan usulan tersebut di respon?……..
Bagaimana kelanjutan dari kisah perjuangan masyarakat ini, akan dapat kita lihat perkembangannya dalam cerita di bulan selanjutnya. (wbh)