Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang
Written by Administrator
Hutan Rawa Gambut Merang-Kepayang (HRGMK),
secara administrasi desa berada didalam pengawasan desa Muara Merang dan desa Kepayang kecamatan Bayung Lencir kabupaten Musi Banyuasin. Kedua desa ini merupakan desa terdekat dan ber-akses langsung dengan kawasan, sehingga menjadikannya sebagai target yang akan dilakukan kajian (disebut: studi) oleh Yayasan WBH dengan dukungan dari Sustainable Sumatera Support (SSS) didalam peluang penerapan model Community Base Forest Management (CBFM) oleh masyarakat lokal terhadap kawasan tersebut.
Pada tahap awal pelaksanaan proyek di bulan Desember 2008, telah dilakukan kajian Sosial-Ekonomi terhadap masyarakat di dua desa dan Karakteristik Kawasan HRGMK. Dari pelaksanaan kegiatan di lapangan, tim kajian telah menghimpun cerita menarik yang digali dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dan perwakilan pemerintahan desa tentang Hutan dan sistem pengelolaannya dulu dan sekarang.
Pada kuisioner semi-terstruktur yang merupakan panduan interview bagi tim kajian lapangan, terdapat satu pertanyaan yang memerlukan diskusi mendalam antara tim kajian dengan masyarakat yang diwawancarai. Pertanyaan tersebut adalah “apa persepsi/pandangan Bapak/Ibu tentang hutan? dan menurut Bapak/Ibu, bagaimana sistem pengelolaan hutan yang telah dilakukan selama ini?.
Hutan merupakan kumpulan beranekaragam pepohonan dan juga terdapat banyak binatang liar yang hidup didalamnya; ujar Pak Sewi (nama lengkapnya Sewinarno) salah seorang guru honor olahraga di SD Negeri 1 dusun Bakung desa Muara Merang, dan pak Sewi ini mulai menetap di desa Muara Merang pada tahun 2000 yang sebelumnya berasal dari Tanjung Raja, OKI. Dalam pembicaraan selanjutnya, pak Sewi menjelaskan bahwa; keberadaan Hutan Rawa Gambut Merang – Kepayang yang terdapat dibagian utara desa Muara Merang telah mempengaruhi karakter kehidupan masyarakat desa ini. Ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam kayu sebagai matapencaharian utama telah dimulai sejak masa HPH (akhir tahun 70-an) sampai tahun 2004. Berkayu telah mendidik masyarakat menjadi pemalas, menyukai kegiatan yang instant (cepat menghasilkan uang), sehingga sangat jarang masyarakat disini yang telah memiliki kebun (misalnya: karet, sawit, buah-buahan, dll.) yang cukup luas dan menghasilkan, padahal lahan disini cukup luas. Dengan bertambah jauhnya lokasi untuk tempat mengambil kayu dan juga semakin ketatnya pengawasan dari Pemerintah terhadap penebangan liar pada awal tahun 2004 sampai sekarang, maka masyarakat semakin sulit mengandalkan kegiatannya dari usaha sebagai pembalogg. Oleh karena itu, sejak tahun 2004 tersebut sudah banyak masyarakat yang memulai untuk mengembangkan usaha-usaha alternative seperti berkebun karet, buah-buahan, berternak, dan juga sebagai buruh di perusahaan-perusahaan perkebunan sawit sekitar desa. Pada akhir pembicaraannya, pak Sewi menekankan bahwa; keadaan sekarang ini, hampir tidak ada lagi warga desa Muara Merang yang berprofesi sebagai pembalogg (penebang liar).
Setelah melakukan wawancara dan penggalian informasi yang relevan dengan pak Sewi, anggota tim langsung menuju ke rumah Ibu Hj. Maimunah biasa dipangil Nyek adalah seorang janda dan merupakan sesepuh desa. Tim studi meminta kepada Nyek untuk menceritakan kondisi desa Muara Merang dulu dan sekarang. Dengan berbekal perjalanan hidupnya, Nyek memulai ceritanya; sekitar awal tahun 1960-an, Nyek beserta Suami serta mengajak seorang anak laki-laki yang masih kecil (sekarang Kades Muara Merang) memulai perjalanan panjang dari desa asalnya yaitu Pangkalan Balai menuju lokasi desa Muara Merang sekarang. Perjalanan yang hanya menggunakan perahu (berdayung sampan) di mulai dari sungai Musi, kemudian menelusuri sungai-sungai kecil untuk menuju sungai Banyuasin dan kemudian sungai Lalan, yang memakan waktu lebih kurang tiga minggu untuk sampai ke Muara Sungai Merang. Muara Sungai Merang sebagai tujuan akhir perjalanan, karena disini sangat banyak akan sumber daya ikan yang sangat cocok dengan profesi kami sebagai nelayan. Disamping itu, lokasi tersebut belum ada masyarakat yang bermukim sehingga memberikan keleluasaan bagi kami untuk berusaha nelayan dan membuka lahan pertanian. Dalam kurun waktu lima tahun bermukim, sudah ada sekitar lima keluarga yang menetap dan kami sepakat untuk pindah dan membuat pemukiman baru dibagian lebih hulu sungai Lalan (lokasi dusun Bakung sekarang) karena lokasinya lebih tinggi dibanding lokasi pemukiman sebelumnya. Pada awal tahun 1970-an, mulainya berdatangan orang kehutanan melakukan survey dan pengambilan kayu dilahan-lahan sepanjang sungai Lalan dan sungai Merang yang merupakan pemukiman kami sebagai tempat persinggahan orang-orang tersebut. Sejalan dengan waktu, masyarakat yang menetap di disini terus bertambah banyak. Bahkan pada tahun 1983 dibuatlah program Pemerintah untuk memukimkan para suku kubu yang hidup dipinggiran sungai Lalan dan sungai Merang, dengan dibangunkan rumah tempat bermukim lebih kurang 50 buah serta diberikan lahan ± 0,5 ha di belakang pemukiman yang ditanami karet. Akan tetapi program ini tidak membuat betah suku kubu dan akhirnya rumah-rumah yang dibangun banyak yang ditinggalkan. Puncak dan pesatnya para pendatang yang bermukim di desa Muara Merang terjadi pada akhir tahun 1998 dan awal tahun 2000, karena penebangan kayu di kawasan Hutan dibebaskan untuk masyarakat. Sehingga banyak sekali para pendatang terutama toke-toke (pemodal) dari Selapan (OKI) mendirikan Sawmill disepanjang sungai Lalan. Begitu juga dengan masyarakat lokal disini banyak yang menjadi buruh di pabrik Sawmil dan juga melakukan penebangan kayu secara mandiri untuk dijual di Sawmill-Sawmill tersebut. Pada masa ini masyarakat lokal Muara Merang dan juga pendatang sangat mudah mendapatkan uang dan hidup dalam kemewahan. Akan tetapi, pada masa ini masyarakat tidak memikirkan untuk menabung guna kehidupan kedepannya, misalnya membuat kebun karet atau kebun sawit, dan membuat rumah yang bagus. Jika kita lihat sekarang, kondisi masyarakat disini rata-rata masih dalam hidup miskin dan serba kekurangan. Kayu sudah habis, lahan desa banyak diambil oleh perusahaan Sawit dan HTI, sedangkan masyarakat tetap dalam kemiskinan; ujar Nyek menutup pembicaraannya.
Pada sesi lain, tim melakukan wawancara dan diskusi dengan Bapak Wanto (Ketua BPD desa Muara merang). Bapak Wanto ini adalah salah satu mantan pembalok di kawasan HRGMK pada masa berakhirnya HPH tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Hutan merupakan aset ekonomi bagi masyarakat desa, hal ini terbukti dari masa penebangan yang dibebaskan pada awal tahun 2000-an, banyak masyarakat yang kehidupannya lebih meningkat (lebih baik). Akan tetapi, keadaan ini hanya berlangsung sampai akhir tahun 2004, yang selanjutnya kawasan HRGMK banyak dikuasai oleh para pemilik modal luar desa yang indikasinya dibekengi oleh aparat Polda dan juga HTI Sinar Mas yang melakukan pemanenan hutan alam. Sehingga masyarakat lokal tersingkirkan alias tidak dapat lagi mengambil kayu di kawasan tersebut, padahal kawasan ini berada di dalam wilayah desa Muara Merang. Untuk kedepannya diharapkan adanya jalan keluar bagi masyarakat untuk bisa mamanfaatkan kayu didalam kawasan tersebut, jangan hanya perusahaan-perusahaan besar saja (seperti HTI Sinar Mas) yang diperhatikan oleh Pemerintah, sudah seharusnya masyarakat lokal juga dibina dan diperhatikan; ujar Pak Wanto sambil menghisap rokoknya. Kemudian Pak Wanto menambahkan, bahwa; kawasan HRGMK kondisinya saat ini masih cukup bagus alias masih banyak tegakan kayunya, dan jika dipelihara dan dikelola dengan baik, tidak perlu dilakukan penanaman lagi atau anakan alam yang sudah ada dapat tumbuh dan berkembang menjadi besar. Sangat disayangkan adanya perusahaan HTI pada kawasan tersebut, hal ini kemungkinan akal-akalan perusahaan untuk bisa mengambil sisa kayu alam untuk dijadikan kertas dan juga dijual logg-nya.
Pada studi Sosek ini, tim juga melakukan penggalian data dan informasi tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat di desa Kepayang. Anggota tim langsung menemui sekaligus melakukan wawancara dengan Pjs. Kades Kepayang (Bapak M. Ibnu Hajar); dalam wawancara ini, bapak Ibnu hajar (biasa disapa pak Benu) menjelaskan tentang pandangannya tentang hutan dan model pengelolaanya selama ini; Hutan merupakan kumpulan bermacam-macam kayu tegakan dan juga sebagai tempat hidupnya satwa liar. Kawasan hutan adalah hutan yang dikelola oleh negara, seperti hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Didalam wilayah desa Kepayang terdapat kawasan hutan produksi, yang sering kami sebut sebagai hutan gambut merang-kepayang. Memang didalam kawasan hutan tersebut terdapat tanah gambut yang relatif tebal dan juga dibeberapa tempat tidak bergambut serta datarannya tinggi (tidak berawa). Kondisi kawasan hutan produksi tersebut dibeberapa tempat sudah rusak (tidak ada tegakan kayu besar), dikarenakan pernah terjadi kebakaran hutan yang cukup besar pada tahun 1997, 2004, 2006, dan juga kerusakan ini disebabkan oleh banyaknya penebangan liar pasca konsesi HPH tahun 2000. Disamping itu, sistem pengelolaan yang dilakukan selama ini sangat kurang berpihak kepada masyarakat. Pada saat sekarang ini, kawasan-kawasan HRGMK telah banyak dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar HTI. Sehingga hilir mudik, perusahaan-perusahaan tersebut mengangkut kayu-kayu logg hasil dari kegiatan pembersihan lahan (land clearingnya) nyaris hampir setiap hari dapat terlihat disekitar kawasan Sungai Merang. Kok, perusahaan boleh mengambil kayu, mengapa masyarakat tidak boleh? (desah pak Benu sambil menunjuk tongkang angkutan kayu dari PT. RHM yang lewat membawa kayu). Kedepannya kami sangat khawatir akan hilangnya semua lahan yang ada di sekitar desa kami, sehingga kami telah mengusulkan HTR kepada pemerintah MUBA seluas 6.000 ha, mudah-mudahan akan cepat terealisasi. HTR ini akan kami tanami dengan karet dan juga untuk per 2.000 ha-nya akan kami jadikan hutan desa. Kami sangat mendukung dengan adanya, program dari WBH untuk mendorong masyarakat didalam pengelolaan hutan. Mudah-mudahan masyarakat kami akan lebih mudah dan didengar dalam memperjuangkan keinginan kami (sebuah ungkapan hati pak Benu kepada tim studi, pada saat pak Benu menutup pembicaraannya).
Demikianlah cerita singkat yang didapat dari hasil wawancara tim studi Sosek dilapangan, sebagai khasanah kita didalam memahami masyarakat akan keberadaan hutan yang ada disekitar mereka. (wbh)