Written by Administrator
Badak Sumatera diperkirakan jumlahnya kurang dari seratus ekor
di hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan. Badak Sumatera terakhir terdapat di Malaysia dua tahun lalu di wilayah Sabah, tetapi bulan lalu pakar menyatakan spesies itu telah punah di negara itu. International Union for the Conservation of Nature, IUCN atau Organisasi Internasional Pelestarian Alam memperingatkan, badak sumatra itu akan segera punah jika tidak diambil tindakan. Badak Sumatra itu adalah yang terkecil dari tiga jenis badak Asia. Ada 57 ekor badak Jawa atau Rhinoceros Sondaicus dan lebih dari 3000 badak India atau Rhinoceros Unicornis. Populasi badak Sumatra diperkirakan turun 50 persen dalam satu dasawarsa terakhir.
Memaksimalkan kelahiran badak sumatera di penangkaran menjadi satu-satunya cara paling memadai untuk menyelamatkan spesies berusia 20 juta tahun ini dari kepunahan total. Benarkah?
Di masa lalu, badak sumatera berkeliaran di hutan-hutan di India, Bangladesh, Myanmar, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Tiongkok. Namun, menjelang pertengahan abad ke-20, populasinya menyusut drastis karena hilangnya habitat dan diburu untuk diambil culanya. Permintaan akan cula badak ini awalnya berasal dari kepercayaan umum yang menyatakan bahwa cula badak mengandung obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Seperti yang dilansir dari Harian Daily Express Malaysia, kombinasi berbagai faktor telah menyebabkan menyusutnya badak sumatera mulai dari minimnya pengetahuan tentang populasi badak dan status reproduksi di alam liar, praktik kurang berhasilnya proses reproduksi di pusat penangkaran, upaya konservasi yang belum efektif, dan tidak ada pengembangan program pembiakan yang efektif di pusat-pusat penangkaran.
Para peneliti satwa liar memperkirakan, saat ini hanya ada kurang dari 100 badak sumatera yang tersisa di dunia. Populasinya saat ini sebagian besar ada di Pulau Sumatera dan hanya sedikit sekali yang tersisa di Sabah, Malaysia. Sementara, di Semenanjung Malaysia, spesies ini diperkirakan benar-benar sudah punah meskipun belum diakui secara resmi.
Dalam 30 tahun terakhir, lebih banyak badak sumatera yang mati dibandingkan yang lahir, baik di alam liar maupun di penangkaran. Tercatat, antara 1984 hingga 1995, ada 22 badak sumatera yang ditangkap di Semenanjung Malaysia dan di Sabah untuk proyek penangkaran.
Namun, tidak ada satupun yang beranak pinak di penangkaran tersebut. Semuanya mati, kecuali satu ekor yang memang sudah hamil saat ditangkap. Kini, populasi badak yang tersisa di Malaysia hanyalah badak jantan bernama Tam dan dua betina bernama Puntung dan Iman.
Ketiga badak ini ditangkap dari alam liar di Sabah antara 2008 hingga 2014, yang saat ini berada di Borneo Rhino Sanctuary (BRS) di Tabin Wildlife Reserve, di bawah perawatan Borneo Rhino Alliance (BORA), sebuah organisasi non-pemerintah yang dikembangkan di bawah arahan Sabah Wildlife Department. Sayangnya, baik Puntung maupun Iman memiliki masalah saluran patologi reproduksi yang parah, mungkin karena mereka mengalami masa-masa sulit tidak berkembang biak di alam liar dalam waktu yang lama.
Meski begitu, keduanya masih memproduksi oosit, yang merupakan sel-sel yang membentuk telur yang kemudian dapat dibuahi oleh sperma.
Untuk menyelamatkan badak-badak terakhir ini dari kepunahan, Sabah Wildlife Department and BORA bekerja sama dengan Leibniz Institute for Zoo and Wildlife Research (IZW) dari Jerman dan Profesor Cesare Galli, dari Laboratorium Avantea di Italia, berupaya untuk memproduksi embrio badak sumatera di laboratorium tersebut dengan menggunakan Advanced Reproductive Techniques (ART). Sepertinya, ART merupakan cara terbaik untuk menumbuhkan populasi badak sumatera di penangkaran.
Dibandingkan dengan teknik inseminasi buatan tradisional yang memompa jutaan sperma ke dalam rahim badak betina, teknik yang sudah teruji untuk hewan-hewan peliharaan atau injeksi sperma intraseluler ini, mampu memaksimalkan kesempatan pembuahan telur dengan menyuntikkan satu sperma yang paling layak menjadi oosit tunggal. Embrio yang dihasilkan kemudian ditanamkan ke badak betina untuk menjadi janin melalui kehamilan normal.
Menurut Datuk Dr. Junaidi Payne, Direktur Eksekutif BORA, semua badak sumatera yang ada di penangkaran harus disatukan dalam dua atau tiga fasilitas perawatan intensif, di mana penggunaan gamet (sel yang diproduksi oleh organisme untuk tujuan reproduksi seksual) dapat dimaksimalkan.
“Kita berpacu dengan waktu untuk menghasilkan gamet dari badak di sini untuk digunakan dalam fertilisasi in-vitro. Serta, mengawetkan gamet dengan dibekukan dan baris stem sel dalam kurun 2014-2017,” katanya.
Direktur Sabah Wildlife, William Baya, mengatakan bahwa melalui ART setiap individu badak dapat dimaksimalkan untuk membantu menyelamatkan spesies ini.
“Mengingat, spesies ini benar-benar di ambang kepunahan, Sabah Wildlife Department berkomitmen mendukung program penangkaran badak sumatera dengan menggunakan teknologi ART. Ini cara terbaik yang kita miliki. Pada prinsipnya, kami siap mendukung Indonesia melestarikan satwa ini, jika diminta.”
Dato Dr. Dionysius Sharma, CEO dan Direktur Eksekutif WWF-Malaysia, yakin bahwa program ART bisa menyelamatkan badak sumatera dari kepunahan. “Solusi inovatif diperlukan untuk mengangkat kembali populasi badak sumatera terancam punah. Lebih dari seabad lalu, badak afrika juga terancam punah dan dipindahkan ke pusat konservasi berupa tanah luas yang dipagar, serta penangkaran yang dilakukan terhadap bison eropa. Kami berharap dapat melakukan yang sama terhadap badak sumatera,” ujarnya.