Larang Pembakaran Hutan, Menteri LHK Setuju Revisi UU Lingkungan Hidup


Written by Administrator


Monday, 26 October 2015 15:00

Jakarta – Aturan yang mengatur larangan membakar hutan untuk membuka lahan dinilai masih longgar. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) akan merevisi aturan tersebut.

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menyatakan pihaknya sedang mempersiapkan pengkajian peraturan daerah serta revisi Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

“Kita memang sedang mempertimbangkan untuk melakukan revisi Undang-Undang 32 tahun 2009, yang penjelasan pasalnya yang kearifan lokal maka dibenarkan melakukan pembukaan lahan dengan membakar sekitar 2 hektare,” ujar Siti di Gedung Nusantara I DPR, Senayan, Jakarta, Senin (26/10/2015).

Dia mengatakan sudah meminta revisi undang-undang tersebut. Namun, revisi ini juga disertai dengan upaya pelindungan hutan gambut.

“Kita minta revisi dan saya juga mempertimbangkan dengan menyatukan sekaligus dengan langkah-langkah melindungi gambut dalam Undang-Undang 32 tahun 2009. Kondisi gambut kita sekarang genting karena gambutnya,” tuturnya.

Menurutnya, dalam revisi UU 32 Tahun 2009 akan diatur dengan detail norma-norma soal larangan pembukaan lahan. Terkait izin lurah dan camat yang mudah, hal ini juga akan menjadi evaluasi.

“Itu yang akan kita evaluasi bangat sekarang (izin lurah dan camat). Sekarang sekaligus dinaikan, revisi Undang-Undang 32tahun 2009, atas dasar kearifan lokal, maka harus ditambahkan, norma-norma yang disepakati itu apa? Atau harus disepakati tak boleh dibakar lagi dalam kondisi apa? Dibenarkan atau diatur dalam jadi, itu yang nanti kita persiapkan,” tuturnya.

Seperti diketahui, Undang-Undang yang mengatur pembukaan lahan dengan pembakaran yaitu Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Berikut bunyi aturan larangan pembakaran hutan di Pasal 69 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, seperti dikutip detikcom dari situs resmi DPR RI:

Ayat (1) Setiap orang dilarang:

a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

Ayat (2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

(Sumber: Detik.Com)

Ini 3 Perusahaan Pembakar Hutan yang Izinnya Dicabut Kementerian LHK


Written by Administrator


Monday, 26 October 2015 14:57

Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mencabut izin 3 perusahaan serta membekukan 7 perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan dan lahan. Ketiga perusahaan yang dicabut izinnya berasal dari Sumatera dan Kalimantan.

“Yang dicabut PT Hutani Sola Lestari (Riau, red), PT Mega Alam Sentosa (Kalbar) dan PT Dyera Hutan Lestari (Jambi),” ujar Dirjen Penegakan Hukum Kementerian LHK Rasio Ridha Sani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (26/10/2015).

Sementara, tujuh perusahaan yang sudah dibekukan izinnya yaitu Langgam Inti Hibrindo, Waringin Argo Jaya, PT TPR, Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (PT SBA WI), PT PBP, PT DML, dan PT RPP.

“Tujuh perusahaan ini sudah dibekukan izinnya,” tuturnya.

Selain 10 perusahaan tersebut, Kementerian LHK masih mengawasi sekitar 41 perusahaan. Perusahaan-perusahaan ini juga berada di Sumatera dan Kalimantan.

“Itu 41 masih kami investigasikan. Kita lihat lagi bagaimana ke depannya,” ujarnya. (Sumber: Detik.Com)

Kabut Asap dari Indonesia Makin Meresahkan Warga Filipina


Written by Administrator


Monday, 26 October 2015 14:51

Manila – Kabut asap kiriman dari kebakaran lahan di Indonesia makin mengganggu warga Filipina. Sejumlah penerbangan pun dibatalkan. Kabut asap ini juga telah meresahkan warga setempat karena banyak yang terkena masalah pernapasan. Otoritas setempat pun mengimbau rumah sakit siaga melayani warga yang memerlukan bantuan medis.

“Departemen Kesehatan menyarankan warga yang mengalami kesulitan bernapas atau masalah pernapasan untuk mengenakan masker di wilayah yang tertutup kabut,” imbau juru bicara Kepresidenan Filipina, Herminio Coloma kepada wartawan seperti dilansir AFP, Senin (26/10/2015).

Sejumlah rumah sakit di wilayah Filipina bagian selatan diminta siaga dan bersiap merawat setiap warga yang terdampak kabut asap. Salah satu warga setempat, Galilea Arado (49) terpaksa mengenakan masker sepanjang hari karena khawatir kabut asap ini akan memperparah asma yang dideritanya.

“Saya alergi asap dan debu, dan saya takut asap ini memperparah asma saya,” tuturnya seperti dilansir Philippine Daily Inquirer.

Warga lainnya, Arlene Pesquira (40) mengaku sejak pekan lalu mengalami gangguan pernapasan. Putrinya, Celian Janica yang masih berusia 12 tahun juga mengalami batuk-batuk sejak kabut asap menyelimuti kota Tagbilaran, tempat tinggalnya, sejak Jumat (23/10) lalu.

“Mata dan tenggorokan saya mengalami iritasi sejak pekan lalu,” sebut Pesquira.

Enam penerbangan ke wilayah pusat dan selatan Filipina terpaksa dibatalkan atau ditunda pada Minggu (25/10) karena kabut yang semakin tebal di udara. Para pilot pesawat di kota Cebu hanya memiliki jarak pandang 8 kilometer ke depan. Pengamat cuaca pemerintah, John Agbay menyatakan jarak pandang juga semakin berkurang di Pulau Palawan, Filipina sebelah barat.

Kebakaran lahan yang terjadi di Indonesia merupakan peristiwa tahunan. Namun cuaca panas dan kering semakin memperburuk insiden ini. Malaysia, Singapura, Australia dan Jepang mengirimkan bantuan untuk membantu pemerintah Indonesia memadamkan kebakaran lahan.

Kabut asap di Filipina cukup ringan jika dibanding dengan wilayah Asia Tenggara lainnya yang lebih parah. Para pakar menyebut, topan Koppu yang menerjang Filipina pekan lalu mungkin berkontribusi dalam membawa kabut asap dari Indonesia ke wilayah Filipina.

Secara terpisah, Sekretaris Kantor Komunikasi Kepresidenan, Herminio Coloma Jr seperti dikutip media setempat, philstar.com, menyebut kabut asap ini sebenarnya bukan berasal dari kebakaran lahan di Indonesia, melainkan akibat angin khatulistiwa yang dipicu topan Koppu atau Lando. Pernyataan ini berdasarkan laporan Otoritas Layanan Astronomi, Geofisika dan Atmosferis Filipina (Pagasa).  (Sumber: Detik.com)

Singapura Serukan ASEAN Ambil Tindakan Tegas Atasi Kabut Asap


Written by Administrator


Monday, 26 October 2015 14:49

Singapura, – Pemerintah Singapura menyerukan negara-negara anggota ASEAN mengambil tindakan tegas dan keras terhadap masalah kabut asap akibat pembakaran hutan di Indonesia. Hal ini disampaikan Singapura menjelang KTT ASEAN di Malaysia bulan depan.

Seruan ini disampaikan Singapura setelah pasukan dan pemadam kebakaran negeri itu kembali usai melakukan misi bantuan internasional untuk memerangi kebakaran hutan di Sumatra.

“ASEAN harus mengambil tindakan tegas dan keras, lewat peningkatan kerjasama regional, guna mencegah terulangnya masalah lintas perbatasan ini,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Singapura, MFA seperti dilansir kantor berita AFP, Senin (26/10/2015).

“Singapura akan bekerjasama secara erat dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk sepenuhnya mengoperasikan Sistem Monitoring Asap ASEAN, dan gagasan-gagasan kooperatif lainnya,” demikian disampaikan MFA.

Dikatakan MFA, Singapura akan menempuh tindakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas kabut asap tersebut. MFA pun mendesak Indonesia untuk merespons “permintaan kami yang berulang-ulang untuk membagi informasi” mengenai perusahaan-perusahaan pembakar hutan.

Singapura termasuk salah satu negara ASEAN yang mengalami dampak parah kabut asap dari Indonesia. Otoritas setempat sebelumnya telah meliburkan sekolah-sekolah di negeri itu dikarenakan kabut asap ini. Selain Singapura, kabut asap ini telah hinggap di Malaysia, Thailand dan Filipina. (Sumber: Detik.com)

Kebakaran Gambut dan Tanggung Jawab Korporasi


Written by Administrator


Monday, 12 October 2015 12:19

Empat tahun lalu tragedi mirip darurat asap di Indonesia terjadi di Jepang. Ketika itu pada Maret 2011 gempa bumi hebat mengakibatkan gelombang tsunami di Sendai. Bencana itu membuat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)—yang memasok listrik ke perusahaan Tokyo Electric Power Company (TEPCO)—meledak dan reaktor bocor sehingga melepas radiasi berbahaya. Pemerintah Jepang bergerak cepat menetapkan “keadaan darurat tenaga nuklir” kemudian mengevakuasi ribuan penduduk yang tinggal dekat PLTN. Sebaliknya TEPCO dianggap lambat melakukan pembersihan dan mencegah penyebaran radiasi.

Semua mafhum gempa dan tsunami merupakan bencana, tetapi kebocoran reaktor akibat bencana adalah kelalaian manusia dalam perencanaan proyek. Rakyat Jepang pun marah sehingga pemerintah melalui Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan, menekan Presiden TEPCO, Masataka Shimizu, untuk bertanggungjawab lebih proaktif. Naoto Kan meminta TEPCO menyelesaikan kasus ini dan membersihkan daerah dari radiasi nuklir. TEPCO bersedia bertanggungjawab dengan bekerja lebih cepat mengatasi situasi dan mencegah penyebaran radiasi lebih meluas.

Toh, bukan pertanggungjawaban itu yang menarik perhatian seluruh dunia—terutama orang asing yang tinggal di Jepang. Presiden Tepco melakukan kisah heroik seperti layaknya kisah anime atau manga. Usai bersedia memenuhi permintaan perdana menteri, Presiden TEPCO berkunjung ke lokasi pengungsian. Di sana Masataka menemui pengungsi satu per satu lalu bersujud. Di tengah suasana emosional itu seorang pria murka. Ia lantas duduk di atas kursi dan mencaci-maki Masataka yang bersujud dalam diam sebagai bentuk permohonan maafnya.

Itulah gambaran penyesalan seorang pemimpin perusahaan di Jepang yang telah merugikan rakyat banyak. Cerita itu melengkapi kisah heroik lain dari Jepang semisal pejabat yang bunuh diri atau mengundurkan diri bila ketahuan melakukan tindakan aib. Tradisi meminta maaf merendahkan diri demi kehormatan atas kesalahan yang dilakukan rakyat Jepang diwarisi oleh tradisi seppuku (ritual bunuh diri akibat kesalahan yang disengaja atau pun tidak sengaja, red) para samurai. Jauh panggang dari api dengan kelakuan para pemimpin perusahaan perkebunan sawit dan HTI yang areal kebunnya di lahan gambut dilalap api. Jangankan meminta maaf, mereka malah ramai-ramai—melalui konsorsium perusahaan—menolak turut bertanggung-jawab. Mereka malah berkilah sebagai korban karena lahan konsesi mereka terbakar akibat loncatan api dari lahan tetangga.

Bila pun benar lahan mereka terbakar akibat loncatan api dari lahan sebelah, sikap mereka berbanding terbalik dengan Presiden TEPCO yang memilih bertanggung-jawab dan meminta maaf meskipun penyebab meledaknya reaktor jelas-jelas bencana alam gemba bumi dan tsunami yang tak dapat diramalkan. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, sebagian—untuk tidak menyebut semuanya—perusahaan pemegang ijin di lahan gambut memang melakukan pembukaan lahan gambut dengan pembakaran.

Bahkan berbagai NGO seperti Walhi melalui tim investigasi mereka sudah melaporkan beberapa perusahaan yang lahannya terbakar di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Karena itu sudah selayaknya pemerintah pusat dan pemerintah daerah menekan mereka untuk bertanggung jawab membantu memadamkan api, meminta maaf pada masyarakat, serta mengganti kerugian material dan non material yang dialami masyarakat. Rakyat pun jangan mudah tergoda malah saling mencaci-maki Pemerintah Pusat yang kini tengah bekerja keras mengkoordinasikan pemadaman api. Tentu kita semua tahu pemberi ijin perusahaan pasca reformasi berada di tangan pemerintah daerah. Sehingga sejatinya gubernur dan bupati—di bawah koordinasi presiden—yang wilayahnya terbakar selayaknya pula meminta maaf pada publik.

Pasca kebakaran gambut tahun ini, pemerintah pusat dan daerah harus memetakan lahan yang terbakar dengan bantuan data satelit lalu mengambil alih penguasaan lahan kembali kepada pemerintah. Tentu dengan tetap meminta kompensasi biaya pemulihan lahan. Ke depan pemerintah daerah perlu mengevaluasi mekanisme pemberian ijin perusahaan yang hendak mengusahakan areal gambut. Hanya perusahaan yang menguasai teknologi pengelolaan lahan gambut yang boleh diberikan ijin. Pemerintah daerah harus paham bahwa karakteristik lahan gambut sangat spesifik lokasi dan berbeda dengan lahan kering sehingga butuh teknologi yang berbeda.

Sebagai contoh sederhana selama ini kebanyakan perusahaan perkebunan memahami pembuatan kanal alias saluran di daerah rawa gambut adalah untuk mendrainase (membuang) air berlebih di lahan sehingga layak untuk ditanami sawit atau kayu bahan baku kertas. Padahal, menurut Prof. Dr. Muhammad Noor, peneliti di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pembuatan kanal di lahan rawa gambut bertujuan sebaliknya. Kanal berfungsi sebagai sarana pengawetan (konservasi) air sehingga muka air tanah dapat diatur.

Contoh lain adalah pintu air di irigasi lahan kering berfungsi untuk mengatur pemberian air dari saluran ke areal tanam. Sebaliknya di lahan gambut pintu air justeru berperan untuk membendung air agar tidak keluar ke sungai. Prinsip sederhananya di lahan kering kekurangan air terjadi di areal tanam karena sumber air adalah sungai. Sementara di lahan rawa gambut, sumber air adalah areal tanam sedangkan sungai adalah saluran pembuangan. Di luar 2 contoh di atas, masih banyak teknologi spesifik lokasi lain yang dibutuhkan untuk membuka lahan gambut.

Tentu tanggung jawab para pemimpin korporasi tak hanya berhenti dengan hanya meminta maaf. Mereka wajib mengatasi kebakaran hutan, mencegah penyebaran, dan membayar kerugian materi dan nonmateri pada negara. Bila itu tidak dilakukan jangan salahkan warga Indonesia maupun warga dunia melakukan aksi boikot terhadap produk korporasi. Pengadilan rakyat pun bukan tak mungkin tak terhindarkan. Terakhir, jangan sampai sejarah mencatat korporasi perkebunan di Indonesia hadir sebagai pelaku genosida paling kejam di dunia. (Sumber: Radar)

Destika Cahyana, SP
Peneliti di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Kalimantan Selatan
Pendiri Yayasan Wahana Bumi Hijau (WBH), Sumatera Selatan
Pendiri Institut Agroekologi Indonesia, Jakarta
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Chiba, Jepang dengan kajian Remote Sensing.
Ketua Hubungan Pemerintah RI Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) wilayah Kanto, Jepang

AMAN Sumsel Ajukan Kontrak Politik demi Perlindungan Masyarakat Adat


Written by Administrator


Friday, 21 August 2015 09:48

Berbagai cara terus dilakukan demi memperjuangkan masyarakat adat. Misalnya, mendorong undang-undang dan peraturan daerah yang terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat terhadap calon kepala daerah.

Pemilihan kepala daerah secara serentak di Indonesia yang diperkirakan berlangsung pada Desember 2015, dimanfaatkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan dengan membuat kontrak politik pada para calon kepala daerah. Kontrak politik itu isinya adalah jika terpilih menjadi kepala daerah akan menelurkan peraturan daerah mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

“Di Sumatera Selatan ada tujuh kabupaten yang melaksanakan pemilihan kepala daerah. Semua calon sudah kami kirim surat yang isinya menawarkan kontrak politik terkait masyarakat adat,” kata Rustandi Adriansyah, Ketua BPH AMAN Sumsel, Selasa (18/08/15). “Ada 21 pasangan calon yang kita tawarkan kontrak politik tersebut,” lanjut Rustandi yang akrab dipanggil “Boat”.

Adapun kabupaten yang akan melakukan pemilihan bupati pada Desember 2015 ini adalah Ogan Ilir, Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Timur, OKU Selatan, Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Musirawas, dan Musirawas Utara.

Rencananya, pasangan calon yang bersedia melakukan kontrak politik, akan dipertemukan dalam sebuah kegiatan seminar pada Oktober 2015. “Saat kontrak politik tersebut dilakukan, kita juga sudah menyiapkan draf peraturan daerah mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat adat,” kata Rustandi.

Artinya, jika pasangan tersebut terpilih, mereka sudah memiliki draf dan naskah akademik yang ditawarkan AMAN Sumsel yang memperjuangkannya bersama koalisi lembaga non-pemerintah lain di Sumatera Selatan.

“Tidak ada alasan teknis lagi jika mereka terpilih,” ujarnya.

70 tahun sudah Indonesia merdeka, harusnya masyarakat adat ikut merdeka juga. Namun, tidak demikian faktanya. Foto: Taufik Wijaya

Mengenai naskah akademik peraturan daerah, AMAN Sumsel saat ini telah membentuk tim yang dipimpin Dr. Tarech Rasyid. “Pembuatan perda ini merupakan perwujudan dari partisipasi publik dalam melahirkan peraturan daerah,” kata Tarech, Rabu (19/08/15).

Terkait naskah akademik, Tarech menjelaskan tim yang dipimpinnya akan melakukan beberapa tahapan kerja. Pertama, akan melakukan penelitian apakah marga—sebagai payung hukum masyarakat adat di Sumatera Selatan—masih bertahan di masyarakat. Sebab dengan pencabutan pemerintahan marga tahun 1983 berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga, kemungkinan besar hukum adat sudah hilang atau tergantikan dengan pemerintahan desa. “Mungkin dari 170 marga hanya tersisa beberapa marga yang masih bertahan dengan hukum adatnya. Tapi asumsi ini harus dibuktikan melalui penelitian,” ujarnya.

Kedua, dibutuhkan adanya keinginan masyarakat tersebut untuk membentuk komunitas adat. Ketiga, selanjutnya dilakukan penyusunan naskah akademiknya.

“Prinsipnya peraturan daerah ini untuk menjamin kesejahteraan dan identitas masyarakat, khususnya yang hidup di sekitar hutan atau yang berada di pedalaman,” kata Tarech.

Bagaimana dengan pasangan yang tidak mau melakukan kontrak politik? “Kita tidak memaksa mereka. Kita hanya akan mengumumkan pasangan mana saja yang siap melakukan kontrak politik. Jika ada lima pasangan, itu artinya di Sumatera Selatan, hanya lima pasangan tersebut yang memiliki kepedulian terhadap persoalan masyarakat adat,” kata Rustandi, Ketua BPH AMAN Sumsel periode 2013-2018.

“Jika tidak ada pasangan yang bersedia. Itu pertanda partai politik di Indonesia gagal membina kadernya yang peduli dengan persoalan masyarakat adat. Selanjutnya. Penilaian diserahkan kepada masyarakat Indonesia,” paparnya.

Sebaran marga yang ada di Sumatera Selatan. Sumber: AMAN Sumsel

Sumber: Mongabay.co.id

70 Tahun Indonesia Merdeka, Masyarakat Adat Harus Merdeka Juga


Written by Administrator


Friday, 21 August 2015 09:39

Republik Indonesia sudah 70 tahun merdeka. Namun, masyarakat adat yang menjadi tulang punggung bangsa Indonesia kondisinya kian memprihatinkan. Ini dikarenakan berbagai kebijakan pembangunan yang telah merampas alat produksi utama mereka yakni hutan dan lahan.

“Kita sudah merdeka 70 tahun. Sudah saatnya masyarakat adat Indonesia merasakan kemerdekaan. Masyarakat adat Indonesia harus merdeka,” kata Rustandi Ardiansyah, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan dalam kegiatan sosialisasi lahirnya undang-undang dan peraturan daerah pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, di Kambang Iwak, Palembang, Minggu (16/8/15).

Bagaimana mencapai kemerdekaan tersebut? “Salah satunya dengan lahirnya undang-undang atau peraturan daerah yang mengakui dan melindungi masyarakat adat,” ujarnya.

Saat diskusi, Tarech Rasyid, pengamat sosial dan lingkungan hidup dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang menuturkan, selain mendorong lahirnya undang-undang maupun peraturan daerah terkait masyarakat adat, “Perlu juga pencabutan perundang-undangan pembubaran masyarakat adat, seperti pembubaran hukum Marga di Sumatera Selatan,” kata Tarech.

Bangunan milik masyarakat di SM Dangku yang dirobohkan dengan menggunakan alat berat oleh BKSDA Sumsel pada Desember 2014 lalu. Foto: BKSDA Sumsel

Artinya, UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa harus dicabut. “Sebab undang-undang tersebut telah mencabut hak-hak adat yang sebelumnya sudah tumbuh dan berkembang pada bangsa Indonesia selama ratusan tahun,” ujarnya.

Sementara di Sumatera Selatan yang perlu dicabut yakni Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga. “Jika Pemerintah Sumatera Selatan benar-benar berpihak pada masyarakat adat, cabut keputusan tersebut, dan lahirkan peraturan daerah yang melindungi dan mengakui masyarakat adat,” kata Tarech.

Perlu kajian

Guna mewujudkan undang-undang maupun peraturan daerah terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, kata Tarech, tidak hanya mengandalkan Keputusan MK No.35 Tahun 2013. “Perlu dilakukan riset empiris dan normatif, sehingga draf yang dibuat sangat kuat,” katanya.

Ning Agustini dari bagian hukum Pemerintah Sumatera Selatan, mengatakan Pemerintah Sumatera Selatan sangat mendukung upaya pembuatan undang-undang maupun peraturan daerah tersebut. “Namun semuanya sesuai dengan Permendagri No.52 tahun 2014.”

Oleh karena itu, menurutnya, perlu dilakukan beberapa hal. Mengidentifikasi sistem peradilan adat  atau hukum adat dan kekayaan adat atau hak ulayat secara lengkap, serta mengajukan usulan ke prolegnas dan pemerintah daerah atau kota.

Selain berdiskusi, AMAN Sumsel juga menarik dukungan dari masyarakat. Termasuk menggelar pertunjukkan musik dan pembacaan puisi. Dukungan dari masyarakat berupa tanda tangan yang isinya mendesak pemerintah segera melahirkan undang-undang maupun peraturan daerah terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Masyarakat yang memberikan dukungan umumnya mereka yang tengah melakukan olahraga di Kambang Iwak. “Lumayan, terkumpul 300 tanda tangan,” kata Yusri Arafat, selaku ketua panitia pelaksana kegiatan tersebut.

Yusri juga menjelaskan, hasil rekomendasi dari diskusi tersebut akan segera dijalankan. “Langkah pertama kita akan membentuk tim penyusunan naskah akademik untuk peraturan daerah terkait masyarakat adat, dan rekomendasi kepada pemerintahan Jokowi-JK,” ujarnya.

Sebagai informasi, persoalan masyarakat adat di Sumatera Selatan cukup menonjol. Selain persoalan kemiskinan, juga adanya tindak kriminalisasi terhadap sejumlah tokoh adat yang memperjuangankan tanah adatnya, seperti yang dialami Muhammad Nur bin Jakfar.

Sumber: Mongabay.co.id

Kebakaran Lahan, Masyarakat hanya Dimarahi dan Dijadikan Tukang Padam Api


Written by Administrator


Friday, 21 August 2015 09:36

Sampai pertengahan Agustus 2015 ini, Sumatera Selatan bebas dari bencana kabut asap. Setiap titik api terus dipadamkan. Namun begitu, mampukah upaya ini berhasil dilakukan hingga badai El Nino berlalu?

“Kemungkinan tetap mampu. Tapi biayanya pastilah sangat besar, yang kemungkinan besar dana tersebut diambil dari dana pajak masyarakat. Namun, hal tersebut tidak memberikan dampak yang baik bagi masyarakat di sekitar lahan gambut atau hutan. Mereka hanya dimarahi dan dijadikan tukang padam api,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, Rabu (19/08/15).

Pola pencegahan kebakaran tersebut, kata Hadi, sangat tidak masuk akal. “Orang numpang mencari makan di tanah kita. Kemudian tanah kita terbakar, kok kita yang memperbaikinya. Lalu kita marah-marah dengan saudara kita, dan menyuruhnya turut memadamkan,” kata Hadi beranalogi.

Padahal ada upaya yang lebih murah dan berpihak pada masyarakat. Pertama, kembali mempertimbangkan izin terhadap mereka yang menyewa atau meminjam lahan. Pertimbangan izin tersebut diteruskan atau dihentikan, yakni apakah lokasi itu penting sebagai penjaga emisi karbon sehingga tidak boleh digunakan untuk usaha apa pun atau tidak.

Indikator berikutnya, apakah lahan tersebut gagal dijaga dari kebakaran atau kerusakan oleh pihak yang dipinjami. Terakhir, apakah peminjaman lahan tersebut membuat masyarakat sekitarnya menjadi makmur atau justru tersingkirkan. “Nah, jika lebih banyak merugikan, ya, cabut izinnya. Gampang saja, sebab kita yang punya lahan,” kata Hadi.

Kedua, berikan pengelolaan lahan kepada masyarakat. “Selama ratusan tahun masyarakat arif terhadap lahan. Mereka tahu mana lahan yang dapat dikelola menjadi pertanian, dan mana yang tidak. Saat ini saja, dari penemuan titik api, lahan yang dikelola masyarakat jumlah jauh lebih sedikit dibandingkan dikelola masyarakat,” ujarnya.

Ketiga, penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan pembakaran lahan. “Sampai saat ini kami belum melihat adanya police line di lahan dikelola perusahaan yang terbakar, seperti yang dilakukan di Riau. Padahal banyak lahan yang dikelola perusahaan yang terbakar meskipun apinya berhasil dipadamkan. Itu artinya mereka gagal mencegah kebakaran,” kata Hadi.

Transparansi anggaran

Sri Lestari Kadariah, mantan Direktur Walhi Sumsel yang kini menjadi advokat, mengatakan pemerintah maupun perusahaan harus transparans dalam pengunaan anggaran pemadaman kebakaran.

“Masyarakat harus tahu anggaran yang digunakan tersebut berapa besar yang dikeluarkan negara, dan berapa besar yang dikeluarkan perusahaan atau pelaku usaha. Jika ternyata negara yang lebih banyak mengeluarkan anggaran, wah, itu repot,” kata Sri.

“Masak kita sudah meminjamkan lahan, mereka dapat untung, lalu saat ada persoalan seperti kebakaran hutan justru kita yang membayarnya. Ini kan logika yang tidak masuk diakal,” katanya.

Namun, guna mendapatkan fakta yang benar terkait hal tersebut, selama proses upaya pemadaman kebakaran lahan, khususnya lahan gambut, pemerintah maupun perusahaan harus mengumumkan besaran dana yang digunakan, termasuk peruntukan penggunaan dana tersebut.

Soal transparansi anggaran ini juga disampaikan Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan Rustandi Adriansyah. “Itu penting untuk dijelaskan. Jika ternyata negara yang lebih banyak mengeluarkan anggaran, sungguh memalukan negara ini. Kita hidup benar-benar belum merdeka,” katanya.

Sama seperti Hadi, Rustandi juga sepakat pencegahan kebakaran atau kerusakan hutan dan lahan gambut, dengan cara memberikan kepercayaan yang lebih terhadap masyarakat dalam mengelolanya. “Puluhan abad rakyat yang mengurusnya, dan terjaga. Baru beberapa tahun dikelola perusahaan, sudah pada rusak, dan rakyat pun hidup miskin,” ujarnya.

SEMILOKA Permasalahan dan Solusi Pemanfaatan Ruang di Sumatera Selatan


Written by Administrator


Tuesday, 12 May 2015 11:48

Wilayah ruang provinsi Sumatera Selatan berdasarkan fungsi kawasan memiliki luasan mencapai 8.811.291 Ha, yang terdiri dari fungsi Areal Penggunaan Lain (APL) yang luasnya 5.315.917 Ha dan fungsi kawasan hutan yang luasnya 3.495.374 Ha (SK Menhut No. 866 tahun 2014).

Berdasarkan fungsi ruang di atas, dari hasil overlay spasial peta pemanfaatan ruang perizinan (kehutanan, perkebunan, pertambangan) dan pemanfaatan lainnya yang juga dikoreksi dengan peta landcover dari peta citra landsat-8, telah ditemukan kondisi eksisting yang dapat dikompilasi dalam bentuk fakta-fakta pemanfaatan ruang di provinsi Sumatera Selatan

Pada APL telah ada Izin Usaha Perkebunan (IUP) mencapai luasan 1.810.786 Ha dan pada fungsi kawasan hutan telah ada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Hutan Tanaman, Restorasi Ekosistem, dan Jasa Lingkungan) dan
Izin Perhutanan Sosial (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat) mencapai luasan 1.553.787 Ha, sedangkan pada fungsi keduanya (APL dan kawasan hutan) terdapat juga Izin Usaha Pertambangan yang luasannya mencapai 2.917.080 Ha.

Terdapat tumpang tindih (over-lapping) antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan IUPHHK yang luasannya mencapai 35.916 Ha, tumpang tindih (overlapping) antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan fungsi Kawasan Hutan yang luasannya mencapai 109.225 Ha, serta juga tumpang tindih (overlapping) IUPHHK & Izin Perhutanan Sosial dengan fungsi bukan kawasan hutan (APL) seluas 104.816 Ha.

Pada pemanfaatan ruang melalui Izin Usaha Perkebunan (IUP) terdapat juga ketidaksinkronan antara luas IUP dengan kondisi luas eksistingnya; pada luas IUP di kabupaten Banyuasin mencapai 217.127 Ha dengan luas eksistingnya telah mencapai 258.473 Ha, IUP di kabupaten Musi Banyuasin luasannya 254.407 Ha dengan luas eksistingnya mencapai 311.116 Ha, IUP di kabupaten MURA & MURATARA luasannya 86.921 Ha dengan luasan eksistingnya mencapai 119.665 Ha, luas IUP di kabupaten Muara Enim & PALI adalah 107.068 Ha dengan luasan eksistingnya mencapai 122.902 Ha, dan luas IUP di kabupaten Ogan Komering Ilir mencapai 279.232 Ha dengan luasan eksistingnya telah mencapai 291.804 Ha.

Disamping itu, juga terdapat pemanfaatan ruang untuk pemukiman masyarakat (Desa/kelurahan dan atau dusun) yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan (Hutan Lindung, Hutan Produksi, Suaka Margasatwa, dan taman Nasional) yang jumlah-nya mencapai 442 Desa/Kelurahan.
Dalam aspek tutupan hutan di provinsi Sumatera Selatan lima tahun terkahir (tahun 2009 dan tahun 2014) telah diidentifikasi kondisi deforestasinya (konversi dari hutan menjadi bukan hutan) mencapai 166.961 Ha atau 33.255 Ha/tahun.

Kondisi pemanfaatan spasial di atas, telah disusun dalam bentuk lembar fakta (fact-sheets) oleh �Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Selatan untuk Tata Kelola Hutan & Lahan Yang Baik, yang dapat menjadi bahan masukan kepada semua pihak (Pemerintah, Swasta, dan Akademisi, dan Masyarakat Sipil) dalam rangka mendukung perbaikan tata kelola hutan dan lahan di masa yang akan datang.

Salah satu kebijakan Pemerintah yaitu membangun Jaringan Informasi Geospasial Daerah merupakan gagasan cerdas untuk perbaikan sistem informasi geospasial dalam upaya mewujudkan keterbukaan informasi, akuntabilitas, dan partisipasi semua pihak yang belum terimplementasi dengan baik di provinsi Sumatera Selatan.

Sumber: Khatulistiwa Hijau

Bagi-bagi Lahan Harus Tepat Sasaran


Written by Administrator


Saturday, 09 May 2015 16:59

Soal pembagian lahan dengan total 9 juta hektar, menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Ferry Mursyidan Baldan, bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, tanah yang diberikan kepada petani ini, harus tepat sasaran.
“Kita tidak sedang melakukan pembagian tanah sekian-sekian, tapi basisnya bagaimana sebetulnya yang bisa (membuat) hidup sejahtera,” ujar Ferry usai menandatangani nota kesepahaman dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (DPDTT), di Kementerian DPDTT, Jakarta, Jumat (8/5/2015).
Ferry menjelaskan, kalau melihat 9 juta hektar dalam satu hamparan luas, maka akan lebih mudah jika reformasi agraria dipusatkan di Pulau Kalimantan dan Papua saja. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Sebelumnya, tambah dia, pemerintah harus mengidentifikasi karakteristik lahan dan masyarakatnya terlebih dahulu. Hal ini bertujuan, supaya kebijakannya sesuai dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang menegaskan bahwa 9 juta hektar merupakan sebuah ruang hidup baru bagi masyarakat. Setidaknya 9 juta hektar ini akan diberikan kepada 4,5 juta kepala keluarga di Indonesia.
“Ini untuk membangun kehidupan bukan sekadar bagi-bagi lahan. Kalau hanya sekadar bilangan jumlah (9 juta hektar), di Kalimantan dan Papua saja, tapi ini tidak bermakna apa-apa,” sebut Ferry.
Pemerintah tengah mengelaborasi 4,5 juta penduduk yang berhak atas tanah sekurang-kurangnya 2 hektar yang nantinya tersebar di seluruh Indonesia. Ferry tidak ingin lahan yang telah diberikan, tidak bisa dikembangkan oleh si penerima. Menurut dia, tujuan reforma agraria tidak sekadar memikirkan asset reform (pembagian lahan), tetapi juga access reform (pendayagunaan lahan).
Sementara itu, untuk memastikan lahan pertanian tidak beralih fungsi, Ferry mengancam akan memblokirnya.
“Kami akan lakukan pemblokiran daerah-daerah yang hari ini ekisting sebagai wilayah pertanian. Contohnya di Grobogan (Jawa Tengah), hamparnya bagus, tersiernya bagus, kalau mau lepas kepemilikan berapa-berapa, silahkan. Namun, kami akan memblok itu pertanian yang dibeli orang lain untuk peruntukan lain,” kata Ferry.
Dengan demikian, imbuh dia, pemerintah akan mempersiapkan lumbung-lumbung pertanian di daerah-daerah tertentu misalnya Jawa Barat, Jawa Timur, dan Makassar. Selain mempersiapkan di daerah-daerah tersebut, pemerintah juga sedang membangun lumbung padi di Merauke.

Sumber: Kompas.Com