Tolak Reklamasi, Forum Rakyat Bali Galang Aksi Solidaritas


Written by Administrator


Wednesday, 13 April 2016 13:15

Sekelompok pemuda yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa melakukan aksi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (10/4/2016) pagi lalu.

Mereka menyebut aksi tersebut sebagai aksi solidaritas menyatakan penolakannya terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa.

Dalam aksinya, mereka menyerukan pencabutan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.

“Aksi solidaritas ini tidak hanya dilakukan di Jakarta, tetapi juga dilakukan di Bandung, Palangkaraya, Belitong, Makassar, di hari yang sama dan akan menyusul Bangka dan Yogyakarta,” ujar John Tirayoh dari Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Jakarta, Minggu (10/4/2016).

John juga mengungkapkan aksi solidaritas ini merupakan dukungan terhadap aksi-aksi yang telah dilaksanakan di Bali yang dipimpin oleh para ketua adat setempat.

Forum tersebut menggugat keberadaan Perpres tersebut karena melanggar semangat konstitusi yang meliputi dua hal, yakni perlindungan lingkungan hidup dan perlindungan terhadap masyarakat adat.

“Upaya reklamasi Teluk Benoa telah melalaikan dua hal yang saling terkait, Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 ini dilihat seperti telah memberikan jebakan bagi pemerintahan saat ini,” tandasnya.

Deddy Permana, S.Si


Written by Administrator


Friday, 14 January 2011 07:00

Deddy dan Kepedulian terhadap Hutan Sumsel

Bagi Deddy Permana (33), tidak ada hal yang lebih memuaskan dirinya, kecuali menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk kelestarian lingkungan hidup Sumatera Selatan.

Bersama 12 aktivis mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Sumsel, Deddy mendirikan organisasi Wahana Bumi Hijau, disingkat WBH, tahun 2000. Visi organisasi tersebut adalah terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang berdaya dan berkontribusi aktif dalam pelestarian lingkungan hidup.

WBH, menurut Deddy, adalah sebuah organisasi yang menghimpun berbagai organisasi lingkungan hidup dan organisasi yang peduli kepada nasib petani. Tujuan pendirian WBH adalah melakukan penelitian untuk mendukung kampanye lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup di sekitar hutan, kata Deddy, yang menjabat Direktur Eksekutif WBH sejak 2005.

Menurut pria yang lahir di Pengandonan, Ogan Komering Ulu, pada 29 Desember 1976 itu, kegiatan WBH antara lain melakukan penelitian terhadap kebakaran hutan di kawasan hutan gambut di Sumsel.

WBH juga melakukan penelitian bagaimana caranya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di lahan gambut.

Kami melakukan penelitian agar masyarakat yang hidup di sekitar hutan dapat berperan dalam menyelamatkan lingkungan sekaligus mendapat manfaat secara ekonomi, kata Direktur Wahana Bumi Hijau (33) ini.

Salah satu caranya adalah memberikan dana bergulir. Syaratnya, masyarakat harus melakukan penanaman di lahan kritis dan menjaga agar tanaman tetap hidup. Dana berasal dari donor nasional dan internasional.

Alumnus Universitas Sriwijaya Jurusan MIPA Biologi itu mengungkapkan, WBH bukan organisasi kampanye lingkungan hidup, tetapi lebih menitikberatkan pada penelitian walaupun hasil penelitian WBH pada akhirnya juga digunakan untuk kampanye lingkungan hidup oleh organisasi lain.

Isu mengenai lingkungan hidup di Sumsel yang masih aktual adalah perubahan iklim, kerusakan hutan, dan kemiskinan masyarakat, kata Deddy.

Sebagai salah satu pendiri WBH, Deddy berharap organisasi tersebut dapat terus eksis. Oleh karena itu, dia dan sejumlah aktivis WBH giat melakukan kaderisasi kepada para mahasiswa.

Sejak berdiri 10 tahun lalu, WBH mengalami perkembangan. Dimulai dari kamar indekos di Indralaya, WBH kini memiliki kantor di Jalan Cut Nyak Dien, Palembang, dan menjadi organisasi yang memiliki akuntabilitas.

”Ada kepuasan kalau saya bisa berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan dan masyarakat, ujarnya. (WAD)

Sumber : www.kompas.com

Adiosyafri, S.Si


Written by Administrator


Friday, 14 January 2011 07:00

Mengabdi Menjadikan Hutan Lestari

“Orang-orang ini telah terbukti mampu menunjukkan secara nyata jalan keluar yang bisa menjadi alternatif untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial dalam masyarakat, sesuai dengan bidang-bidang yang mereka geluti”. Sanjungan yang disampaikan Dr. Imam Prasodjo, sosiolog Universitas Indonesia itu, salah satunya ditujukan kepada seorang putra daerah Sumatera Selatan, Adiosyafri namanya.

Adios, demikian pria kelahiran Muaraenim, Sumatera Selatan, ini biasa disapa, menjadi salah satu penerima penghargaan Indonesia Berprestasi Award 2009. Adios terpilih menjadi penerima penghargaan Special Recognition pada Kategori Sosial Kemasyarakatan. Penghargaan Bagi para Pengabdi Masyarakat ini diberikan oleh PT.Excelcomindo Pratama Tbk (XL) pada tahun 2009 lalu.

Keperduliannya di bidang sosial kemasyarakatan, khususnya lingkungan hidup melahirkan komitmen yang tinggi pada sosok pria yang dilahirkan pada 30 September 1976 ini. Sebagai seoarang putra Sumatera Selatan, Adios mengaku prihatin akan kerusakan lingkungan yang terjadi,
terlebih kerusakan lingkungan tersebut terjadi di salah satu provinsi yang memiliki kekayaan alam ini.

Sampai dengan kini, terhitung sepuluh tahun lebih, Adios telah bergelut dalam bidang sosial kemasyarakatan dan lingkungan. Kini, dia aktif bersama teman-temannya di Yayasan Wahana Bumi Hijau (YWBH). Selain di YWBH, alumni Universitas Sriwijaya Jurusan MIPA Fisika Angkatan 1995 ini juga menjabat sebagai Kepala Divisi perencanaan & Evaluasi Program pada Konsorsium Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan Sumatera Selatan dan Koordinator Presedium Forum Pendidikan Lingkungan Hidup
Sumatera Selatan.

“Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sudah harus ditanamkan kepada anak-anak. Sebab pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi merupakan diakibatkan dari orang-orang yang tidak memiliki kesadaran yang baik akan pentingnya lingkungan yang lestari,” ujarnya yang beberapa waktu belakangan ini berkesempatan menjadi mentor Climate for Classroom (C4C) pada 6 Sekolah Islam di Kota Palembang yang difasilitasi oleh British Council.

Ironis memang, ujar Adios, ketika daerah yang memiliki sumber daya alam yang kaya dirusak oleh orang-orang dengan alasan keterbatasan ekonomi. “Walau pembalakan liar secara besar-besaran disponsori oleh pemodal besar dengan kerja yang terorganisi, namun tidak sedikit masyarakat sekitar hutan karean keterbatasan ekonomi bekerja menjadi buruh upahan dalam proses pembalak liar tersebut,” tegasnya.

Karena itu, Adios bersama teman-temannya juga aktif melakukan pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat sekitar hutan. “Seperti yang pernah dilakukan di masyarakat sekitar lahan gambut, kita melakuan penggalian potensi ekonomi dan berupaya mengembangkan potensi tersebut sebagai mata pencarian alternativ, sehingga masyarakat mengesampingkan pendapatan sebagai pembalakan liar atau dengan pola konpensasi menjaga lingkungan hidup,” tutur pria yang mengkoordinatori Pengembangan Ekonomi Produktif Masyarakat Miskin di kawasan Buffer Zone Taman
Nasional Sembilang.

Dengan cara tersebut, lanjutnya, banyak lahan kritis yang bisa diselamatkan. Upaya tersebut juga tidak memerlukan banyak modal. Misalkan dengan pemberdayaan ekonomi, masyarakat diwajibkan melakukan pembibitan tanaman tertentu, penanaman dan pemeliharaan pohon tersebut
sebagai kompensasi dari manfaat ekonomi yang telah diperoleh.

“Permasalahan lingkungan kerusakanan hutan lainnya, adalah kebakaran hutan yang kerap terjadi pada saat musim kemarau,” katanya.
Menurutnya, persoalan kebakaran tidak hanya bagaimana memadamkan api, tapi juga melakukan pencegahan terjadinya kebakaran.
Seperti halnya dalam menyelamatkan lahan gambut dari kebakaran. Masyarakat membuat tebat di sepanjang parit yang banyak terdapat di sekitar Sungai Merang dan Sungai Kepayang. Tebat semipermanen itu terbuat dari kayu dan papan. Tujuan membuat tebat agar air yang mengalir di parit tidak cepat kering saat musim kemarau sebab tanah gambut sangat cepat menyerap air sehingga rawan terjadi kebakaran hutan.
Hal tersebut menjadi penting dilakukan karena Sumatera Selatan merupakan salah satu propinsi yang masih memiliki lahan gambut dengan seluas sekitar 200.000 hektare dengan ketelabalan 1-6 meter, tepatnya terletak di Kabupaten Musi Banyuasin.
“Sayangnya, keberadaan lahan gambut tersebut selalu terancam kerusakan. Pada era hak pengelolaan hutan (HPH), kawasan tersebut rusak akibat penggundulan hutan. Sekarang, pada era reformasi terancam oleh proyek hutan tanaman industri (HTI) dan pembalakan liar,” tegas Adios.
Adios menegaskan, upaya penyelamatan lingkungan tidak bisa dilakukan secara parsial. Pemerintah, lembaga swasta, dan masyarakat harus memiliki cara pandang dan komitmen yang kuat terhadap penyelamatan lingkungan.
Terkait dengan pemerintahan Sumatera Selatan sendiri, lanjutnya, sudah merespon baik terhadap pembalakan liar yang terjadi. Tim pemberantasan pembalakan liar di Sumatera Selatan akan dibentuk disetiap kabupaten atas inisiasi Gubernur Sumatera Selatan H. Alex Noerdin.

Sumber : www.beritamusi.com

SUTOMO, S.Hut., MSi


Written by Administrator


Thursday, 28 February 2013 11:07

Peraturan Hutan Desa & Hutan Kemasyarakatan
Dalam Acara Focus Group Discussion (FGD) untuk Menyusun Strategi Bersama Perluasan Wilayah Kelola di Sumatera Selatan. Palembang, 27-28 Februari 2013 yang diselenggarakan oleh Yayasan Wahana Bumi Hijau (WBH), Bapak SUTOMO, S.Hut, MSi mewakili Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan Memaparkan tentang Peraturan Hutan desa dan Peraturan Hutan Kemasyarakatan.
Dalam paparan tersebut pada Acara Focus Group Discussion (FGD) untuk Menyusun Strategi Bersama Perluasan Wilayah Kelola di Sumatera Selatan. Palembang, 27-28 Februari 2013 yang dihadiri oleh perwakilan dari 6 (enam) kabupaten di Sumatera Selatan itu, Bapak Sutomo memberikan gambaran umum tentang atutan-aturan yang mengatur terbitnya SK Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan adalah 3.760.662 (+ 43,22 % Luas Provinsi 87,017 Km2)

  • Hutan Lindung (HL) : 558.609 Ha
  • Hutan KonservasiSuaka Alam (HSA): 711.778 Ha
  • Hutan Produksi Terbatas (HPT) : 236.382 Ha
  • Hutan Produksi Tetap (HP) : 1.669.370 Ha
  • Hutan Produksi Konversi (HPK) : 584.523 Ha

Jml penduduk 7,12 juta jiwa, 11 Kab dan 4 kota, 149 kecamatan, 2.421 desa

Hutan Desa (HD)
dimana konsef hutan desa yaitu untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari,dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan
Paparan Pengelolaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan oleh Bapak Supomo, S.Hut , MSI mewakili Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan
Peraturan Pelaksana untuk Hutan Desa,

  • Undang undang nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan Alinea 8, 9, 13
  • PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan penyusunan rencana pengelolaan Hutan, serta pemanfaatan Hutan
  • PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
  • Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008, Jo. Permenhut No. P.11/Menhut-II/2010, Jo Permenhut No. P.14/Menhut-II/2010, Jo
  • Permenhut No. P. 53/Menhut-II/2011

dalam kesempatan itu pula, bapak Sutomo juga memberikan gambaran tentang Tata Cara Penetapan Areal Kerja Hutan Desa, berikut beberapa alur yang disampaikan;

  • Penetapan dilakukan oleh Menteri berdasarkan usulan Bupati/Walikota
  • Bupati/Walikota mengusulkan penetapan areal kerja HD kepada menteri berdasarkan permohonan Kepala Desa dan dilengkapi ( Peta skala 1 : 50.000 dan gambaran kondisi kawasan hutan) dan usulan ditembuskan Gubernur setempat.
  • Verifikasi lokasi oleh tim yang dibentuk oleh Menteri untuk mengetahui kepastian hak/iziin yang dikelola serta kesesuaian dengan fungsi kawasan
  • Tim verifikasi dapat menolak atau menyetujui usulan untuk menetapkan areal kerja Hutan Desa.
  • Penetapan disampaikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota setempat.

Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat.

maksud dan tujuan dibentuknya Hutan Kemasyarakatan adalah untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat
agar terciptanya kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup

Areal kerja hutan kemasyarakatan adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara lestari yaitu Kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi

KETENTUAN PENETAPAN :

  • Belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan
  • Menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat

Prinsif Dasar

  • tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan;
  • pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman
  • mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya;
  • menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa;
  • meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan;
  • memerankan masyarakat sebagai pelaku utama;
  • adanya kepastian hukum;
  • transparansi dan akuntabilitas publik;
  • partisipatif dalam pengambilan keputusan

Tahapan Perizinan

  • Fasilitasi = Oleh Pemerintah kabupaten/Kota yang dapat dibantu oleh Pusat dan Pemprov dan dapat dibantu oleh : perguruan tinggi/lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat; LSM; lembaga keuangan; Koperasi; dan BUMN/BUMD/BUMS
  • pengembangan kelembagaan kelompok masyarakat setempat.
  • pengajuan permohonan izin
  • penyusunan rencana kerja hutan kemasyarakatan.
  • teknologi budidaya hutan dan pengolahan hasil hutan.
  • pendidikan dan latihan
  • akses terhadap pasar dan modal
  • pengembangan usaha.
  • Pemberian Ijin = diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan surat Keputusan Menteri

Badak Sumatera Terancam Punah


Written by Administrator

Badak Sumatera diperkirakan jumlahnya kurang dari seratus ekor

di hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan. Badak Sumatera terakhir terdapat di Malaysia dua tahun lalu di wilayah Sabah, tetapi bulan lalu pakar menyatakan spesies itu telah punah di negara itu. International Union for the Conservation of Nature, IUCN atau Organisasi Internasional Pelestarian Alam memperingatkan, badak sumatra itu akan segera punah jika tidak diambil tindakan. Badak Sumatra itu adalah yang terkecil dari tiga jenis badak Asia. Ada 57 ekor badak Jawa atau Rhinoceros Sondaicus dan lebih dari 3000 badak India atau Rhinoceros Unicornis. Populasi badak Sumatra diperkirakan turun 50 persen dalam satu dasawarsa terakhir.

Memaksimalkan kelahiran badak sumatera di penangkaran menjadi satu-satunya cara paling memadai untuk menyelamatkan spesies berusia 20 juta tahun ini dari kepunahan total. Benarkah?

Di masa lalu, badak sumatera berkeliaran di hutan-hutan di India, Bangladesh, Myanmar, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Tiongkok. Namun, menjelang pertengahan abad ke-20, populasinya menyusut drastis karena hilangnya habitat dan diburu untuk diambil culanya. Permintaan akan cula badak ini awalnya berasal dari kepercayaan umum yang menyatakan bahwa cula badak mengandung obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Seperti yang dilansir dari Harian Daily Express Malaysia, kombinasi berbagai faktor telah menyebabkan menyusutnya badak sumatera mulai dari minimnya pengetahuan tentang populasi badak dan status reproduksi di alam liar, praktik kurang berhasilnya proses reproduksi di pusat penangkaran, upaya konservasi yang belum efektif, dan tidak ada pengembangan program pembiakan yang efektif di pusat-pusat penangkaran.

Para peneliti satwa liar memperkirakan, saat ini hanya ada kurang dari 100 badak sumatera yang tersisa di dunia. Populasinya saat ini sebagian besar ada di Pulau Sumatera dan hanya sedikit sekali yang tersisa di Sabah, Malaysia. Sementara, di Semenanjung Malaysia, spesies ini diperkirakan benar-benar sudah punah meskipun belum diakui secara resmi.

Dalam 30 tahun terakhir, lebih banyak badak sumatera yang mati dibandingkan yang lahir, baik di alam liar maupun di penangkaran. Tercatat, antara 1984 hingga 1995, ada 22 badak sumatera yang ditangkap di Semenanjung Malaysia dan di Sabah untuk proyek penangkaran.

Namun, tidak ada satupun yang beranak pinak di penangkaran tersebut. Semuanya mati, kecuali satu ekor yang memang sudah hamil saat ditangkap. Kini, populasi badak yang tersisa di Malaysia hanyalah badak jantan bernama Tam dan dua betina bernama Puntung dan Iman.

Ketiga badak ini ditangkap dari alam liar di Sabah antara 2008 hingga 2014, yang saat ini berada di Borneo Rhino Sanctuary (BRS) di Tabin Wildlife Reserve, di bawah perawatan Borneo Rhino Alliance (BORA), sebuah organisasi non-pemerintah yang dikembangkan di bawah arahan Sabah Wildlife Department. Sayangnya, baik Puntung maupun Iman memiliki masalah saluran patologi reproduksi yang parah, mungkin karena mereka mengalami masa-masa sulit tidak berkembang biak di alam liar dalam waktu yang lama.

Meski begitu, keduanya masih memproduksi oosit, yang merupakan sel-sel yang membentuk telur yang kemudian dapat dibuahi oleh sperma.

Untuk menyelamatkan badak-badak terakhir ini dari kepunahan, Sabah Wildlife Department and BORA bekerja sama dengan Leibniz Institute for Zoo and Wildlife Research (IZW) dari Jerman dan Profesor Cesare Galli, dari Laboratorium Avantea di Italia, berupaya untuk memproduksi embrio badak sumatera di laboratorium tersebut dengan menggunakan Advanced Reproductive Techniques (ART). Sepertinya, ART merupakan cara terbaik untuk menumbuhkan populasi badak sumatera di penangkaran.

Dibandingkan dengan teknik inseminasi buatan tradisional yang memompa jutaan sperma ke dalam rahim badak betina, teknik yang sudah teruji untuk hewan-hewan peliharaan atau injeksi sperma intraseluler ini, mampu memaksimalkan kesempatan pembuahan telur dengan menyuntikkan satu sperma yang paling layak menjadi oosit tunggal. Embrio yang dihasilkan kemudian ditanamkan ke badak betina untuk menjadi janin melalui kehamilan normal.

Menurut Datuk Dr. Junaidi Payne, Direktur Eksekutif BORA, semua badak sumatera yang ada di penangkaran harus disatukan dalam dua atau tiga fasilitas perawatan intensif, di mana penggunaan gamet (sel yang diproduksi oleh organisme untuk tujuan reproduksi seksual) dapat dimaksimalkan.

“Kita berpacu dengan waktu untuk menghasilkan gamet dari badak di sini untuk digunakan dalam fertilisasi in-vitro. Serta, mengawetkan gamet dengan dibekukan dan baris stem sel dalam kurun 2014-2017,” katanya.

Direktur Sabah Wildlife, William Baya, mengatakan bahwa melalui ART setiap individu badak dapat dimaksimalkan untuk membantu menyelamatkan spesies ini.

“Mengingat, spesies ini benar-benar di ambang kepunahan, Sabah Wildlife Department berkomitmen mendukung program penangkaran badak sumatera dengan menggunakan teknologi ART. Ini cara terbaik yang kita miliki. Pada prinsipnya, kami siap mendukung Indonesia melestarikan satwa ini, jika diminta.”

Dato Dr. Dionysius Sharma, CEO dan Direktur Eksekutif WWF-Malaysia, yakin bahwa program ART bisa menyelamatkan badak sumatera dari kepunahan. “Solusi inovatif diperlukan untuk mengangkat kembali populasi badak sumatera terancam punah. Lebih dari seabad lalu, badak afrika juga terancam punah dan dipindahkan ke pusat konservasi berupa tanah luas yang dipagar, serta penangkaran yang dilakukan terhadap bison eropa. Kami berharap dapat melakukan yang sama terhadap badak sumatera,” ujarnya.

Monitoring Pelaksanaan FPIC pada masyarakat terdampak PT. OKI Mill di Sumatera Selatan


Written by Wahana Bumi Hijau


Sunday, 07 December 2014 01:24

Wahana Bumi Hijau (WBH),

Serikat Hijau Indonesia, Yayasan Bakau dan JPIK Sumatera Selatan Melakukan Monitoring Pelaksanaan FPIC pada masyarakat terdampak PT. OKI Mill yang dilakukan oleh APP. Monitoring ini ditujukan untuk menarik pembelajaran bagaimana APP menjalankan prinsip prinsip FPIC yang dimuat dalam SOP/protokol mereka, dan seperti apa serapan masyarakat dalam pelaksanaan FPIC tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, monitoring dilakukan selama 1 bulan pada Agustus September 2014, dan melakukan wawancara terstruktur dengan 67 perwakilan masyarakat, termasuk minimal 2 pemerintah desa di 8 Desa tersebut.

Wahana Bumi Hijau (WBH), Sarekat Hijau Indonesia, Yayasan Bakau and JPIK South Sumatra conducted monitoring on APPs FPIC implementation on affected communities surrounding PT. OKI Pulp Mill. The aim of this activity is to learn how APP implemented its FPIC protocol and how local people understand that FPIC process. It was done in August and September 2014, WBH in eight affected villages surrounding the Mill and the hamlet of Sungai Rasau, interviewing 67 people from those villages, including at least 2 village government officer from each village/ hamlet (Bukit Batu 15 respondent, Rengas Abang/ Sido Rahayu 5, Simpang Heran 10, Jadi Mulya 10, Kuala Sugihan/ Muara Sugihan 5, Negeri Sakti/ Sapto Harjo 6, Pangkalan Sakti/ Timbul Harjo 6 dan Rantau Karya/ Panggung Harjo 5 respondent).

Berikut kami publikasikan Laporan Lengkap dan Tanggapan dari Pihak APP yang dapat anda download di bawah ini:

Download Final Report on Monitoring APP FPIC process English – Indonesia

Download Matrix Response APP EnglishIndonesia

Penetapan Direktur Eksekutif WBH Periode 2016 sampai 2020

Foto: Serah Terima Jabatan dari Direktur Eksekutif yang lama (Deddy Permana) kepada Direktur Eksekutif yang baru (Yulhendrawan)

WBH Sumsel – Rapat Dewan Pembina Yayasan Wahana Bumi Hijau yang dilaksanakan pada tanggal 5 – 7 Mei 2016 telah menetapkan beberapa keputusan hasil rapat diantaranya Penetapan Bapak Yulhendrawan, S.Si sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Wahana Bumi Hijau (YWBH) periode 2016 – 2020 dan Ibu Uci Sulandari, S.Si, M.Si sebagai Direktur Representative Jakarta periode 2016 – 2020.
Secara umum kerja-kerja WBH diperiode kedepan masih konsen pada isu-isu pemberdayaan masyarakat dan lingkungan hidup sesuai visi misi organisasi mengingat masih banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan kedepan tentunya kerjasama dengan berbagai pihak baik NGO lokal, Nasional dan Internasional masih tetap dibutuhkan dalam upaya mewujudkan cita-cita organisasi.

Dalam upaya pengembangan aspek dan lingkup kerja YWBH dalam kesempatan ini Dewan Pembina bersama Dewan Pendiri telah sepakat membentuk kepengurusan representative di Jakarta, sebagai upaya menunjang dan membantu kerja-kerja YWBH di Sumatera Selatan, dengan titik berat masih konsen pada isu-isu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.

(Foto dari Kiri ke Kanan: Komarudin, Deddy Permana, Uci Sulandari, Yulhendrawan, Ahmad Fadilan, Destika Cahyana, Ahmad Nawawi, Aprilino)

Menyoal Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa

KEBIJAKAN Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI tentang pengembangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau perhutanan sosial berbentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD), diyakini betul mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam pelestarian hutan, sekaligus menjawab tuntutan menyelesaikan permasalahan bangsa, pembukaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi.
Keyakinan itu dikemukan Direktur Bina Perhutanan Sosial Kemenhut RI Haryadi Himawan. Entah benar-benar yakin atau hanya main-main. Karena keyakinan itu berbanding terbalik dengan fakta. Kemenhut RI menargetkan HKm dan HD di seluruh Indonesia seluas 2,1 juta hektar pada 2015, atau 500 ribu hektar per tahun. Namun, penetapan arealnya hanya rata-rata mencapai 10 persen per tahun, dari 2007 hingga 2010. Seperti tanpa melihat kenyataan realisasi pencapaian, pada 2010 pemerintah malah meningkatkan target pencapaiaan 5 juta hektar pada 2020.
Keyakinan Perhutanan Sosial Kemenhut RI bahwa pengembangan PHBM ini dapat mengurangi permasalahan bangsa, kenapa tidak. Namun bukan dari target yang progresif, melainkan capaiannya. Angka 10 persen per tahun tidak mencerminkan kesungguhan pencapaian keyakinan. Bukankah keyakinan terhadap kebijakan perhutanan sosial yang dapat menyelesaikan permasalahan bangsa itu melalui jalan tol dalam merealisasikannya?.
Kemenhut RI boleh berkelit. Menurut mereka, lambatnya realisasi HKm dan HD karena kurangnya dukungan pemerintah daerah, baik bupati/walikota ataupun gubernur. Mengingat untuk dapat memanfaatkan kawasan hutan melalui skema HKm dan HD dibutuhkan legalitas yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Memang pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terevaluasi dalam hal ini. Sampai 2010, dari 80.395 hektar luasan HKm yang telah ditetapkan Menteri Kehutan (Menhut) RI, sekitar 34.615 hektar yang sudah diterbitkan izin oleh bupati. Sedangkan untuk HD dari 14.346 hektar yang telah ditetapkan Menhut RI, baru 10.310 hektar yang sudah mendapatkan izin gubernur.
Namun data tersebut tidak cukup bagi Kemenhut RI menyalahkan pemerintah daerah (Pemda) dalam hal lambatnya target merealisakan kebijakan Perhutanan Sosial Kemenhut RI. Bukankah data Kemenhut RI menggambarkan HKm yang telah ditetapkan baru 80.395 hektar dari 236.276 hektar yang telah dievaluasi dan verifikasi. Dan untuk HD, Kemenhut RI baru menetapkan 14.346 hektar dari 119.757 hektar yang telah dievaluasi dan verifikasi. Bagaimana yang belum terevaluasi dan terverifikasi ??
Lagi-lagi, alasan Kemenhut RI lambatnya dukungan pemda tidak sepenuhnya benar. Kalaupun, pada proses rekomendasi dari pemda yang tidak menyambut kebijakan tersebut, tentu tidak ada tumpukan berkas pengajuan HKm dan HD di meja Menhut RI.
Sebut saja di Sumatera Selatan (Sumsel), terdapat dua berkas pengajuan HD yang menumpuk di meja Menhut RI. Kedua usulan HD tersebut telah diverifikasi pada Maret 2010, sampai saat ini belum mendapat jawaban, diterima atau ditolak. Belum lagi daerah lainnya di sumatera, kalimantan, dan sulawesi. Tidak hanya tersangkut di meja Kemenhut RI, juga di meja gubernur atau bupati.
Sebagai warga negara yang baik, tentu sebaiknya yakin, bahwa tidak ada perbedaan keyakinan antara Kemenhut RI dan pemda tentang kebijakan pengembangan PHBM yang mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam pelestarian hutan, sekaligus menjawab permasalahan bangsa, pembukaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi itu.
Suksesnya tidaknya pelaksanaan program Perhutanan Sosial Kemenhut RI menjadi ukuran dari komitmen pemerintah. Isi dari kebijakan yang dikeluarkan pun perlu diakui kecanggihannya. Tinggal lagi meningkatkannya menjadi Keputusan Presiden (Keppres) atau Intruksi Presiden (Inpres) agar menyamakan keyakinan Kemenhut RI dan pemda provinisi/kabupaten/kota.
Sudah banyak sekali masukan dari bebagai pihak tentang program Perhutanan Sosial Kemenhut RI. Tinggal lagi memperbaiki kayakinan itu, terkait ketidaksinkronan kebijakan pusat daerah, ketidakefisienan tata laksana perizinan, dan masih terbatasnya anggaran. (red.Sigid Widagdo)

Study on Developing Potential Partnership

Study on Developing Potential Partnership Works between Local People and Companies or Institution around Villages – Yayasan Wahana Bumi Hijau – WBH

Desa Kepayang dan Muara Medak adalah 2 desa yang dalam proses implementasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui skema Hutan Desa selain Hutan Desa Muara Merang di Desa Muara Merang yang telah terbit izin pengelolaannya, Terkait pengelolaan hutan desa tersebut, masyarakat sudah mengelompokkan wilayah kelolanya menjadi wilayah konservasi/lindung dan budi daya. Untuk fungsi lindung akan dilakukan kegiatan pengayaan dan peningkatan kualitas hutan, dan pengembangan sumber-sumber produksi bukan kayu. Di kawasan budi daya akan dikembangkan kegiatan ekonomi masyarakat seperti karet, pembibitan, penanaman kayu produktif seperti jelutung.

Terkait pengelolaan Hutan Desa ini, maka sangat diperlukan bagi masyarakat untuk bekerjasama dengan pihak lain seperti perusahaan sekitar dan atau pemerintah, sehingga masyarakat bisa memanfaatkan wilayah kelola Hutan Desa secara maksimal. Saat ini, ada beberapa perusahaan kehutanan dan perkebunan yang berada disekitar Hutan Desa yang berpotensi untuk mendukung Hutan Desa melalui skema CSR dan program Community Development perusahaan.

Kegiatan Study ini dilakukan Oleh WBH melalui konsultan kerja lapangan dalam hal penggalian informasi-informasi terkait keterkaitan pemerintah daerah setempat dan perusahaan-perusahaan yang areal konsesinya berbatasan langsung dengan desa tersebut dalam hal pengelolaan hutan yang lestari dengan konsep memperhatikan perkembangan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan desa.

Kegiatan Study bertujuan untuk Memetakan dan mengembangkan bentuk kerjasama pengelolaan Hutan Desa dengan perusahaan sekitar dan Membangun komunikasi / komitmen dengan perusahaan sekitar Hutan Desa terkait pengelolaan HD, dengan indikator keberhasilan yaitu Adanya rekomendasi terhadap pengelola hutan desa terkait bentuk-bentuk yang berpotensi dikerjasamakan dengan perusahaan sekitar.

Sharing kasus illegal logging Merang ke MABES POLRI dan KEMENHUT

Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 14-18 Maret 2011. Tim WBH bertemu dengan staff pribadi KAPOLRI

AKBP – SP secara informal untuk membicarakan strategi penyampaian surat/informasi ke KAPOLRI. Disepakati bahwa akan dibuat laporan singkat yang dilengkapi photo dan kronologis kasus.

Surat akan diberikan langsung ke staff pribadi KAPOLRI secara formal, untuk kemudian dengan bantuan Pak SP surat diserahkan langsung ke KAPOLRI.

Selain itu surat juga ditembuskan ke KOMPOLNAS, BARESKRIM, IRWASUM dan Presiden RI. Di Kemenhut, tim bertemu dengan pak San Ari Awang yang merupakan staf ahli menteri bidang pemberdayaan masyarakat.

Secara informal tim berdiskusi dengan pak awing, yang kemudian keesokan harinya dilanjutkan pertemuan formal dan pak Rafless dan pak Agus (PHKA) untuk membicarakan persoalan illegal logging di Merang. Inti dari pertemuan ini tim menyampaikan bahwa operasi illegal logging di Hutan Gambut Merang tidak bisa lagi dilakukan oleh institutsi di daerah (Dinas dan POLDA) tapi harus langsung dari kemenhut dan MABES POLRI. Ada gagasan untuk kemenhut berkoordinasi dengan MABES POLRI.

Laporan singkat mengenai illegal logging di Hutan Merang juga diserahkan ke Menhut melalui Ajudan Pribadi setelah terlebih dahulu bertemu sekilas dengan Pak Menteri yang sedang menerima tamu dari SULTENG. Hasil dari MABES dan KEMENHUT

Berdasarkan hasil komunasi dengan Pak Rafless (salah satu direktur di PHKA) bahwa dia sudah memerintahkan BKSDA, Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Musi Banyuasin untuk melakukan operasi terkait laporan kita (WALHI Sumsel. Laporan ke MABES POLRI dan KEMENHUT adalah atas nama WALHI Sumsel).

Hasil komunikasi dengan pak Djasim via telepon dan ketemu di Bandara CGK didapat bahwa bener adanya beliau dihubungi pak Rafless terkait illegal logging Merang dan dia sudah menginstruksikan Pak Hadi untuk dilakukan monitoring dan operasi.

Pada hari Sabtu (26 Maret 2011), BKSDA SPORC bersama pak Sigit melakukan operasi di Sungai Merang dan Buring. Namun mereka dihentikan (dilawan) oleh para pembalok sehingga operasi tidak bisa dilanjutkan. Mereka hanya membuat BAP terkait temuan. Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumsel, Pak Sigit, seperti yang diliput Kompas pada hari Senin 28 Maret 2011 mengtakan bahwa mereka sangat kesulitan memberantas illegal logging. Artinya secara tidak langsung dia mengatakan bahwa kegiatan illegal logging terus berlangsung di Merang, bahkan cenderung tak terkendali.

Pada hari Minggu, tanggal 27 Maret 2011. Tim MABES POLRI, POLDA Sumsel dan Polres MUBA melakukan operasi dan menemukan 1800 batang kayu kayu log tanpa pemilik di Sungai Merang.

Dari Beberapa Proses Kegiatan Tersebut dapat di simpulkan

  1. Terkait upaya untuk mendapatkan dukungan pengembangan model Restorasi Ekosistem dari Pemerintah Musi Banyuasin, Bupati secara lisan memberikan dukungan atas pengelolaan Restorasi dan PHBM. Intinya dia tidak sepakat untuk memberikan izin pengelolaan berbasis eksploitasi di Hutan Merang.
  2. Upaya mendapat dukungan dari masyarakat dilakukan dengan memobiliasi petisi penolakan HTI di Merang, dan masyarakat memberikan dukungan penolakan tersebut. Artinya, usaha untuk mendapatkan dukungan tersebut berhasil dilakukan.
  3. Terkait illegal logging, kasus illegal logging sudah menjadi atensi nasional dengan indicator operasi dalam 1 minggu terakhir (25-29 Maret 2011) dipimpin oleh MABES POLRI dan SPORC. Khusus SPORC BKSDA, ini dilakukan atas perintah dari KEMENHUT yang menindak lanjuti laporan kita. Hanya saja operasi ini masih dilakukan sendiri-sendiri sehingga hasilnya tidak maksimal, kedepan operasi seperti ini harus dilakukan secara bersama-sama (Terpadu) dan KEMENHUT MABES Polri betindak sebagai komando operasi.